• Tidak ada hasil yang ditemukan

Decapterus spp.) MELALUI PENDEKATAN EKOSISTEM DI WILAYAH PERAIRAN KABUPATEN BUTON,

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Decapterus spp.) MELALUI PENDEKATAN EKOSISTEM DI WILAYAH PERAIRAN KABUPATEN BUTON,"

Copied!
196
0
0

Teks penuh

(1)

Decapterus spp.) MELALUI PENDEKATAN EKOSISTEM DI WILAYAH PERAIRAN KABUPATEN BUTON,

PROVINSI SULAWESI TENGGARA

FISHERIES MANAGEMENT OF SCADS (Decapterus spp.) TROUGH AN ECOSYSTEM APPROACH IN THE WATERS OF

BUTON REGENCY, SOUTHEAST SULAWESI PROVINCE

TRI KAROLINA KADIR PUTRI

PROGRAM STUDI ILMU PERIKANAN PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2018

(2)

PENGELOLAAN PERIKANAN IKAN LAYANG

( Decapterus spp.) MELALUI PENDEKATAN EKOSISTEM DI WILAYAH PERAIRAN KABUPATEN BUTON,

PROVINSI SULAWESI TENGGARA

Tesis

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar Magister

Program Studi Ilmu Perikanan

Disusun dan diajukan oleh

TRI KAROLINA KADIR PUTRI

Kepada

PROGRAM STUDI ILMU PERIKANAN SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2018

(3)

Yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Tri Karolina Kadir Putri Nomor Pokok : P3300216014

Program Studi : Ilmu Perikanan

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis yang saya tulis ini adalah benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan pengambilan tulisan atau pemikiran orang lain. Apabila dikemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan tesis ini hasil karya orang lain, saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.

Makassar, November 2018 Yang menyatakan

Tri Karolina Kadir Putri

(4)

Scanned by CamScanner

(5)

Alhamdulillahi Rabbil ‘Alamiin, puji sukur kehadirat Allah Subhana Wa Ta’ala atas segala limpahan berkah, rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis dengan judul "Pengelolaan Perikanan Ikan Layang (Decapterus spp.) Melalui Pendekatan Ekosistem Di Wilayah Perairan Kabupaten Buton, Provinsi Sulawesi Tenggara".

Dengan selesainya tesis ini penulis menyadari banyak kesulitan dan kendala yang penulis hadapi akan tetapi semua itu dapat penulis atasi karena adanya dukungan dari berbagai pihak baik secara moral maupun material kepada penulis. Oleh karena itu, lewat kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang tak terhingga dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:

1. Kedua orang tuaku tercinta ayahanda Kadir Teme, S.Pd.I dan Ibunda Erfina, beserta saudara-saudaraku Johan’s Kadir Putra, SH, MH dan Abdul Rachman Kadir Putra atas segala dukungannya baik secara materil, do’a dan kasih sayangnya untuk penulis sehingga memberi motivasi kepada penulis untuk terus belajar dan berpikir tentang masa depan penulis.

2. Bapak Prof. Dr. Ir. Syamsu Alam Ali, M.S dan Ibu Prof. Dr.Ir. Joeharnani Tresnati, DEA, selaku dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu untuk membimbing, mengarahkan dan memberi saran-saran yang sangat bermanfaat bagi penulis.

3. Ibu Dr.Ir Dewi Yanuarita, M.Si dan Ibu Dr. Irmawati, S.Pi, M.Si, Ibu Dr.Ir.

Hadiratul Kudsiah, M.Pi, selaku dosen penguji yang telah memberi saran-saran yang sangat bermanfaat bagi penulis dalam penyusunan tesis ini.

4. Ibu Dr. Ir. St Aisjah farhum, M.Si selaku Dekan Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin

(6)

5. Bapak Dr. Ir. Zainuddin, M.Si selaku ketua program studi Ilmu Perikanan, Program Pasca Sarjana Universitas Hasanuddin.

6. Bapak/Ibu Dosen Program Pasca Sarjana atas ilmu pengetahuan dan bimbingannya selama ini

7. Kakak Fadhli Latuconsina, S.Pi, M.Si, yang telah membantu mengajarkan Rapid Appraisal for Fisheries Sustainability (RAPFISH) dan Analytical Hierarchy Process (AHP) dalam penyusunan tesis ini.

8. Kakak Darwis Enda, S.Pd yang telah memberi dukungan dan motivasi untuk terus belajar dan menyelesaikan tesis ini.

9. Teman-teman ilmu perikanan Pascasarjana angkatan 2016 yang telah menemani selama perkuliahan, juga dukungan dan motivasi yang diberikan kepada penulis.

10. Segenap pihak yang telah banyak membantu penulis selama melakukan penelitian sampai penyusunan tesis yaang tidak sempat dituliskan namanya .

Akhir kata hanya kepada Allah Subhana Wa Ta’ala segalanya dikembalikan, penulis sadar bahwa dalam penulisan tesis ini masih terdapat banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun untuk menjadi perbaikan dimasa yang akan datang.

Makassar, November 2018

Tri Karolina Kadir Putri

(7)

TRI KAROLINA KADIR PUTRI, Pengelolaan Perikanan Ikan Layang (Decapterus spp.) Melalui Pendekatan Ekosistem di Wilayah Perairan Kabupaten Buton, Provinsi Sulawesi Tenggara (di bimbing oleh Syamsu Alam Ali dan Joeharnani Tresnati)

Penelitian ini bertujuan untuk (1) Menganalisis status keberlanjutan pengelolaan sumberdaya ikan layang (Decapterus spp.) berdasarkan dimensi sumberdaya ikan, habitat dan eksosistem, teknik penangkapan ikan, sosial ekonomi dan kelembagaan, (2) Menganalisis status keberlanjutan pengelolaan perikanan ikan layang secara multidimensi, (3) Merumuskan strategi kebijakan pengelolaan sumberdaya ikan layang dengan pendekatan ekosistem di wilayah Perairan Kabupaten Buton. Penelitian dilakukan di sekitar Perairan Kabupaten Buton selama bulan Januari 2018 sampai April 2018. Penenlitian ini menggunakan teknik RAPFISH dan Analytical Hierarchy process (AHP) yang didukung oleh analisis Multi Dimensional Scalling (MDS) yang hasilnya dinyatakan dalam bentuk indeks dan status keberlanjutan. Untuk mengetahui atribut yang sensitif terhadap indeks dan status keberlanjutan, dilakukan analisis Laverage dan Monte Carlo.

Hasil penelitian menunjukan bahwa status pada dimensi sumberdaya ikan cukup berkelanjutan (53,18%), dimensi habitat dan ekosistem berkelanjutan (99,99%), dimensi teknik penangkapan ikan berkelanjutan (76,02%), dimensi sosial ekonomi berkelanjutan (82,06%) dan dimensi kelembagaan cukup berkelanjutan (57,76%). Status keberlanjutan pengelolaan ikan layang secara multidimensi sebesar 76,26 berada pada kondisi status pengelolaan sangat baik. Strategi kebijakan yang dapat diterapkan untuk menjaga dan meningkatkan status keberlanjutan ikan layang (Decapetrus spp.) di Kabupaten Buton adalah (1) Pengaturan upaya penangkapan ikan layang, (2) Peningkatkan efektifitas pelaksanaan pengelolaan perikanan tangkap berbasis daya dukung ekosistem perairan, (3) Penerapan peraturan tentang sertifikat kompetensi awak kapal penangkap ikan dengan tegas, (4) Zonasi daerah penangkapan bagi nelayan penangkap ikan, dan (5) Peningkatan kerja sama pengelolaan antar pemangku kepentingan.

Kata Kunci : Pengelolaan perikanan, Ikan Layang (Decapterus spp.), Pendekatan ekosistem, Perairan Kabupaten Buton

(8)

ABSTRACT

TRI KAROLINA KADIR PUTRI, Fisheries management of scads (Decapterus spp.) through an ecosystem approach in the waters of Buton Regency, Southeast Sulawesi (guided by Syamsu Alam Ali dan Joeharnani Tresnati)

The research aims to (1) Determine the sustainability status of resource management scads based on the dimensions of fish resources, habitat and ecosystem, fishing techniques, socio-economic and institutional.(2) Analyze the sustainability status multidimensional of scads management.(3) Formulate a policy strategy for management of scads resources with an ecosystem approach in the waters of Buton Regency. The research was conducted around the waters of Buton Regency during January 2018 to April 2018. The research uses the RAPFISH technique and the Analytical Hierarchy Process (AHP), which is supported by Multi Dimensional Scaling (MDS) analysis which results are expressed in the form of index and sustainability status. To find out the attributes that are sensitive to index and sustainability status, done analysis Laverage and Monte Carlo.

The research result indicates that the status of the fish resource dimension is sufficiently sustainable (53,18%), habitat dimension and ecosystem of sustainable (99,99%), dimensions of fish catching techniques is sustainable (76,02%), dimension of social economy is sustainable (82,06%) and the institutional dimension is sufficiently sustainable (79,02%). The sustainability status of the management of scads (Decapterus spp.) in a multidimensional manner of 76,26 is in very good management status. The policy strategies that can be applied to maintain and improve the sustainability status of scads (Decapetrus spp.) in Buton Regency are (1) Arrangement of arrest efforts to scads, (2) Improve the effectiveness of the implementation of capture fisheries management based on the carrying capacity of aquatic ecosystems, (3) Aplication of regulations concerning the competency certificate of fishing vessel crews firmly,(4) Zoning of fishing grounds for fishing fishermen, (5) Increased management cooperation between stakeholders

Keywords : Fisheries management, Scads (Decapterus spp.), Ecosystem approach, Waters of Buton Regency.

(9)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR iv

ABSTRAK v

DAFTAR ISI vi

DAFTAR TABEL x

DAFTAR GAMBAR xii

DAFTAR LAMPIRAN xv

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang 1

B. Rumusan Masalah 3

C. Tujuan Penelitian 5

D. Manfaat Penelitian 6

E. Kerangka Pikir 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Ikan Layang (Decapterus spp.) 8

1. Taksonomi ikan layang (Decapterus spp.) 8

2. Morfologi ikan layang (Decapterus spp.) 8

3. Habitat dan distribusi ikan layang 9

4. Pola ruaya dan musim penangkapan ikan layang 10

5. Musim pemijahan ikan layang 12

B. Alat Tangkap Purse Seine 13

C. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan 15

D. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Berbasis Ekosistem 17

E. Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan 21

F. Penentuan Status Keberlanjutan 24

1. Kelebihan RAPFISH 26

2. Kelemahan RAPFISH 27

(10)

vii

G. Analytical Hierarchy Process (AHP) 28

1. Kelebihan AHP 30

2. Kelemahan AHP 31

BAB III METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Lokasi Penelitian 32

B. Metode Pengumpulan Data 33

1. Dimensi sumberdaya ikan 35

2. Dimensi habitat dan ekosistem 37

3. Dimensi teknik penangkapan ikan 38

4. Dimensi sosial ekonomi 41

5. Dimensi kelembagaan 43

C. Teknik Analisis Data 46

1. Penentuan atribut 48

2. . Analisis sensitifitas (Leverage analysis) 53

3. Analisis Monte Carlo 54

4. Analisis MDS (Multidomensional Scalling Ordination) 55

5. Status keberlanjutan dimensi 56

6. Status keberlanjutan multidimensi 57

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Analisis Keberlanjutan Dimensi Sumberdaya Ikan 60

1. Tren CPUE 60

2. Tren ukuran ikan 63

3. Proporsi ikan yuwana (juvenille) yang di tangkap 64

4. Komposisi hasil tangkapan 64

5. “Range Collapse” sumberdaya ikan 66

6. Spesies ETP 66

7. Penilaian dan sensitivitas atribut 67

B. Analisis Keberlanjutan Dimensi Habitat Dan Ekosistem 70

1. Pencemaran perairan 70

2. Kecerahan 72

3. Eutrofikasi 72

4. Perubahan iklim terhadap kondisi perairan dan habitat 75

(11)

5. Penilaian dan sensitifitas atribut 76 C. Analisis Keberlanjutan Dimensi Teknik Penangkapan Ikan 80 1. Penangkapan ikan yang bersifat destruktif dan atau ilegal 80 2. Modifikasi alat penangkapan ikan dan alat bantu penangkapan 83

3.Fishing capacity dan effort 85

4. Selektifitas penangkapan 86

5. Kesesuaian fungsi dan ukuran kapal penangkapan ikan

dengan dokumen legal 88

6. Sertifikasi awak kapal perikanan sesuai dengan peraturan 89

7. Penilaian dan sensitivitas atribut 90

D. Analisis Keberlanjutan Dimensi Sosial Ekonomi 94

1. Partisipasi pemangku kepentingan 94

2. Konflik perikanan 95

3. Pemanfaatan pengetahuan lokal dalam pengelolaan sumberdaya ikan (termasuk didalamnya TEK, Traditional

ecological knowledge) 96

4. Kepemilikan aset 97

5.Pendapatan rumah tangga perikanan dan UMR 98

6. Ratio tabungan (Saving ratio) 99

7. Penilaian dan sensitivitas atribut 100

E. Analisis Keberlanjutan Dimensi Kelembagaan 103

1. Kepatuhan terhadap prinsip-prinsip perikanan yang bertanggung jawab dalam pengelolaan pengelolaan perikanan yang telah

ditetapkan baik secara formal maupun non-formal 104 2. Kelengkapan aturan main dalam pengelolaan perikanan 105

3. Mekanisme pengambilan keputusan 107

4. Rencana pengelolaan perikanan 108

5. Tingkat sinergisitas kebijakan dan kelembgaan pengelolaan

Perikanan 109

6. Kapasitas pemangku kepentingan 110

7. Penilaian dan senstivitas atribut 111

F. Nilai stress dan Koefisien Determinasi Hasil Analisis RAPFISH 115

G. Analisis Monte Carlo 116

H. Analisis Status Keberlanjutan Setiap Dimensi 120

(12)

ix

I. Analisis Status Keberlanjutan Ikan Layang (Decapterus spp.)

Secara Multidimensi 121

J. Strategi Kebijakan Pengelolaan Ikan Layang (Decapterus spp.)

di Perairan Kabupaten Buton Sulawesi Tenggara 125 BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan 130

B. Saran 131

DAFTAR PUSTAKA 132

LAMPIRAN 150

(13)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Atribut yang Digunakan dalam Analisis RAPFISH 34

2. Dimensi sumberdaya ikan 48

3. Dimensi habitat dan ekosistem 49

4. Dimensi teknik penangkapan 50

5. Dimensi sosial ekonomii 51

6. Dimensi kelembagaan 52

7. Indeks keberlanjutan perikanan 56

8. Matriks keputusan dengan AHP dalam bentuk

perbandingan berpasangan 57

9. Skala banding berpasangan 58

10. Jumlah tangkapan (C), jumlah upaya (F), dan jumlah tangkapan per unit upaya (CPUE) ikan layang

di Kabupaten Buton tahun 2008-2017 61

11. Interval kelas dan persentase hasi pengukuran panjang

cagak (FL) ikan layang (Decapterus spp.) 63 12. Sampling asil tangkapan utama purse seine Kabupaten Buton

Pada bulan Januari-April 2018 65

13. Nilai skor hasil pembobotan dari setiap atribut untuk

dimensi sumberdaya ikan 67

14. Nilai skor hasil pembobotan dari setiap atribut untuk

dmensi habitat dan ekosistem 77

15. Estimasi fishing capacity 85

(14)

xi

16. Nilai skor hasil pembobotan dari setiap atribut untuk

dimensi teknik penangkapan ikan 91

17. Nilai skor hasil pembobotan dari setiap atribut untuk

dimensi sosial ekonomi 101

18. Hasil pembobotan dari setiap atribut untuk dimensi

kelembagaan 112

19. Nilai statistik yang diperoleh dari hasil analisis RAPFISH 115 20. Perbandingan nilai indeks keberlanjutan hasil MDS

(Multi Dimensional Scalling) dan analisis Monte Carlo (selang kepercayaan 95%) pada sumberdaya ikan layang

di Perairan Kabupaten Buton 117

21. Nilai indeks keberlanjutan multidimensi pengelolaan

ikan layang (Decapterus spp.) 123

22. Atribut sensitif dari hasil analisis metode RAPFISH 124

(15)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Tren produksi ikan pelagis kecil di Kabupaten Buton, Sulawesi

Tenggara, Tahun 2008-2017 2

2. Tren jumlah unit dan jumlah tangkapan purse seine terhadap ikan

layang di perairan Kabupaten Buton Tahun 2008-2017 3

3. Ikan layang (Decapterus spp.) 9

4. Dugaan sebaran unit stok ikan layang di Laut Jawa,

Selat Makassar dan sekitarnya 11

5. Pukat cincin (purse seine) 14

6. Interaksi dan proses antar komponen dalam pengelolaan perikanan 19 7. Proses atau tahapan aplikasi metode RAPFISH dalam perikanan 26

8. Peta lokasi penelitian 32

9. Tren CPUE ikan layang mulai tahun 2008 hingga tahun 2017 yang diolah dari data statistik Dinas Kelautan dan Perikanan

Provinsi Sulawesi Tenggara 61

10. Histogram hasil tangkapan purse seine 65

11. Posisi status keberlanjutan ikan layang (Decapterus spp.)

di Perairan Kabupaten Buton pada dimensi sumber daya ikan 68 12. Hasil analisis atribut pengungkit (leverage attributes)

dimensi sumberdaya ikan 69

13. Penampakan warna air di lokasi fishing ground 71 14. Konsentrasi Klorofil-a di perairan Kabupaten Buton 74 15. Posisi status keberlanjutan ikan layang (Decapterus spp.)

di Perairan Kabupaten Buton pada dimensi habitat dan ekosistem 78

(16)

xiii

16. Hasil analisis atribut pengungkit (leverage attributes)

dimensi habitat dan ekosistem 78

17. Pengoperasian alat tangkap purse seine dengan rumpon sebagai

alat bantu penangkapan 81

18. Alat tangkap purse seine dan Rumpon sebagai alat bantu

penangkapan dan 84

19. Tingkat Kematangan Gonad (TKG) ikan layang jantan dan betina

selama Bulan Januari sampai April 2018 87

20. Posisi status keberlanjutan ikan layang (Decapterus spp.)

di Perairan Kabupaten Buton pada dimensi teknik penangkapan ikan 92 21. Hasil analisis atribut pengungkit (leverage attributes) dimensi teknik

penangkapan ikan 92

22. Posisi status keberlanjutan ikan layang (Decapterus spp.)

di Perairan Kabupaten Buton pada dimensi sosial ekonomi 101 23. Hasil analisis atribut pengungkit (leverage attributes)

dimensi sosial ekonomi 102

24. Posisi status keberlanjutan ikan layang (Decapterus spp.)

di Perairan Kabupaten Buton pada dimensi kelembagaan 113 25. Hasil analisis atribut pengungkit (leverage attributes)

dimensi kelembagaan 113

26. Hasil analisis simulasi Monte Carlo dimensi sumberdaya ikan 118 27. Hasil analisis simulasi Monte Carlo dimensi habitat dan ekosistem 118 28. Hasil analisis simulasi Monte Carlo dimensi teknik penangkapan ikan 119 29. Hasil analisis simulasi Monte Carlo dimensi sosal ekonomi 119 30. Hasil analisis simulasi Monte Carlo dimensi kelembagaan 120 31. Kite diagram hasil analisis keberlajutan pengelolaan

(17)

ikan layang (Decapterus spp.) dengan menggunakan

purse seine di Perairan Kabupaten Buton 121

(18)

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Kuisioner yang digunakan dalam penelitian 141

2. Kuisioner proses hirarki analitik 154

3. Hasil analisis kuisioner Proses Hirarki Analitik (AHP) 156

4. Nilai tengah dari masing-masing responden 162

5. Analisis MDS dengan menggunakan teknik RAPFISH 167

6. Dokumentasi kegiatan penelitian 172

(19)

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kabupaten Buton memiliki sumberdaya kelautan dan perikanan yang cukup tinggi. Hal ini terlihat dari luas wilayah perairan laut sebesar ±21.054 km2. Sektor kelautan dan perikanan di Kabupaten Buton merupakan sektor unggulan dalam pengembangan ekonomi wilayah Kabupaten Buton dan memberikan kontribusi terbesar sekitar 9,32% dari total PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) Kabupaten Buton yang merupakan salah satu sentra atau pusat kegiatan sektor perikanan tangkap di Provinsi Sulawesi Tenggara dengan tingkat produksi perikanan tangkap sebesar 24.653,48 ton atau 12,66% (tertinggi ke empat setelah Kabupaten Kolaka Utara sebesar 18,61%, Kota Kendari sebesar 16,63%, dan Kabupaten Bombana sebesar 13,06%) dari total produksi perikanan tangkap Provinsi Sulawesi Tenggara sebesar 194.681,51 Ton (DKP Provinsi Sulawesi Tenggara, 2017).

Sumberdaya perikanan pelagis kecil di perairan Kabupaten Buton pada umumnya didominasi oleh ikan layang, kembung, selar dan lain-lain (Gambar 1).

Salah satu potensi sumberdaya perikanan di perairan Kabupaten Buton yang bernilai ekonomis penting dan banyak dikonsumsi oleh masayarakat adalah ikan layang (Decapterus spp.). Data statistik DKP Provinsi Sulawesi Tenggara menunjukkan bahwa produksi ikan layang (Decapterus spp.) yang didaratkan di PPI Pasarwajo pada tahun 2008 produksinya mencapai 7.798,50 ton dan kecenderungannya terus meningkat hingga pada tahun 2010 produksinya mencapai 7.800 ton, namun pada tahun selanjutnya tingkat produksinya mengalami penurunan

(20)

2

hingga pada tahun 2017 menjadi 2.198,40 ton (Gambar 1). Alat tangkap yang dominan yang digunakan untuk menangkap ikan layang di Perairan Kabupaten Buton adalah purse seine. Dalam kurun waktu tahun 2008 hingga 2017 effort alat tangkap di Perairan Kabupaten Buton untuk alat tangkap purse seine cenderung menurun dengan konsekuensi menurunnya produksi sumberdaya tersebut (Gambar 2). Penurunan tingkat produksi ini sudah dirasakan dan disadari oleh para nelayan, namun sampai saat ini belum diketahui atribut-atribut mana yang perlu dipertimbangkan agar upaya pemanfaatan sumberdaya ikan layang (Decapterus spp.) tersebut dapat dilakukan secara berkelanjutan baik secara ekologi, teknologi, sosial ekonomi maupun kelembagaan. Salah satu analisis yang dapat digunakan untuk menilai perikanan secara terpadu adalah dengan pendekatan multidimensional scaling. Pendekatan multidimensional scaling bertujuan untuk melihat keragaan (performance) usaha perikanan ditinjau dari aspek ekologi, ekonomi, sosial, teknologi maupun kelembagaan yang selanjutnya dapat digunakan sebagai pedoman untuk mengevaluasi keberlanjutan usaha penangkapan ikan.

Gambar 1. Tren produksi ikan pelagis kecil di Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara Tahun 2008-2017.

Sumber: DKP Provinsi Sulawesi Tenggara (2008-2017) -

1,000.0 2,000.0 3,000.0 4,000.0 5,000.0 6,000.0 7,000.0 8,000.0 9,000.0

2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017

Hasil Tangkapan (Ton)

Tahun

Ikan Layang Selar Teri Belanak Ikan Terbang Julung-Julung Kembung Tembang

(21)

Gambar 2. Tren jumlah unit dan jumlah tangkapan purse seine terhadap ikan layang di perairan Kabupaten Buton Tahun 2008-2017.

Sumber : DKP Provinsi Sulawesi Tenggara (2008-2017)

Penelitian ini penting dilakukan mengingat tingginya tingkat ketergantungan masyarakat di Kabupaten Buton terhadap sumberdaya ikan layang dibandingkan dengan ikan pelagis kecil lainnya. Salah satu alternatif metode yang digunakan untuk mengevaluasi keberlanjutan perikanan ikan layang secara multidimensi adalah metode Rapid Appraisal for Fisheries (RAPFISH). RAPFISH merupakan metode penilaian keberlanjutan perikanan yang berbasiskan pendekatan multidimensional scaling. Penelitian ini mencoba mengaplikasikan metode RAPFISH dalam mengevaluasi keberlanjutan perikanan ikan layang dengan mengambil studi kasus di Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara.

B. Rumusan Masalah

Usaha penangkapan sumberdaya ikan layang merupakan bentuk kegiatan ekonomi dengan tujuan akhir keuntungan. Keuntungan hasil tangkapan sumberdaya ikan layang dilakukan dengan meningkatkan produksi sumber daya tersebut.

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90

0.00 1,000.00 2,000.00 3,000.00 4,000.00 5,000.00 6,000.00 7,000.00 8,000.00 9,000.00

Ton

Tahun

Jumlah Hasil Tangkapan (ton) Unit

Trip

(22)

4

Peningkatan intensitas penangkapan sumberdaya ikan layang akan memberikan dampak positif dan negatif. Dampak positif adalah adanya kenaikan produksi pada tingkat tertentu, sedangkan dampak negatif adalah apabila intensitas penangkapan yang dilakukan tidak seimbang dengan potensi sumberdaya ikan akan mengakibatkan pengurangan stok dan pada akhirnya akan terjadi penurunan produksi hasil tangkapan yang mengarah pada degradasi dan depresiasi sumber daya perikanan tersebut.

Selama ini pemanfaatan sumberdaya ikan layang yang dilakukan oleh nelayan di perairan Kabupaten Buton hanya berorientasi pada pemanfaatan jangka pendek yaitu ikan ditangkap sebanyak-banyaknya agar mendapatkan keuntungan yang besar tanpa memikirkan dampaknya dalam jangka panjang. Perolehan izin yang mudah menyebabkan nelayan-nelayan skala kecil meningkat, ditahun 2015 total nelayan sebesar 2.989 jiwa meningkat menjadi 3.599 jiwa ditahun 2017. Akibat adanya peningkatan jumlah nelayan dan upaya tangkap menyebabkan tekanan yang semakin tinggi terhadap sumberdaya ikan. Penangkapan ikan yang melebihi kapasitas dapat menimbulkan permasalahan yang mengancam keberlangsungan sumberdaya ikan di laut yang mengakibatkan overfishing sementara itu juga menimbulkan keuntungan perikanan yang menurun (FAO 2000).

Fenomena secara luas dilihat sebagai hambatan utama untuk mencapai perikanan berkelanjutan. Dampak tekanan terhadap sumberdaya ikan yang semakin tinggi menimbulkan degradasi sumberdaya ikan secara besar-besaran dan fenomena ini terjadi di (WPP RI-714) Laut Banda yang termasuk perairan Kabupaten Buton dan diduga telah terjadi tangkap lebih (overfishing) yang disebabkan oleh peningkatan upaya penangkapan dan penurunan produksi tangkapan sumberdaya ikan layang dengan tingkat eksplotasi yang tinggi. Dugaan

(23)

tersebut harus dikaji lebih jauh agar pengelolaan sumberdaya ikan layang pada Perairan Kabupaten Buton tidak bias dan salah sasaran karena banyak pihak yang berkepentingan memanfaatkan perairan ini, hal ini membutuhkan pembuktiaan ilmiah dan aktual dari sumberdaya ikan layang pada perairan tersebut.

Memperhatikan kondisi tersebut di atas, garis besar permasalahan yang dapat dikemukakan dalam pengelolaan ikan layang (Decapterus spp.) di Perairan Kabupaten Buton adalah

1. Bagaimana status keberlanjutan pengelolaan ikan layang di perairan Kabupaten Buton berdasarkan dimensi sumberdaya ikan, habitat dan ekosistem, teknik penangkapan ikan, sosial ekonomi dan kelembagaan?

2. Bagaimana status keberlanjutan sumberdaya ikan layang berdasarkan analisis multidimensi?

3. Atribut apa saja pada setiap dimensi yang berpengaruh terhadap keberlanjutan sumbedaya ikan layang di perairan Kabupaten Buton?

4. Strategi apakah yang dapat diterapkan dalam pengelolaan ikan layang di perairan Kabupaten Buton?

C. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui status keberlanjutan pengelolaan sumberdaya ikan layang berdasarkan dimensi sumberdaya ikan, habitat dan eksosistem, teknik penangkapan ikan, sosial ekonomi dan kelembagaan di Perairan Kabupaten Buton, Provinsi Sulawesi Tenggara.

2. Menentukan status keberlanjutan ikan layang melalui analisis multidimensi.

(24)

6

3. Menganalisis faktor-faktor kunci atau atribut-atribut yang berpengaruh sebagai faktor pengungkit keberlanjutan pengelolaan sumberdaya ikan layang pada masing-masing dimensi.

4. Merumuskan dan menentukan strategi kebijakan pengelolaan ikan layang secara berkelanjutan.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah:

1. Dapat digunakan sebagai informasi atau sumbangan pikiran bagi pembangunan khususnya terkait sumberdaya perikanan ikan layang di Kabupaten Buton.

2. Sebagai salah satu referensi dan pengetahuan tentang perkembangan pengelolaan sumberdaya perikanan ikan layang di Kabupaten Buton.

3. Sebagai bahan masukan/rujukan bagi penentu kebijakan dalam menyusun kebijakan yang tepat dalam pengelolaan sumberdaya perikanan ikan layang di perairan Kabupaten Buton.

(25)

E. Kerangka Pikir

Dimensi SDI

Dimensi Habitat &

Ekosistem

Dimensi Teknologi Penangkapan

Dimensi Sosial Ekonomi

1. CPUE ikan layang 2. Tren Ukuran Ikan 3. Proporsi ikan yuwana

(juvenile) yang tertangkap 4. Komposisi spesies 5. Range Collapse

sumberdaya ikan layang 6. Spesies ETP

1. Pencemaran Perairan 2. Kecerahan

3. Eutrofikasi 4. Perubahan iklim

terhadap kondisi perairan dan habitat

1. Penangkapan yang bersifat destruktif dan/atau ilegal 2. Modifikasi alat penangkapan

dan alat bantu penangkapan 3. Fishing Capacity dan Effort 4. Selektifitas penangkapan 5. Kesesuaian fungsi dan ukuran

kapal penangkapan ikan dengan dokumen legal

6. Sertifikasi awak kapal perikanan sesuai dengan peraturan

1. Partisipasi pemangku kepentingan

2. Konflik perikanan

3. Pemanfaatan pengetahuan lokal dalam pengelolaan sumberdaya ikan (termasuk didalamnya TEK, Traditional ecological knowledge) 4. Kepemilikan Aset

5. Pendapatan Rumah Tangga Perikanan dan UMR 6. Ratio Tabungan

1. Kepatuhan terhadap peraturan formal dalam pengelolaan perikanan

2. Kelengkapan Aturan Main Dalam Pengelolaan Perikanan

3. Mekanisme pengambilan keputusan

4. Rencana pengelolaan perikanan 5. Tingkat sinergisitas kebijakan dan

kelembagaan pengelolaan perikanan

6. Kapasitas pemangku kepentingan

Analisis Keberlanjutan multidimensi dengan dengaan metode AHP

Analisis Keberlanjutan Setiap Dimensi

(Rapfish)

Pengeloaan Perikanan Ikan Layang (Decapterus spp.) Melalui Pendekatan Ekosistem di Wilayah Perairan Kabupaten Buton, Provinsi Sulawesi Tenggara

Strategi Kebijakan Pengelolaan Perikanan Ikan Layang (Decapterus

spp.) Yang Berkelanjutan

Penentuan skor dan atribut (Modifikasi dari National Working Group, 2014)

Data Sekunder Data Primer

Dimensi Kelembagaan

(26)
(27)
(28)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Ikan Layang (Decapterus spp.)

1. Taksonomi ikan layang (Decapterus spp.)

Menurut FAO (1993) dalam Prihartini (2006), klasifikasi ikan layang (Decapterus spp.) adalah

Kelas : Pisces

Sub kelas : Teleostei Ordo : Percomorphi

Sub ordo : Percoidea Divisi : Perciformes

Sub divisi : Carangi Famili : Carangidae

Sub famili : Caranginae Genus : Decapterus

Spesies : Decapterus russelli (Ruppel, 19820)

Decapterus macrosoma (Bleeker, 1848) 2. Morfologi ikan layang (Decapterus spp.)

Ikan Layang (Decapterus spp.) memiliki badan memanjang seperti cerutu.

Bentuk badan sepintas seperti tongkol ,Sirip punggung pertama berjari keras 8 ,sirip punggung kedua berjari-jari keras 1 dan 32 – 35 lemah. Sirip dubur teridiri 2 jari-jari keras (lepas), 1 jari-jari keras bergandeng dengan 26 – 30 jari lemah. Di belakang sirip punggung kedua dan dubur terdapat 1 jari-jari sirip tambahan.Terdapat 25 – 30 sisik duri pada garis sisinya. Dapat mencapai panjang 40 cm, umumnya 25 cm.

Warna : biru kehijauan bagian atas, putih perak bagian bawah. Sirip siripnya kuning pucat atau kuning kotor. Suatu totol hitam terdapat pada bagian atas penutup insang dan pangkal sirip dada (Ditjen Perikanan,1998). Bentuk ikan layang (Decapterus spp.) dapat dilihat pada Gambar 3.

(29)

Gambar 3. Ikan layang (Decapterus spp.)

3. Habitat dan distribusi ikan layang

Ikan Layang (Decapterus spp.) merupakan sumberdaya ikan pelagis kecil yang penting di dunia. Salah satu suku Carangidae ini mendominasi hasil penangkapan ikan pelagis kecil di berbagai perairan laut di Indonesia (Nontji 2002).

Ikan ini mempunyai kebiasaan hidup bergerombol dengan ikan-ikan pelagis kecil lain (FAO, 1997) dengan penyebarannya di Indonesia meliputi; Laut Jawa, Selat Makassar, Ambon, Ternate dan Indonesia Bagian Timur (Tiews et al, 2001;

Safruddin 2013). Khususnya ikan layang (Decapterus spp.) tersebar di perairan laut seperti di Selat Bali, Perairan Indonesia Timur Laut Banda, Selat Makassar dan Sangihe, Laut Cina Selatan (Nontji, 2002).

Suhu perairan memiliki peranan penting bagi penyebaran ikan layang. Suhu perairan untuk ikan layang berkisar antara 20 °C-30 °C. Salinitas perairan yang disenangi oleh ikan layang berkisar antara 30‰-34‰ (Nontji 2002), sedangkan di WPP 714 Laut Banda, suhu perairan yang merupakan habitat ikan layang (Decapterus spp.) berkisar antara 28 °C-30 °C dan salintas perairan berkisar antara 32‰-33‰ (Mahmud et al, 2015).

Ikan layang termasuk pemakan plankton, diatomae, chaetognatha, copepoda, udang-udangan, larva ikan, juga telur ikan teri (Stolephorus sp.). Sumber daya tersebut bersifat ‘multispecies’ yang saling berinteraksi satu sama lain baik secara

(30)

10

biologis ataupun secara teknologis melalui persaingan (competition) dan atau antar hubungan pemangsaan (predator prey relationship). Secara ekologis sebagian besar populasi ikan pelagis kecil termasuk ikan layang menghuni habitat yang relatif sama, yaitu di permukaan dan membuat gerombolan di perairan lepas pantai, daerah daerah pantai laut dalam , kadar garam tinggi dan sering tertangkap secara bersama ( Prihartini, 2006).

4. Pola ruaya dan musim penangkapan ikan layang

Digambarkan struktur populasi ikan layang beserta dugaan sebaran geografinya di area penelitian Suwarso et al., 2013 seperti ditunjukkan pada Gambar 4. Pada Decapterus russelli, memiliki dua ‘group populasi’ (sub populasi/unit stok).

Group 1 (clade 1, unit stok 1) menyebar di Rembang, Maumere, dan Kendari, dan clade 2 (unit stok 2) tersebar di timur Kalimantan (Balikpapan). Pada Decapterus macrosoma, dapat dipisahkan adanya dua group populasi (sub populasi): group 1 (clade 1, unit stok 1) menyebar dari Rembang (L. Jawa), Maumere (L. Flores bagian selatan), Donggala dan Tarakan (S.Makassar); sedang populasi Kendari secara signifikan memisah sebagai group kedua (clade 2, unit stok 2). Diduga Subpopulasi (unit stok) Laut Banda (populasi contoh berasal dari Kendari dan Ambon) terpisah dari subpopulasi lainnya yang tersebar di Laut Jawa-Selat Makassar-Laut Flores. Hal ini mengindikasikan bahwa stok layang deles dari Laut Jawa lebih menyebar kearah utara (Selat Makassar) daripada kearah timur (Laut Flores dan Laut Banda), seperti dihypotesakan oleh Hardenbergh (1938). Eksistensi garis Wallace (Wallace line) dikedua habitat menunjukkan keberadaan barrier geografi yang memutuskan pola migrasi ikan layang.

(31)

Gambar 4. Dugaan sebaran unit stok ikan layang (Decapterus russelli dan Decapterus macrosoma) di Laut Jawa, Selat Makassar dan sekitarnya.

Sumber: Suwarso et al., (2013)

Pada umumnya ikan layang dapat ditemukan sepanjang tahun di Selat Sunda, Selat Makassar, Teluk Ambon, Teluk Kupang, Sulawesi Tenggara dan Teluk Tomini. Musim penangkapan ikan layang di Perairan Sulawesi Tenggara terjadi pada bulan Januari-April dan bulan Juli-September. Dijelaskan bahwa bahwa pada musim timur (Juni-September), massa air massa bersalinitas tinggi yang berasal dari Laut Flores dan Samudera Pasifik mengalir melalui Selat Makassar menuju ke Laut Jawa. Pada musim barat (Desember-Maret) arus permukaan bergerak dari Laut Cina Selatan (Natuna) memasuki Laut Jawa dari arah barat ke arah timur. Pergerakan arus ini membawa massa air laut dengan salinitas tinggi yang diikuti oleh migrasi ikan layang (Simbolon, 2011). Pada Musim timur Laut banda memiliki salinitas

(32)

12

perairan yang tinggi dari Samudera Pasifik yang diikuti oleh migrasi ikan layang. Hal ini menyebabkan pada bulan Januari-Juni merupakan puncak musim ikan layang di sekitar perairan Laut Banda termasuk perairan timur Sulawesi Tenggara (Mahmud, 2015). Sedangkan di Laut Jawa Puncak produksi ikan layang terjadi dua kali dalam setahun masing-masing jatuh pada bulan Januari – Maret (akhir musim barat) dan pada bulan Juli – September (musim Timur). Puncak-puncak musim ini dapat maju atau mundur waktunya sesuai dengan perubahan musim. Di luar waktu itu ikan layang tidak tertangkap ( Widodo,1988).

5. Musim pemijahan ikan layang

Musim pemijahan ikan layang (Decapterus spp.) di perairan Sorong-Waigeo Barat berlangsung sekitar bulan Maret (Sururi et al, 2017). Kondisi serupa juga di laporkan oleh (Senen et al, 2011), yang menyatakan Musim Pemijahan ikan layang (Decapterus spp.) di Perairan Banda Neira terjadi hampir setiap bulan dengan puncak pemijahan terjadi antara bulan Februari dan Maret. Hal ini ditandai oleh adanya peningkatan jumlah ikan yang matang gonad (TKG IV) yaitu pada bulan Februari dan Maret. Musim pemijahan ikan layang di perairan Laut Jawa terjadi pada bulan Mei – Oktober atau Nopember dan waktu musim pemijahannya relatif panjang, tetapi masing-masing individu memijah dalam periode singkat (Atmaja et al, 2003).

Keberadaan juvenil ikan layang (ukuran < 12 Cm) hanya terjadi pada bulan Maret sampai Juli. Ikan layang (Decapterus spp.) mempunyai tingkat kematangan gonad dijumpai antara bulan Mei – Juni, sebagian telah melepas telur antara bulan Juli - Oktober dan ikan-ikan kecil dengan panjang total sekitar 8 cm dijumpai pada bulan Mei, Juli, Agustus dan Nopember (Widodo,1988). Telur-telur dan larva ikan layang (Decapterus spp.) dijumpai di sekitar Perairan Madura dibulan Oktober dan Nopember. Ukuran pertama kali matang gonad ikan layang pada ukuran 25 cm (Prihartini, 2006). Ikan Layang (Decapterus spp.) jantan pertama kali matang gonad

(33)

pada kisaran antara 19,6-20,1 cm dan untuk ikan betina 19,8-20,3 cm (Najamuddin et al, 2004).

B. Alat TangkapPurse seine

Pukat cincin (purse seine) adalah jaring yang berbentuk empat persegi panjang, dilengkapi dengan tali kerut dan cincin yang diikatkan pada bagian bawah jaring, sehingga berkerut saat tali kerut ditarik dan membentuk seperti mangkuk di akhir penarikan. Alat penangkapan ikan ini ditujukan untuk menangkap gerombolan ikan permukaan (pelagic fish). Alat tangkap ini tergolong efektif terhadap target spesies dan kecenderungan tidak destruktif (Direktorat Kapal Perikanan dan Alat Penangkap Ikan 2011).

Sedangkan menurut Baskoro 2002, Alat tangkap purse seine atau pukat cincin adalah jaring yang umumnya berbentuk empat persegi panjang, dilengkapi dengan tali kerut yang dilewatkan melalui cincin yang diikatkan pada bagian bawah jaring (tali ris bawah), sehingga dengan menarik tali kerut bagian bawah jaring dapat dikuncupkan dan jaring akan berbentuk seperti mangkok. Disebut pukat cincin karena alat tangkap ini dilengkapi dengan cincin. Fungsi cincin dan tali kerut/tali kolor ini penting terutama pada waktu pengoperasian jaring. Adanya tali kerut tersebut jaring yang semula tidak berkantong bandingkan dengan jaring payang (seine net) akan terbentuk kantong pada tiap akhir penangkapan ikan (Subani dan Barus, 1989).

Bentuk purse seine dapat dilihat pada Gambar 5.

(34)

14

Gambar 5. Pukat cincin (purse seine) Sumber: Baley et al. 1987

Baskoro (2002) menyatakan bahwa purse seine dioperasikan dengan cara melingkari gerombolan ikan baik dengan menggunakan satu kapal ataupun dua unit kapal. Setelah gerombolan ikan terkurung, kemudian bagian bawah jaring dikerutkan hingga tertutup dengan menarik tali kerut yang dipasang sepanjang bagian bawah melalui cincin.

Nanlohy (2013) menjelaskan bahwa dalam pelaksanaan pemanfaatan sumberdaya perikanan yang bertanggung jawab perlu memperhatikan beberapa hal yaitu: 1) Unit penangkapan ikan yang produktif dan tidak merusak hasil tangkapan;

2) Daerah penangkapan ikan yang tepat; 3) Pengelolaan dalam pemanfaatan sumberdaya ikan yang wajar; dan 4) Peraturan yang tegas untuk menuju capaian penangkapan ikan yang ramah lingkungan.

Alat tangkap purse seine termasuk alat tangkap yang ramah lingkungan baik dari aspek tekonologi, aspek biologi, aspek ekonomi maupun aspk sosial. Hanya saja dalam aspek biologi perlu memperhatikan alat bantu cahaya dalam proses penangkapan ikan agar ikan berukuran dibawah lenght at first maturity tidak ikut tertangkap (Bubun et al, 2015). Menurut Andreev diacu dalam Friedman (1986), pukat cincin atau purse seine merupakan alat tangkap yang efektif untuk menangkap

(35)

ikan pelagis yang berada dalam kawasan yang besar, baik di perairan pantai maupun lepas pantai. Ikan yang menjadi tujuan penangkapan dari purse seine adalah ikan pelagic shoaling species, berarti ikan tersebut haruslah membentuk shoal (gerombolan), berada dekat dengan permukaan air (sea surface) dan densitas shoal tinggi. Jarak ikan dengan ikan lainnya haruslah sedekat mungkin (Ayodhyoa, 1981).

C. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan

Setiap negara menetapkan tujuan dan prioritas manajemen sumberdaya perikanan yang berbeda bergantung pada latar belakang ekonomi, sosial, teknologi dan politik. Indonesia menempatkan pengelolaan sumberdaya perikanan pada visi pembangunan perikanan dan kelautannya. Visi pembangunan perikanan Indonesia adalah mewujudkan usaha perikanan produktif dan efisien berdasarkan pengelolaan (management) sumberdaya perikanan secara bertanggung jawab (DKP 2001 diacu dalam Nikijuluw 2002).

Pengelolaan perikanan merupakan sebuah kewajiban seperti yang telah diamanatkan oleh Undang-Undang No 31/2004 yang ditegaskan kembali pada perbaikan undang-undang tersebut yaitu pada Undang-Undang No 45/2009. Dalam konteks adopsi hukum tersebut, pengelolaan perikanan didefinisikan sebagai semua upaya, termasuk proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis,perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumberdaya ikan, dan implementasi serta penegakan hukum dari peraturan-peraturan perundang- undangan di bidang perikanan, yang dilakukan oleh pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai kelangsungan produktivitas sumber daya hayati perairan dan tujuan yang telah disepakati.

Dalam Guideline No 4 CCRF (code of conduct responsible fisheries), pengelolaan perikanan didefinisikan sebagai suatu proses yang terintegrasi mulai dari pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pengambilan

(36)

16

keputusan, alokasi sumber dan implementasinya dalam upaya menjamin kelangsungan produktivitas serta pencapaian tujuan pengelolaan. Dalam pengelolaan sumberdaya ikan diperlukan adanya beberapa batasan yang perlu mendapat perhatian antara lain: (1) Besaran daerah pengelolaan, (2) Siapa pengelolanya dan (3) Bagaimana pengelolaannnya (Mallawa 2006).

Nuitja (2010) memaparkan, manajemen (pengelolaan) sumberdaya perikanan adalah suatu kesatuan ilmu manajemen yang ditujukan untuk mengelola sumberdaya ikan pada suatu kawasan, agar populasi ikan itu tidak menjadi punah dalam rangka pemanfaatan secara lestari dan kesinambungan untuk jangka panjang. Tujuannya adalah (1) Meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pemanfaatan sumberdaya perikanan secara lestari. (2) Menjaga sumberdaya perikanan tetap hidup dan berkembang serta dapat dimanfaatkan secara lestari. (3) Memelihara dan dapat memperbaiki ekosistem yang sesuai dengan kondisi awal habitat.

Widodo et al (2006) menjelaskan Secara umum, tujuan pengelolaan perikanan dibagi ke dalam empat kelompok yaitu biologi, ekologi, ekonomi,dan sosial, dimana tujuan sosial mencakup tujuan politik dan budaya. Beberapa contoh yang termasuk dalam setiap kelompok tujuan meliputi: (1) Menjaga spesies target berada di tingkat atau di atas tingkat yang diperlukan untuk menjamin produktivitas yang berkelanjutan; (2) Meminimalkan berbagai dampak penangkapan atas lingkungan fisik dan atas non-target (hasil tangkapan sampingan, bycatch); (3) Memaksimumkan pendapatan bersih bagi nelayan yang terlibat dalam perikanan (tujuan ekonomi);dan (4) Memaksimumkan kesempatan kerja bagi mereka yang tergantung pada perikanan bagi kelangsungan kehidupan mereka (tujuan sosial).

Purnomo (2002) menyatakan bahwa pengelolaan sumberdaya perikanan harus memiliki strategi sebagai berikut: (1) Membina struktur komunitas ikan yang produktif dan efisien agar serasi dengan proses perubahan komponen habitat dengan dinamika antar populasi ; (2) Mengurangi laju intensitas penangkapan agar

(37)

sesuai dengan kemampuan produksi dan daya pulih kembali sumberdaya ikan, sehingga kapasitas yang optimal dan lestari dapat terjamin ; (3) Mengendalikan dan mencegah setiap usaha penangkapan ikan yang dapat menimbulkan kerusakan maupun pencemaran lingkungan perairan secara langsung maupun tidak.

Pada naskah pembukaan hukum laut internasional united nations convention on the law of the sea (UNCLOS) 1982 telah mengisyaratkan perlu adanya suatu konvensi, suatu tertib hukum diberlakukan untuk dapat memudahkan komunitas internasional dan memajukan penggunaan laut dan samudera secara damai, pendayagunaan sumberdaya alam secara adil dan efisien, melakukan konservasi sumberdaya alam hayati dan pengkajian, serta perlindungan dan pelestarian lingkungan laut (Nurani 2010). Manggabarani (2006) menyatakan prinsip dalam pengelolaan sumberdaya perikanan meliputi: 1) Pelaksanaan hak menangkap ikan disertai upaya konservasi ; 2) Pengelolaan berasaskan pada mempertahankan kualitas sumber daya, keanekaragaman hayati dan keberlanjutan ; 3) Pengembangan armada sesuai kemampuan reproduksi sumberdaya ; 4) Perumusan kebijakan perikanan berdasarkan bukti ilmiah ; 5) Pengelolaan berdasarkan pada prinsip kehati-hatian (precautionary approach) ; 6) Pengembangan alat penangkapan yang selektif dan aman terhadap sumberdaya ; 7) Mempertahankan nilai kandungan nutrisi ikan pada keseluruhan proses produksi ; 8) Perlindungan dan rehabilitasi terhadap habitat sumber perikanan kritis ; 9) Pengintegrasian pengelolaan sumber perikanan ke dalam kebijakan pengelolaan wilayah pesisir ; serta 10) Penegakan hukum melalui penerapan monitoring, controlling and surveillance (MCS).

D. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Berbasis Ekosistem

FAO (2003) mendefinisikan Ecosystem Approach to Fisheries (EAF) sebagai

“an ecosystem approach to fisheries strives to balance diverse societal objectives, by taking account of the knowledge and uncertainties about biotic, abiotic and human components of ecosystems and their interactions and applying an integrated

(38)

18

approach to fisheries within ecologically meaningful boundaries”. Mengacu pada definisi tersebut,secara sederhana EAF dapat dipahami sebagai sebuah konsep bagaimana menyeimbangkan antara tujuan sosial ekonomi dalam pengelolaan perikanan (kesejahteraan nelayan, keadilan pemanfaatan sumber daya ikan, dll) dengan tetap mempertimbangkan pengetahuan, informasi dan ketidakpastian tentang komponen biotik, abiotik dan interaksi manusia dalam ekosistem perairan melalui sebuah pengelolaan perikanan yang terpadu, komprehensif dan berkelanjutan.

Pikitch, et al., (2004) dalam National Working Group (2014) mendefinisikan EAFM sebagai sebuah proses penyempurnaan pengelolaan perikanan yang dimulai dari sudut pandang kesehatan ekosistem (ecosystem health) sebagai media penting dari proses keberlanjutan sumberdaya ikan sebagai obyek dari pengelolaan perikanan. Dalam pengertian lebih sederhana, EAFM sesungguhnya menitikberatkan pada keterkaitan (konektivitas) antara target species sumberdaya ikan dengan ekosistem perairan dan segenap unsur terkait di dalamnya. Konektivitas ini tidak hanya dalam perspektif ekologi (ecological conectivities) tapi juga konektivitas antara sistem ekologis dengan sistem sosial sebagai unsur utama dari pengelolaan perikanan.

Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar yang dikaruniai sumberdaya ikan yang tinggi. Tingginya dinamika sumber daya ikan ini tidak terlepas dari kompleksitas ekosistem tropis (tropical ecosystem complexities) yang telah menjadi salah satu ciri dari ekosistem tropis. Dalam konteks ini, pengelolaan perikanan yang tujuan ultimatnya adalah memberikan manfaat sosial ekonomi yang optimal bagi masyarakat, tidak dapat dilepaskan dari dinamika ekosistem yang menjadi media hidup bagi sumberdaya ikan itu sendiri. Gambar 6 menyajikan model sederhana dari interaksi antar komponen dalam ekosistem yang mendorong pentingnya penerapan pendekatan ekosistem dalam pengelolaan perikanan (EAFM).

(39)

Gambar 6. Interaksi dan proses antar komponen dalam pengelolaan perikanan.

Sumber: Turner, et al. (2001) dalam National Working Group. (2013).

Pada Gambar 6 dapat dilihat bahwa interaksi antar komponen abiotik dan biotik dalam sebuah kesatuan fungsi dan proses ekosistem perairan menjadi salah satu komponen utama mengapa pendekatan ekosistem menjadi sangat penting.

Interaksi bagaimana iklim mempengaruhi dinamika komponen abiotik, mempengaruhi komponen biotik dan sebagai akibatnya, sumberdaya ikan akan turut terpengaruh, adalah contoh kompleksitas dari pengelolaan sumberdaya ikan.

Apabila interaksi antar komponen ini diabaikan, maka keberlanjutan perikanan dapat dipastikan menjadi terancam.

Gambar 6 juga menjelaskan bahwa EAFM sesungguhnya bukan hal yang baru. EAFM merupakan pendekatan yang ditawarkan untuk meningkatkan kualitas pengelolaan yang sudah ada (conventional management). Pada Gambar 6 tersebut, proses yang terjadi pada conventional management digambarkan melalui garis tebal, sedangkan pengembangan dari pengelolaan konvensional tersebut melalui EAFM digambarkan melalui garis putus-putus. Sebagai contoh, pada

(40)

20

pengelolaan konvensional kegiatan perikanan hanya dipandang secara parsial bagaimana ekstraksi dari sumber daya ikan yang didorong oleh permintaan pasar.

Pada konteks EAFM, ekstraksi ini tidak bersifat linier namun harus dipertimbangkan pula dinamika pengaruh dari tingkat survival habitat yang mendukung kehidupan sumberdaya ikan itu sendiri.

Dalam konteks manajemen, perikanan memerlukan perangkat indikator yang dapat digunakan sebagai alat monitoring dan evaluasi mengenai sejauh mana pengelolaan perikanan sudah menerapkan prinsip-prinsip pengelolaan berbasis ekosistem (Degnbol 2004; Garcia and Cochrane, 2005; Gaichas, 2008) Sebuah indikator sebaiknya memenuhi beberapa unsur seperti (1) Menggambarkan daya dukung ekosistem; (2) Relevan terhadap tujuan dari ko-manajemen; (3) Mampu dimengerti oleh seluruh stakeholders; (4) Dapat digunakan dalam kerangka monitoring dan evaluasi; (5) Long-term view; dan (5) Menggambarkan keterkaitan dalam sistem ko-manajemen perikanan (Hart, 1998).

Sementara itu, menurut Pomeroy and Rivera-Guieb (2006), indikator yang baik adalah indikator yang memenuhi kriteria sebagai berikut : 1) Dapat diukur : mampu dicatat dan dianalisis secara kuantitatif atau kualitatif; 2) Tepat : didefinisikan sama oleh seluruh stakeholders 3) Konsisten : tidak berubah dari waktu ke waktu 4) Sensitif: secara proporsional berubah sebagai respon dari perubahan aktual.

Implementasi EAFM memerlukan perangkat indikator yang dapat digunakan sebagai alat monitoring dan evaluasi mengenai sejauh mana pengelolaan perikanan sudah menerapkan prinsip-prinsip pengelolaan berbasis ekosistem (Degnbol 2004;

Garcia and Cochrane, 2005; Gaichas,2008).

Beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam implementasi pendekatan ekosistem dalam pengelolaan perikanan (EAF) antara lain adalah: (1) Perikanan harus dikelola pada batas yang memberikan dampak yang dapat ditoleransi oleh ekosistem; (2) Interaksi ekologis antar sumberdaya ikan dan ekosistemnya harus dijaga; (3) Perangkat pengelolaan sebaiknya compatible untuk semua distribusi

(41)

sumberdaya ikan; (4) Prinsip kehati-hatian dalam proses pengambilan keputusan pengelolaan perikanan; (5) Tata kelola perikanan mencakup kepentingan sistem ekologi dan sistem manusia (FAO, 2003).

E. Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan

Keberlanjutan (sustainability) merupakan kata kunci bagi pembangunan perikanan di seluruh dunia yang diharapkan dapat memperbaiki kondisi sumberdaya dan masyarakat perikanan itu sendiri (Charles 2001; Fauzi dan Anna 2002).

Perikanan tangkap berkelanjutan merupakan bagian dari kegiatan pembangunan perikanan yang berkelanjutan, sedangkan pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development) merupakan suatu proses perubahan, di mana eksploitasi sumberdaya, orientasi pengembangan teknologi dan perubahan institusi merupakan suatu proses yang harmonis dan menjamin potensi masa kini dan masa mendatang untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasi manusia (Menteri KLH atau Bapedal 1997 diacu dalam Simbolon 2003).

Definisi operasional pembangunan berkelanjutan menurut Daly (1990) diacu dalam Fauzi (2004), antara lain untuk sumberdaya alam yang terbarukan adalah laju pemanenan harus sama dengan laju regenerasi (produksi lestari) ; untuk masalah lingkungan adalah laju pembuangan (limbah) harus setara dengan kapasitas asimilasi lingkungan ; untuk sumber energi yang tidak terbarukan, harus dieksploitasi secara quasi-sustainable, yakni mengurangi laju deplesi dengan cara menciptakan energi substitusi. Menurut Harris (2000) diacu dalam Fauzi (2004), keberlanjutan secara sosial diartikan sebagai sistem yang mampu mencapai kesetaraan, menyediakan layanan sosial termasuk kesehatan, pendidikan, gender dan akuntabilitas politik.

Charles (2001) menyatakan bahwa dalam memelihara atau meningkatkan keberlanjutan (sustainability) suatu sumberdaya dapat dilihat melalui empat komponen: (1) Keberlanjutan ekologi (ecological sustainability), yaitu memadukan

(42)

22

keperluan tentang hasil tangkapan yang berkesinambungan, memelihara atau meningkatkan basis sumberdaya dan keterkaitan antar spesies serta memelihara atau meningkatkan kelestarian ekosistem secara berkelanjutan; (2) Keberlanjutan sosial ekonomi (socioeconomic sustainability), yaitu berhubungan pada level agregat makro dengan mempertahankan atau meningkatkan kesejahteraan sosial ekonomi dalam jangka panjang, termasuk manfaat bagi generasi akan datang, pemerataan serta peningkatan kelangsungan ekonomi secara berkelanjutan ; (3) keberlanjutan komunitas (community sustainability), yaitu menekankan pada tujuan mikro dari keberlanjutan masyarakat atau komunitas sebagai bagian dari sistem manusia (human system) melalui peningkatan ekonomi dan kesejahteraan sosial budaya, kohesi antar masyarakat secara keseluruhan serta keberlanjutan dari sistim manusia yang relevan ; (4) keberlanjutan kelembagaan (institutional sustainability), yaitu meningkatkan kelayakan pembiayaan, administrasi dan kemampuan organisasi dalam jangka panjang sebagai prasyarat bagi keberlanjutan ekologi, keberlanjutan sosial ekonomi dan keberlanjutan masyarakat, dengan kata lain kepastian bahwa fungsi kelembagaan perikanan yang relevan layak dalam jangka panjang.

Salah satu pendekatan dalam pemanfaatan sumberdaya ikan berkelanjutan adalah pendekatan ekologi (Dahuri et al. 2001). Menurut Anggoro (2001) pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan yang berwawasan ekologi secara umum ditandai dengan beberapa ciri sebagai berikut: 1) Kemantapan produktivitas pada skala temporal berdasarkan waktu atau musim dan spasial berdasarkan tempat atau daerah penangkapan ikan 2) Kemantapan daya dukung lingkungan (habitat) serta daya dukung sumber daya terpulihkan (ikan) dalam rentang waktu tertentu 3) Kemantapan daya tampung lingkungan (habitat) dalam merespon gangguan eksploitasi dan atau masukan bahan pencemar perairan 4) Keberlanjutan daur hidup dan daur ruaya alami serta tetap berperannya habitat vital sebagai daerah pemijahan (spawning ground) dan daerah asuhan anak ikan (nursery ground). Lebih lanjut dikatakan oleh Anggoro (2001) bahwa secara ideal pemanfaatan sumber daya ikan

(43)

dan lingkungan hidupnya harus mampu menjamin kesinambungan fungsi ekologi secara mantap guna mendukung keberlanjutan perikanan yang ekonomis dan produktif.

Bengen (2005) mengatakan bahwa suatu pengelolaan dikatakan berkelanjutan apabila kegiatan tersebut dapat mencapai tiga tujuan pembangunan berkelanjutan yaitu berkelanjutan secara (1) Ekologi yang mengandung arti bahwa pengelolaan SDI dimaksud harus dapat mempertahankan integritas ekosistem, memelihara daya dukung lingkungan dan konservasi sumberdaya ikan termasuk keanekaragaman hayati (biodiversity) sehingga pemanfaatan SDI dapat berkesinambungan. Berkelanjutan secara (2) Sosial mensyaratkan bahwa kegiatan pengelolaan ikan hendaknya dapat menciptakan pemerataan hasil, mobilitas sosial, kohesi sosial,partisipasi masyarakat, pemberdayaan masyarakat, identitas sosial, dan pengembangan kelembagaan. Dan terakhir berkelanjutan secara (3) Ekonomi.

Dari aspek ekonomi, menurut Munasinghe (1994) pembangunan berkelanjutan bertujuan untuk memaksimalkan kesejahteraan manusia melalui pertumbuhan ekonomi dan efisiensi penggunaan kapital dalam keterbatasan dan kendala sumberdaya dan teknologi. Tujuan tersebut dapat dicapai melalui upaya perencanaan pembangunan secara komprehensif dengan tetap berpijak pada tujuan jangka panjang. Selain itu perlu ada pengurangan eksploitasi sumberdaya secara berlebihan dan menutupi dampak yang mungkin timbul dari eksploitasi sumberdaya dengan memberikan harga kepada sumberdaya dan biaya tambahan. Dengan demikian, sasaran ekonomi dalam pembangunan berkelanjutan adalah peningkatan ketersediaan dan kecukupan kebutuhan ekonomi, keberlanjutan aset dalam arti efisiensi pemanfaatan sumberdaya yang ramah lingkungan, berkeadilan bagi masyarakat pada masa kini dan yang akan datang. Dari aspek ekologis, didasarkan pada pertimbangan bahwa perubahan lingkungan akan terjadi di waktu yang akan datang dan dipengaruhi oleh aktivitas manusia. Menurut Rees (1994) pandangan aspek ekologis ini didasarkan pada tiga prinsip utama yaitu: 1) Aktivitas ekonomi

(44)

24

yang dilakukan manusia adalah tidak terbatas dan berhadapan dengan ekosistem yang terbatas. Kerusakan lingkungan dan polusi yang ditimbulkannya akan mempengaruhi sistim dukungan kehidupan (life support system) ; 2) Aktivitas ekonomi yang lebih maju seiring dengan pertumbuhan populasi akan meningkatkan kebutuhan akan sumberdaya alam dan tingginya produksi limbah yang dapat merusak lingkungan karena melebihi daya dukung ekosistem ; 3) Pembangunan yang dilaksanakan dalam jangka panjang akan berdampak pada kerusakan lingkungan yang irreversible.

F. Penentuan Status Keberlanjutan

Alder et al., (2000) menyatakan bahwa keberlanjutan telah menjadi kebijakan kunci yang dibutuhkan dalam seluruh kegiatan perikanan. Namun demikian evaluasi terhadap keberlanjutan yang membutuhkan integrasi aspek ekologi dengan aspek sosial dan ekonomi masih sulit dilakukan. Rapfish merupakan teknik multidisiplin untuk menentukan keberlanjutan secara cepat dalam rangka mengevaluasi keberlanjutan suatu kegiatan perikanan berdasarkan sejumlah atribut yang mudah diberikan nilai skor. Ordinasi sejumlah atribut dilakukan dengan menggunakan multi- dimensional scalling (MDS) yang diikuti dengan scalling atau rotasi.

Teknik Rapfish (Rapid Apraissal fo Fisheries) adalah teknik terbaru yang dikembangkan oleh University of British Columbia, Kanada, yang merupakan analisis untuk mengevaluasi sustainability dari perikanan secara multidisipliner. Metode ini didasarkan pada teknik ordinasi dengan Multi-Dimensional Scalling (MDS) yang mencoba melakukan transformasi multidimensi ke dalam dimensi yang lebih rendah, setiap dimensi memiliki atribut atau indikator yang terkait dengan sustainability.

Dalam MDS, obyek atau titik yang diamati dipetakan dalam ruang dua atau tiga dimensi, sehingga obyek atau titik tersebut diupayakan ada sedekat mungkin terhadap titik asal. Dengan kata lain, dua titik atau obyek yang sama dipetakan

(45)

dalam satu titik yang saling berdekatan satu sama lain. Sebaliknya obyek atau titik yang tidak sama digambarkan dengan titik yang berjauhan (Fauzi dan Anna, 2002).

Pada analisis MDS, sekaligus dilakukan Leverage, analisis Monte Carlo, penentuan nilai Stress dan nilai Koefisien Determinasi (R2). Analisis Leverage digunakan untuk mengetahui atribut yang sensitif,ataupun intervensi yang dapat dilakukan terhadap atribut yang sensitif untuk meningkatkan status keberlanjutan.

Analisis Monte Carlo digunakan untuk menduga pengaruh galat dalam proses analisis yang dilakukan, pada selang kepercayaan 95%. Nilai Stress dari koefisien determinasi (R2) berfungsi untuk menentukan perlu tidaknya penambahan atribut untuk mencerminkan dimensi yang dikaji secara akurat. Model yang baik ditunjukkan dengan nilai Stress dibawah nilai 0,25 dan nilai R2 di atas kepercayaan 95%, sehingga mutu dari analisis MDS dapat dipertanggung jawabkan (Fauzi dan Anna, 2005). Proses analisis MDS, analisis Leverage dan analisi Monte Carlo secara skematis ditunjukkan pada Gambar 7. Prosedur Rapfish mengikuti proses sebagai berikut :

(46)

26

Gambar 7. Proses atau tahapan aplikasi metode RAPFISH dalam perikanan (Alder et al. 2000).

1. KelebihanRAPFISH

Adapun kelebihan RAPFISH yaitu :

1. RAPFISH dapat mengukur dan menggambarkan kondisi lestari sumberdaya di suatu tempat atau wilayah.

2. Penedekatan RAPFISH dapat menganalisis seluruh aspek keberlanjutan dari perikanan secara sederhana dan menyeluruh (Fauzi dan Anna, 2002).

3. RAPFISH merupakan metode multivariate yang dapat menangani data yang non metric (Legendre dan Legendre, 1983).

4. Keragaman multi dimensi dapat diproyeksikan bidang yang lebih sederhana dan mudah dipahami (Nijkamp, 1980).

5. RAPFISH dapat dijadikan alat untuk menentukan snapshot atau analisis awal untuk memperoleh gambaran menyeluruh mengenai status keberlanjutan

(47)

sumberdaya yang sesuai dengan FAO Code of Conduct (Fauzi dan Anna, 2002).

6. Peneliti memperoleh banyak informasi kuantitatif dari nilai proyeksi yang dihasilkan dari RAPFISH (Nijkamp, 1980).

7. RAPFISH dapat dijadikan sebagai acuan untuk mengevaluasi kondisi perikanan suatu wilayah secara cepat (Fauzi dan Anna, 2002).

8. RAPFISH dapat menjembatani keterbatasan akan data dan penelitian yang masih minim dengan tujuan untuk melakukan assesment terhadap perikanan.

RAPFISH dapat dijadikan suatu “Triage” (pemilah) untuk perikanan (Pauly, 1998) untuk menentukan mana yang menjadi prioritas (focus) dalam pembangunan sumberdaya perikanan.

9. Hasil dari RAPFISH dapat direplikasi dan objektif secara numerik (Pitcher dan Power, 2000).

2. KelemahanRAPFISH

Kelemahan dari RAPFISH adalah harus diperhatikan adanya aspek ketidakpastian. Hal ini bisa disebabkan oleh :

1. Dampak dari kesalahan dalm skoring akibat minimnya informasi.

2. Dampak dari keragaman dalam skoring akibat perbedaan penilaian, kesalahan dalam data entry, dan

3. Tingginya nilai Stress yang diperoleh dari algoritma ALSCAL.

Sehingga selanjutnya perlu dilakukan teknik analisis Monte Carlo yang merupakan metode simulasi untuk mengevaluasi dampak dari kesalahan acak (random error) dilakukan terhadap seluruh dimensi.

Seperti telah disebutkan, RAPFISH dikembangkan oleh Fisheries Center- UBC, Canada untuk implementasi di wilayah Indonesia dengan karakteristik tropical fisheries, mutispecies, open access dan negara berkembang, RAPFISH masih tetap

(48)

28

aktual untuk dilakukan di Indonesia dalam mengukur dan menggambarkan kondisi lestari kelautan dan perikanan wilayah Indonesia. Masih relevannnya penggunaan analisi RAPFISH di Indonesia dikarenakan data-data aktual yang menggambarkan kondisi wilayah pengelolaan perairan Indonesia masih sangat minim. Disisi lain juga kebutuhan akan pengelolaan yang berkelanjutan atas wilayah Indonesia semakin mendesak.

G.Analytical Hierarchy Process (AHP)

Analytical Hierarchy Process merupakan penyederhanaan suatu persoalan kompleks yang tidak terstuktur, strategis dan dinamis menjadi sebuah bagian-bagian yang tertata dalam suatu hierarki. Tingkat kepentingan setiap variabel diberi nilai numerik, secara subjektif tentang arti penting variabel tersebut dan secara relatif akan dibandingkan dengan variabel lainnya. Proses Hierarki Analitik menggunakan nilai bobot, pemberian nilai bobot dilakukan secara intuitif, yaitu dengan melakukan perbandingan berpasangan (pairwise comparison), kemudian akan diubah menjadi suatu bilangan yang dapat mempresentasikan prioritas relatif dari setiap kriteria dan alternatif (Marimin dan Nurul, 2010). Kekuatan AHP terletak pada struktur hierarkinya sendiri yang memungkinkan seseorang memasukkan semua faktor penting, nyata maupun terwujud dan mengaturnya dari atas ke bawah mulai dengan yang paling penting ke tingkat paling bawah yang berisi alternatif kemudian dipilih mana yang terbaik. Setiap masalah dapa dirumuskan sebagai masalah keputusan berbentuk hierarki (Saaty, 1991).

AHP yang dikembangkan oleh Thomas L. Saaty dapat memecahkan masalh yang kompleks dimana aspek atau kriteria yang diambil cukup banyak. Kompleksitas ini disebakan oleh struktur masalah yang belum jelas, ketidakpastian persepsi pengambilan keputusan serta ketidakpastian tersedianya statistik yang akurat bahkan tidak ada sama sekali (Suryadi dan Ramdhani, 2002).

(49)

Prinsip kerja Proses Hierarki Analitik dalam memecahkan persoalan dengan analisis logis eksplisit, adalah penyusunan hierarki, penetapan prioritas serta konsistensi logis. Langkah awal dalam penyusunan hierarki adalah mengidentifikasi informasi yang sedang diamati menurut elemen pokoknya. Dalam poin ini juga terdapat skala perbandingan Saaty. Tahap selanjutnya adalah penentuan prioritas, dalam tahap ini dilakukan pairwise comparison yang akan terbentuk dalam matriks.

Terakhir adalah mencari nilai konsistensi dari hasil bobot tersebut. Nilai rasio konsistensi harus 10 persen atau lebih dari10 persen. Jika melebihi 10 persen, maka penilaian masih acak sehingga perlu diulang kembali (Marimin dan Nurul, 2010).

Suryadi dan Ramdhani 2002, menjelaskan langkah-langkah dalam metode AHP sebagai berikut :

1. Mendefinisikan masalah dan menentukan solusi yang diinginkan

2. Membuat struktur hierarki yang diawal dengan tujuan umum, dilanjutkan dengan subtujuan-subtujuan, kriteria dan kemungkinan alternatif-alternatif pada kegiatan yang paling bawah.

3. Membuat matriks perbandingan berpasangan yang menggambarkan kontribusi relatif atau pengaruh setiap elemen terhadap masing-masing tujuan atau kriteria yang setingkat di bawahnya. Perbandingan dilakukan berdasarkan judgment dan pengambil keputusan dengan menilai tingkat kepentingan suatu elemen dibandingkan elemen lainnya.

4. Melakukan perbandingan berpasangan sehingga diperoleh judgment seluruhnya sebanyak n x {(n-1)/2} buah, dengan n adalah banyaknya elemen yang dibandingkan,

5. Menghitung nilai eigen dan menguji konsistensinya, jika tidak konsisten maka pengambilan data diulangi.

6. Menghitung langkah 3,4 dan 5 untuk seluruh tingkat hierarki

7. Menghitung vektor eigen dari setiap matriks perbandingan berpasangan. Nilai vektor eigen merupakan bobot setiap elemen. Langkah ini untuk mensintesis

Referensi

Dokumen terkait

PROSEDUR DAN MEKANISME PEMROSESAN DAN PENERBITAN IZIN BIDANG PELAYANAN JASA MEDIK VETERINER.. Fotokopi sertifikat kompetensi dari PDHI berupa

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat kualitas pelayanan kesehatan rawat jalan di RSUD Barru ditinjau dari prosedur administrasi dinyatakan cukup baik dengan nilai rata-

Tanaman Aren (Arenga pinnata Merr) merupakan tanaman primadona bagi masyarakat sekitar desa karena kebanyakan dari mereka mendapatkan sumber pemasukan dari hasil pengolahan

Catatan : Kolom Rupiah diisi dengan Nilai Konversi dari angka dalam Kolom US$, dengan menggunakan Kurs Pajak yang berlaku pada akhir Tahun Pajakb. 15

Pada sepanjang pengajian ini tidak akan mengambil bahagian dalam apa-apa jua kegiatan yang menyalahi hukum syara ’ atau pada pendapat pihak berkuasa Kolej

Pengawet makanan yang ketiga yang dikombinasikan dengan ekstrak biji dan kulit mangga adalah sodium metabisulfit. Daya hambat formulasi campuran antara ekstrak kulit/biji

laporan surat masuk dalam sistem pengolahan pengarsipan, dimana data yang ditampilkan No./tanggal agenda, nomor surat, nama instansi, hal, sifat, lampiran, disposisi,

Penentuan $iagn%sis se3ara 3epat $ari str%&#34;e in+ar&#34; sangat penting &#34;arena perjalanan  penya&#34;itnya yang biasanya 3epat saat beberapa jam pertama.. estr%gen