• Tidak ada hasil yang ditemukan

A. SCHOOL CONNECTEDNESS - Pengaruh Iklim Sekolah Terhadap School Connectedness Siswa SMA Harapan I Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "A. SCHOOL CONNECTEDNESS - Pengaruh Iklim Sekolah Terhadap School Connectedness Siswa SMA Harapan I Medan"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

15

variabel dependen yang diteliti. Tinjauan pustaka ini meliputi definsi, aspek-aspek variabel, faktor-faktor yang mempengaruhi variabel, serta hubungan antara variabel. Di bagian akhir bab ini akan dijelaskan hipotesa penelitian.

A. SCHOOL CONNECTEDNESS

School connectedness merupakan faktor protektif yang kuat bagi para siswa untuk tidak melakukan perilaku kenakalan remaja seperti menggunakan obat-obatan, seks bebas, kekerasan, dan lain-lain. Para siswa cenderung lebih melakukan perilaku positif dan sukses secara akademis ketika mereka memiliki rasa keterhubungan pada sekolah (Resnick, 1993).

1. Definisi School Connectedness

Blum (2002) mendefinisikan school connectedness sebagai keyakinan yang dimiliki siswa bahwa orang-orang dewasa di sekolahnya peduli dengan pendidikan mereka serta mempedulikan mereka sebagai seorang individu. Beberapa konsep serupa sudah sering diteliti dengan memberikan istilah sebagai “school engagement” sementara yang lain menyebutnya sebagai “school

attachment” dan yang lain menganalisisnya sebagai “school bonding”. Akan

(2)

konsep lainnya. Pada konsep school connectedness mencakup beberapa konstruk seperti kelekatan, komitmen, dukungan guru, hubungan teman sebaya , dan lainya. Definisi lain dikemukakan oleh McNeely (2002) yang menyatakan bahwa school connectedness mucul ketika siswa yakin bahwa mereka bagian dari sekolah dan adanya kelekatan antara siswa dengan orang dewasa di sekolahnya. School connectedness tidak hanya memandang rasa kelekatan tetapi rasa aman dan kenyamanan siswa di sekolah, komitmen sekolah, serta pencapaian akademik siswa di sekolah. Centre for School Mental Health Anlysis and Action (CSMH) mendefinisikan school connectedness perasaan positif akan pendidikan, keterikatan pada sekolah, dan memiliki hubungan positif dengan orang dewasa dan teman sebaya di sekolah.

Berdasarkan definisi yang dikemukakan di atas maka dapat disimpulkan bahwa school connectedness adalah kepercayaan siswa akan semua orang di sekolah mempedulikan mereka baik secara akademis maupun non akademis . 2. Aspek-aspek School Connectedness

Connell dan Wellborn (dalam Stracuzzi dan Mills, 2010) menyatakan bahwa school connectedness terdiri dari tiga dimensi utama, yaitu:

a. Dukungan Sosial

(3)

terhadap apa yang dinilai oleh guru, kenyamanan ketika berbicara dengan guru, seberapa sering guru memuji mereka.

b. Rasa Memiliki

Didefinisikan sebagai rasa yang dimiliki oleh siswa mengenai dirinya sebagai bagian dari sekolah. Mengukur belongingness ini sering meliputi tingkat di mana siswa merasa dihormati di sekolahnya, menjadi bagian dari sekolahnya, merasa orang-orang yang ada di sekolah peduli dengannya, dan memiliki teman di sekolah.

c. Keterlibatan

Aspek ini merefleksikan resiprokasi siswa atas rasa memiliki (belonging) dan dukungan yang didapat melalui kepedulian yang aktif dan keterlibatan dalam bagiannya.

Monahan (2010) mengungkapkan bahwa pada umumnya school connectedness terdiri dari dua komponen utama yakni :

a. Kelekatan (attachment)

Aspek ini dikarakteristikkan dengan hubungan yang dekat antara siswa dengan seluruh orang yang ada di sekolah.

b. Komitmen (commitment)

Aspek ini dikarakteristikkan dengan komitmen yang ditanamkan oleh siswa terhadap sekolah serta berperilaku baik di sekolah.

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi School Connectedness

(4)

mereka mempersepsikan orang-orang disekitarnya peduli dan terlibat dalam kehidupan mereka. Siswa yang merasa didukung oleh orang dewasa di kehidupannya akan lebih merasa terikat dengan sekolah dan proses belajar. Siswa membutuhkan orang-orang dewasa di sekolah peduli dengan mereka baik sebagai individu maupun mengenai pencapaian akademik. Berikut faktor yang mempengaruhi school connectedness :

a. Dukungan Orang Dewasa

Kepercayaan siswa akan diri dan kemampuan mereka tebentuk oleh sebarapa besar mereka mempersepsikan bahwa orang dewasa di kehidupannya mempedulikan dan ikut terlibat dalam kehidupan mereka. Siswa yang merasa didukung oleh orang dewasa kemungkinan akan lebih merasa terikat di sekolah. Di sekolah, siswa yang merasa didukung dan dipedulikan ketika mereka melihat para orang dewasa di sekolah mendedikasikan waktu, minat, perhatian, dan dukungan emosional untuk mereka. Siswa juga butuh untuk merasakan bahwa orang dewasa mempedulikan mereka baik secara akademik maupun non akademik.

b. Kelompok Teman Sebaya yang Positif

(5)

berbeda kelas sosialnya baik dari segi ras maupun gender. Sebaliknya, siswa yang melaporkan school connectedness yang rendah mengaku lebih nyaman dengan teman di luar sekolah daripada yang ada di sekolah.

c. Komitmen Terhadap Pendidikan

Komitmen merupakan hal yang penting bagi siswa dan guru dalam proses belajar dan terlibat dalam aktivitas sekolah. Siswa yang terlibat di sekolah dan percaya bahwa pendidikan yang baik itu penting bagi masa depannya akan lebih banyak menghabiskan waktunya di sekolah dan memiliki rasa connectedness yang tinggi pada sekolah. Siswa yang merasa terikat dengan pendidikan akan menunjukkan trait behavioral seperti ketekunan, usaha yang keras, perhatian terhadap tugas, dan lebih suka terhadap tantangan.

d. Lingkungan Sekolah

(6)

4. Strategi Meningkatkan School Connectdness

Strategi meningkatkan school connectedness dapat dikembangkan berdasarkan aspek-aspek serta faktor-faktor yang mempengaruhi school connectedness (Blum, 2002). Ada 5 strategi-strategi, yakni:

a. Menciptakan proses pembuatan keputusan yang memfasilitasi murid untuk terlibat. Misalnya membuat siswa mau mengungkapkan pendapat tanpa rasa malu serta melibatkan siswa dalam kegiatan rapat.

b. Memberikan pendidikan dan kesempatan kepada keluarga untuk aktif terlibat dalam kehidupan sekolah.

c. Menyediakan kebutuhan akademik, emosional, dan keterampilan sosial siswa di sekolah. Misalnya setiap siswa diperlakukan setara, membuat siswa tidak merasa tertekan di sekolah, serta membuat siswa merasa nyaman berada di sekolah.

d. Menggunakan manajemen kelas yang efektif dan metode mengajar untuk membangun lingkungan belajar yang positif. Misalnya siswa diberi kesempatan untuk mengembangkan kreativitas serta dibantu dalam pencapaian prestasi akademik maupun non akademik.

(7)

5. Kategori pada School Connectedness

Berdasarkan penelitian Karcher dan Lee (2002) bahwa school connectedness dikategorikan ke dalam 3 tingkatan yakni :

a. Dukungan Umum (General Support)

Kategori general support merupakan kategori yang paling rendah. Pada kategori ini, siswa memandang dukungan yang ia terima secara umum. Artinya, siswa merasa tidak ada perbedaan dukungan dari guru, staf sekolah, serta teman meskipun begitu siswa tetap merasa bahwa dirinya diterima di sekolah.

b. Dukungan Spesifik (Specific Support)

Kategori specific support merupakan kategori sedang. Pada kategori ini siswa mengganggap dukungan berasal dari sumber yang spesifik. Artinya, siswa menyadari bahwa dukungan dari guru berbeda dengan dukungan dari teman atau staf sekolah. Pada kategori ini, siswa memiliki rasa penerimaan dari sekolah akan tetapi tindakan siswa tidak secara sukerala serta siswa tidak aktif mencari dukungan.

c. Keterlibatan (Engagement)

(8)

B. IKLIM SEKOLAH 1. Definisi Iklim Sekolah

Menurut Thapa (2012) iklim sekolah didefinisikan sebagai suasana yang dialami orang-orang yang ada di sekolah mengenai norma, tujuan, nilai-nilai, hubungan interpersonal, serta struktur organisasional. Sedangkan Menurut Haynes (dalam Reynolds, 2003) mengemukakan bahwa iklim sekolah adalah kualitas dan konsistensi dari interaksi interpersonal di dalam komunitas sekolah yang mempengaruhi perkembangan kognitif, sosial dan psikologis siswa. Iklim sekolah merupakan interaksi dari antara orang dewasa dengan para siswa di sekolah, serta terlibat di dalamnya faktor lingkungan seperti sarana dan prasarana gedung, serta rasa aman dan percaya (Gruenert, 2008).

Iklim sekolah ini juga dapat diartikan persepsi orang-orang yang ada di sekolah mengenai kehidupan sekolah (Freiberg, 2005). Mengukur persepsi orang-orang di sekolah akan mendapatkan gambaran iklim sekolah yang tentu saja mempengaruhi keberlangsungan kehidupan sekolah yakni salah satunya adalah dengan mengukur persepsi siswa terhadap iklim sekolah (Thapa, 2012).

(9)

2. Dimensi Iklim Sekolah

Thapa (2012) mengidentifikasi ada 5 elemen dari iklim sekolah yakni : a. Keamanan

Sekolah memberikan rasa aman baik secara sosial, emosional, fisik, dan intelektual. Penelitian menunjukkan bahwa siswa yang merasa aman di sekolah akan cenderung menampilkan perilaku yang baik. Di dalam elemen ini termasuk di dalamnya aturan, norma, serta kebijakan yang diterapkan di sekolah. Ketika siswa mempersepsikan bahwa aturan, norma, maupun kebijakan di sekolah tersebut adil dan memberikan dampak baik maka siswa akan cenderung untuk tidak melakukan perbuatan yang melanggar aturan. b. Proses Belajar dan Mengajar

Proses belajar mengajar menunjukkan elemen penting dari iklim sekolah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa iklim sekolah yang positif adalah iklim yang mendukung agar siswa bisa belajar dengan baik. Iklim sekolah yang positif adalah yang memberikan proses belajar mengajar yang suportif, partisipatif, saling menghargai, serta kompak.

c. Hubungan Interpersonal

(10)

mau terlibat dan berperilaku yang sesuai aturan. Pada dimensi ini termasuk di dalamnya hubungan antar teman sebaya.

d. Lingkungan Institusional

Di dalam elemen ini termasuk di dalamnya keadaan fisik sekolah. Sekolah yang menyediakan fasilitas yang mempermudah proses belajar siswa dianggap sebagai iklim sekolah yang baik. Selain itu, pada elemen ini adanya keterlibatan siswa pada sekolah juga merupakan hal yang penting. Penelitian menunjukkan bahwa ukuran sekolah yang kecil memiliki kecenderung tingkat keterlibatan siswa yang lebih tinggi.

3. Faktor yang Mempengaruhi Iklim Sekolah

Menurut Noonan (2011) ada 7 faktor penting yang mempengaruhi iklim sekolah yakni :

a. Model

Setiap guru di sekolah memiliki cara yang berbeda dalam mengajar maupun memperlakukan siswa. Akan tetapi, cara-cara yang dilakukan guru tersebut memiliki dampak yang besar bagi siswa. Guru harus menjadi model yang baik bagi para siswa, yang memberikan keseimbangan antara harapan yang jelas bagi siswa untuk mencapai akedemik dengan mengulurkan tangan untuk membantu siswa.

b. Konsistensi

(11)

bahwa hal yang penting yang harus dikejar para guru tidaklah hanya keefektifan tetapi juga kualitas program yang harus siswa dapatkan.

c. Kedalaman

Seluruh visi dan misi sekolah serta ritual sekolah merupakan elemen penting bagi iklim sekolah. Oleh karena itu, hal tersebut harus selalu tercerminkan dalam program sekolah seperti lagu mars sekolah, manajemen kelas, maupun buku-buku yang digunakan. Apabila elemen penting ini tidak diterapkan secara mendalam maka hal tersebut akan menghilang begitu saja.

d. Demokrasi

Pembagian kekuasaan yang tradisional adalah struktur hirearki top-down. Struktur seperti ini susah dan menakutkan bagi siswa. Perlu diperhatikan bahwa para siswa dituntut untuk menjadi pemimpin yang professional sehingga para siswa membutuhkan praktik dan bimbingan dari guru.

e. Komunitas

Secara tradisional, sekolah menutup pintu satu harian sampai waktu pulang siswa. Padahal, sekolah harus terbuka kepada komunitas lain seperti keluarga, investor, maupun bisnis lain demi kesuksesan sekolah. Sekolah bertanggung jawab untuk mengembangkan potensi yang dimiliki para siswa. Bekerja sama dengan komunitas lain membuka kesempatan yang baik bagi para siswa untuk mengembangkan potensi yang dimiliki.

f. Keterlibatan

(12)

Melibatkan siswa dalam menyelesaikan masalah sama dengan mendorong siswa untuk selalu bertanggung jawab.

g. Kepemimpinan

Keterlibatan guru, staf sekolah, komunitas, serta para siswa dalam kehidupan sekolah membutuhkan seorang pemimpin yang suportif sebagai inti. Pemimpin yang suportif berani ambil resiko serta memberikan ketegasan bagi seluruh proses yang berlangsung di sekolah tanpa harus membatasi keterlibatan guru, staf sekolah, komunitas, dan para siswa.

4. Kategori pada Iklim Sekolah a. Iklim Sekolah Positif

Iklim sekolah positif ditandai dengan adanya komitmen untuk saling menghormati satu sama lain sesama siswa, guru, dan staf sekolah baik di dalam maupun di luar kelas, menghormati setiap perbedaan individu, dan proses belajar mengajar yang efektif (Preble & Gordon, 2011). Selain itu, iklim sekolah yang positif meliputi hubungan interpersonal yang hangat dan suportif, memberikan kesempatan untuk berpartisipasi dalam aktivitas sekolah dan pengambilan keputusan, dan memiliki norma, aturan, dan tujuan yang jelas (Battistich, 2001).

b. Iklim Sekolah Negatif

(13)

C. SISWA MENENGAH ATAS (SMA)

Siswa yang duduk di sekolah menengah atas umumnya dimulai dari usia 15/16 tahun sampai 17/18 tahun. Usia ini termasuk di masa remaja. Menurut Papalia (2009) masa remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Hurlock (1999) menyatakan bahwa masa remaja mengemban beberapa tugas perkembangan beberapa di antaranya adalah mencapai perilaku sosial yang bertanggung jawab dan mencapai kemandirian emosional dari orang tua maupun orang dewasa lainnya. Oleh karena itu masa remaja disebut juga masa krisis atau masa bermasalah yang membutuhkan perhatian yang penuh karena pada masa ini remaja akan mengeksplor aspek kehidupan untuk mencari jati diri mereka.

Papalia (2009) mengungkapkan bahwa pda masa remaja terjadi perubahan penggunaan waktu dan hubungan. Pada masa ini, remaja akan lebih menjalin hubungan dekat dengan teman sebaya dibandingkan dengan orang tua. Selain itu mereka akan lebih jarang menghabiskan waktu di rumah tetapi lebih sering di sekolah maupun di luar sekolah. Oleh karena itu, sekolah merupakan tempat untuk remaja mengembangkan potensi akademis serta pembentukan karakter dan sikap yang positif. Menurut Blum (2012) bagaimana sekolah memperlakukan siswa berpengaruh terhadap perilaku siswa. Oleh karena itu, sekolah bertangung jawab memberikan rasa aman dan nyaman kepada siswa.

(14)

dimana pada tahap ini perkembangan mental yang cepat menimbulkan perlunya remaja membentuk sikap, nilai dan minat yang baru. Selain itu, pada masa ini remaja mempersiapkan dirinya dalam karier dan ekonomi. Dukungan dari keluarga serta orang-orang di sekolah sangat dibutuhkan siswa dalam pengembangan minat serta potensi siswa.

D. SMA HARAPAN I MEDAN 1. Sejarah Sekolah

Sejarah tak menampik bahwa pada saat merdeka hingga tahun 1966 Indonesia terus mengalami masa yang sangat sulit baik dari ekonomi , politik hingga pendidikan yang pada saat itu masih mencari jati diri yang tepat bagi bangsa dan negara Indonesia. Melihat kondisi negara yang masih sulit pada saat itu, berkumpul beberapa tokoh masyarakat Sumatera Utara khususnya masyarakat Medan yang memang sangat perduli pada anak-anak di Medan ini untuk memikirkan bagaimana perkembangan pendidikan di Indonesia ini khususnya kota Medan. Meskipun mereka mempunyai kesibukan dalam tugas masing-masing namun masih tetap memikirkan bagaimana nasib anak bangsa ini jika tidak mempunyai pendidikan.

(15)

mempunyai mutu pendidikan yang berkualitas, mengusahakan pembayaran semurah-murah.

Berdasarkan ide tersebut maka pada tahun 1967 didirikanlah sekolah dalam bentuk yayasan dan diberi nama Yayasan Pendidikan Harapan (Yaspendhar) yang bertempat dan berkedudukan di Medan. Ide dari pada pemikiran para tokoh tersebut dikembangkan menjadi lebih lengkap dan luas sehingga maksud dan tujuan sebagai yang telah disepakati.

Yayasan Pendidikan Harapan merupakan salah satu manifestasi dari kehendak masyarakat yang merasa tertinggal dalam bidang pendidikan baik karena penjajahan maupun akibat kurangnya perhatian orde lama. Hasil rumusan yang telah digodok oleh para tokoh tersebut menjadi penyemangat dibarengi dengan usaha untuk mewujudkan pendirian,telah menunjukkan titik cerah dengan diserahkannya izin pemakaian gedung/tanah Jl. Imam Bonjol No. 35 oleh pemerintah. Gedung inilah yang dipergunakan oleh Yaspendhar dan seiring dengan perjalanannya diadakan perbaikan dan pembangunan baru.

2. Visi dan Misi

Visi yang diemban oleh Yayasan Pendidikan Harapan adalah terwujudnya insan yang beriman, berilmu dan beramal melalui lembaga pendidikan dan pengembangan pengetahuan yang unggul dalam IMTAQ dan IPTEK serta berwawasan kebangsaan. Sedangkan misi Yayasan Pendidikan Harapan Medan sebagai berikut:

(16)

b. Melaksanakan pelayanan pembelajaran secara efektif dan efisien.

c. Menyediakan sarana pembelajaran sesuai dengan tuntutan perkembangan dunia pendidikan.

d. Berupaya secara berkualitas dan berkesinambungan dalam peningkatan mutu dan pelayanan.

e. Melaksanakan peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia sesuai dengan perkembangan dunia pendidikan.

f. Selalu membangun sikap positif terhadap semua stake holder dalam upaya peningkatan pendidikan dan layanan yang harmonis.

g. Merealisasikan pembelajaran yang berbasis Informasi dan Teknologi (IT) di seluruh tingkatan satuan pendidikan.

E. DINAMIKA IKLIM SEKOLAH DENGAN SCHOOL

CONNECTEDNESS

(17)

Pada SMA Harapan I Medan perwujudan menciptakan school connectedness tecerminkan pada visi dan misi yaitu tidak hanya mengembangkan kemampuan kognitif, afektif dan psikomotorik tetapi juga mencerminkan insan yang beriman, berilmu dan beramal. Hal ini berarti bahwa pihak sekolah SMA Harapan I Medan mempedulikan siswa-siswa dalam hal akademik dan juga sebagai insan yang baik. Meskipun demikian, school connectedness bukan hanya sekedar keyakinan yang dimiliki siswa akan kepedulian orang dewasa saja tetapi juga adanya bentuk konkrit akan kepedulian dari orang dewasa, rasa memiliki terhadap sekolah, dan keterlibatan aktif siswa.

Kepedulian dari orang dewasa di sekolah tidak terbatas hanya berasal dari guru tetapi juga berasal dari para staf sekolah. Guru dan staf memberi dukungan secara akademik dengan berbagai bentuk seperti melakukan diskusi untuk membahas pelajaran, membantu mencapai prestasi akademik, menerima pendapat siswa tanpa membeda-bedakan. Selain itu dukungan non akademik seperti bersedia mendengarkan masalah siswa serta membantu dalam mencari solusi, mengembangkan bakat dan potensi siswa, serta membantu dalam mempersiapkan rencana masa depan dan karir. Pada siswa SMA Harapan I Medan mereka meyakini bahwa guru dan staf mendukung dan membantu dalam hal akademik dan non akademik. Meskipun demikian, siswa mengaku bahwa untuk menceritakan masalah personal, mereka lebih memilih untuk menceritakan kepada teman-teman dibandingkan kepada guru.

(18)

sekolah. Siswa SMA Harapan I Medan mengakui bahwa mereka merasakan kenyamanan dan senang berada di sekolah. Setelah itu, keterlibatan aktif siswa terhadap aktivitas sekolah akan melengkapi school connectedness yang dimiliki siswa. Berbagai bentuk keterlibatan aktif dapat ditunjukkan misalnya mengungkapkan pendapat kepada guru berdasarkan inisiatif sendiri, mematuhi peraturan di sekolah, serta berpartisipasi dalam kegiatan sekolah tanpa paksaan. Di SMA Harapan I Medan, siswa diminta untuk selalu aktif terlibat dalam kegiatan sekolah akan tetapi siswa masih enggan dalam terlibat misalnya saja dalam proses belajar mengajar, siswa masih merasa malu dan merasa takut salah untuk menyampaikan pendapat.

(19)

Menurut Battistich (2001) school connectedness dapat menjadi kunci utama bagi kesejahteraan siswa baik secara akademis maupun emosional. Penelitian yang dilakukan Stracuzzi dan Meghan (2010) menunjukkan bahwa school connectedness memiliki dampak positif terhadap kesejahteraan sosial-emosional siswa.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Monahan (2010) bahwa siswa dengan school connectedness tinggi akan menunjukkan hasil akademik maupun perilaku yang lebih positif. Oleh karena itu, school connectedness merupakan hal yang krusial bagi pihak sekolah untuk selalu ditingkatkan kepada siswa.

Meskipun demikian, usaha mewujudkan school connectedness pada siswa bukanlah hal yang mudah dan dapat dilakukan dalam waktu singkat. Menurut Blum (2002) membangun school connectedness memerlukan proses yang berkesinambungan dan berkelanjutan. Dalam pembentukannya dibutuhkan partisipasi seluruh pihak yang berada di sekolah. Selain itu, berbagai jenis tantangan yang harus dihadapi dalam menumbuhkan rasa keterhubungan siswa terhadap sekolah. Oleh karena itu, faktor-faktor pembentuk school connectedness perlu diperhatikan.

(20)

yang ada di sekolah mengenai norma, tujuan, nilai-nilai, hubungan interpersonal, serta lingkungan organisasional.

Keamanan sekolah, hubungan interpersonal yang baik, proses belajar mengajar, serta lingkungan fisik sekolah merupakan hal yang turut serta membangun iklim sekolah. Keamanan sekolah meliputi secara fisik, verbal, dan emosional.Selanjutnya hubungan interpersonal yang baik meliputi setiap orang di sekolah menghormati dan menghargai satu sama lain, membangun hubungan yang akrab. Siswa SMA Harapan I Medan mempersepsikan bahwa hubungan siswa dengan guru baik meskipun demikian hubungan interpersonal dengan staf sekolah tidak akrab.

Kemudian, proses belajar dan mengajar yang efektif bagi siswa misalnya proses belajar yang kondusif ataupun cara mengajar guru yang dapat dipahami. Setelah itu, iklim sekolah juga didukung dengan lingkungan fisik yang bersih, gedung sekolah yang layak serta fasilitas sekolah yang memadai dan mempermudah aktivitas sekolah. Di SMA Harapan I Medan memberikan beberapa fasilitas untuk aktivitas siswa misalnya mulai dari laboratorium, aula, lapangan bermain, jaringan internet, sampai dengan pendingin ruangan di setiap kelas. Siswa mempersepsikan bahwa fasilitas tersebut berfungsi sebagaimana mestinya akan tetapi ada beberapa fasilitas yang rusak.

(21)

membantu mengembangkan potensi diri, serta merupakan tempat yang memberikan keuntungan di masa depan

Siswa akan cenderung menghindari sekolah ketika siswa mempersepsikan iklim sekolah sebagai iklim yang negatif. Iklim sekolah negatif meliputi rasa tidak aman di sekolah, merasa sekolah memberikan banyak tekanan bagi siswa serta menganggap sekolah bukan menjadi tempat untuk mengembangkan potensi yang dimiliki (Thapa, 2012).

Menyediakan iklim sekolah yang baik bagi siswa adalah kewajiban para orang dewasa di sekolah sehingga sekolah harus berusaha dalam mewujudkan iklim sekolah yang positif. Apabila siswa mempersepsikan iklim sekolah positif maka level school connectedness tinggi sehingga siswa lebih mau untuk terlibat pada kegiatan di sekolah serta secara akademis maupun non akademis semakin positif pula (Blum, 2002). Penelitian yang dilakukan oleh Osher (2009) bahwa iklim sekolah berhubungan dengan school connectedness. Tanpa adanya iklim sekolah yang positif, maka siswa tidak mungkin mengalama rasa connectedness pada sekolah.

F. HIPOTESIS PENELITIAN

Referensi

Dokumen terkait

“ Di sekolah ini para guru dan siswa sering sekali bercanda kelewat batas kak, kelewat batas yang saya maksud adalah tak jarang guru memukul kepala siswanya yang melanggar

Kemudian penelitian yang dilakukan oleh Ritonga (2016) tentang gambaran student engagement di sekolah dengan pendidikan multikultural, dalam hal ini SMA Sultan Iskandar Muda

Hubungan antara persepsi siswa terhadap iklim sekolah dengan school engagement di Smk Ipiems Surabaya (Correlation between student's perception of school climate with

Data dalam penelitian dikumpulkan dengan menggunakan skala school connectedness yang disusun berdasarkan aspek school connectedness menurut tokoh Connell dan Wellborn

Hubungan antara persepsi siswa terhadap iklim sekolah dengan school engagement di Smk Ipiems Surabaya (Correlation between student's perception of school climate with

23 Hubungan saya dengan siswa lain tidak begitu akrab 24 Menurut saya hubungan siswa dengan guru di sekolaha. ini

kak, kelewat batas yang saya maksud adalah tak jarang guru memukul kepala siswanya yang melanggar peraturan, sehingga dari situ kami merasa bahwa guru saja sudah mengajarkan hal

Alat ukur yang digunakan adalah skala persepsi iklim sekolah yang disusun berdasarkan 3 aspek dari persepsi iklim sekolah yang terdiri dari 28 aitem dengan