• Tidak ada hasil yang ditemukan

LAPORAN AKHIR KAJIAN KEBIJAKAN PENGEMBANGAN DIVERSIFIKASI PASAR DAN PRODUK EKSPOR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "LAPORAN AKHIR KAJIAN KEBIJAKAN PENGEMBANGAN DIVERSIFIKASI PASAR DAN PRODUK EKSPOR"

Copied!
163
0
0

Teks penuh

(1)

LAPORAN AKHIR

KAJIAN KEBIJAKAN PENGEMBANGAN

DIVERSIFIKASI PASAR DAN PRODUK EKSPOR

(2)

DITERBITKAN OLEH:

PUSAT KEBIJAKAN PERDAGANGAN LUAR NEGERI

(3)

Kementerian Perdagangan

Jl. M.I Ridwan Rais No. 5, Jakarta Pusat Telp/Fax. (021) 3860371

(4)

TIM KAJIAN

Tarman

Dewi Kartikawati

Hari Widodo

Umar Fakhrudin

Naufa Muna

Bambang S. W.

(5)
(6)

i

RINGKASAN EKSEKUTIF

KAJIAN KEBIJAKAN PENGEMBANGAN DIVERSIFIKASI PASAR DAN PRODUK EKSPOR

Indonesia sebagai negara yang menganut sistem perekonomian terbuka, perdagangan internasional khususnya ekspor merupakan faktor penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Produk domestik bruto (PDB) Indonesia sekitar 30% berasal dari ekspor (BEI, 2008). Ekspor juga membuat perekonomian dalam negeri semakin bergairah, karena akan menarik banyak investasi, penyerapan tenaga kerja, dan pemanfaatan sumber daya alam lokal. Semakin banyak produk yang diekspor, akan mendorong pertumbuhan ekonomi di dalam negeri Perkembangan perekonomian dunia sejak memasuki abad ke 21 semakin membuka hubungan perdagangan antar negara, yang ditandai dengan semakin tingginya aliran barang dan jasa antar Negara, meskipun terjadi krisis global pada akhir 2008.

Keterbukaan pasar bisa menjadi ancaman besar bagi ekonomi Indonesia bila pemerintah dan rakyat Indonesia tidak mempersiapkannya dengan baik. Disamping menjadi ancaman, keterbukaan pasar juga bisa memberikan peluang yang besar bagi Indonesia untuk meningkatkan kinerja perdagangan dengan meningkatkan ekspor ke negara-negara potensial terutama di kawasan Afrika dan Asia.

Selama kurun waktu 2005 sampai 2009, negara-negara tujuan ekspor non migas Indonesia cenderung tidak berubah, yaitu didominasi oleh Jepang, Amerika, Singapura, dan Cina. Pada tahun 2009, ekspor ke lima negara utama (CR5), yaitu Amerika, Jepang, Singapura, Cina dan Malaysia mencapai 47% dari total ekspor Indonesia.

Ketergantungan yang tinggi terhadap pasar tertentu, sangat beresiko bagi aktivitas ekspor, terutama jika terjadi goncangan ekonomi dunia. Sebagai contoh, perlambatan ekonomi yang terjadi pada tahun 2008, menyebabkan penurunan permintaan ekspor impor, terutama dari 5 negara pengekspor tujuan ekspor utama (Amerika, Jepang, China, dan Malaysia). Nilai ekspor ke 5 pasar utama menurun dari 50,7% di tahun 2004 menjadi 48,0% di 2009 (BPS, 2010). Disamping ketergantungan yang tinggi terhadap negara tertentu, produk yang diekspor juga masih terkonsentrasi pada beberapa jenis komoditas. Bila terjadi penurunan permintaan (dari sisi deman) terhadap komoditas tersebut, atau terjadi penurunan produksi (dari sisi suplai), misalnya akibat fenomena alam, maka akan terjadi penurunan penerimaan ekspor yang sangat signifikan.

(7)

ii

Oleh karena itu untuk mempertahankan performa ekspor, perlu dilakukan diversifikasi pasar dan diversifikasi produk ekspor melalui perluasan pasar dan komoditas ekspor. Keberhasilan melakukan diversifikasi produk dan pasar ekspor, antara lain ditentukan oleh tingkat daya saing dan pertumbuhan pasar di negara tujuan. Seberapa kuat daya saing produk Indonesia dibandingkan dengan produk yang sejenis dari negara lain di pasar Asia dan Afrika. Penetapan pasar mana yang mempunyai pertumbuhan yang tinggi dapat dijadikan acuan dalam melakukan diversifikasi pasar dan produk ekspor

Dalam hal ini pasar yang dikaji adalah: (i) Negara-negara di kawasan Asia dan Afrika; (ii) Negara-negara selain CR 5 dan ASEAN; (iii) Negara yang bukan negara mitra FTA dan PTA Indonesia, serta; (iv) Negara yang belum mempunyai rencana Joint Study dengan Indonesia. Adapun jenis komoditinya antara lain: (i) hasil perkebunan dan produk olahannya; (ii) hasil perikanan dan produk olahannya; (iii) produk makanan/minuman olahan ; dan (iv) kulit dan produk kulit.

Hasil Analisis TPI (trade performance index) dalam menentukan negara potensial untuk diversifikasi pasar ekspor dan kelompok komoditas, diperoleh bahwa pasar potensial di kawasan Afrika adalah Nigeria, Afrika Selatan, Aljazair, Mauritius dan Maroko; dengan empat kelompok komoditas unggulan yaitu perkebunan dan produk olahannya, perikanan dan produk olahannya, makanan dan minuman olahan serta Kulit dan Produk Kulit.

Untuk pasar di kawasan Asia adalah Saudi Arabia, Taiwan, Jordan, Oman dan Sri Lanka; dengan tiga kelompok komoditas unggulan yaitu perkebunan dan produk olahannya, perikanan dan produk olahannya, serta makanan dan minuman olahan.

Adapapun produk potensial untuk diversifikasi ekspor untuk pasar Afrika yaitu: olahan dari tepung, coklat olahan, tembakau, ikan segar dan beku serta produk berbagai makanan olahan. Untuk pasar Asia, produk potensialnya adalah coklat olahan, ikan segar dan beku, berbagai makanan olahan, ikan olahan serta produk minuman.

Analisis lebih lanjut dengan EPD (export product dynamic) menunjukkan kinerja perdagangan Indonesia baik dari sisi pasar maupn produknya tidak seluruhnya memiliki performa yang baik:

(8)

iii

• Di Maroko dan Srilanka semua produk berstatus falling star (pertumbuhan pasar

relatif rendah namun pertumbuhan ekspor dari Indonesia relatif tinggi) dan retreat (pertumbuhan pasar relatif rendah yang diikuti oleh pertumbuhan ekspor dari Indonesia yang juga relatif rendah), kecuali untuk produk minuman yang statusnya loss opportunity (pertumbuhan permintaan relatif tinggi namun pertumbuhan ekspor dari Indonesia masih rendah) di Maroko

• Di pasar Afrika Selatan, Aljazair, Mauritius, Nigeria, Arab Saudi dan Oman serta

Yordania, seluruh produk berstatus rising star (pertumbuhan permintaan tinggi diimbangi dengan pertumbuhan ekspor dari Indonesia yang juga tinggi)

• Dua produk dominan berstatus loss opportunity. Kedua komoditi tersebut adalah

Tembakau (di pasar Aljazair, Mauritius, Arab Saudi dan Oman serta Yordania) serta minuman (di pasar Aljazair, dan Oman)

• Di Pasar Arab Saudi disamping tembakau, produk lainnya yang berstatus lost

opportunity adalah makanan olahan dan olahan dari tepung.

Oleh karena itu, dalam mendiversifikasikan pasar tujuan ekspor fokus utama sebaiknya ditujukan kepada negara mitra dagang berstatus rising star (Afrika Selatan, Aljazair, Mauritius, Arab Saudi dan Oman) dan loss opportunity (Aljazair, Mauritius, Arab Saudi, Oman dan Yordan untuk produk tembakau; dan di pasar Aljazair, Maroko, dan Oman untuk produk minuman) disamping perlunya pengenalan budaya di negara tujuan diversifikasi pasar, terkait dengan konsumsi produk ekspor.

Produk yang memiliki peningkatan daya saing pada periode 2007-2010 berdasarkan analisis CMSA (constant market share analysis) adalah: produk coklat olahan di Nigeria dan Srilanka; produk ikan segar dan beku di Mauritius, Nigeria, Arab Saudi, Oman dan Jordan; Produk olahan dari tepung dan tembakau di pasar yang sama yaitu Maroko, Nigeria, dan Srilanka; Produk Minuman di pasar Afrika Selatan dan Jordania; produk ikan olahan di Afrika Selatan, Aljazair, Arab Saudi, Aljazair, Oman dan Jordan.

Dari hasil analisis, beberapa hambatan ekspor meliputi: kesulitan memperoleh bahan baku atau bahan baku masih relatif mahal; harga tidak kompetitif akibat mahalnya biaya tenaga kerja, bahan bakar dan listrik, infrastruktur yang masih kurang memadai; pungutan liar; tarif bea masuk di negara tujuan; tarif impor bahan baku masih relatif tinggi fluktuasi harga di pasar dunia;

(9)

iv

keterbatasan dalam pemanfaatan dan penguasaan teknologi; prosedur di bea cukai terlalu rumit, kurangnya promosi, serta fluktuasi nilai tukar.

Untuk mengatasi hambatan tesebut perlu adanya kerjasama bilateral dengan negara-negara potensial mengenai penurunan tarif bea masuk, standar, dan hambatan lainnya untuk lebih mempermudah akses masuk produk-produk ekspor prioritas. Selain itu perlu juga untuk menurunkan tarif impor bahan baku khususnya untuk produk makanan olahan. Penyelenggaraan promosi dan pameran yang intensif di negara-negara potensial juga diperlukan untuk memperkenalkan produk-produk prioritas ekspor serta pengenalan budaya negara tujuan terkait dengan konsumsi produk tersebut.

Selain itu, kebijakan stabilitas nilai tukar juga menjadi penting karena peningkatan nilai tukar meskipun dapat meningkatkan nilai ekspor di beberapa produk, namun nilai ekspor produk lainnya turun, atau sebaliknya. Selain itu, peningkatan daya saing produk melalui kerjasama lintas kementrian yang terkait dengan energi, infrastruktur, ketenagakerjaan, industri dan pertanian.

(10)

v

KATA PENGANTAR

Kajian ini merupakan kajian jangka panjang yang telah menjadi salah satu kegiatan pada Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Perdagangan. Fokus kajian ini adalah mengkaji peluang dan kebijakan diversifikasi produk ekspor dan diversifikasi pasar tujuan ekspor Indonesia. Selama kurun waktu 2005 sampai 2009, negara-negara tujuan ekspor non migas Indonesia cenderung tidak berubah, yaitu didominasi oleh Jepang, Amerika, Singapura, Cina. Ketergantungan yang tinggi terhadap pasar tertentu, sangat beresiko bagi aktivitas ekspor, terutama jika terjadi goncangan ekonomi dunia. Sebagai contoh, perlambatan ekonomi yang terjadi pada tahun 2008, menyebabkan penurunan permintaan impor, terutama dari 5 negara tujuan ekspor utama (Amerika, Jepang, China, dan Malaysia). Disamping ketergantungan yang tinggi terhadap negara tertentu, produk yang diekspor juga masih terkonsentrasi pada beberapa jenis komoditas. Bila terjadi penurunan permintaan (dari sisi deman) terhadap komoditas tersebut, atau terjadi penurunan produksi (dari sisi suplai), misalnya akibat fenomena alam, maka akan terjadi penurunan penerimaan ekspor yang sangat signifikan.

Atas dasar hal tersebut, Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri, Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Perdagangan merasa perlu melakukan kajian Analisis Kebijakan Diversifikasi Pasar dan Produk ekspor. Hasil kajian ini diharapkan dapat mempertahankan performa ekspor Indonesia, melalui perluasan pasar dan komoditas ekspor.

Namun, Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran sangat diharapkan dari semua pihak untuk tahap pengembangan dan penyempurnaan kajian ini di masa akan datang. Besar harapan penulis bahwa informasi sekecil apapun yang terdapat dalam kajian ini dapat memberikan manfaat dan menambah wawasan bagi para pembaca.

Jakarta, Februari 2012

(11)

vi DAFTAR ISI Halaman RINGKASAN EKSEKUTIF ... i KATA PENGANTAR ... v DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... x DAFTAR LAMPIRAN ... xi I. PENDAHULUAN ... 1 1.1 Latar Belakang ... 1 1.2 Perumusan Masalah ... 4 1.3 Tujuan Kajian ... 4 1.4 Keluaran Kajian ... 5 1.5 Ruang Lingkup ... 5 1.6 Sistematika Penulisan ... 5

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 7

2.1. Teori Perdagangan Internasional ... 7

2.2. Teori Revalead Comparatif Advantage (RCA) ... 11

2.3. Teori Perdagangan Intra Industri ... 12

2.4. Model Gravitasi (Gravity Model) ... 14

2.5. Penelitian Terdahulu ... 15

III. METODOLOGI KAJIAN ... 17

3.1. Kerangka Pemikiran ... 17

3.2. Jenis dan Sumber data ... 18

(12)

vii

IV. GAMBARAN UMUM EKSPOR NON MIGAS

KE KAWASAN ASIA DAN AFRIKA ... 28

4.1. Kinerja Ekspor Ke Kawasan Asia dan Afrika ... 28

4.2. Hambatan Ekspor Ke Kawasan Asia dan Afrika ... 35

V. POTENSI PASAR DAN PRODUK EKSPOR DI KAWASAN ASIA DAN AFRIKA ... 184

5.1. Pasar dan Produk Pertanian ... 41

5.2. Perkembangan Daya Saing Produk Potensial di Pasar Potensial ... 57

5.3. Analisis Export Product Dynamics (EPD) ... 64

5.4. Kajian Empiris Diversifikasi Pasar di Kawasan Asia dan Afrika ... 71

VI. STRATEGI DAN KEBIJAKAN PENGEMBANGAN DIVERSIFIKASI PASAR DAN PRODUK ... 96

6.1. Model Ekspor Komoditas Unggulan ... 96

6.2. Strategi dan Kebijakan Pengembangan Diversifikasi Pasar dan Produk... 99

VII. KESIMPULAN DAN SARAN ... 103

7.1. Model Ekspor Komoditas Unggulan ... 103

7.2. Saran dan Rekomendasi ... 105

DAFTAR PUSTAKA ... 107

(13)

viii

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Ekspor Nonmigas Indonesia dengan Beberapa Negara ... 2

2. Klasifikasi dari nilai IIT (Austria, 2004) ... 14

3. Matriks Posisi Daya Saing ... 21

4. Metode Analisis, Data dan Sumber Data ... 27

5. Kinerja Ekspor Non Migas Indonesia ke Negara Asia ... 29

6. Kinerja Ekspor Non Migas Indonesia ke Negara-negara Afrika ... 31

7. ProyeksKomposisi Pangsa Ekspor ke Kawasan Afrika ... 32

8. Perkembangan Nilai Ekspor ke Kawasan Afrika ... 33

9. Komposisi Pangsa Ekspor ke Kawasan Asia ... 34

10. Perkembangan Nilai Ekspor ke Kawasan Asia ... 35

11. Indek Nilai Impor Produk dari Dunia Tahun 2009 di Pasar Asia ... 42

12. Indek Pertumbuhan Impor dari Dunia tahun 2004-2009 di Pasar Asia ... 43

13. Indek Nilai Impor dari Indonesia tahun 2009 di Pasar Asia ... 44

14. Indek Pertumbuhan Impor dari Indonesia tahun 2004-2009 di Pasar Asia ... 45

15. Indek Tarif Impor Rata-rata per Kelompok Komoditas di Pasar Asia ... 45

16. Sepuluh Besar Pasar dan Kelompok Komoditas Terpilih Pasar Asia ... 46

17. Lima Besar Pasar Komoditas Terpilih tahun 2010 Pasar Asia ... 47

18. Komoditas Ekspor ke Pasar Potensial 2009-2010 ... 48

19. Komoditas Potensial di Pasar Potensial Asia ... 49

20. Indek Nilai Impor dari Dunia tahun 2009, Pasar Afrika ... 50

21. Indek Pertumbuhan Impor dari Dunia tahun 2004-2009 Pasar Afrika ... 51

(14)

ix

23. Indek Pertumbuhan Impor dari Indonesia tahun 2004-2009 Pasar Afrika .... 52

24. Indek Tarif Impor Rata-rata Per Kelompok Komoditas Pasar Afrika ... 53

25. Sepuluh Besar Pasar dan Kelompok Komoditas Terpilih Pasar Afrika ... 54

26. Lima Besar Pasar Komoditas Terpilih tahun 2010 Pasar Afrika ... 55

27. Komoditas Ekspor ke Pasar Potensial Afrika 2009-2010 ... 56

28. Komoditas potensial di pasar potensial Afrika ... 56

29. CMSA Komoditi Coklat Olahan ... 58

30. CMSA Komoditi Ikan Segar dan Beku ... 59

31. CMSA Komoditi Berbagai Makanan Olahan ... 60

32. CMSA Komoditi Tembakau ... 61

33. CMSA Komoditi Olahan dari Tepung... 62

34. CMSA Komoditi Minuman ... 63

35. CMSA Komoditi Ikan Olahan ... 64

36. Analisis EPD Komoditi Potensial Di Pasar Potensial Tahun 2007-2010 ... 65

37. Responden di Negara Kajian ... 71

38. Status Responden Peserta FGD ... 72

39. Responden FGD berstatus pengusaha dan berpengalaman ekspor ... 81

40. Impor UEA Ikan Segar dan Beku dari Lima Pemasok Utama ... 86

41. Impor UEA Makanan Olahan dari Lima Pemasok Utama ... 87

42. Variabel penduga ekspor komoditas prioritas di Pasar Asia ... 98

43. Variabel Penduga Ekspor Komoditas Prioritas di Pasar Afrika ... 99

(15)

x

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Rata-rata Pangsa Ekspor Negara Tujuan Utama ... 3

2. Kurva Perdagangan Internasional ... 8

3. Kerangka Pemikiran ... 17

4. Pengujian Pemilihan Model Dalam Pengolahan Data Panel ... 25

5. Perkembangan Ekspor Non Migas Indonesia ke Asia dan Afrika ... 28

6. Perkembangan Ekspor Beberapa Produk Indonesia ke Afrika Selatan ... 67

7. Perkembangan Ekspor Beberapa Produk Indonesia ke Aljazair ... 68

8. Perkembangan Ekspor Beberapa Produk Indonesia ke Oman ... 69

9. Perkembangan Ekspor Beberapa Produk Indonesia ke Mauritius ... 70

10. Perkembangan Ekspor Beberapa Produk Indonesia ke Arab Saudi ... 70

11. Trend Peningkatan Impor Negara UEA ... 85

(16)

xi

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman 1. CMSA Efek Perdagangan Dunia ... 110 2. CMSA Efek Daya Saing ... 111 3. Hasil Analisis EPD 2007-2010 ... 112 4. Tahapan dan hasil olahan model gravity penduga nilai ekspor komoditas

unggulan Pengujian Pemilihan Model Dalam Pengolahan Data Panel ... 113 5. Tahapan dan hasil olahan model gravity penduga nilai ekspor komoditas

(17)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Indonesia sebagai negara yang menganut sistem perekonomian terbuka, perdagangan internasional khususnya ekspor merupakan faktor penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Produk domestik bruto (PDB) Indonesia sekitar 30% berasal dari ekspor . Ekspor juga membuat perekonomian dalam negeri semakin bergairah, karena akan menarik banyak investasi, penyerapan tenaga kerja, dan pemanfaatan sumber daya alam lokal. Semakin banyak produk yang diekspor, akan mendorong pertumbuhan ekonomi di dalam negeri.

Perkembangan perekonomian dunia sejak memasuki abad ke 21 semakin membuka hubungan perdagangan antar negara, yang ditandai dengan semakin tingginya aliran barang dan jasa antar Negara, meskipun terjadi krisis global pada akhir 2008. Menurut rilis yang dikeluarkan World Trade Organization(WTO) pada awal Maret 2010, disebutkan bahwa masing – masing pertumbuhan ekspor barang dan jasa dunia selama 2005-2010 adalah 4% pertahun dan 7% pertahun, mencapai US$ 12.147 miliar untuk ekspor barang dan US$ 3.310 miliar untuk jasa pada tahun 2010. Sementara impor barang tumbuh 4% per tahun mencapai US$ 12.385 miliar dan impor jasa tumbuh 7% per tahun mencapai US$ 3.115 miliar.

Keterbukaan pasar bisa menjadi ancaman besar bagi ekonomi Indonesia bila pemerintah dan rakyat Indonesia tidak mempersiapkannya dengan baik. Seperti ditunjukkan pada Tabel 1.1. nilai ekspor Indonesia dengan beberapa negara mitra semakin meningkat, namun nilai impor meningkat lebih tingi. Selama kurun waktu 2005-2009 ekspor Indonesia meningkat 46,76 persen, sementara impor meningkat 93,45 persen. Akibatnya neraca perdagangan mengalami penurunan -24,98 persen.

(18)

2

Tabel 1. Ekspor Nonmigas Indonesia ke 12 Negara Utama

Negara Uraian

Nilai (juta USD) Pertumbuh

an (%) 2005 2009 SINGAPURA Ekspor 7.068,60 7.947,60 12,44 Impor 2.936,90 9.236,60 214,50 MALAYSIA Ekspor 3.309,00 5.636,40 70,34 Impor 1.385,10 3.184,20 129,89 REP.RAKYAT CINA Ekspor 3.959,80 8.920,10 125,27 Impor 4.551,30 13.491,40 196,43 AUSTRALIA Ekspor 1.126,00 1.711,60 52,01 Impor 2.246,40 3.374,10 50,20 JEPANG Ekspor 9.561,80 11.979,00 25,28 Impor 6.892,40 9.810,50 42,34 TAIWAN Ekspor 1.785,90 2.875,50 61,01 Impor 1.208,60 2.008,30 66,17 KOREA SELATAN Ekspor 2.595,40 5.174,30 99,36 Impor 1.685,00 3.807,80 125,98 AMERIKA Ekspor 9.507,90 10.470,10 10,12 SERIKAT Impor 3.810,60 7.037,60 84,68 INGGRIS Ekspor 1.291,50 1.431,50 10,84 Impor 645,00 844,00 30,85 PERANCIS Ekspor 624,00 870,20 39,46 Impor 703,90 1.622,80 130,54 THAILAND Ekspor 1.917,50 2.598,40 35,51 Impor 3.082,00 4.570,80 48,31 NON MIGAS Ekspor 66.428,40 97.491,70 46,76 Impor 40.243,20 77.848,50 93,45 Net Ekspor 26.185,20 19.643,20 -24,98 Sumber: BPS, diolah.

(19)

3 Disamping menjadi ancaman, keterbukaan pasar juga bisa memberikan peluang yang besar bagi Indonesia untuk meningkatkan kinerja perdagangan dengan meningkatkan ekspor ke negara-negara potensial terutama di kawasan Afrika dan Asia.

Selama kurun waktu 2005 sampai 2009, negara-negara tujuan ekspor non migas Indonesia cenderung tidak berubah, yaitu didominasi oleh Jepang, Amerika, Singapura, Cina dengan pangsa seperti pada Gambar 1.1. Pada tahun 2009, ekspor ke lima negara utama (Amerika, Jepang, Singapura, Cina dan Malaysia), mencapai 47% dari total ekspor Indonesia.

Jepang 22% Amerika Serikat 13% Singapura 9% Korea Selatan 7% Cina 6% Malaysia 4% Taiwan 3% Australia 3% Belanda 3% Hongkong 2% Lainnya 28% Tahun 2000-2005 Jepang 20% Amerika Serikat 10% Singapura 9% Cina 9% Korea Selatan 7% Malaysia 5% India 5% Thailand 3% Taiwan 2% Belanda 2% Lainnya 28% Tahun 2005-2009

Gambar 1. Rata-rata Pangsa Ekspor Negara Tujuan Utama Sumber: BPS, diolah.

Ketergantungan yang tinggi terhadap pasar tertentu, sangat beresiko bagi aktivitas ekspor, terutama jika terjadi goncangan ekonomi dunia. Sebagai contoh, perlambatan ekonomi yang terjadi pada tahun 2008, menyebabkan penurunan permintaan impor, terutama dari 5 negara tujuan ekspor utama (Amerika, Jepang, China, dan Malaysia). Nilai ekspor ke 5 pasar utama menurun dari 50,7% di tahun 2004 menjadi 48,0% di 2009 (BPS, 2010).

Disamping ketergantungan yang tinggi terhadap negara tertentu, produk yang diekspor juga masih terkonsentrasi pada beberapa jenis komoditas. Bila terjadi penurunan permintaan (dari sisi deman) terhadap komoditas tersebut, atau terjadi penurunan produksi (dari sisi suplai), misalnya akibat fenomena alam, maka akan terjadi penurunan penerimaan ekspor yang sangat signifikan.

Sebagian besar produk ekspor Indonesia juga merupakan produk setengah jadi yang sebenarnya masih bisa diolah lebih lanjut di dalam negeri. Sebagai

(20)

4 contoh CPO (crude palm oil), sebelum diekspor masih bisa diolah lebih lanjut menjadi produk turunan lainnya, seperti minyak goreng, bahan baku kosmetik dan obat – obatan. Pengolahan lanjutan yang dilakukan di dalam negeri akan meningkatkan nilai tambah, menyerap tenaga kerja dan meningkatkan penerimaan pajak pemerintah.

Oleh karena itu untuk mempertahankan performa ekspor, perlu dilakukan diversifikasi pasar dan diversifikasi produk ekspor melalui perluasan pasar dan komoditas ekspor. Keberhasilan melakukan diversifikasi produk dan pasar ekspor, antara lain ditentukan oleh tingkat daya saing dan pertumbuhan pasar di negara tujuan. Seberapa kuat daya saing produk Indonesia dibandingkan dengan negara lain serta pasar mana yang mempunyai pertumbuhan yang tinggi di kawasan Asia dan Afrika, dapat dijadikan acuan dalam melakukan diversifikasi pasar dan produk ekspor.

1.2. Perumusan Masalah

Permasalahan pada pengembangan pasar dan produk ekspor dirumuskan sebagai berikut:

1. Negara mana saja di kawasan Asia dan Afrika yang berpotensi sebagai pasar tujuan ekspor

2. Produk apa saja yang potensial untuk diekspor (non migas) di negara-negara terpilih pada point 1

3. Permasalahan apa saja yang menghambat penetrasi pasar ekspor ke negara terpilih (poin 1) untuk produk potensial (poin 2)

4. Bagaimana strategi untuk penetrasi ekspor ke negara terpilih untuk produk-produk potensial.

1.3. Tujuan Kajian

Berdasarkan permasalahan di atas, pertanyaan yang perlu mendapatkan jawaban dari kajian ini adalah :

(21)

5 2. Mengidentifikasi produk potensial ekspor non migas di kawasan Asia dan

Afrika

3. Menganalisis permasalahan dalam pengembangan pasar dan produk potensial ekspor non migas di kawasan Asia dan Afrika

4. Menyusun strategi dan rekomendasi kebijakan pengembangan pasar dan produk ekspor non migas di kawasan Asia dan Afrika

1.4. Keluaran Kajian

Berdasarkan tujuan kajian, maka keluaran dari kajian ini adalah laporan tentang bahan rekomendasi bagi tersusunnya strategi dan rekomendasi kebijakan pengembangan pasar dan produk ekspor non migas di kawasan Asia dan Afrika.

1.5. Ruang Lingkup

1. Pasar yang dikaji:

• Negara-negara di kawasan Asia dan Afrika • Negara-negara selain CR 5, ASEAN

• Negara yang bukan negara mitra FTA dan PTA Indonesia

• Negara yang belum mempunyai rencana Joint Study dengan Indonesia 2. Komoditi yang Dikaji:

• hasil perkebunan dan produk olahan • hasil perikanan dan produk olahannya • produk makanan/minuman olahan • produk dari kulit

1.6. Sistematika Penulisan

Laporan kajian ini terdiri dari 7 (tujuh) bab sebagai berikut :

BAB I : Mendeskripsikan latar belakang, tujuan, ruang lingkup kajian

yang dilakukan dan output.

BAB II : Menjelaskan tinjauan literatur yang digunakan sebagai referensi

(22)

6

BAB III : Menjelaskan metodologi yang digunakan dalam kajian ini

meliputi metode pengambilan data dan alat analisis yang digunakan.

BAB IV : Gambaran umum ekspor ke kawasan Asia dan Afrika

BAB V : Potensi pasar dan produk ekspor di Kawasan Asia dan Afrika

BAB VI : Strategi dan Kebijakan Pengembangan diversifikasi pasar dan

produk ekspor

(23)

7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Teori Perdagangan Internasional

Perdagangan merupakan suatu proses pertukaran barang dan jasa yang dilakukan atas dasar suka sama suka, untuk memperoleh barang yang dibutuhkan. Dalam masa globalisasi, perdagangan tidak hanya dilakukan dalam satu negara saja. Bahkan dunia sudah memasuki perdagangan bebas. Hampir tidak ada satu negarapun yang tidak melakukan hubungan dengan negara lain (Dumairy, 1997).

Dalam perdagangan domestik para pelaku ekonomi bertujuan untuk memperoleh keuntungan dari aktivitas ekonomi yang dilakukannya. Demikian halnya dengan perdagangan internasional. Setiap negara yang melakukan perdagangan bertujuan mencari keuntungan dari perdagangan tersebut. Selain motif mencari keuntungan, Krugman (1991) mengungkapkan bahwa alasan utama terjadinya perdagangan internasional:

1. Negara-negara berdagang karena mereka berbeda satu sama lain.

2. Negara-negara melakukan perdagangan dengan tujuan untuk mencapai

skala ekonomi (economic of scale)

Menurut Tambunan (2001), faktor-faktor yang mempengaruhi perdagangan internasional dapat dilihat dari teori penawaran dan permintaan. Dari teori penawaran dan permintaan tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa perdagangan internasional dapat terjadi karena adanya kelebihan produksi dalam negeri (penawaran) dengan kelebihan permintaan negara lain.

Secara teoritis, suatu negara (misal negara A) akan mengekspor suatu komoditi (misal pakaian jadi) ke negara lain (misal negara B) apabila harga domestik negara A (sebelum terjadinya perdagangan internasional) relatif lebih rendah bila dibandingkan dengan harga domestik negara B (Gambar 2.3). Stuktur harga yang terjadi di negara A lebih rendah karena produksi domestiknya lebih besar daripada konsumsi domestiknya sehingga di negara A telah terjadi excess

supply (memiliki kelebihan produksi). Dengan demikian, negara A mempunyai

(24)

8

O Q

A O Q* O QB

SB

B terjadi kekurangan supply karena konsumsi domestiknya lebih besar daripada produksi domestiknya (excess demand) sehingga harga yang terjadi di negara B lebih tinggi. Dalam hal ini negara B berkeinginan untuk membeli pakaian jadi dari negara lain yang relatif lebih murah. Jika kemudian terjadi komunikasi antara negara A dengan negara B, maka akan terjadi perdagangan antar keduanya dengah harga yang diterima oleh kedua negara adalah sama.

Negara A (ekspor) Perdagangan Internasional Negara B (impor) Gambar 2. Kurva Perdagangan Internasional

Sumber : Salvatore, 1997

Keterangan:

PA : Harga domestik di negara A (pengekspor) tanpa perdagangan

internasional

OQA : Jumlah produk domestik yang diperdagangkan di negara A

(pengekspor)

tanpa perdagangan internasional

A : Kelebihan penawaran (excess supply) di negara A (pengekspor) tanpa

perdagangan internasional

X : Jumlah komoditi yang diekspor oleh negara A

PB : Harga domestik di negara B (pengimpor) tanpa perdangangan

internasional. PA X DA A SA ES P* ED B M PB DB

(25)

9

OQB : Jumlah produk domestrik yang diperdagangkan di negara B

(pengimpor) tanpa perdagangan internasional.

B : Kelebihan permintaan (excess demand) di negara B (pengimpor) tanpa

perdagangan internasional.

M : Jumlah komoditi yang diimpor oleh negara B

P* : Harga keseimbangan antara kedua negara setelah perdangangan

internasional

OQ* : Keseimbangan penawaran dan permintaan antar kedua negara dimana

jumlah yang diekspor (X) sama dengan jumlah yang diimpor (M).

Gambar 2.3 memperlihatkan sebelum terjadinya perdangangan internasional harga di negara A sebesar PA, sedangkan di negara B sebesar PB. Penawaran pasar internasional akan terjadi jika harga internasional lebih tinggi

dari PA sedangkan permintaan di pasar internasional akan jika harga internasional

lebih rendah dari PB. Pada saat harga internasional (P*) sama dengan PA maka negara B akan terjadi excess demand (ED) sebesar B. Jika harga internasional

sama dengan PB maka di negara A akan terjadi excess supply (ES) sebesar A. Dari

A dan B akan terbentuk kurva ES dan ED akan menentukan harga yang terjadi di pasar internasional sebesar P*. Dengan adanya perdagangan tersebut, maka negara A akan mengekspor komoditi (pakaian jadi) sebesar X sedangkan negara B akan mengimpor komoditi (pakaian jadi) sebesar M, dimana di pasar internasional sebesar X sama dengan M yaitu Q*.

Konsep perdagangan bebas untuk pertama kali diperkenalkan oleh Adam Smith pada awal abad ke-19 dengan teori keunggulan absolut (absolute

comparative). Teori Adam Smith kemudian disempurnakan oleh David Ricardo

(1817) dengan model keunggulan komparatif (The Theory of Comparative

Advantage). Berbeda dengan konsep keunggulan absolut yang menekankan pada

biaya riil yang lebih rendah, keunggulan komparatif lebih melihat pada perbedaan harga relatif antara dua input produksi sebagai penentu terjadinya perdagangan.

Menurut David Ricardo (Hady, 2001), perdagangan dapat dilakukan oleh negara yang tidak memiliki keunggulan absolut pada kedua komoditi yang diperdagangkan dengan melakukan spesialisasi produk yang kerugian absolutnya

(26)

10 lebih kecil atau memiliki keunggulan komparatif. Hal ini dikenal sebagai Hukum Keunggulan Komparatif (Law of Comparative Advantage). Keunggulan komparatif dibedakan atas cost comparative advantage (labor efficiency) dan

production comparative advantage (labor productivity). Asumsi yang digunakan

(Salvator, 1997):

a) Hanya terdapat dua negara dan dua komoditi b) Perdagangan bersifat bebas

c) Terdapat mobilitas tenaga kerja yang sempurna di dalam negara namun tidak ada mobilitas antara dua negara.

d) Biaya produksi konstan

e) Tidak terdapat biaya transportasi f) Tidak ada perubahan teknologi

Menurut teori cost comparative advantage (labor efficiency), suatu negara akan memperoleh manfaat dari perdagangan internasional jika melakukan spesialisasi produksi dan mengekspor barang di mana negara tersebut dapat berproduksi lebih efisien serta mengimpor barang di mana negara tersebut berproduksi relatif kurang atau tidak efisien.

Berdasarkan analisis production comparative advatage (labor

productivity) dapat dikatakan bahwa suatu negara akan memperoleh manfaat dari

perdagangan internasional jika melakukan spesialisasi produksi dan mengekspor barang di mana negara tersebut berproduski “lebih produktif” serta mengimpor barang di mana negara tersebut berproduksi relatif kurang atau tidak produktif. Dengan kata lain, cost comparative menekankan bahwa keunggulan komparatif akan tercapai jika suatu negara memproduksi suatu barang yang membutuhkan sedikit jumlah jam tenaga kerja dibandingkan negara lain sehingga terjadi efisiensi produksi. Production comparative menekankan bahwa keunggulan komparatif akan tercapai jika seorang tenaga kerja di suatu negara dapat memproduksi lebih banyak suatu barang/jasa dibandingkan negara lain sehingga tidak memerlukan tenaga kerja yang lebih banyak. Dengan demikian keuntungan perdagangan diperoleh jika negara melakukan spesialisasi pada barang yang memiliki cost comparative advantage dan production advantage. Atau dengan

(27)

11 mengekspor barang yang keunggulan komparatifnya tinggi dan mengimpor barang yang keunggulan komparatifnya rendah.

Teori klasik Ricardo tersebut selanjutnya dikembangkan oleh Heckscher-Ohlin (O) dengan The Theory of Factor Proportions (1949 – 1977). Model H-O mengatakan bahwa walaupun tingkat teknologi yang dimiliki sama, perdagangan internasional akan tetap terjadi bila ada perbedaan kepemilikan faktor produksi (factor endowment) diantara masing-masing negara. Satu negara dengan kepemilikan kapital berlebih akan berspesialisasi dan mengekspor komoditi padat kapital (capital-intensive goods), dan sebaliknya negara dengan kepemilikan tenaga kerja berlebih akan memproduksi dan mengekspor komoditi padat tenaga kerja (labor-intensive goods).

Pendekatan tentang perdagangan internasional untuk bisa memahami manfaat yang dapat diperoleh dari adanya perdagangan bisa dilakukan dengan menggunakan dua pendekatan. Kedua pendekatan tersebut adalah: pendekatan keseimbangan parsial dan pendekatan keseimbangan umum.

2.2. Teori Revalead Comparatif Advantage (RCA)

Revalead Comparatif Advantage (RCA) atau keunggulan komparatif yang

terungkap, merupakan salah satu metode yang digunakan untuk mengukur keunggulan komparatif di suatu wilayah (negara, propinsi dan lain-lain) yang cukup sering digunakan. Konsep ini pertama kali diperkenalkan oleh Ballasa pada tahun 1965, yang menganggap bahwa keunggulan komparatif suatu negara direfleksikan atau terungkap dalam ekspornya (Syahresmita dalam Pramudito, 2004).

Metode RCA didasarkan pada suatu konsep bahwa perdagangan antar wilayah sebenarnya menunjukkan keunggulan komparatif yang dimiliki oleh suatu wilayah. Variabel yang diukur adalah kinerja ekspor suatu produk terhadap total ekspor suatu wilayah yang kemudian dibandingkan dengan pangsa nilai produk dalam perdagangan dunia.

(28)

12

2.3. Teori Perdagangan Intra Industri

Perdagangan internasional yang dikenal luas adalah perdagangan komoditas dari sektor/industri yang berbeda, atau disebut juga dengan

inter-industry trade. Inter-inter-industry trade terjadi berdasarkan teori keunggulan

komparatif dimana negara yang memiliki keunggulan komparatif pada komoditas tertentu akan mengekspor komoditas tersebut dan mengimpor komoditas yang negara tersebut tidak memiliki keunggulan komparatif. Keunggulan kompartif, menurut Hecksher Ohlin dapat disebatkan oleh perbedaan endowment yang dimiliki suatu negara diman negara yang memiliki keberlimpahan tenaga kerja akan mengekspor komoditas yang intensif menggunakan tenaga kerja sedangkan negara yang memiliki keberlimpahan barang modal akan mengespor komoditas yang intensif menggunakan barang modal. Misalkan Cina yang memiliki kelimpahan barang modal mengekspor barang-barang padat modal seperti pesawat terbang, sedangkan Indonesia yang keberlimpahan sumber daya alam mengekspor komoditas yang padat sumber daya alam seperti migas dan mineral. Sehingga perdagangan antara dua negara ditandai dengan perdagangan komoditas yang berbeda.

Pada masa kini, perdagangan internasional antara dua negara tidak hanya diakibatkan oleh perbedaan antara kedua negara tersebut. Perdagangan dua negara tidak lagi sebatas perdagangan komoditas yang berbeda. Suatu negara dapat mengekspor barang tertentu dan sekaligus mengimpor barang yang sama. Misal Cina mengekspor mobil ke Indonesia dan Indonesia mengekspor mobil ke Cina. Dengan demikian, antara Indonesia dan Cina terjadi perdagangan dalam industri yang sama (Intra Industry Trade).

Pengertian perdagangan intra industri adalah perdagangan di dalam industri yang sama. Teori perdagangan intra industri masuk kategori teori perdangan baru (new trade theory). Paul Krugman adalah salah satu tokoh ekonomi yang mendalami teori ini (Koo dalam Aprilianda, 2007).

Apabila teori perdagangan neoklasik menyatakan penyebab timbulnya perdagangan karena adanya spesialisasi yang didasarkan perbedaan ketersediaan faktor produksi dan teknologi (keunggulan komparatif), maka dalam teori perdagangan intra industri perdagangan tetap terjadi antarnegara yang memiliki

(29)

13 keunggulan komparatif yang relatif sama. Perdagangan intra industri lebih didasarkan pada differensiasi produk dan economies of scale serta mencakup perdagangan dua arah dalam industri yang sama.

Perdagangan intra industri menjadi penting ketika tarif dan non tarif barrier dihapuskan pada arus perdagangan antarnegara. Disamping itu perdagangan intra industri memberikan keuntungan (gain) yang lebih besar, sebagai contoh konsumen mempunyai lebih banyak pilihan karena differensiasi

produk dan harga yang lebih murah karena meningkatnya economies of scale. Intra Industry Trade dimungkinkan karena adanya skala ekonomis yang berarti

biaya produksi rata-rata menjadi lebih murah. Dengan demikian, output dapat lebih tinggi dibandingkan bila tidak ada intra-industry-trade. Skala ekonomis dan spesialisasi dalam suatu indstri tertentu akan mendorong inovasi dalam perusahaan. Inovasi akan membuat biaya produksi menjadi lebih rendah.

Terdapat 2 (dua) alasan terjadi perdagangan intra industri yaitu pertama, differensiasi produk. Pada perekonomian modern sebagian besar produk yang dihasilkan adalah produk yang terdifferensiasi. Produk yang terdifferensiasi adalah produk yang jenisnya sama atau dihasilkan dalam industri yang sama tetapi berbeda secara kualitas dan atau preferensi. Dalam perdagangan internasional terjadi perdagangan produk-produk yang terdifferensiasi. Atau dapat dinyatakan bahwa sebagian besar perdagangan internasional merupakan perdagangan intra industri. Kedua, economies of scale. Motif perdagangan intra industri adalah memperoleh keuntungan dari adanya economies of scale. Dalam hal ini persaingan internasional memaksa setiap perusahaan untuk membatasi model atau tipe produknya agar dapat berkonsentrasi memanfaatkan sumberdayanya untuk menekan biaya produksi per unit sehingga dapat menghasilkan beberapa jenis produk saja tentunya dengan kualitas terbaik dan harga dapat bersaing dari produk lainnya. Disisi lain kebutuhan konsumen akan produk atau tipe lain dipenuhi melalui impor dari negara lain.

Intra industry trade (IIT) index yang umum digunakan adalah

Grubel-Lloyd Index. Nilai Grubel Grubel-Lloyd index berkisar 0 - 100. Jika jumlah yang diekspor sama dengan jumlah yang diimpor untuk suatu produk, maka indeksnya

(30)

14 akan bernilai 100. Sebaliknya apabila perdagangan suatu negara hanya melibatkan satu pihak saja (ekspor atau impor saja) maka nilai indeksnya adalah 0.

Tabel 2. Klasifikasi dari nilai IIT (Austria, 2004)

Intra Industri Trade Klasifikasi

0.00 No integration (one way trade)

>0.00 – 24.99 Weak integration

25.00 – 49.99 Mild Integration

50.00 – 74.99 Moderately strong integration

75.00 – 99.99 Strong integration

2.4. Model Gravitasi (gravity model)

Gravity model menampilkan analisis empiris dari pola aliran perdagangan

bilateral antara negara-negara yang berada pada daerah-daerah yang berbeda secara geografis. Gravity model pertama kali digunakan dalam analisis perdagangan internasional oleh Jan Tinberger pada tahun 1962 untuk menganalisis aliran perdagangan antara negara-negara Eropa (Head, 2003).

Nama model ini diambil dari bentuk dasarnya yang mampu memprediksi perdagangan berdasarkan pada jarak antar negara dan interaksi antara besarnya ukuran perekonomian antar negara. Hal ini mengikuti prinsip dari hukum gravitasi Newton yang juga memperhitungkan jarak dan ukuran fisik antara dua obyek. Pada gravity model aliran perdagangan bilateral ditentukan oleh tiga kelompok variabel, yaitu :

1. Variabel-variabel yang mewakili total permintaan potensial negara pengimpor. 2. Variabel-variabel indikator total penawaran potensial negara pengekspor. 3. Variabel-variabel pendukung atau penghambat aliran perdagangan antara

negara pengimpor dan negara pengekspor.

Areethamsirikul (2006) dalam penelitiannya mengenai dampak perluasan ASEAN terhadap perdagangan intra-ASEAN menggunakan gravity model, memasukkan parameter ekonomi yang mencakup Gross Domestic Product (GDP) dan GDP per capita. Sedangkan parameter non-ekonomi yang digunakan adalah jarak, perbatasan bersama, bahasa nasional, dan keanggotaan dalam kelompok

(31)

15 perdagangan regional. Parameter non-ekonomi dalam gravity model biasanya bersifat saling mengisi dan melengkapi, dan pada umumnya mencerminkan indikator sosial-politik, hal inilah yang membedakan gravity model dari model-model ekonomi lainnya.

Menurut Bergstand (1985), Koo, Karemera, dan Taylor (1994), dalam Oktaviani (2000), pada umumnya gravity model dirumuskan sebagai berikut:

Tij = f (Yi, Yj, Fij) ... (1)

dimana : Tij = Nilai aliran perdagangan dari negara i ke negara j,

Yi = Gross Domestic Product negara i,

Yj = Gross Domestic Product negara j,

Fij = Faktor-faktor lain yang mempengaruhi perdagangan antara

negara i

dengan negara j.

Gravity model perdagangan antar dua negara berbanding lurus dengan

massa perdagangan mitra dagang dan berbanding terbalik dengan jarak antara mitra dagang. Variabel tambahan seperti area fisik, populasi, keselarasan kultural, dan perbatasan bersama digunakan untuk memperjelas variabel massa ekonomi dan jarak.

2.5. Penelitian Terdahulu

Permasalahan mengenai analisis daya saing suatu negara sudah banyak dilakukan. Beberapa diantaranya penelitian yang dilakukan oleh Oktaviani et al (2008). Penelitian ini berjudul ”Consultancy and Training Services to Develop Quantitative Analytical Tools and Framework for Assessing Investment and Trade Competitiveness” dengan metode analisis RCA, Export Produk Dinamik, CMSA dan CGE. Hasilnya menunjukkan terdapat 194 komoditas Indonesia yang memiliki nilai RCA lebih dari 1 dan tingkat pertumbuhan ekspor yang positif. Berdasarkan matriks ekspor produk dinamik kategori komoditas ekspor dalam kuadran rising star adalah komoditas pertanian dan agroindustri. Berdasarkan CMSA pertumbuhan ekspor Indonesia dipengaruhi efek pertumbuhan impor dan efek komposisi komoditas.

(32)

16 Rendahnya daya saing investasi Indonesia dipengaruhi oleh infrastruktur seperti sedikitnya jalan yang sudah diaspal, sambungan telepon dan koneksi internet yang minim, dan rendahnya konsumsi listrik. Faktor fundamental seperti

share hutang luar negeri terhadap GDP dan tingkat inflasi sangat berpengaruh

terhadap daya saing investasi di Indonesia.

Penelitian lain dilakukan oleh Ito dan Umemoto (2004) tentang pola dan tren perdagangan intra-regional pada sektor industri otomotif di kawasan ASEAN-4, menunjukkan bahwa IIT index memiliki tren yang tetap bila dibandingkan dengan wilayah ASEAN secara keseluruhan, tetapi bernilai lebih rendah bila dibandingkan dengan wilayah NAFTA dan MERCOSUR. Dalam analisis regresi yang mereka lakukan terhadap faktor-faktor determinan IIT diketahui bahwa pada negara-negara yang terlibat AFTA, peningkatan market size, menurunnya perbedaan dalam market size antar negara, dan perluasan yang terjadi dalam industri otomotif merupakan faktor-faktor utama yang menentukan tingkat pertumbuhan IIT. Sedangkan variabel dummy yang berupa free trade agreement (FTA) di tingkat regional, yaitu AFTA, pada sebagian besar analisis ekonometrika yang dilakukan menunjukkan insignifikansi dalam menentukan pertumbuhan IIT di negara-negara yang terlibat AFTA, dalam kasus ini yaitu negara-negara ASEAN-4.

Penelitian Thorpe (2005) yang bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi IIT pada industri manufaktur di Asia Timur 1970-1996 dengan memisahkan IIT menjadi IIT horizontal dan vertikal. IIT horizontal timbul sebagai akibat adanya economies of scale dan differensiasi produk sedangkan vertikal terjadi pada perdagangan komoditi yang sama dengan kualitas yang berbeda. Selain itu, Thorpe (2005) menggunakan model gravity, yang hasilnya menunjukkan bahwa faktor yang signifikan mempengaruhi IIT pada sektor manufaktur di Asia Timur adalah GDP, perbedaan GDP, GDP perkapita, perbedaan GDP perkapita, jarak, kurs, ketidakseimbangan perdagangan, dan

(33)
(34)

17

BAB III

METODOLOGI KAJIAN 3.1. Kerangka Pemikiran

Ketergantungan pasar ekspor Indonesia terhadap pasar tradisionil masih relatif tinggi. Pangsa ekspor ke lima negara utama (concentration ratio/CR 5) yaitu Amerika, Jepang, China, Singapura, dan Malaysia mencapai 48%. Ketergantungan yang tinggi terhadap pasar ekspor tertentu, sangat beresiko apabila terjadi guncangan ekonomi. Seperti krisis moneter tahun 2008 yang

terjadi di Amerika, telah menurunkan nilai ekspor Indonesia dari US$ 13,04

miliar pada tahun 2009 menjadi US$ 10,85 miliar pada tahun 2009 (BPS, 2010).

Gambar 3. Kerangka Pemikiran

Pangsa 5 negara utama pasar

ekspor masih tinggi 48%

Pangsa 10 produk utama

ekspor masih tinggi 68,5%

• Identifikasi pasar dan produk potensial ekspor di Asia dan

Afrika Permasalahan pengembangan

pasar dan produk

Ketergantungan yang tinggi pada beberapa produk dan negara

pasar ekspor tertentu Rentan terhadap guncangan

ekternal

Diperlukan Diversifikasi produk dan Pasar ekspor

• Export Potential Assessment (komoditi dan pasar tujuan)

(35)

18 Salah satu cara untuk menurunkan resiko ekspor adalah dengan mengurangi ketergantungan terhadap pasar tertentu atau dengan menurunkan nilai CR5. Dalam rencana strategis Kementrian Perdagangan tahun 2010-2014, nilai CR5 ditargetkan akan menurun rata – rata 1% per tahun, sehingga pada tahun 2014 dicapai nilai CR5 sebesar 43%. Pengurangan CR5 dilakukan melalui pengembangan pasar ekspor di negara-negara potensial.

Negara-negara di Asia dan Afrika memiliki potensi yang cukup tinggi sebagai tujuan ekspor, karena: (1) lokasinya relatif dekat dengan Indonesia sehingga relatif efisien dalam hal transportasi; (2) penetrasi pasar relatif mudah dengan rendahnya hambatan terutama hambatan non tarif; dan (3) Kedekatan budaya sehingga produk Indonesia mudah diterima. Dari sekitar 40 negara di Asia yang tidak termasuk sebagai anggota Asean dan CR5, serta 60 negara Afrika, perlu dipilih negara yang memiliki potensi relatif tinggi sebagai pasar ekspor. Selanjutnya dari negara terpilih ditetapkan komoditas yang potensial untuk diekspor ke negara tersebut. Berdasarkan informasi negara dan komoditas yang potensial, bisa dirumuskan strategi kebijakan-kebijakan untuk meningkatkan daya saing di negara-negara tujuan ekspor di Asia dan Afrika.

3.2. Jenis dan Sumber data

Data yang diperlukan dalam kajian kebijakan pengembangan pasar dan produk ekspor ini terdiri dari dari data primer dan data sekunder, baik dalam bentuk data kualitatif maupun data kuantitatif. Data primer yang diperlukan berupa kondisi internal dalam negeri yang terkait dengan proses produksi beberapa komoditas ekspor dan dukungan bagi eksportir. Data primer diperoleh dari pelaku usaha (produsen dan eksportir), birokrat dan akademisi, melalui wawancara dan FGD (focus group disscussion).

Data sekunder aliran perdagangan antara negara Indonesia dengan negara-negara di kawasan Asia dan Afrika berasal dari COMTRADE yang dikeluarkan oleh United Nations Commodity Trade Statistics Database. Selain itu, digunakan pula data pendukung lain yang bersumber dari World Bank dan International

(36)

19

Monetary Fund (IMF), Kementerian Perdagangan dan BPS serta sumber lain yang

relevan.

3.3. Metode Analisis

Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini disesuaikan dengan tujuan penelitian.

1. Trade Performance Index (TPI)

Digunakan untuk:

1. Menentukan kelompok negara di kawasan Afrika dan Asia yang memiliki prioritas tinggi sebagai tujuan ekspor

2. Menentukan komoditas prioritas untuk dikembangkan sesuai dengan potensi sosial ekonomi yang dimiliki baik dari sisi internal maupun eksternal masing-masing komoditas.

Analisis data menggunakan Trade Performance Index dari ITC (International

Trade Centre) diukur dengan metode komposit dari empat (4) indeks performa, yaitu:

1. Indeks performa pangsa ekspor Indonesia

2. Indeks performa impor tahun terakhir dan pertumbuhan impor dari pasar dunia.

3. Indeks performa suplai domestik

4. Indeks performa dampak sosial ekonomi

Komponen indikator tiap indek performa adalah sebagai berikut :

Performa Ekspor - Ekspor - Pertumbuhan Ekspor - Neraca Perdagangan Relatif - Share Perdagangan Dunia Performa Dampak Sosial Ekonomi - Penyerapan Tenaga Kerja Performa Pasar dunia - Pertumbuhan Impor Dunia - Akses Pasar Performa Suplai Domestik: - Nilai tambah - Efisiensi asset

(37)

20 Penentuan komoditi prioritas dilakukan dengan menghitung nilai indek indikator, nilai indek performa dan indek komposit. Indikator yang memiliki nilai terendah diberi indek 1, tertinggi diberi indek 5 dan yang nilainya berada diantara terendah dan tertinggi dihitung menggunakan rumus sebagai berikut:

Nr

Nt

Ir

It

Nj

Nt

It

IIj

(

)

(

)

dimana:

IIj = Indek indikator ke-j (yang dicari indeknya))

It = indek tertinggi (yaitu 5)

Ir = indek terendah (yaitu 1)

Nt = nilai indikator tertinggi

Nr = nilai indikator terendah

Nj = nilai indikator ke-j (yang dicari indeknya)

Nilai indek performa ke-i merupakan rataan dari j indek indikatornya. Rumus yang digunakan adalah:

j IIj IP

dimana: IP = indek performa

IIj = indek indikator ke-j

j = jumlah indikator performa

Indek komposit Ik dihitung dengan menggunakan rumus:

pi

p

piIPi

IP

p

Ik

..

1

...

1

1

dimana: Ik = indek komposit

IPi = indek performa ke-i

pi = pembobot indek performa ke-i

(38)

21 Prioritas tertinggi adalah komoditas yang memiliki indek komposit tertinggi dan sebaliknya.

2. Export Product Dynamics (EPD)

Salah satu indikator yang dapat memberikan gambaran yang baik tentang tingkat daya saing adalah Export Product Dynamics (EPD). Indikator ini mengukur posisi pasar dari produk suatu negara untuk tujuan pasar tertentu. Ukuran ini mempunyai kemampuan untuk membandingkan kinerja ekspor diantara negara-negara di seluruh dunia. Selain itu, dengan menggunakan EPD dinamis atau tidaknya performa suatu produk dapat diketahui. Sebuah matriks EPD terdiri dari daya tarik pasar dan informasi kekuatan bisnis. Daya tarik pasar dihitung berdasarkan pertumbuhan dari permintaan sebuah produk untuk tujuan pasar tertentu, dimana informasi kekuatan bisnis diukur berdasarkan pertumbuhan dari perolehan pasar (market share) sebuah negara pada tujuan pasar tertentu. Kombinasi dari daya tarik pasar dan kekuatan bisnis ini menghasilkan karakter posisi dari produk yang ingin dianalisis ke dalam empat kategori. Keempat kategori itu adalah “Rising Star”, “Falling Star”, “Lost Opppotunity”, dan

“Retreat”.

Tabel 3. Matriks Posisi Daya Saing Share of Country’s Export in World Trade

Share of Product in World Trade Rising

(Dynamic)

Falling (Stagnant)

Rising (Competitive) Rising Star Falling Star

Falling (Non-Competitive) Lost Opportunity Retreat

Sumber: Esterhuizen, 2006

Komoditi yang diestimasi posisi daya saingnya akan menempati salah satu dari empat kuadran (Tabel 3.1), tergantung dari daya tarik pasar dan kekuatan bisnis komoditi tersebut. Dengan dimasukkannya komoditi yang diuji ke dalam matriks EPD akan lebih mudah untuk melihat posisi dayasaing masing-masing komoditi.

(39)

22 Adapun yang dimaksud dengan pangsa pasar ekspor suatu negara (negara i) dan pangsa pasar produk (produk n) dalam perdagangan dunia adalah sebagai berikut:

Sumbu x: Pertumbuhan pangsa pasar ekspor i =

T X X X X t t n t in t t t n in % 100 % 100 1 1 1               

Sumbu y: Pertumbuhan pangsa pasar produk n =

T X X X X t t t n t t t n % 100 % 100 1 1 1                 

  

Dengan: X = volume ekspor

T = jumlah tahun t = tahun ke-t

Posisi pasar yang ideal adalah yang mempunyai pangsa pasar tertinggi pada ekspornya sebagai “Rising Star” atau “bintang terang”, yang menunjukkan bahwa negara tersebut memperoleh tambahan pangsa pasar pada produk mereka yang bertumbuh cepat (fast-growing products). “Lost Opportunity” atau “kesempatan yang hilang”, terkait dengan penurunan pangsa pasar pada produk-produk yang dinamis, adalah yang posisi yang paling tidak diinginkan. “Falling Star” atau “bintang jatuh” juga tidak disukai, meskipun masih lebih baik jika dibandingkan dengan “Lost Opportunity”, karena pangsa pasarnya tetap meningkat. Sementara itu, “Retreat” atau “kemunduran” biasanya tidak diinginkan, tetapi pada kasus tertentu 'mungkin' diinginkan jika pergerakannya menjauhi produk-produk yang stagnan dan menuju produk-produk yang dinamik (Bappenas, 2009).

3. Constant Market Share Analysis (CMSA)

Pendekatan Constant Market Share Analysis (CMSA) digunakan untuk mengukur dinamika perdagangan suatu industri dari suatu negara. Penggunaan pendekatan ini didasarkan pada pemahaman bahwa laju pertumbuhan ekspor suatu negara bisa lebih kecil, sama, atau lebih tinggi daripada laju pertumbuhan ekspor rata-rata dunia.

(40)

23 Jadi dalam analisis CMSA, lambat atau tingginya laju pertumbuhan ekspor suatu negara dibandingkan laju pertumbuhan standar (rata-rata dunia) diuraikan menjadi tiga faktor, yakni pertumbuhan impor, komposisi komoditi, dan daya saing. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut:

Efek Pertumbuhan impor :

mXijk1

Dimana m = Persentase peningkatan impor umum di negara k

Xijk1 = Ekspor komoditi i dari negara j ke negara k tahun ke-(t-1)

Efek Komposisi komoditi ekspor :

{(mi - m)Xijk1}

Dimana m = Persentase peningkatan impor umum di negara j

mi = Persentase peningkatan impor komoditi i di negara k

Xijk1 = Ekspor komoditi i dari negara j ke negara k tahun ke-(t-1)

Efek Daya saing :

{Xijk2 – Xijk1 – mi Xijk1}

Dimana mi = Persentase peningkatan impor komoditi i di negara j

Xijk1 = Ekspor komoditi i dari negara j ke negara k tahun ke-(t-1)

Xijk2 = Ekspor komoditi i dari negara j ke negara k tahun ke-(t)

4. Gravity Model

Aliran dan keterkaitan perdagangan Indonesia ke kawasan Asia dan Afrika digambarkan dengan besarnya ekspor komoditi unggulan ekspor Indonesia ke kawasan Asia dan Afrika. Sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhinya dianalisis menggunakan gravity model dengan metode panel. Variabel-variabel yang digunakan sebagai penjelas dalam penelitian ini mengacu pada penelitian Ito dan Umemoto (2004) dengan melakukan beberapa penyesuaian.

ij ij i j ij ij EXR GDP ECODIST u X   ln

XVOL

 ln  ln  ln  ln 01234 dimana: ij

X = Nilai ekspor komoditas dari negara i ke negara j (US$)

ij

(41)

24

j

EXR = Nilai tukar mata uang negara mitra dagang (Mata Uang

Nasional/US$)

ij

GDP = Tingkat perekonomian antar negara (PPP, US$)

ij

ECODIS = Jarak ekonomi antara kedua negara

ij

u = error term

Adapun rumus untuk jarak ekonomi adalah

ij ECODIS =

kawasan j ij GDP GDP DIS dimana: ij

ECODIS = Jarak ekonomi antara kedua negara

ij

DIS = Jarak ibu kota negara i dengan ibu kota negara j (km)

j

GDP = Tingkat perekonomian negara j (PPP, US$)

GDPkawasan = Jumlah GDP kawasan pasar

Estimasi gravity model yang dilakukan dalam penelitian menggunakan panel data karena dapat memberikan informasi yang lebih akurat mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi aliran perdagangan komoditas yang diteliti. Terdapat dua pendekatan dalam metode data panel, yaitu Fixed Effect Model (FEM) dan

Random Effect Model (REM). Keduanya dibedakan berdasarkan ada atau

tidaknya korelasi antara komponen error dengan peubah bebas.

Misalkan:

it i it it

y  X  

Pada one way, komponen error dispesifikasikan dalam bentuk:

it  i uit

Untuk two way, komponen error dispesifikasi dalam bentuk: it    i i uit

Pada pendekatan one way komponen error hanya memasukkan komponen

(42)

25 efek dari waktu (μt) ke dalam komponen error. uit diasumsikan tidak berkorelasi

dangan Xit. Jadi perbedaan antara FEM dan REM terletak pada ada atau tidaknya

korelasi antara λi dan μt dengan Xit.

FEM muncul ketika antara efek individu dan periode memiliki korelasi

dengan Xit atau memiliki pola yang sifatnya tidak acak. Asumsi ini membuat

komponen error dari efek individu dan waktu menjadi bagian dari intersep, yaitu: Untuk one way komponen error: yit = αi + λi + Xit β + uit

Untuk two way error component: yit = αi + λi + μi + Xit β + uit

Penduga pada FEM dihitung dengan empat teknik sebagai berikut Pooled Least

Square (PLS), Within Group (WG), Least Square Dummy Variable (LSDV), Two Way Error Components Fixed Effect Model.

REM muncul ketika antara efek individu dan periode tidak berkorelasi

dengan Xit atau memiliki pola yang sifatnya acak. Asumsi ini membuat komponen

error dari efek individu dan waktu dimasukkan ke dalam error, dimana:

Untuk one way error component: yit = αi + Xit β + uit+ λi Untuk two way error component: yit = αi + Xit β + uit+ λi + μi

Terdapat dua jenis pendekatan dalam REM, yaitu: Pendekatan Between Estimator,

dan Generalized Least Square (GLS).

Pemilihan model yang digunakan dalam sebuah penelitian perlu dilakukan berdasarkan pertimbangan statistik.

Gambar 4. Pengujian Pemilihan Model Dalam Pengolahan Data Panel

FIXED EFFECT RANDOM EFFECT POOLED LEAST SQUARE Hausman Test LM Test Chow Test

(43)

26 Selanjutnya untuk menghasilkan model yang efisien, tidak bias, dan konsisten, maka perlu dilakukan pendeteksian terhadap pelanggaran atau gangguan asumsi dasar model ekonometrika, yang antara lain berupa gangguan antar waktu (time-related disturbance), gangguan antar individu atau dalam kasus ini pasangan negara (cross sectional disturbance), dan gangguan akibat keduanya. Pengevaluasian yang dilakukan menyangkut uji Multikolinearitas, Autokorelasi, dan Heteroskedastisitas.

(44)

27

Tabel 4. Metode Analisis, Data dan Sumber Data

No Tujuan kajian Metode analisis Data Sumber Output

1. Mengidentifikasi pasar ekspor non

migas di kawasan Asia dan Afrika

TPI CMSA EPD Data Sekunder BPS, UNCOMTRADE, IFS, CEPII Pasar potensial di Asia dan Afrika

2. Mengidentifikasi produk potensial

ekspor non migas di kawasan Asia dan Afrika TPI CMSA EPD Data Sekunder BPS, UNCOMTRADE, IFS, CEPII Produk Potensial di Asia dan Afrika

3. Menganalisis permasalahan dalam

pengembangan pasar dan produk

potensial ekspor non migas di kawasan Asia dan Afrika

Analisis Deskriptif Kulaitatif

Data Primer FGD, Survey Hambatan dan

Peluang pasar serta produk potensial

4. Menyusun strategi dan rekomendasi

kebijakan pengembangan pasar dan produk ekspor non migas di kawasan Asia dan Afrika

Analisis Deskriptif Kualitatif dan Gravity Model Data Primer Data Sekunder FGD, Survey BPS, UNCOMTRADE, IFS, CEPII Rumusan Kebijakan

(45)

28

BAB IV

GAMBARAN UMUM EKSPOR NON MIGAS

KE KAWASAN ASIA DAN AFRIKA

4.1. Kinerja Ekspor Ke Kawasan Asia dan Afrika

Pertumbuhan ekspor non migas Indonesia selama kurun waktu lima tahun terakhir ke kawasan Asia dan Afrika menunjukkan penguatan yang berkesinambungan. Pada periode tahun 2006-2010 ekspor non migas ke Asia tumbuh 12,9 persen per tahun, sementara ke Afrika tumbuh 13,0 persen per tahun. Produk yang paling banyak diekspor ke kawasan Afrika adalah produk ikan olahan dengan share 26,4 persen pada tahun 2010.

0.0 10.0 20.0 30.0 40.0 50.0 60.0 70.0 80.0 90.0 2006 2007 2008 2009 2010 TW I 2011 49.9 59.0 69.6 64.9 87.5 25.0 2.0 2.5 3.3 2.8 3.5 1.1 U S$ M il ia r

Perkembangan Ekspor Non Migas ke Asia dan Afrika ASIA

AFRIKA

Trend ekspor (2006-2010) Asia : 13,0% Afrika : 12,9%

Gambar 5. Perkembangan Ekspor Non Migas Indonesia ke Asia dan Afrika Sumber: BPS, 2011 (diolah Puska Daglu)

Saat ini dominasi sepuluh komoditas utama ekspor Indonesia mulai berkurang, dimana sejak tahun 2007 pangsa ekspor komoditas utama sudah dibawah 50 persen dari ekspor total non migas. Komoditas ekspor mulai terdiversifikasi seiring makin banyaknya produk potensial. Sepuluh komoditas ekspor utama Indonesia adalah tekstil dan produk tekstil (TPT), produk hasil hutan, elektronik, karet dan produk karet, sawit dan produk sawit, otomotif, alas kaki, udang, kakao, dan kopi. Produk potensial juga semakin kompetitif di pasar global, seperti makanan olahan, perhiasan, ikan dan produk ikan, kerajinan,

(46)

29 rempah-rempah, kulit dan produk kulit, peralatan medis, minyak atsiri, peralatan kantor, dan tanaman obat.

Tabel 5. Kinerja Ekspor Non Migas Indonesia ke Negara Asia

Perub.(%) Perub(%) Trend (%) Pangsa (%)

2006 2007 2008 2009 2010 TW I 2010 TW I 2011 2011/2010 2010/2009 2006-2010 2010 1 Jepang 12,198.6 13,092.8 13,795.3 11,979.0 16,496.5 3,683.0 4,369.5 18.64 37.71 5.28 12.72 2 R.R Tiongkok 5,466.6 6,664.1 7,787.2 8,920.1 14,080.9 3,088.1 3,632.5 17.63 57.86 24.41 10.85 3 India 3,326.5 4,885.0 7,060.9 7,351.4 9,851.2 2,080.0 2,633.0 26.59 34.01 29.44 7.59 4 Singapura 7,824.2 8,990.4 10,104.6 7,947.6 9,553.6 2,281.1 2,692.0 18.01 20.21 2.80 7.36 5 Malaysia 3,789.6 4,593.1 5,984.5 5,636.4 7,753.6 1,661.3 2,548.4 53.40 37.56 17.78 5.98 6 Korea Selatan 3,414.6 3,746.4 4,660.3 5,174.3 6,869.7 1,658.1 1,960.4 18.24 32.77 18.78 5.29 7 Thailand 2,054.1 2,646.9 3,214.5 2,598.4 4,054.4 893.0 1,829.9 104.91 56.03 14.36 3.13 8 Taiwan 2,284.8 2,337.8 2,901.2 2,875.5 3,252.3 748.5 918.8 22.76 13.10 9.56 2.51 9 Pilipina 1,377.4 1,828.5 2,051.4 2,356.8 3,117.0 728.2 943.3 29.54 32.25 20.77 2.40 10 Hongkong 1,703.2 1,687.5 1,808.8 2,111.8 2,501.4 527.0 703.3 33.44 18.45 10.44 1.93 11 Vietnam 1,021.9 1,355.0 1,672.8 1,453.9 1,945.8 366.1 494.6 35.09 33.84 14.55 1.50 12 Emirat Arab 1,012.7 1,324.8 1,650.7 1,265.1 1,473.9 329.7 397.3 20.50 16.51 7.30 1.14 13 Arab Saudi 672.1 944.2 1,191.9 956.2 1,167.3 260.4 325.0 24.82 22.07 11.82 0.90 14 Turki 724.1 1,045.2 871.6 678.4 1,073.7 219.5 347.2 58.18 58.27 3.62 0.83 15 Bangladesh 427.1 633.0 835.9 780.6 990.6 191.5 239.9 25.28 26.90 20.83 0.76 16 Pakistan 733.8 934.0 924.4 664.1 682.7 139.0 147.2 5.90 2.80 -4.74 0.53 17 Iran 312.9 472.9 697.3 507.0 639.4 112.3 156.6 39.40 26.11 16.17 0.49 18 Sri Lanka 424.4 414.6 353.6 246.3 297.8 69.9 95.1 35.95 20.93 -11.57 0.23 19 Myanmar 137.4 261.8 249.0 174.6 283.7 88.3 66.4 -24.81 62.46 11.02 0.22 20 Kamboja 103.6 121.9 174.0 201.2 217.2 51.8 62.6 20.88 7.95 21.91 0.17 21 Papua Nugini 65.6 69.9 81.0 88.4 153.2 24.2 86.5 257.93 73.28 21.28 0.12 22 Yordania 181.1 119.5 353.0 131.8 137.7 31.2 33.7 8.12 4.49 -4.40 0.11 23 Oman 45.4 98.2 151.9 92.9 115.7 22.0 47.3 114.86 24.63 19.89 0.09 24 Yaman 90.2 123.8 112.8 102.4 114.9 24.3 25.6 5.40 12.30 3.00 0.09 25 Israel 0.0 0.1 94.4 78.0 107.8 25.9 44.8 72.79 38.12 0.00 0.08 26 Kuwait 90.8 129.4 137.0 101.5 97.8 20.7 25.7 24.28 -3.60 -0.93 0.08 27 Qatar 101.7 146.4 83.4 73.8 72.9 15.6 16.5 5.75 -1.25 -12.64 0.06 28 Siria 55.7 79.5 98.8 90.1 68.6 16.9 18.5 9.54 -23.79 5.57 0.05 29 Brunai Darussalam 37.6 43.4 59.7 74.9 61.0 13.5 15.5 14.77 -18.56 16.35 0.05 30 Libanon 22.7 44.3 67.1 67.2 58.4 16.4 14.7 -10.49 -13.11 25.95 0.04 31 Afganistan 6.1 7.3 10.6 22.0 53.9 7.8 10.3 31.89 145.10 72.87 0.04 32 Irak 65.8 11.9 264.4 40.6 51.9 3.8 83.6 2,072.64 27.85 7.80 0.04 33 Bahrain 26.2 35.0 60.5 25.2 40.5 6.7 6.8 0.44 60.89 5.60 0.03 34 Malade 19.8 23.6 28.7 19.5 22.3 5.3 5.0 -5.25 14.37 0.50 0.02 35 Nepal 9.1 12.4 15.4 12.9 15.9 2.8 7.8 181.54 23.23 12.31 0.01 36 Korea Utara 13.4 0.4 7.0 8.0 11.8 6.6 4.6 -29.54 47.23 30.84 0.01 37 Siprus 11.3 12.5 15.6 13.8 10.8 3.4 3.2 -6.84 -21.63 0.09 0.01 38 Mongolia 2.8 5.7 2.9 3.4 7.7 1.4 0.6 -59.86 128.08 15.77 0.01 39 Laos 4.3 3.7 4.0 4.7 5.5 0.6 2.4 296.92 18.04 7.27 0.00 40 Bhutan 0.6 0.0 0.0 1.8 5.0 3.1 0.7 -76.35 172.73 157.58 0.00 41 Macau 13.4 3.9 4.6 4.3 3.9 1.1 1.0 -12.40 -10.71 -21.04 0.00 42 Palestina 1.3 0.0 0.5 0.0 0.1 0.0 0.1 249.02 0.00 0.00 0.00

43 Asia Timur Lainnya 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 - 0.00 0.00 0.00

44 Batam 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 - 0.00 0.00 0.00

45 Asia Sel. & Teng. Lainnya 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 - 0.00 0.00 0.00

46 Aden 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 - 0.00 0.00 0.00

47 Asia Barat Lainnya 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 - 0.00 0.00 0.00

Realisasi Ekspor Non Migas Indonesia ke Asia (US$ Juta) URAIAN

No

0

Gambar

Gambar 1. Rata-rata Pangsa Ekspor Negara Tujuan Utama   Sumber: BPS, diolah.
Tabel 2. Klasifikasi dari nilai IIT (Austria, 2004)
Gambar 3. Kerangka Pemikiran
Gambar 4.  Pengujian Pemilihan Model Dalam Pengolahan Data Panel
+7

Referensi

Dokumen terkait

Algoritma ini juga dapat digunakan untuk mencari total biaya (cost) dari lintasan terpendek yang dibentuk dari sebuah simpul ke sebuah simpul tujuan. Sebagai contoh,

"Kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan 'imbalan

Jadi, dapat disimpulkan bahwa pengaruh Metode Bercerita Menggunakan Big Book Terhadap Kemampuan Menyimak Anak Usia 5- 6 Tahun Di Paud Natezra Kid’s Pasir Putih

Untuk dapat meningkatkan motivasi belajar peserta didik, sekaligus untuk meningkatkan hasil belajar peserta didik, maka diperlukan suatu upaya yang harus

34 menjelaskan bahwa kemudaratan yang dapat ditimbulkan oleh perjudian antara lain, selain perbuatan itu sendiri merupakan cara peralihan (memakan) harta dengan

Lingkari jika pasien selalu ditempat tidur :Selalu ditempat tidur artinya tergantung pada perawat secara total  (RT + Selalu di tempat tidur = RR) Selalu Di Tempat

Data hasil pengujian lelah (fatigue) dengan menggunakan standar ASTM E466 dengan nilai tegangan lentur maksimum 386,23 Mpa diperoleh pada beban pengujian lelah 18 kgf, spesimen

Berarti juga, anak-anak yang tidak terdidik di Republik ini adalah "dosa" setiap orang terdidik yang dimiliki di Republik ini.. Anak-anak nusantara