• Tidak ada hasil yang ditemukan

AGRIBISNIS SAPI POTONG: Di Indonesia dan Provinsi Nusa Tenggara Timur

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "AGRIBISNIS SAPI POTONG: Di Indonesia dan Provinsi Nusa Tenggara Timur"

Copied!
220
0
0

Teks penuh

(1)

AGRIBISNIS SAPI POTONG:

Di Indonesia dan Provinsi Nusa Tenggara Timur

Achmad Firman

Obed Haba Nono

(2)

i

AGRIBISNIS SAPI POTONG:

Di Indonesia dan

Provinsi Nusa Tenggara Timur

Di susun oleh:

Achmad Firman

Obed Haba Nono

(3)

Copyright@2020, Achmad Firman, Obed Haba Nono, Ahmad Romadhoni Surya Saputra

Hak cipta dilindungi oleh undang-undang.

Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku tanpa izin tertulis dari Penerbit

Cetakan pertama, 2020 Diterbitkan oleh Unpad Press Grha Kandaga, Perpustakaan Unpad Lt. IV Jl. Raya Bandung – Sumedang Km 21 Bandung 45363

e-mail: press@unpad.ac.id/pressunpad@gmail.com http://press.unpad.ac.id

Editor :

Dr. Ir. Ahmad Dading Gunadi, MA Reviewer:

Dr. Ir. Linda Herlina, MS Dr. Ir. Marina Sulistyati, MS

Judul: AGRIBISNIS SAPI POTONG: DI INDONESIA DAN PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

Penulis: Achmad Firman (Unpad), Obed Haba Nono (Undana), Ahmad Romadhoni Surya Saputra (UGM)

Disain Cover: Achmad Firman

Ukuran 17 x 24 cm, 115 halaman

ISBN: 978-602-439-846-0

(4)

Kata Pengantar

Puji syukur penulis panjatkan kepada Alloh SWT yang telah memberikan ilmu dan pengetahuan, kesehatan, dan kelancaran kepada penulis sehingga buku ini dapat diselesaikan. Buku ini menggambungkan pendekatan teori dan hasil penelitian penulis sehingga diharapkan bisa memberikan pendekatan yang komprehensif atas informasi yang disampaikan di buku ini.

Penyusunan buku ini didasarkan pada keterbatasan ketersediaan buku manajemen agribisnis yang memadukan teori serta aplikasi agribisnis khususnya agribisnis sapi potong sebagai bahan referensi, baik bagi mahasiswa yang mengambil program studi peternakan ataupun agribisnis, dan khalayak umum. Aplikasi agribisnis sapi potong yang diuraikan di buku ini mengambil beberapa contoh kasus di Indonesia dan Provinsi Nusa Tenggara Timur. Kasus agribisnis dengan ruang lingkup di Indonesia lebih ditekankan pada pengembangan sapi potong melalui peningkatan populasi yang disokong oleh kebijakan, regulasi, dan program-program pemerintah. Adapun Provinsi Nusa Tenggara Timur diambil sebagai bagian dari literatur di buku ini adalah untuk memberikan gambaran sistem agribisnis sapi potong di provinsi ini. Istilah ”Lumbung Sapi” yang disematkan pada provinsi ini harus diinformasikan secara luas supaya khalayak umum memahami bahwa upaya yang dilakukan NTT selama ini mensuplai sapi ke seluruh provinsi di Indonesia memiliki kontribusi yang cukup besar bagi ketahanan pangan asal ternak, khususnya daging sapi.

Penulis sangat berterima kasih kepada Direktur Pengembangan Usaha Kecil, Menengah, dan Koperasi – Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional dan staf serta rekan-rekan yang telah memfasilitasi dan membantu penulis menyusun buku ini. Penulis juga menyadari betul bahwa buku ini masih belum mampu untuk mengungkap informasi secara detail terkait sistem agribisnis sapi potong di Indonesia dan Provinsi Nusa Tenggara Timur. Akan tetapi, mudah-mudahan kekurangan yang ada di buku ini bisa menjadi inspirasi bagi pembaca untuk melengkapi apa yang telah kami tulis.

Penulis,

Achmad Firman Obed Haba Nono

(5)

Kata Sambutan

Suatu penghormatan bagi saya untuk memberikan kata sambutan pada buku ”Agribisnis Sapi Potong: Di Indonesia dan Provinsi Nusa

Tenggara Timur” yang ditulis oleh saudara Achmad Firman, Obed Haba

Nono, dan Ahmad Romadhoni Surya Saputra.

Dunia sapi potong masih banyak yang harus digali. Komoditas ini menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan pertanian di Indonesia. Bahkan, komoditas ini memiliki peranan yang besar bagi masyarakat Indonesia, baik dari sisi produksi ataupun konsumsi. Oleh karena komoditas ini memiliki peran yang besar, pemerintah terus berupaya agar komoditas ini mampu memenuhi permintaan akan daging sapi dari produksi dalam negeri atau kalaupun tidak mampu mengurangi tingkat impor sapi dan daging sapi dari luar negeri yang masih cukup tinggi. Regulasi, kebijakan, dan program yang dikeluarkan pemerintah untuk menyeimbangkan supply dan demand sapi dan daging sapi di Indonesia.

Hal yang cukup menarik disampaikan pada buku ini adalah selain menampilkan industri sapi potong secara umum yang ada di Indonesia, juga menampilkan salah satu provinsi yang menjadi andalan suplai sapi di Indonesia sejak dahulu, yaitu Provinsi Nusa Tenggara Timur. Provinsi ini dikenal sebagai lumbung sapi nasional. Dengan dipublikasikannya buku ini, diharapkan dapat memberikan gambaran potensi dan sistem agribisnis sapi potong yang ada di Provinsi Nusa Tenggara. Selain itu, nuansa-nuansa baru hasil pemikiran dan penelitian yang dituangkan dalam bentuk buku diharapkan dapat berkontribusi bagi pembangunan di Indonesia dan di Provinsi Nusa Tenggara Timur, khususnya pengembangan sapi potong. Saya berpendapat bahwa buku ini bermanfaat bagi para pembaca umumnya dan khususnya kepada mereka yang berperan dalam fungsi-fungsi pelayanan kepada masyarakat, dan para praktisi yang berminat mengembangkan peternakan sapi potong. Semoga buku ini dapat bermanfaat bagi setiap pembaca.

Direktur Pengembangan Usaha Kecil, Menengah, dan Koperasi, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional / Badan Perencanaan Pembangunan Nasional

(6)

Daftar Isi

Kata Pengantar --- iii

Kata Sambutan --- iv

Daftar Isi --- v

Daftar Tabel --- viii

Daftar Gambar --- ix

BAGIAN 1 AGRIBISNIS SAPI POTONG DI INDONESIA --- 1

I. PENDAHULUAN --- 2

1.1. Latar Belakang --- 2

1.2. Tujuan --- 6

1.3. Ruang Lingkup --- 7

II. KONSEP SISTEM AGRIBISNIS --- 8

2.1. Pengertian Sistem Agribisnis --- 8

2.2. Pendekatan Rantai dan Nilai Agribisnis --- 10

2.3. Peranan Sistem Agribisnis --- 11

III. AGRIBISNIS SAPI POTONG DI INDONESIA --- 17

3.1. Gambaran Singkat Sapi Potong di Dunia --- 17

3.2. Penawaran Daging Sapi di Indonesia --- 21

3.2.1. Produksi Sapi Potong --- 23

3.2.2. Produsen Sapi Potong --- 29

3.2.3. Produksi Daging Sapi --- 30

3.2.3.1. Istilah-istilah pada Bagian-Bagian Daging Sapi --- 30

3.2.3.2. Total Produksi Daging Sapi--- 32

3.3. Permintaan Daging Sapi --- 34

3.4. Kesetimbangan Supply Demand Daging Sapi di Indonesia --- 37

3.5. Pembentukan Harga Sapi dan Daging Sapi Potong --- 39

3.6. Distribusi Pemasaran Sapi dan Daging Sapi Potong --- 48

3.6.1. Pemasaran Era Industri 4.0 atau Digital --- 52

(7)

IV. KEBIJAKAN PENGEMBANGAN SAPI POTONG DI

INDONESIA --- 58

4.1. Kebijakan Supply dan Demand --- 58

4.2. Peraturan Perundangan Berkaitan dengan Sapi Potong --- 59

4.3. Kebijakan Pemerintah Terhadap Supply dan Sapi Potong --- 61

4.4. Dampak Kebijakan Pemerintah atas Pengembangan Sapi Potong di Indonesia --- 66

4.5. Arah Kebijakan Pembangunan Peternakan --- 70

V. ANTARA FARM DAN FIRM USAHA SAPI POTONG --- 78

5.1. Antara Farm dan Firm --- 78

5.2. Family Farming dan Feedlot Sapi Potong --- 79

5.2.1. Family Farming: Definisi dan Peranannya --- 79

5.2.2. Firm Sapi Potong: Perusahaan Penggemukan Sapi Potong dan Perusahaan Daging Sapi --- 84

5.3. Kelembagaan dan Kemitraan Sapi Potong --- 88

5.3.1. Kelembagaan Peternak Sapi Potong dan Permasalahannya --- 88

5.3.2. Kelembagaan Pengusaha Sapi dan Daging Sapi serta Permasalahannya --- 91

BAGIAN 2 AGRIBISNIS SAPI POTONG DI NUSA TENGGARA TIMUR --- 95

VI. SEPINTAS KONDISI NUSA TENGGARA TIMUR --- 96

6.1. Kondisi Geografis dan Demografis --- 96

6.2. Kondisi Perekonomian --- 98

6.3. Gambaran Usaha Ternak Sapi Potong di Nusa Tenggara Timur--- 100

VII. POTENSI USAHA SAPI POTONG DI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR--- 104

7.1. Sumber Daya Potensial --- 104

7.2. Komoditas Unggulan Ternak Ruminansia --- 107

7.3. Kebijakan Pembangunan Peternakan di Provinsi Nusa Tenggara Timur --- 111

7.3.1. Kebijakan Pembangunan Peternakan dan Penentuan Kuota Pengeluaran Sapi --- 111

(8)

7.3.2. Sarana dan Prasarana --- 115

7.3.3. Faktor Pendukung --- 120

VIII. SISTEM AGRIBISNIS SAPI POTONG DI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR--- 121

8.1. Populasi Sapi Potong di Nusa Tenggara Timur --- 121

8.2. Subsistem Input dan Sarana Produksi --- 124

8.3. Subsistem Budidaya --- 129

8.3.1. Peternak Sapi Potong di Nusa Tenggara Timur--- 129

8.3.2.Perusahaan Peternakan Sapi Potong di Nusa Tenggara Timur --- 134

8.4. Subsistem Pengolahan --- 136

8.4.1. Rumah Potong Hewan di Nusa Tenggara Timur--- 136

8.4.2. Usaha-usaha Pengolahan Daging Sapi --- 142

8.5. Subsistem Pemasaran --- 143

8.5.1. Potensi Pasar Sapi Potong--- 143

8.5.2. Fasilitasi Pendukung Distribusi Perdagangan Sapi antar Pulau --- 152

8.6. Subsistem Pendukung Agribisnis Sapi Potong di Nusa Tenggara Timur --- 159

8.6.1. Peran Pemerintah Daerah dalam Pengembangan Sapi Potong --- 160

8.6.2. Peran Koperasi Dalam Pengembangan Sapi Potong -- 161

8.6.3. Peran Asosiasi Pedagang Sapi Potong Bagi Pengembangan Sapi Potong --- 166

8.6.4. Peran Perbankan dalam Pengembangan Sapi Potong --- 168

8.6.5. Permasalahan dan Solusi Agribisnis Sapi Potong di Nusa Tenggara Timur --- 186

DAFTAR PUSTAKA --- 191

GLOSARIUM --- 199

(9)

Daftar Tabel

Tabel Halaman

1. Perkembangan Total Suplai Sapi Potong di Indonesia

Tahun 2017 – 2019 --- 28

2. Perbedaan Peternak Sapi Potong Rakyat dan Perusahaan --- 29

3. Jumlah Rumah Tangga dan Perusahaan yang Berusaha di Komoditas Sapi Potong --- 30

4. Perkembangan Total Supply Daging Sapi di Indonesia --- 34

5. Biaya Produksi dan Harga Jual Pedet Peranakan Ongole (PO) Tujuan Pembesaran (1 ekor) --- 42

6. Biaya Produksi Penggemukan dan Harga Jualnya di Koperasi Ternak Gunungrejo Makmur, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur --- 44

7. Biaya Produksi Penggemukan di Feedloter dan Harga Jualnya --- 46

8. Permasalahan Agribisnis Sapi Potong di Indonesia --- 55

9. Kebijakan Pemerintah atas Pasokan dan Demand Sapi dan Daging Sapi Tahun 2015 – 2019 --- 62

10. Dampak Kebijakan Pemerintah atas Komoditas Sapi dan Daging Sapi --- 67

11. Jumlah Semen Beku yang Didistribusikan --- 75

12. Jumlah Sapi Betina Produktif yang menjadi Akseptor --- 75

13. Jumlah Sapi Betina Produktif yang Bunting --- 76

14. Service per Conception (S/C)--- 76

15. Jumlah Pedet yang Lahir Hasil Program Upsus Siwab --- 77

16. Hasil Analisis Komoditas Unggulan untuk Ternak Besar dan Kecil di Provinsi Nusa Tenggara Timur --- 110

17. Catatan Kunjungan pada RPH Oeba dan Waingapu di Provinsi NTT --- 140

18. Pengeluran Sapi Potong dari Beberapa Pelabuhan di Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 2018 --- 154

19. Pengeluran Sapi Melalui Berbagai Pelabuhan di Nusa Tenggara Timur sampai dengan Oktober 2019 --- 156

20. Jumlah Perusahaan Pengirim Sapi ke Luar Provinsi NTT --- 158

21. Analisis Usaha Penggemukan Sapi Bali dengan Modal KUR --- 181

22. Dua Kelompok Peternak yang Mendapat Bantuan Modal dari KUR-BRI --- 183

23. Permasalahan dan Pemecahan Masalah Agribisnis Sapi Potong di Provinsi Nusa Tenggara Timur --- 186

(10)

Daftar Gambar

Gambar Halaman

1. Tingkat Kepadatan Ternak di Berbagai Negara di Dunia --- 19

2. Produksi dan Perdagangan Daging Sapi, Babi, dan Unggas ---- 20

3. Total Supply Sapi dan Daging Sapi di Indonesia--- 22

4. Perkembangan Populasi Sapi di Indonesia dari Tahun 2011-2019 --- 24

5. Target dan Realisasi Tingkat Kebuntingan Sapi Betina dan Kelahiran Pedet Program Upsus Siwab dari 2017-2019 --- 25

6. Perkembangan Pemasukan Sapi --- 26

7. Distribusi Sapi antar Wilayah Provinsi dan Australia --- 27

8. Persentase (%) Bagian-bagian Sapi yang Dipotong --- 31

9. Istilah-istilah Daging pada Bagian Karkas --- 32

10. Perkembangan Produksi dan Impor Daging Sapi (Ton)--- 33

11. Turunan Produk dari Satu Ekor Sapi yang Dipotong --- 34

12. Perhitungan Total Konsumsi Daging Sapi di Indonesia --- 35

13. Pengeluaran Sapi Potong (000 ekor) --- 36

14. Perkembangan Konsumsi Daging Sapi di Indonesia --- 37

15. Suplai dan Permintaan Daging Sapi di Indonesia dari Tahun 2105-2019 --- 38

16. Proses Pembentukan Harga sebagai Dampak dari Supply dan Demad --- 39

17. Perkembangan Rataan Harga Sapi Hidup dan Daging Sapi ---- 41

18. Harga Daging Sapi Pada Setiap Bagian Karkas --- 48

19. Tataniaga Pemasaran --- 49

20. Saluran Pemasaran Sapi dan Daging Sapi --- 50

21. Pola Saluran Pemasaran Sapi Potong antar Negara dan Provinsi di Indonesia --- 51

22. Saluran Pemasaran Era Industri 4.0 --- 53

23. Periodisasi Undang-undang Peternakan dan Kesehatan Hewan di Indonesia --- 60

24. Kebijakan Floor Price pada Harga Daging Sapi --- 65

25. Kegagalan Demi Kegagalan dari Arah Pembangunan Sapi Potong di Indonesia --- 71

26. Anggaran yang Dikeluarkan Pemerintah untuk Program Upsus Siwab dari Tahun 2017 – 2019 --- 74

27. Prosentase Kemiskinan di Provinsi NTT --- 98

(11)

29. Kontribusi Sektor-sektor Perekonomian terhadap PDRB

Tahun 2018 di Provinsi Nusa Tenggara Timur --- 100

30. Perkembangan Populasi Ternak Besar di NTT --- 122

31. Sapi Sumba Ongole (1) dan Sapi Bali (2) di Provinsi NTT --- 122

32. Subsistem Input dan Sarana Produksi --- 124

33. (1) Situasi Padang Savana dan (2) Kelompok Setetes Madu Peternak Sapi di Kabupaten Kupang --- 126

34. (1) Instalasi Wahibur Pembibitan Sapi Bali dan (2) Diskusi Pengalaman Pedagang (HP2SKI) Sapi Bermitra dengan Peternak Sapi di Nusa Tenggara Timur --- 128

35. Subsistem Budidaya Sapi Potong --- 129

36. Sistem Pemeliharaan Ekstensif di Provinsi NTT --- 131

37. Sistem Pemeliharaan Semi Intensif di Kabupaten Timor Tengah Utara --- 133

38. Sistem Pemeliharaan Intensif pada Penggemukan Sapi Bali di Kabupaten Kupang --- 134

39. Pembibitan Sapi Sumba Ongole di PT. Asiabeef, Kabupaten Sumba Timur --- 135

40. Subsistem Pengolahan pada Komoditas Sapi Potong --- 136

41. Proses Pemotongan Sapi di RPH Oeba, Kota Kupang --- 140

42. Subsistem Pemasaran pada Komoditas Sapi Potong --- 143

43. Pasar Demand Sapi Potong di Nusa Tenggara Timur --- 144

44. Saluran Pemasaran Sapi dan Daging Sapi di Nusa Tenggara Timur --- 143

45. Kegiatan di Pasar Hewan Lili, Kabupaten Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur--- 150

46. Kuota dan Realisasi Pengeluaran Ternak Sapi Provinsi Nusa Tenggara dari Tahun 2014 – Oktober 2019 --- 151

47. Tempat Penampungan Sapi di Balai Karantina Tenau (1) dan Tol Laut CN3 (2) --- 153

48. Pengiriman Sapi Perbulan Keluar Provinsi NTT di Tahun 2018 --- 155

49. Pengiriman Sapi perbulan sampai dengan Oktober 2019 --- 157

50. Subsistem Kelembagaan Agribisnis --- 160

(12)

1

Bagian 1

AGRIBISNIS

SAPI POTONG

DI INDONESIA

(13)

Ringkasan

Bab ini berisikan tentang latar belakang, maksud dan tujuan, serta ruang lingkup dari buku ini. Diharapkan dengan memberikan gambaran singkat dari bab ini, pembaca

bisa memahami outline dari buku ini dari awal hingga akhir

1.1. Latar Belakang

ndonesia merupakan negara yang cukup strategis karena menjadi penyangga Benua Asia dan Australia. Indonesia dikategorikan sebagai wilayah yang berpenduduk terbanyak ke empat di dunia. Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi Pemerintah Indonesia di dalam penyediaan lapangan pekerjaan, penyediaan kebutuhan sandang dan pangan, serta alat pemuas kebutuhan lainnya. Pembahasan hal-hal tersebut menjadi pembahasan rutin bagi pemerintah pusat dan daerah, khususnya pangan. Penyediaan pangan menjadi bagian yang tidak dipisahkan dari norma kehidupan karena pangan sebagai sumber utama pemuas kebutuhan konsumsi manusia, terutama kebutuhan pangan pokok. Salah satu pangan pokok bagi masyarakat Indonesia adalah beras. Apabila beras terjadi kelangkaan di pasaran ataupun terjadi kenaikan harga yang cukup signifikan, ataupun hal lainnya yang berkaitan dengan beras, maka masyarakat akan meresponnya dengan berbagai cara, seperti protes, mengkritik ataupun demo atas kondisi tersebut. Hal inilah yang menjadikan beras sebagai pangan politis. Oleh karena itu, pemerintah selalu menjaga stabilitas beras, baik dari sisi ketersediaan ataupun harga.

I

1

(14)

Gambaran stabilisasi beras di atas merupakan ilustrasi betapa pentingnya pangan di dalam pembangunan Indonesia. Pembangunan pangan di Indoneisia tidak hanya difokuskan pada pemenuhan kebutuhan kalori ataupun karbohidrat saja, tetapi juga pemenuhan kebutuhan protein, seperti protein hewani asal ternak. Protein merupakan unsur yang sangat penting bagi kesehatan tubuh. Protein mengandung asam amino yang diperlukan oleh tubuh untuk membangun dan memperbaiki otot dan tulang serta membuat hormon dan enzime. Salah satu produksi protein hewani berasal adalah daging sapi.

Daging sapi merupakan komoditas pangan asal ternak sapi yang dipotong yang diambil dagingnya untuk dikonsumsi. Beberapa tahun terakhir, perkembangan harga daging sapi mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Peningkatan harga daging sapi tersebut tidak serta merta memberikan gairah bagi peternak sapi potong karena konsumen merespon kenaikan harga tersebut dengan mengalihkan konsumsinya ke produk lainnya. Kondisi ini menyebabkan sisi demand dan

supply tidak memberikan respon positif atas kenaikan harga

daging sapi tersebut. Hal ini menjadi signal yang tidak baik bagi industri sapi potong di Indonesia. Oleh karena itu agar kenaikan harga daging sapi tidak naik terus, pemerintah melakukan berbagai upaya, antara lain dengan meningkatkan populasi sapi potong di dalam negeri dan melakukan impor sapi dan daging sapi, khususnya daging kerbau dari India. Pembahasan apa dan mengapa mendatangkan daging kerbau dari India, padahal negara ini belum masuk dalam kategori bebas penyakit mulut dan kuku dibahas pada bab-bab berikutnya.

Berdasarkan gambaran di atas, komoditas daging sapi merupakan komoditas yang mendapat perhatian besar dari pemerintah sehingga upaya-upaya yang dilakukan untuk meredam gejolak kenaikan harga daging sapi diredam dari dua sisi, yaitu sisi supply dan demand. Industri peternakan sapi potong sebagai suatu kegiatan agribisnis mempunyai cakupan

(15)

yang sangat luas. Rantai kegiatan tidak terbatas pada kegiatan produksi atau budidaya sapi tetapi merangkai dari hulu sampai di hilir beserta kegiatan bisnis pendukungnya.

Transformasi usaha sapi potong di Indonesia dari usaha tani yang bersifat tradisional (backyard farming), dangan skala pemeliharaan relatif sedikit 1-4 ekor, dan ternak dipelihara untuk diambil tenaganya, yaitu untuk membajak sawah, bertransformasi menjadi usaha pembiakan, penggemukan, dan penggabungan dari keduanya. Usaha pembiakan dilakukan karena ternak sapi tidak lagi diambil tenaganya untuk membajak sawah karena telah digantikan dengan sistem mekanisasi pertanian, yiatu traktor. Traktor menggantikan peran sapi dalam membajak sawah. Transformasi lainnya yang terjadi adalah adanya kerjasama inti dan plasma dalam usaha penggemukan. Peningkatan permintaan daging sapi direspon dengan bermunculannya usaha-usaha penggemukan sapi yang berasal dari impor. Banyak perusahaan yang menginvestasikan dananya untuk usaha penggemukan sapi potong ini. Perusahaan-perusahaan penggemukan sapi potong dikenal dengan feedloter. Perusahaan ini juga mengajak partisipasi peternak skala kecil untuk bermitra dalam usaha penggemukan sapi yang dikenal dengan istilah inti dan plasma. Peternak diberikan modal berupa sapi impor dan konsentrat serta diberi pengetahuan cara memelihara sapi impor. Disini terjadi alih teknologi pemeliharaan sapi potong dari tradisional ke usaha yang lebih efisien. Penentuan hasil usaha didasarkan pada kenaikan berat badan sapi tersebut selama 3 (tiga) bulan penggemukan.

Berdasarkan Budiana (2016), awal tahun 1980-an, menjadi titik perkembangan bangkitnya industri peternakan sapi potong. Pengertian industri adalah suatu rangkaian kegiatan usaha yang ditangani dengan pendekatan efisiensi, penggunaan managerial skill, dan dilandasi dengan kaidah-kaidah ekonomi. Muncullah apa yang disebut dengan feedlotter atau perusahaan yang bergerak di bidang penggemukan sapi potong. Perusahaan-perusahaan tersebut melakukan

(16)

pemeliharaan sapi bakalan secara intensif, berskala besar, dipelihara dalam waktu 2–3 bulan, dan padat modal. Bibit sapi yang digunakan adalah sapi-sapi muda jantan atau bakalan yang masih dalam fase pertumbuhan sehingga dapat diperoleh pertambahan berat yang maksimum. Awalnya, sapi-sapi yang digemukkan adalah sapi-sapi lokal, tetapi perkembangannya tidak begitu menggembirakan. Akhirnya, para pengusaha penggemukan sapi potong mendatangkan sapi-sapi bakalan asal Australia. Kemudian, usaha feedlot mengalami booming dan merangsang para investor untuk terjun di bisnis penggemukan sapi potong di era tahun 1980-an. Awal, klasterisasi perusahaan penggemukan berada di wilayah Jawa Barat karena berdekatan dengan wilayah DKI Jakarta, akan tetapi pertumbuhan perusahaan penggemukan menyebar ke wilayah Lampung, Jawa Timur, Jawa Tengah serta beberapa provinsi lain.

Keragaman budidaya sapi potong ini mencerminkan adanya variasi pemeliharaan sapi potong yang dilakukan oleh peternak ataupun perusahaan. Tujuan semuanya adalah dalam rangka pemenuhan kebutuhan konsumsi daging sapi di Indonesia. Di Indonesia, terdapat beberapa provinsi yang menjadi andalan sebagai sumber suplai sapi potong, yaitu Provinsi Jawa Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT). Tipikal pemeliharaan sapi potong di NTT dengan cara digembalakan di padang pengembalaan (ekstensif) sedangkan di Jawa Timur dipelihara secara intensif. Perbedaan skala usaha sapi potong antara NTT dan Jawa Timur atau umumnya di Pulau Jawa menjadi hal yang mencolok karena umumnya peternak di NTT memelihara sapi minimal 20 ekor per peternak, sedangkan di Pulau Jawa antara 1 – 5 ekor per peternak.

Harmonisasi supply demand daging sapi mulai terganggu saat Indonesia menerapkan kebijakan untuk membatasi impor bakalan dan daging sapi impor di tahun 2011. Kebijakan ini didasarkan pada capaian populasi sapi potong yang memperlihatkan trend meningkat, sehingga pembatasan impor dilakukan dikarenakan trend tersebut. Data BPS di tahun 2011,

(17)

jumlah populasi sapi potong sebesar lebih dari 14 juta ekor, namun dengan adanya pembatasan impor bakalan dan daging sapi terjadi penurunan populasi di tahun 2013 menjadi 12 juta ekor. Inilah awal terjadinya kegoncangan supply demand di Indonesia. Kondisi tersebut diikuti dengan terjadinya kenaikan harga daging sapi yang melonjak di atas Rp 100 – 130 ribu dan bertahan sampai saat ini. Hal ini membuat pemerintah menjadi panik termasuk executive dan legislative turut merespon kejadian tersebut.

Oleh karena itu, buku ini diberi judul “Agribisnis Sapi Potong: di Indonesia dan Provinsi Nusa Tenggara Timur”. Hal ini dimaksudkan mengupas agribisnis sapi potong secara umum di Indonesia, serta di Provinsi Nusa Tenggara Timur karena provinsi ini menjadi sumber pemasok sapi potong ke seluruh Indonesia. Penekanan agribisnis sapi potong di Indonesia adalah lebih pada gambaran umum agribisnis serta kebijakan-kebijakan pemerintah atas dukungannya terhadap pengembangan sapi potong. Adapun aktivitas agribisnis sapi potong di Provinsi Nusa Tenggara Timur digambarkan dari subsistem hulu sampai dengan hilir agar pembaca dapat memahami secara utuh dan kongkris bisnis sapi potong di provinsi tersebut.

1.2. Tujuan

Indonesia merupakan negara yang cukup luas dan sumber daya yang cukup melimpah. Di samping itu, keragaman budaya serta adat istiadat, dan sumber daya alam yang melimpah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari negara Indonesia. Buku ini merupakan sumbangan informasi yang mungkin besarnya setara dengan virus jika dibandingkan dengan luasnya Indonesia dan dunia ini. Buku ini adalah buku referensi nasional yang mencoba untuk menggambarkan atau mengilustrasikan perjuangan dari seluruh pelaku sapi potong Indonesia, seperti pemerintah, peternak, perusahaan, institusi perguruan tinggi, dan pelaku lainnya yang turut berpartisipasi

(18)

dalam agribisnis sapi potong. Tidak ada harapan yang muluk-muluk dari publikasi buku ini, namun mudah-mudahan dapat menjadi sumber informasi yang dapat dijadikan referensi bagi pembacanya, khususnya berkaitan dengan komoditas sapi potong.

1.3. Ruang Lingkup

Pembahasan yang diuraikan di dalam buku ini menguraikan dengan singkat sistem agribisnis yang dijadikan sebagai pengantar saja. Setelah itu, menguraikan berbagai aktivitas agribisnis sapi potong di Indonesia dan Provinsi Nusa Tenggara Timur. Pembatasan pembahasan ini diperlukan agar informasi yang disampaikan buku ini bisa dipahami secara menyeluruh. Mudah-mudahan tidak ada kata yang membuat pembaca salah memaknai apa yang dibaca sehingga dapat berakibat menjadi “gagal paham” apa yang hendak disampaikan. Guna meminimalisir kesalahan pengertian dari kata atau kalimat yang ditulis, pembaca dapat membaca indeks dihalaman belakang buku ini.

(19)

Ringkasan

Bab ini lebih menekankan pada landasan teori agribisnis secara umum untuk mengantarkan pembaca sebelum membaca bagian berikutnya. Teori agribisnis sudah lama dimunculkan oleh pencetusnya Davis and Goldberg tahun 1957 dan telah menyebar ke seluruh dunia serta banyak negara mengadopsi konsep dan teori ini. Agribisnis merupakan suatu sistem yang terintegrasi dari hulu sampai hilir dalam

aplikasinya disesuaikan dengan kondisi negaranya masing-masing.

2.1. Pengertian Sistem Agribisnis

Agribisnis adalah industri dengan potensi luar biasa untuk pertumbuhan dan perkembangannya, sepadan dengan masalah-masalah monumental dan konsekuensial yang harus dialaminya. Selama berabad-abad, produktivitas pertanian berasal dari penerapan dua sumber daya: tanah dan tenaga kerja. Namun demikian, saat ini sebagian besar peningkatan produktivitas pertanian bersumber dari penggunaan sumber daya lain seperti modal, terutama dalam bentuk perubahan teknologi termasuk bioteknologi, peningkatan produksi peternakan, mekanisasi budidaya dan pemanfaatan bahan kimia (Van Fleet et. al., 2014). Peningkatan di masa depan untuk sektor pertanian secara umum akan bersumber pada penerapan manajemen sumber daya yang efektif dan efisien.

Agribisnis saat ini telah menjadi perpanjangan dari industri berbasis pengelolaan sumber daya menerapkan prinsip-prinsip bisnis. Pendekatan agribisnis sangat dibutuhkan untuk memindahkan produk yang mudah rusak dari lokasi produksi untuk diddistribusikan ke seluruh dunia. Rantai agribisnis melibatkan produksi, distribusi, konsumsi, pakaian, dan bahkan

2

(20)

tempat berlindung yang merupakan kebutuhan manusia dalam memanfaatkan pangan dan serat (Barnard et. al., 2016). Cakupan agribisnis meliputi industri pasokan input, produksi pertanian, dan pasca panen, kegiatan pemprosesan komoditas, pengolahan makanan, dan distribusi makanan.

Agribisnis adalah salah satu industri yang terbesar di planet ini. Saat ini, banyak perusahaan agribisnis telah menjadi perusahaan multinasional besar. Mereka beroperasi pada perusahaan manufaktur makanan dan perusahaan pasokan input untuk memenuhi permintaan yang tinggi. Dengan demikian, sektor pertanian dan agribisnis saat ini telah menjadi sektor dengan angkatan kerja terbesar di negara ini.

Konsep sistem agribisnis yang diaplikasikan di beberapa negara Asia merupakan konsep yang dikemukakan oleh Davis and Golberg yang ditulis pada Tahun 1957 (Gumbira dan Intan, 2004). Menurut Davis dan Golberg (1957) yang dikutip oleh Drillon (1971) menyebutkan bahwa “Agribusiness is the sum

total of operations involved in the manufacturing and distribution of farm supplies, production activities on the farm, and the storage, processing, and distribution of farm

commodities and items made from them”. Agribisnis adalah

penjumlahan total dari seluruh kegiatan yang menyangkut manufaktur dan distribusi dari sarana pertanian, kegiatan yang dilakukan usahatani, serta penyimpanan, pengolahan dan distribusi dari produk pertanian dan produk-produk lain yang dihasilkan dari produk pertanian. Definisi lainnya menyebutkan bahwa agribisnis secara sempit atau tradisional hanya merujuk pada input produksi dan produsen. Sedangkan definisi agribisnis sekarang ini adalah sebagai satu kesatuan yang meliputi seluruh sektor input produksi, usahatani, pengolahan, penyebaran, dan penjualan produk ke konsumen akhir (Downey and Erickson, 1987). Soehardjo (1997) yang dikutip oleh Gumbira dan Intan (2004) mengatakan bahwa agribisnis adalah satu kesatuan sistem agribisnis yang terdiri atas beberapa subsistem, seperti subsistem pengadaan dan penyaluran sarana produksi (SS 1), subsistem budidaya/

(21)

produksi primer (SS 2), subsistem pengolahan (SS 3), subsistem pemasaran (SS 4), dan lembaga penunjang agribisnis.

Dengan demikian, agribisnis merupakan kegiatan bisnis yang melibatkan (1) kegiatan input dan sarana produksi — benih, pupuk, pembiayaan, peralatan — yang digunakan dalam produksi; (2) kegiatan produksi (budidaya) — kegiatan produksi pertanian, seperti pembibitan, pembesaran, penggemukan; (3) kegiatan pengolahan — pemeringkatan, penyimpanan, pemrosesan, quality control, pengemasan; (4) kegiatan pemasaran — penetapan harga, distribusi; pemasaran; dan (5) kegiatan penunjang — penelitian dan pengembangan, sertifikasi produk, permodalan (Van Fleet et. al., 2014). Industri

supply input, produksi pertanian, dan kegiatan bernilai tambah

yang telah dianggap sebagai industri inti agribisnis. Industri inti ini menggunakan bahan dan layanan dari industri tambahan tertentu yang dianggap sebagai industri pendukung agribisnis. Budidaya pertanian dan peternakan adalah bagian inti agribisnis yang mewakili tahap proses produksinya.

2.2. Pendekatan Rantai dan Nilai Agribisnis

Hubungan antara kegiatan industri agribisnis sering disebut sebagai rantai agribisnis. Rantai ini dapat disempurnakan lebih lanjut sebagai rantai nilai agribisnis. Ini dimulai dengan bahan baku dan komoditas yang nilainya relatif rendah; kemudian setiap langkah dalam rantai yang memodifikasi bahan atau komoditas tersebut kemudian menambah nilai pada produk. Misalnya, petani memanen buah-buahan atau sayuran mentah yang diangkut secara massal ke pengolah atau pedagang besar, di mana mereka memodifikasi atau mengemas kembali dan mengangkut ke rantai grosir dalam bentuk olahan atau dalam kemasan yang lebih kecil, dan akhirnya ke pedagang grosir lokal yang memajang dan menjual produk dengan ukuran yang sesuai permintaan konsumen.

(22)

Cara pandang agribisnis sangatlah sederhana. Agribisnis melibatkan semua kegiatan rantai nilai yang biasanya terkait dengan bisnis atau industri dengan ketentuan tambahan bahwa sebagian besar bahan, komoditas, dan produk akhir mudah rusak (Van Fleet et. al., 2014). Sifat produk yang mudah rusak bersama dengan variasi seperti warna, tekstur, ukuran, dan bentuk, adalah karakteristik yang membedakan produk agribisnis dan industri dari bisnis lain. Aspek industri agribisnis yang ini jugalah yang menjadi faktor kunci dalam semua keputusan bisnis. Untuk alasan inilah maka kita bisa mengkategorikan bahwa, misalnya McDonald's adalah bagian dari sebuah perusahaan agribisnis. Hal ini disebabkan karena seluruh sistem bisnisnya melibatkan komoditas yang sangat mudah rusak seperti makanan hamburger, kentang goreng, milkshakes, dan lainya. Lebih jauh lagi, konsep agribisnis ini telah berkembang ke arah supply chain management (SCM),

logistic chain management, cold chain, dan sebagainya.

2.3. Peranan Sistem Agribisnis

Perkembangan teknologi transportasi massal dan teknologi komunikasi pada abad ke-19 merupakan ‘disrupting teknologi’ pada masa tersebut. Kedua teknologi ini menopang infrastruktur untuk menjalankan bisnis terutama untuk memfasilitasi produksi barang dan jasa untuk kegiatan masyarakat atau perusahaan. Teknologi tersebut merupakan infrastruktur yang mengubah definisi “pasar tradisional” menjadi lebih luas (Wilkinson, 2009). Pada saat itu, radius pemasaran untuk sebuah produk peternakan tidak lagi dibatasi oleh daya tahan kuda atau lembu namun lebih ditentukan pada jangkauan transportasi massal seperti kereta api. Harga pasar pada ditentukan oleh pasar yang terletak di ujung jalur trasnportasi dan komunikasi.

Ketika transportasi membaik, para spesialis mulai menawarkan barang dan jasa mereka di daerah yang lebih luas, dan petani dapat menawarkan barang-barang yang lebih tahan lama.

(23)

Kemajuan dalam komunikasi jarak jauh mulai menciptakan kemungkinan pertukaran pasar yang mendorong perkembangan pasar yang lebih jauh. Kemajuan ini mengarah pada perkembangan pembiayaan yang memungkinkan petani dan orang lain meminjam uang dan berinvestasi dengan cara meningkatkan produktivitas (Van Fleet et. al., 2014). Ini juga yang memunculkan persaingan yang lebih besar di dalam dan di antara wilayah produksi. Sifat musiman dari produk pertanian yang ditanam secara lokal dapat ditingkatkan melalui transportasi. Pisang yang ditanam di Karibia atau di Amerika Tengah dapat tersedia di tempat-tempat yang tidak dapat menanam pisang kecuali mungkin di rumah kaca. Peningkatan berkelanjutan dalam transportasi, komunikasi, dan pembiayaan ditambah dengan mesin yang lebih baik, pupuk dan pestisida yang lebih baik, dan varietas tanaman menghasilkan peningkatan produktivitas pertanian dan peternakan yang luar biasa. Peningkatan itu dirasakan di seluruh rantai agribisnis.

Sistem agribisnis saat ini menjadi lebih besar dan lebih terfokus secara global sehingga tidak perlu lagi puas dengan sumber daya lahan negara asal yang terbatas. Perusahaan agribisnis mulai mencari celah kompetitif di tempat lain. Gelombang globalisasi pertama ini memungkinkan pengembangan salah satu perusahaan makanan terbesar di dunia, seperti Nestlé SA. Perusahaan ini adalah perusahaan raksasa yang berpusat di Swiss, negara yang terkurung daratan tanpa akses ke laut, etos kerja nasional yang bersejarah dan luar biasa, dan sumber susu yang signifikan. Namun, keberhasilannya tidak didasarkan pada "coklat susu" seperti dulu, tetapi pada aspek agribisnis lain yang tidak mungkin terjadi di negara asalnya.

Hampir semua usaha agribisnis dimulai sebagai usaha keluarga sebuah orientasi yang tidak dimiliki oleh semua bisnis tradisional saat ini. Tidak ada yang salah dengan pendekatan bisnis keluarga yang tradisonal. Namun ada perbedaan antara agribisnis dan bisnis tradisional. Salah satu hal yang mendasari adalah jiwa kewirausahaan.

(24)

Adanya jiwa kewirausaahan menyebabkan agribisnis menjadi unik karena mampu mengidentifikasi bahwa keterikatan dengan lokasi dan/atau komoditas mampu didesain menjadi keunggulan kompetitif (Van Fleet et. al., 2014). Pada agribisnis, keberadaan lokasi menentukan sifat bisnisnya. Agribisnis sangat terkait erat dengan komoditas pertanian. Semua orang bisa memproduksi komoditas pangan namun tidak semua orang memiliki kemampuan untuk mengangkat komoditas tersebut ke rantai nilai yang lebih untuk menghasilkan keuntungan besar. Perbedaan dalam kualitas, kuantitas, dan harga dapat terjadi antara komoditas biasa, unggulan maupun premium.

Perusahaan agribisnis umumnya terikat pada lokasi dan memperluas keahlian mereka dalam suatu komoditas. Perusahaan agribisnis juga terikat pada komoditas dan mencari lokasi mereka secara internasional (Barnard et. al., 2016). Hal ini adalah dalam rangka membentuk keunggulan kompetitif yang signifikan dan berkelanjutan.

Orientasi lokasi/komoditas suatu agribisnis menciptakan karakteristik manajemen risiko yang berbeda-beda. Manajemen risiko adalah pendekatan untuk mengendalikan ketidakpastian dan potensi bahaya dengan menilai faktor-faktor yang dapat berpengaruh atas ketidakpastian dan potensi bahaya, kemudian mengembangkan strategi dan taktik untuk mengurangi potensi kerugian (Barnard et. al., 2016; Porter, 1985). Semua perusahaan mempertimbangkan manajemen risiko atau mungkin lebih tepat, mitigasi risiko, sebuah masalah operasional yang penting. Seluruh industri agribisnis yang terikat dengan komoditas atau lokasi tertentu sangat rentan terhadap perubahan cuaca dan bencana alam lainnya.

Upaya untuk mengurangi risiko ini menjadi esensial pada perdagangan komoditas. Kebutuhan agribisnis untuk mitigasi risiko juga dapat menarik investor agar mau membeli atau “menanggung” risiko tersebut. Jika agribisnis tidak mengalami kerugian, “asuransinya” tidak diperlukan dan biaya ini menjadi

(25)

keuntungan bagi investor. Namun, jika agribisnis benar-benar mengalami kerugian, maka “asuransinya” mencakup kerugian itu, dan kali ini investor berada di “ujung risiko yang salah.” Ini menjadi modal bagi pengembangan seluruh industri keuangan modern (Barnard et. al., 2016). Sebuah agribisnis seperti perusahan minuman dapat melindungi harga jagung karena kebutuhannya akan sirup jagung fruktosa tinggi sebagai bahan penting dalam produksi sirup. Perlindungan nilai ini, jika dilakukan dengan benar, dapat memberikan keunggulan kompetitif (Porter, 1985).

Agribisnis umumnya memproduksi produk yang sifatnya personal. Produk agribisnis bersifat personal karena untuk menikmatinya maka harus dengan mengkonsumsi atau memakainya. Tidak ada yang lebih personal selain menelan suatu produk sehingga ini menjadikan agribisnis menjadi sangat personal.

Seperti disebutkan sebelumnya, daya tahan bahan, komoditas, dan produk yang mudah rusak merupakan karakteristik dari banyak produk agribisnis. Industri yang bergerak di agribisnis ini menjadi berbeda dengan industri bisnis lainnya. Untuk mendapat untung, petani harus menggunakan atau menjual produknya dengan batasan waktu tertentu sebelum produk tersebut tidak dapat digunakan atau tidak layak untuk dijual. Aspek industri agribisnis ini adalah faktor kunci dalam semua keputusan bisnis. Tentu saja, semua produk memiliki siklus hidup, tetapi produk agribisnis pada dasarnya jauh lebih mudah rusak dan bervariasi dalam ukuran dan kualitas. Sebagai contoh, pada produk-produk pertanian atau peternakan terdapat istilah umur simpan. Istilah ini dikembangkan oleh industri agribisnis agar produk yang dihasilkan dapat digunakan atau aman. Selain itu, dicantumkannya label tanggal kadaluwarsa pada produknya dapat memberikan kenyamanan pada konsumen. Oleh karena itu, lima karakteristik agribisnis adalah orientasi/hasrat keluarga, berbasis lokasi/komoditas, manajemen risiko/mitigasi, produk yang dapat dikonsumsi/ dapat dipakai, dan daya tahan yang relatif tinggi. Kelima

(26)

karakteristik agribisnis tersebut tidak semuanya ada tetapi pada umumnya ada pada setiap agribisnis. Sebelum gelombang globalisasi dimulai, hampir semua agribisnis mempunyai karakteristik ini terlepas dari negara asalnya (Van Fleet et. al., 2014).

Perubahan dinamis pada agribisnis saat ini banyak terjadi seperti dinamika yang terjadi di tempat lain. Agribisnis saat ini telah berkembang menjadi industri yang melingkupi dunia dan bertanggung jawab untuk memberi makan dan memberi pakaian kepada manusia di seluruh dunia (Wilkinson, 2009). Lebih dari itu, agribisnis saat ini telah menyentuh pada isu-isu kesehatan, nutrisi, keselamatan, sains, dan politik.

Agribisnis telah memperluas kaitannya dengan ilmu pengetahuan. Pada awalnya dikaitkan dengan Kimia dan Biologi, kemudian sekarang dengan Bioteknologi dan Nanoteknologi. Agribisnis pada skala besar meliputi sektor pra-produksi yang telah menjadi pemimpin dalam kemajuan bioteknologi (Van Fleet et. al., 2014). Agribisnis pun telah menjadi sebuah industri yang melibatkan pembangunan dan evolusi struktur keuangan bisnis.

Pada masa kini, agribisnis merupakan industri global dengan sebuah jangkar nasional yang seringkali dipengaruhi oleh tekanan-tekanan politik (Wilkinson, 2009). Meskipun kita telah menjadi saksi atas kemajuan yang yang luar biasa, ketahanan pangan nasional tetap menjadi sebuah isu yang signifikan. Hal ini telah lama menjadi tujuan industri ini untuk menghilangkan kesenjangan antara mereka yang memiliki akses terhadap sumber-sumber nutrisi dan mereka yang tidak memiliki akses (Barnard et. al., 2016). Namun, permasalahan yang mengganggu industri agribisnis adalah bahwa ketidakseimbangan akses ini jarang sekali yang sifatnya ilmiah, teknis, atau isu keuangan melainkan lebih banyak karena isu politik.

(27)

Sementara negara-negara dengan perekonomian maju (misalnya Amerika Serikat dan Inggris) memiliki industri agribisnis yang besar dan produktif. Di samping itu, mereka juga memiliki sektor produksi yang sangat efisien dan dikelola oleh individu dengan jumlah persentase yang menurun (Wilkinson, 2009). Kebalikannya, ada juga negara-negara dengan komponen agribisnis kecil maupun sangat besar tetapi sektor produksinya sangat tidak efisien. Selanjutnya, ada juga negara-negara yang mengeluarkan porsi yang signifikan dari sumber perekonomian mereka hanya untuk mengamankan suplai pangan secukupnya (Wilkinson, 2009). Bagaimanapun agribisnis merupakan sebuah industri yang akan tetap terikat dengan sumber-sumber daya alam.

(28)

Ringkasan

Bab ini lebih menekankan pada landasan teori agribisnis secara umum untuk mengantarkan pembaca sebelum membaca bagian berikutnya. Teori agribisnis sudah lama dimunculkan oleh pencetusnya Davis and Goldberg tahun 1957 telah berkembangbiak ke seluruh dunia dan banyak negara mengadopsi konsep dan teori ini. Agribisnis merupakan suatu sistem yang terintegrasi dari hulu sampai hilir. Pada bab ini yang ibahas adalah agribisnis sapi dan daging sapi di Indonesia, di mana di

awali dengan supply dan demand sapi dan daging sapi dan seterusnya

3.1. Gambaran Singkat Sapi Potong di Dunia

ebelum menguraikan sistem agribisnis sapi potong di Indonesia, disampaikan terlebih dahulu bagaimana kondisi suplai dan permintaan sapi serta daging sapi di dunia. Sektor peternakan masih merupakan salah satu sektor yang berkontribusi besar dalam penyediaan sumber protein hewani. Berdasarkan International Fund for Agriculture

Development (IFAD) (2015) menyatakan bahwa dalam

mengantisipasi perkembangan pertumbuhan populasi manusia yang diperkirakan akan mencapai 9 milyar, dibutuhkan produktivitas pangan dari 50% sampai 70%. Produktivitas pangan tersebut disumbang oleh:

1. Ternak ruminansia memberikan 26% konsumsi protein manusia dan 13% dari total kalori. Diperkirakan permintaan produk ternak akan mencapai dua kali lipat pada 20 tahun ke depan sebagai hasil dari urbanisasi, pertumbuhan ekonomi dan perubahan pola konsumsi di negara-negara berkembang

2. Sektor ternak ruminansia melibatkan hampir 1 milyar peternak di negara-negara berkembang, di mana 40%

S

3

AGRIBISNIS SAPI POTONG

DI INDONESIA

(29)

berkontribusi pada PDB, dan 2%-33% berkontribusi pada pendapatan rumah tangga.

3. Produsen ternak ruminansia didominasi oleh skala rumah tangga dan ini menjadi kunci bagi matapencaharian orang-orang miskin di desa, ketahanan pangan, dan penciptaan lapangan kerja. Ternak ruminansia memberikan pangan bagi konsumsi rumah tangga, produknya digunakan untuk memperoleh pendapatan dan uang tunai cepat ketika keadaan darurat dan guncangan eksternal, seperti kondisi iklim, penyakit, fluktuasi harga, dan sebagainya. Ternak merupakan aset penting bagi beberapa petani karena selain mendapatkan produk utama juga dimanfaatkan untuk pupuk kandang, sebagai alat, pengangkut, juga memiliki nilai budaya dan spiritual.

Dengan demikian, ternak telah menjadi bagian hidup yang tidak terpisahkan dari para petani di negara-negara berkembang, termasuk di Indonesia. Oleh karena itu menjadi sangat penting untuk meningkatkan petani kecil dengan langkah-langkah sebagai berikut (IFAD, 2015):

1. Meningkatkan akses dan untuk pengelolaan keberlanjutan sumber daya, seperti lahan dan air, khususnya untuk dukungan pastura dengan penekanan peran wanita dan pemuda didalamnya

2. Meningkatkan akses terhadap layanan, seperti penyuluhan dan pelatihan, kesehatan khususnya kesehatan hewan, breeding seperti IB, input produksi, dan kredit di wilayah-wilayah miskin

3. Peningkatan kapasitas petani kecil dan lembaga pasturalis 4. Akses terhadap pasar dan nilai rantai untuk organisasi

petani dan asosiasi diatasnya.

5. Memfasilitasi inovasi untuk meberikan ruang bagi pelaku rantai nilai untuk berinteraksi, berkomunikasi melalui penerapan kebijakan rantai nilai.

Sapi potong merupakan ternak yang menghasilkan daging dan sebagai sumber protein hewani asal ternak. Negara-negara yang memiliki populasi sapi potong yang cukup besar

(30)

diperlihatkan pada Gambar 1. Jika dilihat dari gambar di bawah menunjukkan bahwa populasi sapi potong hampir menyebar di seluruh negara di dunia. Negara dengan populasi sapi potong dari padat sampai terpadat terdapat di India, Korea Utara, German, Perancis, Sudan, Ethiopia, USA, Brazil, Paraguay, Uruguay, dan Argentina.

Gambar 1

Tingkat Kepadatan Ternak di Berbagai Negara di Dunia Tahun 2005 (Sumber: FAO, 2005)

Data statistik FAO (Food Agriculture Organization)

memperlihatkan perdagangan dari daging sapi, babi, dan unggas seperti pada Gambar 2. Berdasarkan data statistik dan ramalan produksi dan perdagangan daging di dunia, produksi daging sapi, babi, dan unggas mengalami peningkatan yang cukup signifikan dari tahun 2000 – 2014 dan trend peningkatan produksi daging tersebut diperkirakan akan terus meningkat sampai dengan tahun 2018, sedangkan produksi daging unggas akan mencapai produksi sebanyak 250 juta metric ton, produksi daging babi sebanyak 200 juta metric ton, dan produksi daging unggas sebanyak 60 juta metric ton. Daging unggas dan babi masih mendominasi produksi daging di dunia.

(31)

Perkembangan perdagangan daging sapi, babi, dan unggas seperti terlihat pada Gambar 2 menunjukkan adanya persaingan perdagangan antara daging sapid an unggas antara tahun 2003 – 2008. Pada tahun 2004 – 2006, jumlah daging sapi yang diperdagangkan melebihi dari daging unggas. Namun, di tahun 2008 kondisi tersebut terbalik dan perdagangan daging unggas lebih banyak dibandingkan daging sapi dan babi. Selanjutnya, perdagangan daging dari ketiga komoditas tersebut dari tahun 2008 – 2018 diperkirakan meningkat mengikuti garis linear, di mana posisinya adalah perdagangan daging unggas melebihi daging sapi dan babi.

Gambar 2

Produksi dan Perdagangan Daging Sapi, Babi, dan Unggas (Sumber: http://faostat3.fao.org/home/E)

Gambaran tingkat kepadatan populasi sapi potong dan produksi serta perdagangan daging sapi, unggas, dan babi menunjukkan bahwa konsumsi protein hewani asal ternak diperkirakan akan terus tumbuh. Peningkatan perdagangan daging sapi, babi, dan unggas tersebut didominasi oleh permintaan dari wilayah Asia atau negara-negara yang sedang berkembang (Cheeke, 2009). Selanjutnya disebutkan bahwa

(32)

telah terjadi perubahan pola konsumsi dari daging ke vegetarian di wilayah USA dan Eropa. Perubahan ini sebagai akibat dari isu kesejahteraan hewan (animal welfare) dan hak-hak hewan (animal right).

3.2. Penawaran Daging Sapi di Indonesia

Komoditas sapi potong adalah komoditas peternakan yang mendapat perhatian lebih dari pemerintah. Kenaikan harga komoditas ini bisa mendapatkan respon negatif dari masyarakat, sehingga pemerintah ikut campur tangan atas kenaikan harga komoditas sapi ini, terutama dagingnya. Terbentuknya harga daging sapi sebagai akibat adanya supply dan demand daging sapi. Komoditas yang diuraikan di sub bab ini adalah komoditas sapi dan daging sapi. Daging sapi merupakan turunan dari hasil pemotongan sapi. Adapun komoditas sapi potong adalah sapi yang diperjualbelikan dalam keadaan hidup. Bagaimana supply dan demand sapi dan daging sapi terjadi diuraikan di bawah ini.

Penawaran merupakan sejumlah barang dan jasa yang ditawarkan dalam berbagai kemungkinan harga yang berlaku di pasar pada satu periode tertentu (Ahmad dan Rohmana, 2009). Menurut Rahardja dan Manurung (2002), yang dimaksud dengan penawaran adalah jumlah barang yang ingin produsen tawarkan (jual) pada berbagai tingkat harga selama satu periode tertentu. Berdasarkan definisi-defini tersebut, ada dua hal yang berperan dalam penawaran, yaitu adanya sejumlah barang/jasa yang ditawarkan dan harga. Adanya sejumlah barang yang ditawarkan berarti tidak hanya barang yang dijual saja melainkan adanya barang yang disimpan (stok) dan juga barang impor. Dengan demikian, perhitungan total penawaran barang adalah total produksi ditambah dengan stok produksi, dan jumlah barang diimpor untuk satu jenis barang.

(33)

Apabila dikaitkan dengan komoditas sapi dan daging sapi, total penawaran sapi dan daging sapi adalah total produksi sapi dan daging sapi ditambah dengan stok sapi dan daging sapi, serta jumlah sapi dan daging sapi yang diimpor. Atas dasar hal tersebut maka dapat dipetakan jumlah suplai sapi dan daging sapi, seperti pada Gambar 3. Akan tetapi, produk akhir yang nantinya dikonsumsi oleh masyarakat adalah daging sapi. Oleh karena itu, gambar di bawah ini menggambar suplai sapi dan daging sapi terbentuk.

Berdasarkan gambar tersebut, perbedaan supply/penawaran sangat tergantung pada jenis produknya itu sendiri. Akan tetapi, ujung dari komoditas sapi potong adalah daging sapi. Kesetimbangan supply dan demand difokuskan pada produksi dan konsumsi daging sapi di Indonesia.

Total Penawaran Sapi dan Daging Sapi di Indonesia Produksi Sapi Produksi Pedet Jumlah Populasi Sapi tahun sebelumnya (Stok) Pemasukan Sapi dari impor Produksi Daging Sapi Produksi Daging Sapi Hasil Pemotongan Jumlah Pemasukan Daging Sapi berasal

dari impor Pengeluaran Sapi

Stock Daging Sapi

Gambar 3

(34)

3.2.1. Produksi Sapi Potong

Produksi sapi potong lebih cenderung dikaitkan dengan jumlah populasi dalam satuan ekor atau satuan ternak (ST). Umumnya, produksi sapi lebih dititikberatkan pada jumlah pedet (anak sapi) yang dilahirkan pada kurun waktu tertentu. Kelahiran sejumlah pedet ini sebagai penambahan populasi sapi dari populasi sapi sebelumnya. Di samping itu, produksi sapi juga berasal pemasukan sapi dari luar wilayah Indonesia, khususnya sapi bakalan impor. Sebelum ada program Upsus Siwab (Upaya Khusus Sapi Indukan Siap Bunting), belum ada instansi peternakan yang mampu memberikan informasi terkait dengan jumlah pedet yang lahir tiap tahunnya. Data yang ada hanyalah data perkiraan kelahiran yang tingkat keakuratannya belum bisa dibuktikan. Padahal dengan adanya data kelahiran pedet ini, kita dapat memperkirakan tambahan populasi sapi pada periode tertentu. Dengan adanya program Upsus Siwab, data akseptor yang di inseminasi buatan, jumlah kebuntingan, dan jumlah kelahiran perhari dilaporkan oleh seluruh instansi pemerintah di daerah yang mendapatkan program Upsus Siwab.

Perkembangan populasi sapi potong di Indonesia dapat dilihat pada Gambar 4. Berdasarkan gambar tersebut dapat dilihat bahwa perkembangan populasi sapi potong mengalami penurunan di tahun 2013 sebanyak lebih dari 2 juta ekor dibandingkan dengan tahun 2011. Hal ini diakibatkan oleh kebijakan pemerintah yang melakukan pengetatan impor sapi bakalan dan daging beku di tahun 2011. Kondisi ini menyebabkan banyak sapi potong dan sapi perah yang dieksploitasi atau dipotong guna memenuhi permintaan dalam negeri. Namun demikian, perkembangan populasi sapi potong terus mengalami peningkatan pada tahun-tahun berikutnya.

(35)

1 4 ,8 4 2 1 5 ,9 8 1 1 2 ,6 8 6 1 4 ,7 2 7 1 5 ,4 2 0 1 5 ,9 9 7 1 6 ,4 2 9 1 6 ,4 3 3 1 7 ,1 1 9 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 0 0 0 e ko r Gambar 4

Perkembangan Populasi Sapi di Indonesia dari Tahun 2011-2019

(Sumber: Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, 2015 dan 2019)

Produksi Pedet

Produksi pedet merupakan sejumlah kelahiran pedet yang dihasilkan dari sejumlah sapi betina yang bunting. Dengan adanya sejumlah pedet yang lahir, secara otomatis jumlah populasi sapi akan bertambah. Data dan informasi yang paling lengkap tentang produksi pedet berasal dari program UPSUS SIWAB (Upaya Khusus Sapi Indukan Wajib Bunting). Program ini dirancang untuk mengoptimalisasi aktivitas reproduksi sapi sehingga mampu menghasilkan sapi-sapi betina produktif yang bunting dan sekaligus bisa menghasilkan sejumlah kelahiran pedet. Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan-Kementerian Pertanian, selama 3 tahun program UPSUS SIWAB dijalankan mampu melahirkan sejumlah pedet sebanyak 4.739.423 ekor. Hal ini secara otomatis dapat meningkatkan populasi sapi di Indonesia. Adapun tingkat kebuntingan sapi betina dan kelahiran pedet dapat dilihat pada Gambar 5.

(36)

Gambar 5

Target dan Realisasi Tingkat Kebuntingan Sapi Betina dan Kelahiran Pedet Program UPSUS SIWAB dari 2017 - 2019

(Sumber: Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, 2017, 2018, dan 2019)

Pemasukan Sapi

Total supply juga dipenuhi dari pemasukan sapi. Pemasukan sapi adalah masuknya sapi dari luar wilayah provinsi ataupun luar negeri (misalnya Australia). Pemasukan sapi ini bisa berasal dari impor ataupun sapi lokal dari satu provinsi migrasi ke provinsi lainnya. Wilayah-wilayah yang menjadi sentra impor sapi bakalan dari luar negeri adalah Lampung, Banten, Jawa Barat, DKI Jakarta, dan Jawa Tengah. Adapun provinsi-provinsi yang biasanya memasok sapi bakalan dan siap potong adalah Jawa Timur dan Nusa Tenggara Timur. Adapun perkembangan pemasukan sapi dapat dilihat pada Gambar 6 dan 7.

(37)

Gambar 6

Perkembangan Pemasukan Sapi

(Sumber: Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, 2015 dan 2019)

Pada Gambar 7 ditunjukkan aliran suplai sapi hidup dari Provinsi NTT dan Jawa Timur (garis tipis lurus warna hitam) dan Australia (garis lurus terputus-putus dan lurus hitam tebal). Australia merupakan negara pengekspor sapi hidup dan daging sapi ke berbagai negara, termasuk ke Indonesia. Indonesia merupakan pangsa pasar terbesar bagi sapi bakalan dan daging sapi dari Australia. Catatan dari detiknews tanggal 21 Januari 2020 (m.detik.com) menyatakan bahwa ekspor sapi ke Indonesia pada tahun 2019 mencapai 675.874 ekor dan merupakan ekspor terbesar dibandingkan dengan ke negara lainnya.

Pada tahun 2020, Australia membatasi ekspor sapi hidup ke seluruh dunia di bawah angka 1 juta ekor yang disebabkan terjadinya kekeringan di wilayah produksi sapi di Australia. Indonesia merupakan pangsa pasar sapi hidup dan daging sapi yang cukup besar. Berita online tersebut menyatakan pula bahwa kebutuhan daging sapi di Indonesia untuk tahun 2020 adalah 600.000 ton dan angka ini sama dengan tahun 2019.

(38)

Oleh karena itu, untuk memenuhi kebutuhan akan daging sapi tersebut, Indonesia membuka kuota daging sapi impor sebanyak 60.000 ton daging (sapi dan kerbau) untuk kebutuhan konsumsi dan 129.000 ton untuk kebutuhan industri. Adapun kuota untuk sapi hidup adalah 550.000 ekor di tahun 2020. Salah satu provinsi di Indonesia yang turut mengambil bagian dalam bisnis sapi hidup adalah Provinsi Nusa Tenggara Timur. Provinsi ini sudah lama menjadi wilayah pensuplai sapi bagi provinsi lain dan bahkan pernah melakukan ekspor ke Hongkong di tahun 1970-an. Namun, hal ini tidak berlangsung lama karena Pemerintah Pusat menyarankan untuk mensuplai sapi-sapi hidup di wilayah Indonesia saja karena permintaan sapi hidup masih tinggi. Uraian lebih jauh peran suplai sapi hidup dari provinsi ini diuraikan lebih detail di bab-bab berikutnya.

Gambar 7

Distribusi Sapi antar Wilayah Provinsi dan Australia Midl

e East

(39)

Total Supply Sapi Potong

Total suplai sapi potong dapat dihitung dari populasi sapi tahun sebelumnya (stok), produksi pedet, pemasukan sapi dan pengeluaran sapi diperoleh dari data-data di atas. Sebenarnya, angka stok sapi diperoleh dari populasi akhir pada setiap akhir tahun. Berdasarkan tabel dan gambar yang telah dikemukakan sebelumnya, maka dapat disusun total suplai sapi potong dalam bentuk hidup seperti pada Tabel 1. Tabel tersebut sebagai ilustrasi jumlah suplai sapi potong yang terdapat di Indonesia berdasarkan hasil perhitungan dan data dari Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan.

Tabel 1. Perkembangan Total Suplai Sapi Potong di Indonesia Tahun 2017-2019 Total Populasi Sapi (000 ekor) 2017 2018 2019 Hasil Hitungan Data Ditjen Hasil Hitungan Data Ditjen Hasil Hitungan Data Ditjen Populasi Sapi (thn sebelumnya) 15,997 15,267 16,087 Pemasukan Sapi 482 1,020 676 Pemotongan sapi 1,956 2,032 2,039 Pedet Lahir 744 1,832 1,996 Total 15,267 16,429 16,087 16,433 16,720 17,119

Keterangan: Basis data hasil hitungan dari data Ditjen PKH yaitu statistik peternakan Indonesia dan data Upsus Siwab

Berdasarkan Tabel 1, perkembangan total suplai atau persediaan sapi potong yang ada di Indonesia dari tahun 2017 – 2019 mengalami peningkatan, namun data hasil hitungan tidak sesuai dengan data populasi dari Ditjen PKH. Pengambilan data tahun 2017 – 2019 tersebut didasarkan pada adanya program Upsus Siwab oleh pemerintah saat itu di akhir tahun 2016. Ketidaksesuaian ini kemungkinan disebabkan berbagai faktor, salah satunya adalah perbedaan variabel yang digunakan dalam perhitungan populasi. Tabel 1 di atas merupakan ilustrasi perkembangan populasi sapi didasarkan pada variabel-variabel populasi sapi tahun

(40)

sebelumnya, pemasukan sapi, pemotongan sapi (Gambar 13), dan jumlah pedet yang lahir. Namun demikian, perbedaan hasil antara hasil perhitungan dan data dari Ditjen PKH yang ditampilkan pada Tabel 1 tersebut perlu dimaknai bahwa perbedaan pengukuran dapat menyebabkan perbedaan dari hasil yang diperoleh.

3.2.2. Produsen Sapi Potong

Ada dua tipe pelaku usaha sapi potong di Indonesia, yaitu peternak rakyat (farmer) dan perusahaan (firm). Sudah sejak lama, para petani padi di Indonesia memelihara sapi potong karena sapi dapat membantu petani dalam membajak sawah. Namun, seiring dengan perkembangan mekanisasi pertanian, khususnya adanya traktor, peran sapi potong pun mulai digeser perannya oleh mesin tersebut. Pada akhirnya, sapi potong dipelihara petani untuk dibiakkan. Umumnya, motif usaha peternak sapi potong rakyat adalah usaha sambilan. Namun ada juga peternak yang membudidayakan sapi potong dengan cara menggemukan.

Tabel 2. Perbedaan Peternak Sapi Potong Rakyat dan Perusahaan

Aspek-aspek Perbedaan

Peternak Perusahaan

Pekerjaan Sambilan Utama

Orientasi Usaha Tabungan Profit

Kepemilikan Kecil Besar

Sistem Budidaya Pembiakan dan

Penggemukan Penggemukan

Sistem Usaha Tradisional dan

tidak efisien

Mengutamakan teknologi dan Efisiensi

Orientasi Pasar Pasar Idul Adha Pasar Harian

Pada umumnya, peternak rakyat memelihara sapi dalam skala kecil karena keterbatasan modal dan lahan. Adapun perbedaan antara peternak sapi potong rakyat dan perusahaan dapat dilihat pada Tabel 2. Dengan demikian sangat jelas

(41)

perbedaannya dengan tujuan usaha yang diciptakan dari usaha sapi potong yang dikelolanya.

Tabel 3. Jumlah Rumah Tangga dan Perusahaan yang Berusaha di Komoditas Sapi Potong

Unit Usaha Jumlah Usaha

Rumah Tangga Usaha 5.074.933

Perusahaan 155

Lainnya 1.957

Sumber: BPS, 2014

Badan Pusat Statistik telah merilis data mengenai jumlah peternak sapi potong skala rumah tangga dan perusahaan di tahun 2014 (lihat Tabel 3). Berdasarkan tabel tersebut dapat dilihat bahwa jumlah rumah tangga yang membudidayakan sapi potong sebanyak lebih dari 5 juta peternak, sedangkan perusahaan yang juga melakukan usaha di sapi potong sebanyak 155 perusahaan. Kemungkinan data-data tersebut dapat terkoreksi mengingat akhir-akhir ini dengan adanya beberapa kebijakan yang dikeluarkan pemerintah terkait dengan industri sapi potong.

3.2.3. Produksi Daging Sapi

3.2.3.1. Istilah-istilah pada Bagian-Bagian Daging Sapi Daging sapi merupakan produk utama hasil dari pemotongan ternak sapi. Produk yang dihasilkan dari pemotongan sapi, tidak hanya daging saja, melainkan beragam produk ikutannya, yaitu tulang, jeroan, kaki, ekor, kepala, dan kulit. Produk ikutan tersebut bisa mendatangkan pendapatan tambahan dari hasil pemotongan ternak. Perlu diketahui bahwa terdapat penamaan istilah daging dalam satu ukuran karkas sapi, namun kebanyakan orang awam tidak begitu memahami mengenai bagian-bagian dari daging (part of meat) tersebut. Tiap-tiap bagian daging memiliki ciri khas tersendiri dan juga

(42)

menentukan tingkat harganya. Apabila digambarkan, bagian dari sapi yang dipotong dapat dipetakan persentase dari masing-masing bagian karkas sapi, seperti pada Gambar 8. Berdasarkan ilustrasi tersebut dapat dilihat bahwa bagian terbesar dari karkas sapi adalah hind quarter (belakang) dan

fore quarter (depan), sisanya adalah produk hasil ikutan.

Gambar 8

Persentase (%) Bagian-bagian Sapi yang Dipotong (Sumber: Noor, 2016)

Selanjutnya, pada karkas utuh jika dibagi lagi, terdapat beberapa istilah daging pada bagian karkas tersebut, seperti pada Gambar 9. Istilah daging yang dimulai dari lamusir, paha depan, tulang iga, daging iga termasuk dalam Fore Quarter, sedangkan bagian lainnya adalah loin, akas-paha lainnya, pentul kepala, shanckle, dan ganding masuk dalam kategori

Hind Quarter. Masing-masing bagian daging tersebut memiliki

ciri khasnya masing-masing sehingga pengetahuan ini penting guna menentukan masakan apa yang akan dibuat dari bagian daging tersebut.

(43)

Gambar 9.

Istilah-istilah Daging pada Bagian Karkas (Sumber: Noor, 2016)

3.2.3.2. Total Produksi Daging Sapi

Produksi daging sapi nasional diperoleh dari hasil pemotongan ternak sapi di RPH/TPH yang ada di seluruh Indonesia. Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan memperlihatkan perkembangan produksi daging sapi nasional dari tahun 2015 – 2019 (lihat Gambar 10). Gambar tersebut memperlihatkan trend peningkatan produksi daging sapi, khususnya daging sapi impor.

Selain produksi daging sapi nasional, kekurangan daging dipasok dari luar negeri. Permintaan daging sapi dalam negeri masih cukup besar dibandingkan dengan pasokannya. Oleh karena itu, tidak dapat dihindari guna memenuhi permintaan tersebut pemerintah melakukan impor daging dari luar negeri. Salah satu negara yang menjadi pengekspor daging beku yang terbanyak adalah Australia. Seiring dengan diperbolehkannya

(44)

impor dari zona base, maka Indonesia mengimpor daging sapi/kerbau dari India. India masih masuk kategori negara yang belum bebas penyakit mulut dan kuku (PMK), namun impor daging beku berasal dari wilayah India yang bebas PMK. Dengan demikian, impor daging tersebut harus diawasi dengan seksama oleh pemerintah Indonesia. Pada tahun 2017, pemerintah melakukan impor daging kerbau sebanyak 70.000 ton dari India. Hal ini mempertegas bahwa pemerintah berupaya untuk menurunkan harga daging sapi di Indonesia.

Gambar 10

Perkembangan Produksi dan Impor Daging Sapi (Ton) (Sumber: Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan

Hewan, 2015 dan 2019)

Berdasarkan data jumlah produksi daging sapi nasional dan impor, maka dapat dihitung total suplai daging sapi di Indonesia, seperti pada Tabel 4. Tabel tersebut memperlihatkan total suplai daging sapi dari tahun 2015-2019. Suplai daging sapi rata-rata di atas 500 ribu ton yang dapat disediakan oleh produksi dalam negeri dan impor. Akan tetapi, trend produksi daging sapi dalam negeri mengalami penurunan sedangkan trend impor daging terus mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Artinya, ada penggantian peran daging

(45)

sapi dalam negeri oleh daging sapi impor guna mencukupi kebutuhan permintaan.

Tabel 4. Perkembangan Total Supply Daging Sapi di Indonesia

Supply Daging Sapi 2015 2016 2017 2018 2019

………...(Ton)………. Produksi Daging 506,661 524,109 531,757 497,972 490,421

Impor Daging 50,309 116,761 118,647 160,700 189,000

Total 556,970 640,870 650,404 658,672 679,421

Keterangan: Data hasil olahan dari Ditjen PKH, 2015 dan 2019

3.3. Permintaan Daging Sapi

Kebutuhan daging sapi adalah tingkat permintaan daging sapi yang akan dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia. Daging sapi merupakan produk turunan dari hasil pemotongan sapi. Banyaknya sapi yang dipotong akan setara dengan jumlah daging sapi yang dihasilkan. Berikut ini adalah ilustrasi dari produksi daging sapi dari seekor sapi.

± ±5500%% ± ±2255%% ± ±2255% % ± ±5500% % DDAAGGIINNGG ± ±5500% % TTUULLAANNG G O OFFFFAALL//JJEERROOAANN,, K KEEPPAALLAA,,KKAAKKII,,KKUULLIITT D DAARRAAHH,,KKOOTTOORRAANN,, L LAAIINNNNYYAA Gambar 11

Turunan Produk dari Satu Ekor Sapi yang Dipotong (Sumber: Noor, 2016)

Gambar di atas mengilustrasikan bagian-bagian dari hasil pemotongan sapi beserta prosentasenya. Khusus untuk

Gambar

Tabel  1.  Perkembangan  Total  Suplai  Sapi  Potong  di  Indonesia Tahun 2017-2019  Total Populasi  Sapi (000 ekor)  2017  2018  2019 Hasil  Hitungan  Data  Ditjen  Hasil  Hitungan  Data  Ditjen  Hasil  Hitungan  Data  Ditjen  Populasi Sapi (thn  sebelumn
Tabel  2.  Perbedaan  Peternak  Sapi  Potong  Rakyat  dan  Perusahaan
Tabel  3.  Jumlah  Rumah  Tangga  dan  Perusahaan  yang  Berusaha di Komoditas Sapi Potong
Tabel  4.  Perkembangan  Total  Supply  Daging  Sapi  di  Indonesia
+7

Referensi

Dokumen terkait

Skenario pencapaian sasaran pembangunan sanitasi Kabupaten Mahakam Ulu untuk mencapai target universal access 2019 jangka menengah dalam rencana peningkatan akses pada setiap

Tesis Penataan PKL : Antara Kondisi sosial .... Diah Puji

Penguasaan terhadap pengetahuan tersebut akan mempermudah seorang pemain drum dalam menginterpretasikan komposisi musik untuk drum sesuai dengan apa yang

To determine which indicators are more dominant in influencing the interest of students, researchers distributing questionnaires to 60 students of Office Education program

Faktor penghambat Kepolisian Resor Lampung Timur dalam menanggulangi kejahatan pemerasan oleh kelompok preman di jalan lintas timur adalah kurangnya kontak

‘They’re looking for us, then,’ Father Kreiner said, peering at the immobile Type 102, poking her as if to see what a walking TARDIS felt like, ‘the Doctor’s friends.’..

memahami dulu dan menerapkannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku di daerah tersebut. Yang kedua adanya suatu kepentingan antara petugas dan narapidana, ini menjadi langkah

Dengan menggunakan metode ini memungkinkan untuk dilakukan suatu simulasi dari Dengan menggunakan metode ini memungkinkan untuk dilakukan suatu simulasi dari beberapa