Edisi Ketiga Tahun 2008 Pedoman Imunisasi Di Indonesia Penyunting I.G.N. Ranuh Hariyono Suyitno Sri Rezeki S Hadinegoro Cissy B Kartasasmita Ismoedijanto Soedjatmi ko
Disclaimer
Isi di dalam buku Pedoman Imunisasi di Indonesia ada lah hasil kesepakatan para penulis dan editor Satgas Imunisasi IDAI yang berasal dari berbagai sumber. Buku ini merupakan pedoman umum dalam melakukan imunisasi di Indonesia dan dapat disesuaikan dengan kondisi setempat. Kemungkinan dapat terjadi perbedaan dengan sumber-sumber lain karena perkembangan ilmu dan kebijakan setempat.
Hak Cipta Dilindungi Undang-undang
Dilarang memperbanyak, mencetak dan menerbitkan sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara dan bentuk apapun juga tanpa seizin penulis dan penerbit
Diterbitkan pertama kali tahun 2001 Diterbitkan kedua kali tahun 2005 Diterbitkan ketiga kali tahun 2008
Koordinator Penerbitan
Prof. DR. Dr. Sri Rezeki S. Hadinegoro, Sp.A(K) Art director: J.A. Wempi
Type setting: Diyan Dwinandio, Unggul Sodjo Edisi 3, cetakan pertama 2008
Penerbit buku ini dikelola oleh:
Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia
Kata Sambutan Menteri Kesehatan
Program imunisasi di Indonesia semakin penting kedudukannya dalam upaya mencapai
Indonesia Sehat tahun 2010. Pencegahan terhadap penyakit infeksi yang dapat dicegah dengan imunisasi telah menampakkan hasilnya. Kejadian penyakit poliomielitis, difteria, tetanus
neonatorum, pertusis, campak, dan hepatitis B, berangsur-angsur berkurang. Dalam waktu dekat diharapkan penyakit poliomielitis dapat dieradikasi dari seluruh dunia melalui program imunisasi yang berkesinambungan.
Untuk melengkapi panduan imunisasi yang senantiasa up-to date, kami merasa bangga kepada upaya anggota Ikatan Dokter Anak Indonesia khususnya anggota Satgas Imunisasi IDAI yang telah merevisi buku imunisasi ini untuk ketiga kalinya. Buku Pedoman Imunisasi ini akan menunjang perubahan pandangan dan strategi dalam bidang vaksinologi yang senantiasa berubah sejalan dengan situasi epidemiologi global dan kemajuan teknologi dalam bidang kesehatan.
Sebagaimana Buku Imunisasi di Indonesia edisi pertama dan edisi kedua yang telah tersebar luas di tanah air ini, kami harapkan edisi ketiga tetap menjadi acuan dalam meningkatkan program imunisasi dan sebagai acuan untuk vaksin-vaksin baru. Buku ini dapat dipergunakan bersama-sama dengan buku Pedoman Imunisasi Departemen Kesehatan yang telah ada (Kepmenkes No. 1611/MENKES/SK/XI/2005 tentang Pedoman Penyelenggaraan Imunisasi). Akhirul kata, kami ucapkan selamat dan terima kasih kepada para penulis yang dikoordinasi oleh Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia yang telah menyusun buku imunisasi ini. Karya dan jerih payahnya akan membantu meningkatkan kesejahteraan anak Indonesia.
Karya dan jerih payahnya akan membantu meningkatkan kesejahteraan anak Indonesia.
Jakarta, April 2008 DR. Siti Fadilah Supari, Dr., Sp.JP Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Prakata Ketua Umum Pengurus Pusat IDAI M
erupakan kebanggaan dari Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia dapat menyajikan Buku Imunisasi di Indonesia Edisi ketiga ini. Mengingat banyak hal-hal yang perlu disesuaikan dengan kemajuan bidang imunisasi maka edisi ketiga ini merupakan kebutuhan, bukan saja untuk dokter spesialis anak namun untuk semua penyedia layanan jasa kesehatan yang berkecimpung dengan program imunisasi.
Program imunisasi yang telah lebih dari tiga abad lalu diakui sebagai upaya pencegahan yang penting, pada sepuluh tahun terakhir ini telah mengalami kemajuan yang signifikan. Edisi ketiga diharapkan dapat menjadi acuan dalam mengatasi kemajuan tersebut. Misalnya perubahan epidemiologi beberapa penyakit dan adanya kemajuan teknik pembuatan vaksin, upaya pemerintah dalam melaksanakan eradikasi polio, eliminasi tetanus neonatorum, reduksi campak, dan memutuskan rantai penularan hepatitis B sedini mungkin, akan mengubah jadwal imunisasi.
Tambahan topik dan revisi terutama diperlukan untuk menjawab beberapa masalah, antara lain, (1) bertambahnya jenis vaksin di luar program PPI (vaksin non-PPI), baik sebagai vaksin baru maupun vaksin yang telah lama beredar kini muncul dalam kemasan baru, (2) keamanan pemberian suntikan vaksin (safety injection) perlu mendapat perhatian, dan (3) sesuai dengan maturasi perjalanan imunisasi, program imunisasi akan mengalami hambatan akibat kejadian ikutan yang diduga menjadi penyebab imunisasi; dalam hal ini PP IDAI telah menunjukkan sikapnya menghadapi hal ini.
Sebagaimana pembuatan buku imunisasi yang diharapkan senantiasa menjadi acuan, tentunya buku ini tetap memerlukan revisi-revisi di kemudian hari. Akhirnya saya selaku Ketua Umum Ikatan Dokter Anak Indonesia mengucapkan penghargaan yang setinggi-tingginya atas kerja keras seluruh kontributor anggota Satgas Imunisasi dan semua pihak yang membantu penerbitan buku imunisasi ini.
Jakarta, Mei 2008 Sukman Tulus. Putra, Dr., Sp.A(K), FACC, FESC
Kata Pengantar Tim Satgas Imunisasi IDAI K
ami mengucapkan puji syukur ke hadirat Allah Subhanawata’ala, bahwa Buku Pedoman Imunisasi edisi 1 (tahun 2002) dan edisi 2 (tahun 2005) tampaknya sangat dibutuhkan oleh dokter dan petugas kesehatan yang terkait dengan vaksin dan imunisasi, sehingga dalam waktu singkat habis dari peredaran. Mengingat banyaknya permintaan untuk mencetak ulang buku ini, maka kami menerbitkan Buku Imunisasi edisi ke-3 dengan revisi beberapa topik dan adanya tambahan informasi vaksin-vaksin baru.
Perubahan dalam buku edisi ke-3 tahun 2008 adalah,
Penyimpanan dan transportasi vaksin dari Bab XII menjadi Bab II, isi ditambah dan dibagi menjadi 2 topik yaitu rantai vaksin dan kualitas vaksin,
Prosedur imunisasi dari Bab II menjadi Bab III, dengan tambahan topik safety injection, Influenza, pneumokokus dan rotavirus direvisi dengan tambah an informasi terbaru, Tambahan topik yaitu vaksin human papilloma virus,
Jadwal imunisasi ditambah dengan vaksin human papilloma virus (HPV), untuk anak remaja,
Vaksin untuk tujuan khusus dan vaksin untuk turis digabung menjadi satu dalam Bab VI mengenai vaksin yang dianjurkan (non PPI), sehingga jumlah bab berkurang satu menjadi 12,
Kontroversi dalam imunisasi ditambah dengan miskonsepsi Imunisasi kelompok berisiko dari Bab III dipindahkan ke Bab IX
perbaikan dan penambahan topik-topik baru untuk edisi ke 3 ini. Mengingat pekerjaan untuk membuat revisi buku edisi ke-3 ini cukup melelahkan,
kami telah dibantu oleh dua orang editor baru yaitu Prof. Dr. Ismoedijanto dr.,Sp.A(K) dan Soedjatmiko dr., Sp.A(K)., Msi. Untuk itu kami ucapkan terima kasih.
Selanjutnya kami mengharapkan masukan dan saran dari para pengguna buku ini, untuk penyempurnaan pada edisi mendatang. Semoga buku ini bermanfaat bagi semua pihak yang terkait dengan vaksin dan imunisasi, sehingga derajat kesehatan anak Indonesia semakin meningkat.
Tim Penyunting
Prof. I.G.N. Ranuh dr., Sp.A(K) Prof. Dr. Hariyono Suyitno dr., SpA(K)
Prof. Dr. Sri Rezeki S. Hadinegoro dr., Sp.A(K) Prof. Cissy B. Kartasasmita dr., MSc., Ph.D., SpA(K) Prof. Dr. Ismoedijanto, dr., SpA(K)
Soedjatmiko, dr., SpA(K), MSi.
Daftar Isi
Halaman
Disclaimer... ii
Kata sambutan Menteri Kesehatan ... iii
Prakata ketua Pengurus Pusat IDAI ... iv
Kata pengantar tim Satgas Imunisasi IDAI... v
Daftar... isi vii
Daftar... kontributor ix
Daftar... istilah xii
Bab I. Dasar-dasar Imunisasi... 1
1. Imunisasi upaya pencegahan primer 2 2. Aspek imunologi imunisasi 10 ... 3... Jenis vaksin 23
Bab II. Penyimpanan dan Transportasi Vaksin... 29
1. Rantai vaksin 30 2. Kualitas vaksin 40 Bab III. Prosedur Imunisasi... 45
1. Tatacara pemberian imunisasi 46 2. Penjelasan kepada orang tua mengenai imunisasi 62 3. Catatan imunisasi 72 4. Safety injection... 76
Bab IV. Jadwal Imunisasi... 89
1. Program pengembangan imunisasi 90 2. Jadwal imunisasi rekomendasi IDAI 97 3. Jadwal imunisasi tidak teratur 117 4. Imunisasi anak sekolah, remaja, dan dewasa 122 Bab V. Vaksin pada Program Imunisasi Nasional (PPI) ... ...130
1. Tuberkulosis ... 131 2. Hepatitis B ...
2. Hepatitis B ... 135
3. DTP (difteria, tetanus, pertusis) ... 143
4. Poliomielitis ... 157
5. Campak ... 171
Bab VI. Vaksin yang Dianjurkan (non PPI)... 178
1. MMR (campak, gondong, rubella) ... 179
2. Haemophilus inß uenzae tipe B (Hib) ... 188 3. Demam tifoid ... 192 4. Varisela ... 197 5. Hepatitis A ... 203 6. Rabies... 210 7. Inß uenza ... 221 8. Pneumokokus... 232 9. Rotavirus ... 241 10. Kolera + ETEC... 244 11. Yellow fever ... 248 12. Japanese encephalitis ... 254 13. Meningokokus... 262
14. Human Papilloma Virus (HPV)... 267
Bab VII. Imunisasi Pasif ... 271
Bab VIII. Vaksin Kombinasi ... 292
Bab IX. Imunisasi Kelompok Berisiko... 304
1. Imunisasi bayi berisiko... 305
2. Imunisasi bayi pada ibu berisiko... 315
Bab X. Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) ... 318
1. KlasiÞ kasi kejadian ikutan pasca imunisasi... 319
2. Pelaporan kejadian ikutan pasca imunisasi ... 341
Bab XI. Miskonsepsi dan Kontroversi dalam Imunisasi 348 1. Miskonsepsi imunisasi... 349
2. Kontroversi dalam imunisasi ... 360
Bab XII. Tanya Jawab Orang Tua Mengenai Imunisasi ... 371
Daftar vaksin yang beredar di Indonesia... 385
Daftar Kontributor
Achmad Suryono UKK Perinatologi IDAI, Bagian IKA, FK (alm) Universitas Gajah Mada/RSUP Dr. Sardjito,
Jogyakarta
Agus Firmansyah UKK Gastrohepatologi IDAI, Departemen IKA FK Universitas Indonesia/RSUP Dr.Cipto Mangunkusumo, Jakarta
Indonesia/RSUP Dr.Cipto Mangunkusumo, Jakarta
Alan R UKK Infeksi & Pediatri Tropis IDAI, Departemen Tumbelaka IKA FK Universitas Indonesia/RSUP Dr.Cipto
Mangunkusumo, Jakarta
Arwin A P Akib UKK Alergi Imunologi IDAI, Departemen IKA FK Universitas Indonesia/RSUP Dr.Cipto Mangunkusumo, Jakarta
Boerhan Hidayat UKK Gizi IDAI, Bagian IKA FK Universitas Airlangga/ RSUP Dr. Soetomo, Surabaya
Cissy B Kartasasmita Corry S.Matondang (alm)
UKK Pulmonologi IDAI, Bagian IKA, FK Universitas Padjadjaran/ RSUP Dr. Hasan Sadikin, Bandung
UKK Alergi Imunologi IDAI, Bagian IKA FK Universitas Indonesia/ RSUP Dr.Cipto Mangunkusumo, Jakarta
Dahlan Ali Musa UKK Tumbuh Kembang- Pediatri Sosial IDAI
Fatimah Indarso UKK Perinatologi IDAI, Bagian IKA, FK Airlangga/RSUP Dr. Soetomo, Surabaya
Hanifah Oswari UKK Gastrohepatologi IDAI, Departemen IKA, FK Universitas Indonesia/RSUP Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta
Hardiono D UKK Neurologi IDAI, Departemen IKA Poesponegoro FK Universitas Indonesia/ RSUP Dr.Cipto
Mangunkusumo, Jakarta
Hariyono UKK Tumbuh Kembang Pediatri Sosial Soeyitno IDAI , Bagian IKA, FK Diponegoro/ RSUP
Dr. Kariadi, Semarang
Hartono Gunardi UKK Tumbuh Kembang Pediatri Sosial IDAI, Departemen IKA FK Universitas Indonesia/ RSUP Dr.Cipto Mangunkusumo, Jakarta
Hindra Irawan UKK Infeksi dan Pediatri Tropis IDAI, Satari Departemen IKA FK Universitas Indonesia/
RSUP Dr.Cipto Mangunkusumo, Jakarta
Iskandar Syarif UKK Neurologi IDAI, Bagian IKA FK Universitas Andalas/RSUP Dr. M. Djamil, Padang
Ismoedijanto UKK Infeksi dan Pediatri Tropis IDAI, Bagian IKA, FK Airlangga/RSUP Dr. Soetomo, Surabaya
IGN Gde Ranuh UKK Tumbuh Kembang Pediatri Sosial IDAI, Bagian IKA, FK Airlangga/ RSUP Dr. Soetomo, Surabaya
Jose R L Batubara UKK Endokrin IDAI, Departemen IKA FK Universitas Indonesia/RSUP Dr.Cipto Mangunkusumo, Jakarta
Kusnandi Rusmil UKK Tumbuh Kembang Pediatri Sosial IDAI, Bagian IKA, FK Universitas Padjadjaran/ RSUP Dr. Hasan Sadikin, Bandung
Nastiti N.Rahajoe UKK Pulmonologi IDAI Noenoeng UKK Pulmonologi IDAI Rahajoe
Purnamawati S. UKK Gastrohepatologi IDAI Pujiarto
Soedjatmiko UKK Tumbuh Kembang Pediatri Sosial IDAI, Departemen IKA FK Universitas Indonesia/ RSUP Dr.Cipto Mangunkusumo, Jakarta
Soegeng UKK Infeksi dan Pediatri Tropis IDAI,
Soegijanto Bagian IKA, FK Airlangga/RSUP Dr. Soetomo, Surabaya
Sofyan Ismael UKK Neurologi IDAI, Departemen IKA FK Universitas Indonesia/RSUP Dr.Cipto Mangunkusumo, Jakarta
Sri Rezeki UKK Infeksi dan Pediatri Tropis IDAI,
S.Hadinegoro Departemen IKA FK Universitas Indonesia/ RSUP Dr.Cipto Mangunkusumo, Jakarta
Syahril Pasaribu UKK Infeksi & Pediatri Tropis IDAI, Bagian IKA, FK Sumatera Utara/ RSUP Dr. H Adam Malik, Medan
Syawitri P Siregar UKK Alergi Imunologi IDAI, Bagian IKA FK Universitas Indonesia/RSUP Dr.Cipto Mangunkusumo, Jakarta
TH Rampengan UKK Infeksi & Pediatri Tropis IDAI, Bagian IKA, FK Sam Ratulangi/ RSUP Dr. Malalayang, Manado
Titut
S.Poesponegoro (alm)
Toto Wisnu Hendarto
UKK Perinatologi IDAI, Bagian IKA RS Ibu & Anak Harapan Kita, Jakarta UKK Perinatologi IDAI, Bagian IKA RS Ibu & Anak Harapan Kita, Jakarta
UKK = Unit Kerja Koordinasi, merupakan badan khusus PP IDAI
Daftar Istilah AAP American Academy of Pediatrics
ACIP Advisory Committee on Immunization AEFI Adverse Events Following Immunization AFP Acute Flaccid Paralysis, lumpuh layuh AKABA Angka Kematian Balita
AKB Angka Kematian Bayi APC Antigen Presenting Cell ASI Air Susu Ibu
BCG Bacille Cal mette Guerin BIAS Bulan Imunisasi Anak Sekolah BTA Bakteri Tahan Asam
CDC Center of Disease Control DALY Disability Adjusted Life Year DT Difteria, Tetanus
DTwP Difteria, Tetanus, Pertusis (whole cell) DTaP Difteria, Tetanus, Pertusis (acellular) ERAPO Eradikasi Polio
ETN Eliminasi Tetanus Neonatorum FDA Food Drug Administration
FKUI Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia GVHD Graft Versus Host Disease
HBIg Hepatitis B Immunoglobulin HbsAg Hepatitis B surface antigen Hep-B Hepatitis B
Hib Haemophyllus influenza type b HIV Human Immunodeficiency Virus
HLA Human Leucocyte Antigen HPV Human Papilloma Virus IDAI Ikatan Dokter Anak Indonesia IgA Imunoglobulin A
IgG Imunoglobulin G IgM Imunoglobulin M
IPV Inactivated Polio Vaccine ISPA Infeksi Saluran Pernapasan Akut IU International Unit
KIPI Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi KLB Kejadian Luar Biasa
MHC Major Histocompatibility Complex MMR Measles, Mumps, Rubella
NHMRC National Health and Medical Research Council NIGH Normal Immunoglobulin Human
OPV Oral Polio Vaccine PIN Pekan Imunisasi Nasional
PPI Program Pengembangan Imunisasi PRP Polyribosyribitol Phosphate
PRP-OMP Polyribosyribitol Phosphate-Outer Membrane Protein PRP-T Polyribosyribitol Phosphate-Tetanus
Puskesmas Pusat Kesehatan Masyarakat RSCM Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo UKK Unit Kerja Koordinasi
Bab I
Dasar-Dasar Imunisasi
Bab 1 - 1 Imunisasi Upaya Pencegahan Primer 1 - 2 Aspek Imunologi Imunisasi 1 - 3 Jenis Vaksin
Pengantar
Sistem kesehatan nasional imunisasi adalah salah satu bentuk intervensi kesehatan yang sangat efektif dalam upaya menurun kan angka kematian bayi dan balita. Dasar utama pelayanan kesehatan, bidang preventif merupakan prioritas. Penurunan insidens penyakit menular telah terjadi berpuluh-puluh tahun yang lampau di negara-negara maju yang telah
melakukan imunisasi dengan teratur dengan cakupan luas. Demikian juga di Indonesia; dinyatakan bebas penyakit cacar tahun 1972 dan penurunan insidens beberapa penyakit menular secara mencolok terjadi sejak tahun 1985, terutama untuk penyakit difteria, tetanus, pertusis, campak, dan polio. Bahkan kini penyakit polio secara virologis tidak ditemukan lagi sejak tahun 1995, dan diharapkan beberapa tahun yang akan datang Indonesia akan dinyatakan bebas polio. Sejarah imunisasi telah dimulai lebih dari 200 tahun yang lalu, sejak Edward Yenner tahun 1798 pertama kali menunjukkan bahwa dengan cara vaksinasi dapat mencegah penyakit cacar. Untuk dapat melakukan pelayanan imunisasi yang baik dan benar diperlukan pengetahuan dan ketrampilan tentang vaksin (vaksinologi), ilmu kekebalan (imunologi) dan cara atau prosedur pemberian vaksin. Dengan melakukan imunisasi terhadap seorang anak, tidak hanya memberikan perlindungan pada anak tersebut tetapi juga berdampak kepada anak lainnya karena terjadi tingkat imunitas umum yang meningkat dan mengurangi penyebaran infeksi. Sangat penting bagi para profesional untuk melakukan imunisasi terhadap anak maupun orang dewasa. Dengan demikian akan memberikan kesadaran pada masyarakat terhadap nilai imunisasi dalam menyelamatkan jiwa dan mencegah penyakit yang berat.
Bab 1-1
Imunisasi Upaya Pencegahan Primer I.G.N. Ranuh
Penduduk Indonesia pada tahun 2007 telah melampaui 220 juta dan ditengarai pula bahwa pertumbuhan penduduk bergerak lebih cepat, tidak sesuai dengan perhitungan semula. Menurut Haryono Suyono pengendalian pertumbuhan penduduk hanya difokuskan pada pasangan usia subur yang sangat miskin yang notabene jumlahnya kecil sekali, yaitu 19% dari total jumlah pasangan usia subur di Indonesia
Perhitungan tahun 2006 mengatakan bahwa laju pertumbuhan penduduk akan terus turun bahkan pada tahun 2020 – 2025 dimungkinkan mencapai 0,92 %. Namun kenyataan dewasa ini laju pertumbuhan penduduk Indonesia telah mencapai angka yang cukup tinggi 1,3%. Jumlah anak di bawah 15 tahun masih merupakan golongan penduduk yang sangat besar, yaitu kurang lebih 70 juta (30,26%) dan usia balita 23,7 juta (10,4%).
Masalah lain yang penting dan memprihatinkan adalah meningkatnya kurang gizi di berbagai pelosok Indonesia. Apabila gizi kurang 37,5% pada tahun 1998 berhasil ditekan mencapai 19,3% pada tahun 2002, gizi buruk 6,3% pada tahun 1989 tidak berhasil ditekan bahkan setelah tahun 2002 berprevalensi untuk menjadi lebih dari 10% yang dapat kita saksikan akhir-akhir ini. Penyebabnya adalah kurang berfungsinya Posyandu di masyarakat pada masa lalu, yaitu sejak krisis moneter 1997, bencana alam yang datang bertubi-tubi di tanah air kita ini dan situasi politik dan keamanan yang tidak kondusif.
Dengan revitalisasi posyandu dan program KB diharapkan situasi kesehatan masyarakat dan pertumbuhan penduduk dapat dikendalikan kembali. Berkurangnya fungsi Posyandu, pemantauan
anak kurang mendapatkan perhatian yang tercermin dengan menurunnya kesehatan anak pada umumnya, khususnya adanya gizi kurang dan infeksi yang beberapa tahun yang lalu sudah reda menyerang anak-anak kembali seperti poliomielitis, demam tifoid, difteri, campak, demam dengue, dan lainnya.
Pembangunan nasional jangka panjang menititkberatkan pada kualitas hidup sumber daya manusia yang prima. Untuk itu kita bertumpu pada generasi muda yang
memerlukan asuhan dan perlindungan terhadap penyakit yang mungkin dapat menghambat tumbuh kembangnya menuju dewasa yang berkualitas tinggi guna meneruskan pembangunan nasional jangka panjang tersebut.
Profil epidemiologis di Indonesia sebagai gambaran tingkat kesehatan di masyarakat masih memerlukan perhatian khusus yaitu,
Angka kematian kasar (CMR): 7,51 per 1000/tahun Angka kematian bayi (IMR): 48 per 1000 lahir hidup/tahun Angka kematian balita (U5MR) : 56 per 1000 lahir hidup/ tahun Angka kematian ibu hamil (MMR): 470 per 100.000 lahir hidup/tahun
Cakupan imunisasi: BCG 85%, DTP 64%, Polio 74%, HB1 91%, HB2 84,4%, HB3 83,0%, TT ibu hamil: TT1 84% dan TT2 77% (WHO)
Angka kematian bayi (AKB atau IMR) dalam dua dasawarsa terakhir ini menunjukkan penurunan yang bermakna. Apabila pada tahun 1971 sampai 1980 memerlukan sepuluh tahun untuk menurunkan AKB dari 142 menjadi 112 per 1000 kelahiran hidup; maka hanya dalam kurun waktu lima tahun, yaitu tahun 1985 sampai 1990 Indonesia berhasil menurunkan AKB dari 71
menjadi 54 dan bahkan dari data 2001 telah menunjukkan angka 48 per 1000 kelahiran hidup (Profil Kesehatan Indonesia 2001). Penurunan tersebut diikuti dengan menurunnya angka kematian balita atau AKABA yang telah mencapai 56 per 1000 kelahiran hidup.
Prestasi yang gemilang tersebut tidak lain disebabkan karena penggunaan teknologi tepat guna selama itu, yaitu memanfaatkan dengan baik Kartu Menuju Sehat dalam memantau secara akurat tumbuh kembang anak, peningkatan penggunaan ASI, pemberian segera cairan oralit pada setiap kasus diare pada anak dan pemberian imunisasi pada anak balita sesuai Program Pengembangan Imunisasi (PPI) yaitu BCG, Polio, Hepatitis B, DTP dan campak, bahkan pada tahun 1990 Indonesia telah
mencapai Universal Child Imunization (UCI) dengan cakupan imunisasi sebesar 90% pada anak balita. Program ini diperkuat dengan gerakan PIN (Pekan Imunisasi
Nasional) terhadap penyakit polio pada tahun 1985 – 1996 – 1997 secara berturut-turut dan serentak di seluruh tanah air menghilangkan kasus polio selama 10 tahun (1997-2005).
Namun kemudian karena adanya outbreak polio yang dimulai di Jawa Barat dilakukan tindakan-tindakan khusus untuk mencegah menjalarnya lagi polio liar di Indonesia secara intensif dengan pengulangan PIN pada tahun 2005 dan 2006 diharapkan kita berhasil mengendalikan. Pada kesempatan tersebut dan melalui crash program campak vaksinasi terhadap tetanus dan campak diberikan dengan harapan dapat mengurangi kesakitan dan kematian karena kedua penyakit tersebut.
Vaksinasi, sebagai upaya pencegahan primer
Seiring dengan menurunnya angka kesakitan dan kematian anak pada umumnya maka kualitas hidup bangsa akan meningkat pula. Di samping itu, dengan terjadinya transisi demografik yang mengakibatkan berkurangnya jumlah anak dalam satu keluarga (satu keluarga memiliki 3 orang anak) maka kelompok usia produktif akan meningkat. Meskipun demikian usia anak di bawah 15 tahun masih merupakan kelompok penduduk yang sangat besar dan memerlukan perhatian yang lebih besar lagi.
Hasil penelitian di dunia mengatakan bahwa angka kelahiran dan usia harapan hidup di suatu negara berkaitan, yaitu makin
rendah angka kelahiran makin tinggi usia harapan hidup. Untuk itu pencegahan
terhadap infeksi maupun upaya yang menentukan situasi yang kondusif untuk itu mutlak harus dilakukan pada anak dalam tumbuh kembangnya sedini mungkin guna dapat mempertahankan kualitas hidup yang prima menuju dewasa.
Demikian pula perhitungan ekonomi memperlihatkan bahwa pencegahan adalah suatu cara perlindungan terhadap infeksi yang paling efektif dan jauh lebih murah dari pada mengobati apabila sudah terserang penyakit dan memerlukan perawatan rumah sakit. Secara konvensional, upaya pencegahan penyakit dan keadaan apa saja yang akan menghambat tumbuh kembang anak, seperti cedera dan keracunan karena kecelakaan, kekerasan pada anak, fisik, mental maupun seksual, konsumsi alkohol dan obat-obatan terlarang, dapat terlaksana dalam tiga kategori, yaitu pencegahan primer, sekunder dan tersier yang dapat dilaksanakan selama masa tumbuh kembang sejak pra-konsepsi, prenatal, masa neonatal, bayi, masa sekolah dan remaja menuju dewasa.
Pencegahan primer adalah semua upaya untuk menghindari terjadinya sakit atau kejadian yang mengakibatkan seseorang sakit atau menderita cedera dan cacat. Memperhatikan gizi dengan sanitasi lingkungan yang baik, pengamanan terhadap segala macam cedera dan keracunan serta vaksinasi atau imunisasi terhadap penyakit adalah rangkaian upaya pencegahan primer. Pencegahan sekunder apabila dengan deteksi dini, diketahui adanya penyimpangan
kesehatan seorang bayi atau anak sehingga intervensi atau pengobatan perlu segera diberikan untuk koreksi secepatnya. Memberi pengobatan sesuai diagnosis yang tepat adalah suatu upaya pencegahan sekunder agar tidak terjadi komplikasi yang tidak diinginkan, yaitu sampai meninggal maupun meninggalkan gejala sisa, cacat fisik maupun mental. Sedangkan pencegahan tersier adalah membatasi berlanjutnya gejala sisa tersebut dengan upaya pemulihan seorang pasien agar dapat hidup mandiri tanpa bantuan orang lain, seperti contoh pada terapi rehabilitasi medik
pada penyakit polio maupun cacat lainnya karena cedera kecelakaan dan lain-lain sebab.
berhasil di dunia kedokteran yang oleh Katz (1999) dikatakan sebagai ”sumbangan ilmu pengetahuan yang terbaik yang pernah diberikan para ilmuwan di dunia ini”. Satu upaya kesehatan yang paling efektif dan efisien dibandingkan dengan upaya kesehatan lainnya.
Pada tahun 1974 cakupan imunisasi baru mencapai 5% dan setelah dilaksanakannya imunisasi global yang disebut dengan extended program on immunization (EPI) cakupan terus meningkat dan hampir setiap tahun minimal sekitar 3 juta anak dapat terhindar dari kematian dan sekitar 750.000 anak terhindar dari kecacatan. Namun demikian, masih ada satu dari empat orang anak yang belum mendapatkan vaksinasi dan dua juta anak meninggal setiap tahunnya karena penyakit yang dapat dicegah dengan vaksinasi.
Di masa depan harapan akan hilangnya penyakit polio, campak dan lain-lainnya di dunia adalah sesuatu yang tidak mustahil sehingga setiap anak dapat tumbuh kembang secara optimal. Perbaikan gizi anak disertai penyehatan lingkungan tidak cukup untuk mencegah tertularnya anak oleh kuman, virus maupun parasit. Vaksinasi dapat menekan penyakit yang endemik dan erat hubungannya dengan lingkungan hidup.
WHO telah mencanangkan program imunisasi tersebut sejak 1994 dengan EPI dan kemudian lebih luas lagi dengan GPV (global programme for vaccines and immunization), organisasi pemerintah dari seluruh dunia bersama UNICEF, WHO dan World Bank. Ditambah lagi organisasi perorangan Bill and Melinda Gates children’s vaccine programme dan Rockefeller Foundation.
Kekebalan atau imunitas tubuh terhadap ancaman penyakit adalah tujuan utama dari pemberian vaksinasi. Pada hakekatnya kekebalan tubuh dapat dimiliki secara pasif maupun aktif.
Keduanya dapat diperoleh secara alami maupun buatan. Imun pasif
yang didapatkan secara alami adalah kekebalan yang didapatkan transplasental, yaitu antibodi diberikan ibu kandungnya secara pasif melalui plasenta kepada janin yang dikandungnya. Semua bayi yang dilahirkan telah memiliki sedikit atau banyak antibodi dari ibu kandungnya. Sedangkan imun pasif buatan adalah pemberian antibodi yang sudah disiapkan dan dimasukkan ke dalam tubuh anak. Seperti halnya pada bayi baru lahir dari ibu yang mempunyai HbSAg positif memerlukan imunoglobulin yang spesifik hepatitis B yang harus diberikan setelah lahir dengan segera.
Pada seorang yang sedang sakit dapat pula diberikan antibodi spesifik secara pasif sesuai antigen yang menyebabkan sakitnya. Imun aktif dapat diperoleh pula secara alami maupun buatan. Secara alami imun aktif didapatkan apabila anak terjangkit suatu penyakit, yang berarti masuknya sebuah antigen yang akan merangsang tubuh anak membentuk antibodinya sendiri secara aktif dan menjadi imun karenanya. Mekanisme yang sama adalah pemberian vaksin yang merangsang tubuh manusia secara aktif membentuk antibodi dan kebal secara spesifik terhadap antigen yang diberikan.
Imunisasi dan Vaksinasi
Perlu diketahui bahwa istilah imunisasi dan vaksinasi seringkali diartikan sama. Imunisasi adalah suatu pemindahan atau transfer antibodi secara pasif, sedangkan istilah vaksinasi dimaksudkan sebagai pemberian vaksin (antigen) yang dapat merangsang pembentukan imunitas (antibodi) dari sistem imun di dalam tubuh.
Imunitas secara pasif dapat diperoleh dari pemberian dua macam bentuk, yaitu imunoglobulin yang non-spesifik atau gamaglobulin dan imunoglobulin yang spesifik yang berasal dari plasma donor yang sudah sembuh dari penyakit tertentu atau baru saja mendapatkan vaksinasi penyakit tertentu. Imunoglobulin yang non-spesifik digunakan pada anak dengan defisiensi imunoglobulin sehingga memberikan perlindungan dengan segera dan cepat yang seringkali
dapat terhindar dari kematian. Hanya saja perlindungan tersebut tidaklah berlangsung permanen melainkan hanya untuk beberapa minggu saja. Demikian pula imunoglobulin yang non-spesifik selain mahal, memungkinkan anak menjadi sakit karena secara kebetulan atau karena suatu kecelakaan serum yang diberikan tidak bersih dan masih mengandung kuman yang aktif. Sedangkan imunoglobulin yang spesifik diberikan kepada anak yang belum terlindung karena belum pernah mendapatkan vaksinasi dan kemudian terserang misalnya penyakit difteria, tetanus, hepatitis B.
Vaksinasi, merupakan suatu tindakan yang dengan sengaja memberikan paparan dengan antigen yang berasal dari mikroorganisme patogen. Antigen yang diberikan telah dibuat demikian rupa sehingga tidak menimbulkan sakit namun mampu
mengaktivasi limfosit menghasilkan antibodi dan sel memori. Cara ini menirukan infeksi alamiah yang tidak menimbulkan sakit namun cukup memberikan kekebalan. Tujuannya adalah memberikan ”infeksi ringan” yang tidak berbahaya namun cukup untuk menyiapkan respon imun
sehingga apabila terjangkit penyakit yang sesungguhnya di kemudian hari anak tidak menjadi sakit karena tubuh dengan cepat membentuk antibodi dan mematikan antigen/penyakit yang masuk tersebut. Demikian pula vaksinasi mempunyai berbagai keuntungan, yaitu
Pertahanan tubuh yang terbentuk akan dibawa seumur hidupnya Vaksinasi adalah cost-effective karena murah dan efektif
Vaksinasi tidak berbahaya. Reaksi yang serius sangat jarang terjadi, jauh lebih jarang dari pada komplikasi yang timbul apabila terserang penyakit tersebut secara alami.
Daftar Pustaka
1. World Health Organization, The World Health Report 2007. Asaferfuture: global public health security in the 21st century. Diunduh dari: http://www.who.int/whr/2007/en/index. html.
2. Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF, editors. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi18. Philadelphia:Saunders Elsevier. 2007.
3. WHO, Unicef, The World Bank. State of the World’s Vaccines and Immunization. Geneva: WHO. 2002.
4. Departemen Kesehatan & Kesejahteraan Sosial RI. Sensus Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 2004.
5. KSK _Satgas Imunisasi IDAI, Learning about Vaccination, 2004. 6. SUSENAS 1989 –2002, Direktorat Gizi Msyarakat, DepKes RI. 7. DepKes: Profil Kesehatan Indonesia, 2004.
Bab 1-2
Aspek Imunologi Imunisasi
Corry S Matondang, Sjawitri P Siregar
Imunisasi adalah suatu cara untuk meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif terhadap suatu antigen, sehingga bila kelak ia terpajan pada antigen yang serupa, tidak terjadi penyakit. Dilihat dari cara timbulnya maka terdapat dua jenis kekebalan, yaitu kekebalan pasif dan kekebalan aktif. Kekebalan pasif adalah kekebalan yang diperoleh dari luar tubuh, bukan dibuat oleh individu itu sendiri. Contohnya adalah kekebalan pada janin yang diperoleh dari ibu atau kekebalan yang diperoleh setelah pemberian suntikan imunoglobulin. Kekebalan pasif tidak berlangsung lama karena akan dimetabolisme oleh tubuh. Waktu paruh IgG 28 hari, sedangkan waktu paruh imunoglobulin lainnya lebih pendek. Kekebalan aktif adalah kekebalan yang dibuat oleh tubuh sendiri akibat terpajan pada antigen seperti pada imunisasi, atau terpajan secara alamiah. Kekebalan aktif berlangsung lebih lama daripada kekebalan pasif karena adanya memori imunologik.
Tujuan Imunisasi
Tujuan imunisasi untuk mencegah terjadinya penyakit tertentu pada seseorang, dan menghilangkan penyakit tertentu pada sekelompok masyarakat (populasi) atau bahkan
menghilangkan penyakit tertentu dari dunia seperti pada imunisasi cacar variola. Keadaan yang terakhir ini lebih mungkin terjadi pada jenis penyakit yang hanya dapat ditularkan melalui manusia, seperti misalnya penyakit difteria.
Respons imun
Respons imun adalah respons tubuh berupa urutan kejadian yang kompleks terhadap antigen (Ag), untuk mengeliminasi antigen tersebut. Dikenal dua macam pertahanan tubuh yaitu 1) mekanisme pertahanan nonspesifik disebut juga komponen nonadaptif atau innate artinya tidak ditujukan hanya untuk satu macam antigen, tetapi untuk berbagai macam antigen, 2) mekanisme pertahanan tubuh spesifik atau komponen adaptif ditujukan khusus terhadap satu jenis antigen, terbentuknya antibodi lebih cepat dan lebih banyak pada pemberian antigen berikutnya; hal ini disebabkan telah
terbentuknya sel memori pada pengenalan antigen pertama kali.
Bila pertahanan nonspesifik belum dapat mengatasi invasi mikroorganisme maka imunitas spesifik akan terangsang. Mikroorganisme yang pertama kali dikenal oleh sistem imun akan dipresentasikan oleh sel makrofag (APC= antigen presenting cell) pada sel T untuk antigen TD (T dependent) sedangkan antigen TI (T independent) akan langsung diproses oleh sel B Mekanisme pertahanan spesifik terdiri atas imunitas selular dan imunitas humoral. Imunitas humoral akan menghasilkan antibodi bila dirangsang oleh antigen. Semua antibodi adalah protein dengan struktur yang sama yang disebut imunoglobulin (Ig) yang dapat dipindahkan
secara pasif kepada individu yang lain dengan cara penyuntikan serum. Berbeda dengan imunitas selular hanya dapat dipindahkan melalui sel; contohnya pada reaksi penolakan organ transplantasi oleh sel limfosit dan pada graft versus-host-disease.
Respons imun terdiri dari dua fase,
fase pengenalan, diperankan oleh sel yang mempresentasikan antigen (APC), sel limfosit B, limfosit T
fase efektor, diperankan oleh antibodi, dan limfosit T efektor (Gambar 1)
Pajanan Antigen pada Sel T
Umumnya antigen bersifat tergantung pada sel T (TD=T dependent antigen), artinya antigen akan mengaktifkan sel imunokompoten bila sel ini mendapat bantuan sel Th (T helper) melalui zat yang dilepaskan sel Th aktif. Antigen TD adalah antigen yang kompleks seperti bakteri, virus dan antigen yang bersifat hapten. Sedangkan antigen yang tidak memerlukan sel T (TI=T independent antigen) untuk menghasilkan antibodi dengan cara langsung merangsang sel limfosit B misalnya antigen yang strukturnya sederhana dan berulang-ulang, biasanya merupakan molekul besar dan menghasilkan IgM, IgG2 dan sel memori yang lemah. Contohnya polisakarida komponen endotoksin yang terdapat pada dinding sel bakteri. Endotoksin adalah TI antigen yang dapat merangsang aktivasi sel B dan memproduksi antibodi dan berperan juga sebagai stimulan sel B poliklonal.
Kualitas respons imun yang timbul tergantung pada faktor intrinsik Ag dan faktor-faktor lain seperti,
Jumlah dosis antigen
Cara pemberian antigen. Pada pemberian secara intradermal (id), intramuskular (im), subkutan (sc), organ sasaran adalah kelenjar limfoid regional. Secara intravenus (iv) berada di limpa, sedangkan pemberian secara oral akan ke plaquePeyer’s, dan melalui inhalasi berada di jaringan limfoid bronkhial.
Penambahan zat yang bekerja sinergis dengan antigen, misalnya ajuvan atau antigen lain Sifat molekul antigen, jumlah protein, ukuran dan daya larutnya
Faktor genetik pejamu
Limfosit Th umumnya mengenal antigen bila dipresentasikan bersama molekul produk MHC (mayor histocompatibility complex) kelas I & II yaitu molekul yang antara lain terdapat pada membran sel makrofag. Setelah antigen diproses oleh sel makrofag akan
dipresentasikan bersama MHC kelas I atau kelas II kepada sel Th sehingga terjadi ikatan antara TCR (T cell receptor) dengan antigen. Kemudian akan terjadi diferensiasi menjadi sel Th efektor, sel Tc efektor serta sel Th memori dan sel Tc memori atas pengaruh sitokin berada di jaringan perifer. Sel Th efektor mengaktivasi makrofag (Gambar 1.1). Peran utama dari sel Th ialah membantu sel limfosit B menghasilkan antibodi.
Pada manusia terdapat dua jenis sel Th yaitu sel Th1 dan sel Th2 yang dapat dibedakan dengan sitokin yang dihasilkannya dan fungsi efektornya. Misalnya Th1 mensekresi sitokin IL-2, IL-3, TNF-a, TNF-a, TNF-a dan TH2 mensekresi IL-4, IL-5, IL-6, IL-10, dan IL-13. Sedangkan peran utama sel Tc atau sel CD8 ialah untuk mengenal dan kemudian melisis sel target yang terinfeksi sehingga disebut juga sel cytotoxic T lymphocyte (CTLs) yang berperan pada infeksi virus, bakteri dan parasit.
Gambar 1.1. Aktivasi sel limfosit T pada Respon Imun Selular Dikutip dan dimodifikasi dari Abdul K Abbas, 2001
Respon Imun Selular
Respons imun selular diperankan oleh sel limfosit T yang dapat langsung melisis sel yang mengekspresikan Ag spesifik (sel Tc=sel T sitotoksik) atau mensekresi sitokin yang akan merangsang terjadi proses inflamasi (Th=sel T helper) hipersensitivitas tipe lambat. Sel Tc dan sel Th berperan pada mikroorganisme intraselular seperti infeksi virus, parasit dan beberapa bakteri. Sel T sitotoksik akan melisis sel yang mengandung virus. Sel Th aktif juga merangsang sel Tc (sel T cytotoxic) untuk mengenal antigen pada sel target bila berasosiasi dengan molekul MHC kelas I.
Reaksi hipersensitivitas tipe lambat diperankan oleh sel Th1 yang mensekresi sitokin bila dirangsang oleh Ag.
Respons Imun Humoral
Reseptor imunoglobulin (Ig) pada sel limfosit B mengenal dan berinteraksi dengan epitop antigen. Mulanya imunoglobulin permukaan ini adalah kelas IgM dan pada perkembangan selanjutnya sel B juga memperlihatkan IgG, IgA dan IgD pada membrannya dengan bagian F(ab) yang serupa. Perkembangan ini tidak perlu rangsangan antigen tertentu.
Pajanan Antigen pada Sel B
Antigen akan berikatan dengan imunoglobulin permukaan sel B dan dengan bantuan sel Th (bagi antigen TD) akan terjadi aktivasi enzim dalam sel B, sedemikian rupa hingga terjadilah transformasi blast, proliferasi, dan diferensiasi menjadi sel plasma yang mensekresi antibodi dan membentuk sel B memori. Sedangkan antigen TI dapat secara langsung mengaktivasi sel B tanpa bantuan sel Th. Antibodi yang disekresi dapat menetralkan Ag sehingga virulensinya hilang, atau berikatan dengan Ag sehingga lebih mudah difagositosis oleh makrofag dalam proses opsonisasi. Kadang fagositosis
dapat dibantu dengan melibatkan komplemen sehingga terjadi penghancuran Ag. Selain itu ikatan antibodi dengan Ag juga mempermudah lisis oleh sel Tc. Peristiwa ini disebut antibody dependent cellular mediated cytotoxi city (ADCC). Hasil akhir aktivasi sel B adalah eliminasi Ag dan pembentukan sel memori yang kelak bila terpapar lagi dengan Ag serupa akan cepat berproliferasi dan berdeferensiasi. Hal inilah yang diharapkan pada imunisasi. Walaupun sel plasma yang terbentuk tidak berumur panjang, kadar antibodi spesifik yang cukup tinggi mencapai kadar protektif dan berlangsung dalam waktu cukup lama dapat diperoleh dengan vaksinasi tertentu atau infeksi alamiah. Hal ini disebabkan karena adanya antigen yang tersimpan dalam sel dendrit dalam kelenjar limfe yang dipresentasikan pada sel memori sewaktu-waktu di kemudian hari (Gambar 1.2)
Gambar 1.2. Mekanisme imunitas humoral Dikutip dan dimodifikasi dari Abul K.Abbas, 2001
Respons antibodi terhadap antigen
Respons imun primer adalah respons imun yang terjadi pada pajanan pertama kalinya dengan antigen. Antibodi yang terbentuk pada respons imun primer kebanyakan adalah
IgM dan IgG dengan titer yang lebih rendah dibandingkan dengan respons imun sekunder, demikian pula dengan afinitas serta lag phase lebih lama. Respons imun sekunder antibodi yang dibentuk terutama adalah IgG, dengan titer dan afinitasnya lebih tinggi serta phase lag lebih pendek (Gambar 1.3). Pada imunisasi, respons imun sekunder inilah yang kelak diharapkan akan memberi respons adekuat bila terpajan pada antigen yang serupa.
Memori Imunologik
Peran utama vaksinasi ialah menimbulkan memori imunologik yang banyak. Sel B memori terbentuk di jaringan limfoid di bagian sentral germinal. Antigen asing yang sudah terikat dengan antibodi akan membentuk komplek Ag-antibodi dan akan terikat dengan komplemen (C). Komplek Ag-Ab-C akan menempel pada sel dendrit
Gambar 1.3. Respons imun primer dan sekunder Dikutip dan dimodifikasi dari Abul K. Abbas 2001
folikel (FDC=follicular dendritic cells) karena terdapat reseptor C di permukaan sel dendrit. Terjadi proliferasi dan diferensiasi sel limfosit B dan akan terbentuk sel plasma yang menghasilkan antibodi dan sel B memori yang mempunyai afinitis antigen yang tinggi. Sel B memori akan berada di sirkulasi sedangkan sel plasma akan migrasi ke sumsum tulang. Bila sel B memori kembali ke jaringan limfoid yang mempunyai antigen yang serupa maka akan terjadi proses proliferasi dan diferensiasi seperti semula dengan menghasilkan antibodi yang lebih banyak dan dengan afinitas yang lebih tinggi. Terbentuknya antibodi sebagai akibat ulangan vaksinasi (boosting effect) tergantung dari dosis antigen yang diberikan.
Sel T memori dibentuk dengan melalui beberapa tahapan. Sel APC akan
mempresentasikan antigen yang sudah diprosesnya bersamasama molekul MHC di jaringan limfoid perifer pada sel limfosit T; bersamaan dengan ini akan disekresi sitokin. Salah satu fungsi dari sitokin adalah proliferasi sel T dengan Ag spesifik (clonal expansion) dan diferen-siasi yang menghasilkan sel efektor dan sel T memori. Sel efektor akan meninggalkan jaringan limfoid dan berada di sirkulasi dan bermigrasi ketempat terjadi infeksi untuk
mengeliminasi infeksi sedangkan sel T memori yang tidak aktif dan berada di sirkulasi untuk jangka waktu yang lama. Antigen ekstraselular akan diproses di APC menjadi peptida yang akan dikenal oleh molekul MHC kelas II. Sedangkan Ag intraselular diproses di sitoplasma APC akan dikenal oleh molekul MHC kelas I. Sel limfosit T CD4+ mempunyai fungsi memproduksi sitokin sel helper untuk mengelimasi mikroba ekstraselular. Sedangkan molekul CD8+ yang mempunyai fungsi sitolitik (CTL=cytolytic T lymphgocytes) akan memusnahkan mikobakterium intrasel (Gambar 1).
Keberhasilan Imunisasi
Keberhasilan imunisasi tergantung pada beberapa faktor, yaitu status imun pejamu, faktor genetik pejamu, serta kualitas dan kuantitas vaksin.
Status Imun Pejamu
Terjadinya antibodi spesifik pada pejamu terhadap vaksin yang diberikan akan mempengaruhi keberhasilan vaksinasi. Misalnya pada bayi yang semasa janin mendapat antibodi maternal spesifik terhadap virus campak, bila vaksinasi campak diberikan pada saat kadar antibodi spesifik campak masih tinggi akan memberikan hasil yang kurang memuaskan. Demikian pula air susu ibu (ASI) yang mengandung IgA sekretori (sIgA) terhadap virus polio tidak mempengaruhi keberhasilan vaksinasi polio yang diberikan secara oral, karena pada umumnya kadar sIgA terhadap virus polio pada ASI sudah rendah pada waktu bayi berumur beberapa bulan. Pada penelitian di Sub Bagian Alergi-Imunologi, Bagian IKA FKUI/ RSCM, Jakarta ternyata sIgA polio sudah
tidak ditemukan lagi pada ASI setelah bayi berumur 5 bulan. Kadar sIgA tinggi terdapat pada kolostrum. Karena itu bila vaksinasi polio oral diberikan pada masa pemberian kolostrum (kurang atau sama dengan 3 hari setelah lahir), hendaknya ASI (kolostrum) jangan diberikan dahulu 2 jam sebelum dan sesudah vaksinasi.
Keberhasilan vaksinasi memerlukan maturitas imunologik. Pada bayi neonatus fungsi makrofag masih kurang, terutama fungsi mempresentasikan antigen karena ekspresi HLA (human leucocyte antigen) masih kurang pada permukaannya, selain deformabilitas membran serta respons kemotaktik yang masih kurang. Kadar komplemen dan aktivitas opsonin komplemen masih rendah, demikian pula aktivitas kemotaktik serta daya lisisnya. Fungsi sel Ts (T supresor) relatif lebih menonjol dibandingkan pada bayi atau anak karena memang fungsi imun pada masa intra uterin lebih ditekankan pada toleransi, dan hal ini masih terlihat pada bayi baru lahir. Pembentukan antibodi spesifik terhadap antigen tertentu masih kurang. Jadi dengan sendirinya, vaksinasi pada neonatus akan memberikan hasil yang kurang dibandingkan pada anak. Maka, apabila imunisasi diberikan sebelum bayi berumur 2 bulan, jangan lupa memberikan imunisasi ulangan.
Status imun mempengaruhi pula hasil imunisasi. Individu yang mendapat obat imunosupresan, menderita defisiensi imun kongenital, atau menderita penyakit yang menimbulkan defisiensi imun sekunder seperti pada penyakit keganasan juga akan mempengaruhi keberhasilan vaksinasi. Bahkan adanya defisiensi imun merupakan indikasi kontra pemberian vaksin hidup karena dapat menimbulkan penyakit pada individu tersebut. Demikian pula vaksinasi pada individu yang menderita penyakit infeksi sistemik seperti campak, tuberkulosis milier akan mempengaruhi pula keberhasilan vaksinasi.
Keadaan gizi yang buruk akan menurunkan fungsi sel sistem imun seperti makrofag dan limfosit. Imunitas selular menurun dan imunitas humoral spesifisitasnya rendah.
Meskipun kadar globulin-g normal atau bahkan meninggi, imunoglobulin yang terbentuk tidak dapat mengikat antigen dengan baik karena terdapat kekurangan asam amino yang dibutuhkan untuk sintesis antibodi. Kadar komplemen juga berkurang dan mobilisasi makrofag berkurang, akibatnya respons terhadap vaksin atau toksoid berkurang.
Faktor Genetik Pejamu
Interaksi antara sel-sel sistem imun dipengaruhi oleh variabilitas genetik. Secara genetik respons imun manusia dapat dibagi atas responder baik, cukup, dan rendah terhadap antigen tertentu. Ia dapat memberikan respons rendah terhadap antigen tertentu, tetapi terhadap antigen lain dapat lebih tinggi. Karena itu tidak heran bila kita menemukan keberhasilan vaksinasi yang tidak 100%.
Faktor genetik dalam respons imun dapat berperan melalui gen yang berada pada kompleks MHC (major histocompatibility complex) dan gen non MHC. Gen kompleks MHC berperan dalam presentasi antigen. Sel Tc akan mengenal antigen yang berasosiasi dengan molekul MHC kelas I, dan sel Td serta sel Th akan mengenal
antigen yang berasosiasi dengan molekul MHC kelas II. Jadi respons sel T diawasi secara genetik sehingga dapat dimengerti bahwa akan terdapat potensi variasi respons imun. Pada gen non MHC, secara klinis kita melihat adanya defisiensi imun yang berkaitan dengan gen tertentu, misalnya agamaglobulinemia yang terangkai dengan kromosom X yang hanya terdapat pada anak laki laki atau penyakit alergi yaitu penyakit yang menunjukkan perbedaan responsi imun terhadap antigen tertentu merupakan penyakit yang diturunkan. Faktor faktor ini menyokong adanya peran genetik dalam respons imun, hanya saja mekanisme yang sebenarnya belum diketahui.
Kualitas dan Kuantitas Vaksin
Vaksin adalah mikroorganisme atau toksoid yang diubah sedemikian rupa sehingga patogenisitas atau toksisitasnya hilang tetapi masih tetap mengandung sifat antigenisitas. Beberapa faktor kualitas dan kuantitas vaksin dapat menentukan keberhasilan vaksinasi, seperti cara pemberian, dosis, frekuensi pemberian ajuvan yang dipergunakan, dan jenis vaksin.
Cara pemberian vaksin akan mempengaruhi respons imun yang timbul. Misalnya vaksin polio oral akan menimbulkan imunitas lokal di samping sistemik, sedangkan vaksin polio parenteral akan memberikan imunitas sistemik saja.
Dosis vaksin terlalu tinggi atau terlalu rendah mempengaruhi respons imun yang terjadi. Dosis terlalu tinggi akan menghambat respons imun yang diharapkan, sedang dosis terlalu rendah tidak merangsang sel imunokompeten. Dosis yang tepat dapat diketahui dari hasil uji klinis, karena itu dosis vaksin harus sesuai dengan dosis yang direkomendasikan. Frekuensi pemberian mempengaruhi respons imun yang terjadi. Sebagaimana telah kita ketahui, respons imun sekunder menimbulkan sel efektor aktif lebih cepat, lebih tinggi
produksinya, dan afinitasnya lebih tinggi. Di samping
frekuensi, jarak pemberianpun akan mempengaruhi respons imun yang terjadi. Bila pemberian vaksin berikutnya diberikan pada saat kadar antibodi spesifik masih tinggi, maka antigen yang masuk segera dinetralkan oleh antibodi spesifik yang masih tinggi tersebut sehingga tidak sempat merangsang sel imunokompeten. Bahkan dapat terjadi apa yang dinamakan reaksi Arthus, yaitu bengkak kemerahan di daerah suntikan antigen akibat pembentukan kompleks antigen antibodi lokal sehingga terjadi peradangan lokal. Karena itu pemberian ulang (booster) sebaiknya mengikuti apa yang dianjurkan sesuai dengan hasil uji klinis.
Ajuvan adalah zat yang secara nonspesifik dapat meningkatkan respons imun terhadap antigen. Ajuvan akan meningkatkan respons imun dengan mempertahankan antigen pada atau dekat dengan tempat suntikan, dan mengaktivasi sel APC (antigen presenting cells) untuk memproses antigen secara efektif dan memproduksi interleukin yang akan mengaktifkan sel imunokompeten lainnya.
Jenis vaksin, vaksin hidup akan menimbulkan respons imun lebih baik dibanding vaksin mati atau yang diinaktivasi (killed atau inactivated) atau bagian (komponen) dari
mikroorganisme. Rangsangan sel Tc memori membutuhkan suatu sel yang terinfeksi, karena itu dibutuhkan vaksin hidup. Sel Tc dibutuhkan pada infeksi virus yang
mengeluarkan melalui budding. Vaksin hidup diperoleh dengan cara atenuasi. Tujuan atenuasi adalah untuk menghasilkan organisme yang hanya dapat menimbulkan penyakit yang sangat ringan. Atenuasi diperoleh dengan memodifikasi kondisi tempat tumbuh mikroorganisme, misalnya suhu yang tinggi atau rendah, kondisi anerob, atau menambah empedu pada media kultur seperti pada pembuatan vaksin BCG yang sudah ditanam selama 13 tahun. Dapat pula dipakai mikroorganisme yang virulen untuk spesies lain tetapi untuk manusia avirulen, misalnya virus cacar sapi.
Persyaratan Vaksin
Dengan mempelajari respons imun yang terjadi pada pajanan antigen, maka terdapat empat faktor sebagai persyaratan vaksin, yaitu 1)
mengaktivasiAPCuntukmempresentasikanantigendanmemproduksi interleukin, 2) mengaktivasi sel T dan sel B untuk membentuk banyak sel memori, 3) mengaktivasi sel T dan sel Tc terhadap beberapa epitop, untuk mengatasi variasi respons imun yang ada dalam populasi karena adanya polimorfisme MHC, dan 4) memberi antigen yang persisten, mungkin dalam sel folikular dendrit jaringan limfoid tempat sel B memori direkrut sehingga dapat merangsang sel B sewaktu-waktu menjadi sel plasma yang membentuk antibodi terus menerus sehingga kadarnya tetap tinggi.
Apakah persyaratan ini seluruhnya atau sebagian saja, tergantung dari ada atau tidaknya variasi respons genetik yang nyata dan respons imun yang dibutuhkan. Vaksin yang dapat memenuhi keempat persyaratan tersebut adalah vaksin virus hidup. Pada umumnya antibodi yang terbentuk akibat vaksinasi sudah cukup untuk mencegah terjadinya infeksi, sehingga pembentukan sel Tc terhadap berbagai epitop antigen tidak merupakan keharusan. Pada penyakit difteria dan tetanus misalnya yang dibutuhkan adalah antibodi untuk netralisasi toksin. Daftar Pustaka
1. Roitt I. Essential Immunology. Edisi ke-11. Blackwell Publishing, 2006. 2. Plotkin SA, Mortimer EA. Vaccines. Philadelphia: WB Saunders, 2004.
3. Grabenstein JD. ImmunoFacts: Vaccines and Immunologic Drugs. St. Louis, MO: Wolters Kluwer Health, Inc., 2006.
4. Cell MediatedImmuneResponses: Activation of TLymphocytes by Cell Associated Microbes. Dalam: Abul K.Abbas, Andrew H.Lichtman, penyunting. Basic
Immunology,functions and disorders of the immune system. Edisi pertama. W.B.Saunders, 2001.h.87-108.
5. Humoral Immune Responses: Activation of B lymphocytes and Production of Antibodies. Dalam: Abul K.Abbas, Andrew H.Lichtman, penyunting. Basic immunology, functions and disorders of immune system. Edisi pertama W.B.Saunders, 2001.h.125-45.
Bab 1-3 Jenis Vaksin Hariyono Suyitno
Live attenuated (kuman atau virus hidup yang dilemahkan)
Inactivated (kuman, virus atau komponennya yang dibuat tidak aktif)
Sifat vaksin attenuated dan inactivated berbeda sehingga hal ini menentukan bagaimana vaksin ini digunakan.
Vaksin hidup attenuated diproduksi di laboratorium dengan cara melakukan modifikasi virus atau bakteri penyebab penyakit. Vaksin mikroorganisme yang dihasilkan masih memiliki kemampuan untuk tumbuh menjadi banyak (replikasi) dan menimbulkan kekebalan tetapi tidak menyebabkan penyakit.
Vaksin inactivated dapat terdiri atas seluruh tubuh virus atau bakteri, atau komponen (fraksi) dari kedua organisme tersebut. Vaksin komponen dapat berbasis protein atau berbasis polisakarida. Vaksin yang berbasis protein termasuk toksoid (toksin bakteri yang inactivated) dan produk sub-unit atau sub-vision. Sebagian besar vaksin berbasis polisakarida terdiri atas dinding sel polisakarida asli bakteri. Vaksin penggabungan (conjugate vaccine) polisakarida adalah vaksin polisakarida yang secara kimiawi dihubungkan dengan protein; karena hubungan ini membuat polisakarida tersebut menjadi lebih poten.
Vaksin Hidup Attenuated
Vaksin hidup dibuat dari virus atau bakteri liar (wild) penyebab penyakit. Virus atau bakteri liar ini dilemahkan (attenuated) di laboratorium, biasanya dengan cara pembiakan berulang-ulang. Misalnya vaksin campak yang dipakai sampai sekarang, diisolasi
untuk mengubah virus campak liar menjadi virus vaksin dibutuhkan 10 tahun dengan cara melakukan penanaman pada jaringan media pembiakan secara serial dari seorang anak yang menderita penyakit campak pada tahun 1954.
Supaya dapat menimbulkan respons imun, vaksin hidup attenuated harus berkembang biak (mengadakan replikasi) di dalam tubuh resipien. Suatu dosis kecil virus atau bakteri yang diberikan, yang kemudian mengadakan replikasi di dalam tubuh dan meningkat jumlahnya sampai cukup besar untuk memberi rangsangan suatu respons imun. Apapun yang merusak organisme hidup dalam botol (misalnya panas atau cahaya) atau pengaruh luar terhadap replikasi organisme dalam tubuh (antibodi yang beredar) dapat menyebabkan vaksin tersebut tidak efektif.
Walaupun vaksin hidup attenuated dapat menyebabkan penyakit, umumnya bersifat ringan dibanding dengan penyakit alamiah dan itu dianggap sebagai kejadian ikutan (adverse event). Respons imun terhadap vaksin hidup attenuated pada umumnya sama dengan yang diakibatkan oleh infeksi alamiah. Respons imun tidak membedakan antara suatu infeksi dengan virus vaksin yang dilemahkan dan infeksi dengan virus liar. Vaksin virus hidup attenuated secara teoritis dapat berubah menjadi bentuk patogenik seperti semula. Hal ini hanya terjadi pada vaksin polio hidup.
Imunitas aktif dari vaksin hidup attenuated tidak dapat berkembang karena pengaruh dari antibodi yang beredar. Antibodi yang masuk melalui plasenta atau transfusi dapat mempengaruhi perkembangan vaksin mikroorganisme dan menyebabkan tidak adanya respons. Vaksin campak merupakan mikroorganisme yang paling sensitif terhadap antibodi yang beredar dalam tubuh. Virus vaksin polio dan rotavirus paling sedikit terkena pengaruh.
Vaksin hidup attenuated bersifat labil dan dapat mengalami kerusakan bila kena panas atau sinar, maka harus dilakukan pengelolaan dan penyimpanan dengan baik dan hati-hati.
Vaksin hidup attenuated yang tersedia
Berasal dari virus hidup: vaksin campak, gondongan (parotitis), rubela, polio, rotavirus, demam kuning (yellow fever).
Berasal dari bakteri: vaksin BCG dan demam tifoid oral. Vaksi n Inactivated
Vaksin inactivated dihasilkan dengan cara membiakkan bakteri atau virus dalam media pembiakan (persemaian), kemudian dibuat tidak aktif (inactivated) dengan penanaman bahan kimia (biasanya formalin). Untuk vaksin komponen, organisme tersebut dibuat murni dan hanya komponen-komponennya yang dimasukkan dalam vaksin (misalnya kapsul polisakarida dari kuman pneumokokus).
Vaksin inactivated tidak hidup dan tidak dapat tumbuh, maka seluruh dosis antigen dimasukkan dalam suntikan. Vaksin ini tidak menyebabkan penyakit (walaupun pada orang dengan defisiensi imun) dan tidak dapat mengalami mutasi menjadi bentuk patogenik. Tidak seperti antigen hidup, antigen inactivated umumnya tidak dipengaruhi
oleh antibodi yang beredar. Vaksin inactivated dapat diberikan saat antibodi berada di dalam sirkulasi darah (misalnya pada bayi, menyusul penerimaan antibodi yang dihasilkan darah).
Vaksin inactivated selalu membutuhkan dosis multipel. Pada umumnya, pada dosis pertama tidak menghasilkan imunitas protektif, tetapi hanya memacu atau menyiapkan sistem imun. Respons imun protektif baru timbul setelah dosis kedua atau ketiga. Hal ini berbeda dengan vaksin hidup, yang mempunyai respons imun mirip atau sama dengan infeksi alami, respons imun terhadap vaksin inantivated sebagian besar humoral, hanya sedikit atau tak menimbulkan imunitas selular. Titer antibodi terhadap antigen inactivated menurun setelah beberapa waktu. Sebagai hasilnya maka vaksin inactivated
membutuhkan dosis suplemen (tambahan) secara periodik.
Pada beberapa keadaan suatu antigen untuk melindungi terhadap penyakit masih memerlukan vaksin seluruh sel (whole cell), namun vaksin bakterial seluruh sel bersifat paling reaktogenik dan menyebabkan paling banyak reaksi ikutan atau efek samping. Ini disebabkan respons terhadap komponen-komponen sel yang sebenarnya tidak diperlukan untuk perlindungan (contoh antigen pertusis dalam vaksin DPT).
Vaksin inactivated yang tersedia saat ini berasal dari,
Seluruh sel virus yang inactivated, contoh influenza, polio (injeksi disuntikkan), rabies, hepatitis A
Seluruh bakteri yang inactivated, contoh pertusis, tifoid, kolera, lepra.
Vaksin fraksional yang masuk sub-unit, contoh hepatitis B, influenza, pertusis a-seluler, tifoid Vi, lyme disease.
Toksoid, contoh difteria, tetanus, botulinum
Polisakarida murni, contoh pneumokokus, meningokokus, dan Haemophillus influenzae tipe b
Gabungan polisakarida (Haemophillus influenzae tipe b dan pneumokokus) Vaksin Polisakarida
Vaksin polisakarida adalah vaksin sub-unit yang inactivated dengan bentuknya yang unik terdiri atas rantai panjang molekulmolekul gula yang membentuk permukaan kapsul bakteri tertentu. Vaksin polisakarida murni tersedia untuk 3 macam penyakit yaitu pneumokokus, meningokokus dan Haemophillus influenzae type b.
Respons imun terhadap vaksin polisakarida murni adalah sel T independen khusus yang berarti bahwa vaksin ini mampu memberi stimulasi sel B tanpa bantuan sel T helper. Antigen sel T independen termasuk vaksin polisakarida, tidak selalu imunogenik pada anak umur kurang dari 2 tahun. Anak kecil tidak memberi respons terhadap antigen polisakarida; mungkin
ada hubungannya dengan keadaan yang masih imatur dari sistem imunnya, terutama fungsi sel T.
Dosis vaksin polisakarida yang diulang tidak menyebabkan respons peningkatan (booster response). Dosis ulangan vaksin protein inactivated menyebabkan titer antibodi menjadi lebih tinggi secara progresif atau meningkat. Hal ini tidak dijumpai pada antigen polisakarida. Antibodi yang dibangkitkan oleh vaksin polisakarida mempunyai aktifitas fungsional kurang dibandingkan dengan apabila dibangkitkan oleh antigen protein. Hal ini karena antibodi yang dihasilkan dalam respons terhadap vaksin polisakarida hanya didominasi IgM dan hanya sedikit IgG yang diproduksi. Pada akhir tahun 1980-an telah ditemukan bahwa masalah seperti di atas dapat diatasi melalui proses yang disebut penggabungan atau konjugasi (conjugation). Konjugasi mengubah respons imun dari sel T independen menjadi sel T dependen yang menyebabkan peningkatan sifat imunitas (immunogenicity) pada bayi dan respons peningkatan antibodi terhadap dosis vaksin ganda vaksin polisakarida. Conjugasi yang pertama adalah Haemophillus influenzae type b. Suatu vaksin konjugasi lainnya ialah vaksin pneumokok.
Vaksin Rekombinan
Antigen vaksin dapat pula dihasilkan dengan cara teknik rekayasa genetik. Produk ini sering disebut sebagai vaksin rekombinan. Terdapat 3 jenis vaksin yang dihasilkan dengan rekayasa genetik yang saat ini telah tersedia.
Vaksin hepatitis B dihasilkan dengan cara memasukkan suatu segmen gen virus hepatitis B ke dalam gen sel ragi. Sel ragi yang telah berubah (modified) ini menghasilkan antigen permukaan hepatitis B murni.
genetik diubah (modified) sehingga tidak menyebabkan sakit.
• Tiga dari 4 virus yang berada di dalam vaksin rotavirus hidup adalah rotavirus kera rhesus yang diubah (modified) secara genetik menghasilkan antigen rotavirus manusia apabila mereka mengalami replikasi.
Daftar Pustaka
1. American Academy of Pediatrics. Active Immunization. Dalam Pickering LK., Penyunting. Red Book 2000, Report of the Committee on Infectious Diseases. Edisi ke 25. Elk Grove Village:American of Pediarics, 2000. h.6-26.
2. National Health and Medical Research Council. The Australian Immunisation Handbook. 9th ed. Australian Government Department of Health and Ageing. 2008. 3. WHO, Unicef, The World Bank. State of the World’s Vaccines and Immunization. Geneva: WHO. 2002.
4. Centers for Disease Control and Prevention. Classification of vaccine. Dalam Atkinson W, Humiston S, Wolfe, R., penyunting. Epidemiology and Prevention of vaccine Preventable Diseases. Edisi ke 5. Atlanta:Department of Health & Human Services, CDC, 1999.h.4-8 5. Plotkin SA, Mortimer EA. Vaccines. Philadelphia: WB Saunders, 2004.
Bab II
Penyimpanan dan
Transportasi Vaksin
Bab II-1. Rantai vaksin Bab II – 2. Kualitas vaksin Pen gantar
Secara umum vaksin terdiri dari vaksin hidup dan vaksin mati (inaktif) yang mempunyai ketahanan dan stabilitas yang berbeda terhadap perbedaan suhu. Oleh karena itu harus diperhatikan syarat-syarat penyimpanan dan transportasi vaksin untuk menjamin potensinya ketika diberikan kepada seorang anak. Bila syarat-syarat tersebut tidak diperhatikan maka vaksin sebagai material biologis mudah rusak atau kehilangan potensinya untuk merangsang kekebalan tubuh, bahkan bisa menimbulkan kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI) yang tidak diharapkan. Untuk menghindari halhal yang tidak diinginkan dibutuhkan pemahaman mengenai ketahanan vaksin terhadap perbedaan suhu dan pemahaman rantai vaksin (cold –chain). Diperlukan syarat-syarat tertentu, sehingga sejak dari pabrik sampai saat diberikan kepada pasien vaksin tetap terjamin kualitasnya. Selain itu perlu pula mengenali kondisi vaksin yang sudah tidak dapat dipergunakan lagi, antara lain dari tanggal kadaluwarsa, warna cairan, kejernihan, endapan, warna vaccine vial monitor (VVM), kerusakan label, dan sisa vaksin yang sudah dilarutkan.
Bab II-1 Rantai Vaksin
Soedjatmiko, Dahlan Ali Musa
Rantai vaksin adalah rangkaian proses penyimpanan dan transportasi vaksin dengan menggunakan berbagai peralatan sesuai prosedur untuk menjamin kualitas vaksin sejak dari pabrik sampai diberikan kepada pasien. Rantai vaksin terdiri dari proses penyimpanan vaksin di kamar dingin atau kamar beku, di lemari pendingin, di dalam alat pembawa vaksin, pentingnya alat-alat untuk mengukur dan mempertahankan suhu. Secara umum ada 2 jenis vaksin yaitu vaksin hidup (polio oral, BCG, campak, MMR, varicella dan demam kuning) dan vaksin mati atau inaktif (DPT, Hib, pneumokokus, typhoid, influenza, polio inaktif, meningokokus). Dampak perubahan suhu pada vaksin hidup dan mati berbeda. Untuk itu harus di ketahui suhu optimum untuk setiap vaksin sesuai petunjuk pernyimpanan dari pabrik masing-masing.
Suhu optimum untuk vaksin hidup
Secara umum semua vaksin sebaiknya disimpan pada suhu +2 s/d +80 C, di atas suhu +80 C vaksin hidup akan cepat mati, vaksin polio hanya bertahan 2 hari, vaksin BCG dan campak yang belum dilarutkan mati dalam 7 hari. aksin hidup potensinya masih tetap baik pada suhu kurang dari 2oC s/d beku. Vaksin polio oral yang belum dibuka lebih bertahan lama (2 tahun) bila
disimpan pada suhu -25oC s/d -15oC, namun hanya bertahan 6 bulan pada suhu +2oC s/d +80 C. Vaksin BCG dan campak berbeda, walaupun disimpan pada suhu -25oC s/d -15oC, umur vaksin tidak lebih lama dari suhu +2oC s/d +8o C, yaitu BCG tetap 1 tahun dan campak tetap 2 tahun. Oleh
karena itu vaksin BCG dan campak yang belum dilarutkan tidak perlu disimpan di -25 s/d -15 o C atau di dalamfreezer.
Suhu optimum untuk vaksin mati
Vaksin mati (inaktif) sebaiknya disimpan dalam suhu +2oC s/d +8oC juga, pada suhu dibawah +2oC (beku) vaksin mati (inaktif) akan cepat rusak. Bila beku dalam suhu -0.5oC vaksin hepatitis B dan DPT-Hepatitis B (kombo) akan rusak dalam 1/2 jam, tetapi dalam suhu di atas 8o C vaksin hepatitis B bisa bertahan sampai 30 hari, DPT-hepatitis B kombinasi sampai 14 hari. Dibekukan dalam suhu -5oC s/d – 10oC vaksin DPT, DT dan TT akan rusak dalam 1,5 sd 2 jam, tetapi bisa bertahan sampai 14 hari dalam suhu di atas 8oC.
Kamar Dingin dan Kamar Beku
Kamar dingin (cold room) dan kamar beku (freeze room) umumnya berada di pabrik, distributor pusat, Departemen Kesehatan atau Dinas Kesehatan Propinsi, berupa ruang yang besar dengan kapasitas 5 – 100 m3, untuk menyimpan vaksin dalam jumlah yang besar. Suhu kamar dingin berkisar +2oC s/d +8oC, terutama untuk menyimpan vaksin-vaksin yang tidak boleh beku. Suhu kamar beku berkisar antara -25oC s/d -15oC, untuk menyimpan vaksin yang boleh beku, terutama vaksin polio. Kamar dingin dan kamar beku harus beroperasi terus menerus, menggunakan 2 alat pendingin yang bekerja bergantian. Aliran listerik tidak boleh terputus sehingga harus dihubungkan dengan pembangkit listerik yang secara otomatis akan berfungsi bila listerik mati. Suhu ruangan harus dikontrol setiap hari dari data suhu yang tercatat secara otomatis. Alarm akan berbunyi bila suhu kurang dari 2oC, atau diatas 8oC, atau listrik padam. Pintu tidak boleh sering dibuka tutup. Kamar dingin dan kamar beku tidak boleh digunakan untuk membuat cool pack atau cold pack, atau meletakkan benda-benda
lain. Pembuatan cold pack dan cold pack menggunakan lemari pendingin tersendiri Lemari es dan freezer
Setiap lemari es sebaiknya mempunyai 1 stop kontak tersendiri. Jarak lemari es dengan dinding belakang 10–15 cm, kanan kiri 15 cm, sirkulasi udara disekitarnya harus baik. Lemari es tidak boleh terkena panas matahari langsung.
Suhu di dalam lemari es harus berkisar +2oC s/d +8oC, digunakan untuk menyimpan vaksin-vaksin hidup maupun mati, dan untuk membuat cool pack (kotak dingin cair). Sedangkan suhu di dalam freezer berkisar antara -25oC s/d -15oC, khusus untuk menyimpan vaksin Polio dan pembuatan cold pack (kotak es beku).
Termostat di dalam lemari es harus diatur sedemikian rupa sehingga suhunya berkisar antara +2oC s/d +8oC dan suhufreezer berkisar -15oC s/d -25oC. Perubahan suhu dapat diketahui setelah 24 jam pengaturan termostat, dengan melihat termometer Dial atau Muller yang diletakkan pada rak ke 2. Di dalam lemari es lebih baik bila dilengkapi freeze watch atau freeze tag pada rak ke 3, untuk memantau apakah suhunya pernah mencapai dibawah 0 derajat.
Setelah suhu stabil, posisi termostat jangan diubah, sebaiknya termostat difiksasi dengan pita perekat (selotape) agar tidak tergeser ketika mengambil atau meletakkan vaksin. Sebaiknya pintu lemari es hanya dibuka dua kali sehari, yaitu ketika mengambil vaksin dan mengembalikan sisa vaksin, sambil mencatat suhu lemari es.
Pintu lemari es ada dua jenis : membuka ke depan dan membuka ke atas, masing-masing mempunyai keuntungan dan kerugian. Lemari es dengan pintu membuka ke atas lebih dianjurkan untuk penyimpanan vaksin.
Tabel 2.1. Perbedaan lemari es dengan pintu membuka ke depan dan ke atas
Pintu membuka ke depan Pintu membuka ke atas
1. Suhu tidak stabil. 1. Suhu lebih stabil.
Pada saat pintu dibuka Pada saat pintu dibuka ke atas, kedepan, suhu dingin turun suhu dingin turun dari atas dari atas kebawah dan keluar kebawah, tidak keluar
2. Bila listerik padam relatif 2. Bila listerik padam relatif bisa tidak bertahan lama bertahan lebih lama 3. Jumlah vaksin yang bisa 3. Jumlah vaksin yang bisa
disimpan lebih sedikit disimpan lebih banyak 4. Susunan vaksin lebih mudah 4. Susunan vaksin lebih sulit
dilihat dari depan dikontrol karena bertumpuk sulit dilihat dari atas
Karet-karet pintu harus diperiksa kerapatannya, untuk menghindari keluarnya udara dingin. Bila pada dinding lemari es telah terdapat bunga es, atau di freezer telah mencapai tebal 2-3 cm harus segera dilakukan pencairan (defrost). Sebelum melakukan pencairan, pindahkan semua vaksin ke cool box atau lemari es yang lain. Cabut kontak listerik lemari es, biarkan pintu lemari es danfreezer terbuka selama 24 jam, kemudian dibersihkan. Setelah bersih, pasang kembali kontak listerik, tunggu sampai suhu stabil. Setelah suhu lemari sedikitnya mencapai + 80 C dan suhufreezer – 15 0 C, masukkan vaksin sesuai tempatnya.
Susunan vaksin di dalam lemari es
Karena vaksin hidup dan vaksin inaktif mempunyai daya tahan berbeda terhadap suhu dingin, maka kita harus mengenali bagian yang paling dingin dari lemari es. Kemudian kita meletakkan vaksin hidup dekat dengan bagian yang paling dingin, sedangkan vaksin mati jauh dari bagian yang paling dingin. Di antara kotak-kotak vaksin beri jarak selebar jari tangan (sekitar 2 cm) agar udara dingin bisa menyebar merata ke semua kotak vaksin.
Text Box:
Text Box:
Bagian paling bawah tidak untuk menyimpan vaksin tetapi khusus untuk meletakkan cool pack, untuk mempertahankan suhu bila listerik mati. Pelarut vaksin jangan disimpan di dalam lemari es atau freezer, karena akan mengurangi ruang untuk vaksin, dan akan pecah bila beku. Penetes (dropper) vaksin polio juga tidak boleh diletakkan di lemari es atau freezer karena akan menjadi rapuh, mudah pecah.
Tidak boleh menyimpan makanan, minuman, obat-obatan atau benda-benda lain di dalam lemari es vaksin, karena akan mengganggu stabilitas suhu karena sering dibuka. Lemari es dengan pintu membuka kedepan
Bagian yang paling dingin lemari es ini adalah di bagian paling atas (freezer). Di dalam freezer di simpan cold pack, sedangkan rak tepat dibawah freezer untuk meletakkan vaksin–vaksin hidup, karena tidak mati pada suhu rendah. Rak yang lebih jauh darifreezer (rak ke 2 dan 3) untuk meletakkan vaksin-vaksin mati (inaktif), agar tidak terlalu dekat freezer, untuk menghindari rusak karena beku. Termometer Dial atau Muller diletakkan pada rak ke 2, freeze watch atau freeze tag pada rak ke 3
Gambar 2.1 . Tata letak vaksin dalam lemari es yang membuka ke depan, perhatikan bahwa vaksin hidup (BCG, campak, polio) boleh dekat pendingin (freezer), vaksin mati harus jauh dari pendingin (freezer)
Lemari es dengan pintu membuka ke atas
Bagian yang paling dingin dalam lemari es ini adalah bagian tengah (evaporator) yang membujur dari depan ke belakang. Oleh karena itu vaksin hidup diletakkan di kanan-kiri bagian yang paling dingin (evaporator). Vaksin mati diletakkan dipinggir, jauh dari evaporator. Beri jarak antara kotak-kotak vaksin selebar jari tangan (sekitar 2 cm). Letakkan termometer Dial atau Muller atau freeze watch/freeze tag dekat vaksin mati.
Text Box:
Gambar 2.2. Lemari es dengan pintu membuka keatas
Keterangan gambar: Kotak vaksin hidup boleh dekat pendingin, vaksin mati (inaktif) jauh dari pendingin
Wadah pembawa vaksin
Untuk membawa vaksin dalam jumlah sedikit dan jarak tidak terlalu jauh dapat
menggunakan cold box (kotak dingin) atau vaccine carrier (termos). Cold box berukuran lebih besar, dengan ukuran 40 – 70 liter, dengan penyekat suhu dari poliuretan, selain untuk transportasi dapat pula untuk menyimpan vaksin sementara. Untuk
mepertahankan suhu vaksin di dalam kotak dingin atau termos dimasukkan cold pack atau cool pack.
Gambar 2.3. Kotak Dingin, b) Vaksin Carrier, c) cool pack
Cold Pack dan Cool Pack
Cold pack berisi air yang dibekukan dalam suhu -15 s/d – 25 0 C selama 24 jam, biasanya di dalam wadah plastik berwarna putih. Cool pack berisi air dingin (tidak beku) yang didinginkan dalam suhu +2 s/d +80 C selama 24 jam, biasanya di dalam wadah plastik berwarna merah atau biru. Cold pack (beku) dimasukkan ke dalam termos untuk mepertahankan suhu vaksin ketika membawa vaksin hidup sedangkan cool pack (cair) untuk membawa vakdin hidup dan vaksin mati (inaktif).
Gambar 2.4. Cara membawa vaksin dalam vaccine carrier