• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Tindakan Politik Pemiluyang Dilakukan Perempuan Marginal : Studi Kasus Pemandu Karaoke di Desa Sarirejo Kota Salatiga T1 352010011 BAB I

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Tindakan Politik Pemiluyang Dilakukan Perempuan Marginal : Studi Kasus Pemandu Karaoke di Desa Sarirejo Kota Salatiga T1 352010011 BAB I"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dewasa ini, masyarakat dibelahan bumi manapun mendambakan yang

namanya kebebasan mutlak. Kebebasan mutlak tidak bisa diperoleh

dimanapun.Jika hidup dalam lingkungan sosial, kebebasan juga perlu aturan. Saat

ini bumi semakin padat dipenuhi masyarakat, setiap detik perubahan sosial pasti

akan terjadi. Indonesia sendiri yang merupakan negara plural juga pastinya

mengalami perubahan sosial yang signifikan. Mulai dari zaman kerajaan, orde

lama sampai pada era reformasi. Indonesia yang saat itu berada pada masa orde

baru juga cukup diperhitungkan kebebasan berekspresinya, terutama media. Saat

itu demokrasi sendiri masih belum cukup diperhitungkan. Di Indonesia sendiri

pernah muncul terminology demokrasi terpimpin dan demokrasi pancasila. Pada

hakekatnya, istilah-istilah tersebut memiliki makna yang justru bertentangan

dengan hakekat demokrasi. Sebab mereka menggunakan istilah demokrasi

sekedar untuk menutupi sistem politik sesungguhnya yang bersifat diktator.

Termasuk menggunakan nama Pancasila, tetapi isi dan prakteknya jauh dari

hakekat dan makna Pancasila itu sendiri (Zamroni, 2011). Kemudian zaman

sekarang, pemilu sendiri merupakan sarana untuk mencapai sebuah demokrasi itu

sendiri.

Bangsa Indonesia sejak tahun 1955 hingga 2009 sudah melaksanakan 10

kali pemilihan umum legislatif (pileg). Dalam hal ini, tidak sepenuhnya

masyarakat Indonesia dapat turut andil atau merayakan pesta demokrasi tersebut.

Pesta demokrasi sering disebut dengan pemilihan legislatif atau presiden.Sikap

apatis yang dilakukan masyarakat Indonesia dalam pemilu semakin meningkat

tiap tahunnya. Semua dipicu karena ketidak tahuan tentang pemilu sendiri, atau

karena memang masyarakat sudah tidak peduli dengan wakil rakyat yang akan

terpilih nanti.

(2)

Pada akhirnya masyarakat yang apatis ini tidak akan datang. Suara mereka

yang tidak disampaikan pun menjadi sebutan golongan putih (golput). Sejak era

reformasi tren golput cendrung meningkat. Pileg 1999 angka golput mencapai

6,4%, pileg 2004 meningkat menjadi 15,9% dan pileg 2009 mencapai angka

29,1% (Arianto, 2011). KPU menargetkan, tingkat partisipasi pemilih tahun 2014

bisa mencapai 75 persen atau 25 persen Golput (www.kpu.or.id). Namun

demikian, banyak pihak memandang pemilu tahun 2014 kualitasnya jauh dibawah

pemilu sebelumnya, khususnya tahun 2004 dan 2009. Indikasinya melalui

banyaknya kasus dan angka partisipasi dalam pemilu. Pada pemilu tahun 2004 ada

sebanyak 273 kasus, jumlah ini meningkat sebannya 128% pada tahun 2009

(Kompas, 20 Mei 2009). Jumlah golput pada tahun 2009 mencapai 49. 677. 076

orang atau 29,01% dari jumlah Daftar Pemilih Tetap ( DPT). Jumlah tersebut di

luar warga negara yang terpaksa tidak dapat menggunakan hak pilihnya karena

kekacauan administratif DPT ( Kompas, 29 Mei 2009). Golput sendiri dimasa

orde baru merupakan bentuk protes dari masyarakat terhadap sistem pemilihan

yang dikendalikan oleh orang-orang yang berkuasa. Akan tetapi makna golput

untuk saat ini yaitu mulai dari era reformasi, golput dianggap sebagai suatu

bentuk kekecewaan yang cukup mendalam dari masyarakat kepada wakil-wakil

rakyat pada periode lalu, yang sebelumnya menjajikan program-program kepada

masyarakat akan tetapi tidak terealisasikan. Itu sebabnya masyarakat menjadi

acuh dengan diadakannya pemilu. Tutur salah satu Pemandu Karaoke:

“Saya tidak perduli mbak siapa-siapa yang menjadi presiden atau wakil

rakyat, orang saya makan saja tidak minta mereka” (Rini, 2014).

Saat ini, peran perempuan dalam dunia politik sendiri juga semakin

diperhitungkan. Tak heran sekarang kaum hawa berlomba-lomba untuk sejajar

dengan kaum adam dalam dunia terus disuarakan, seperti pada pelaksanaan

pemilu 2009, peraturan perundang- undangan telah mengatur kuota 30%

perempuan bagi partai politik (parpol) dalam menempatkan calon anggota

legislatifnya. Undang-Undang (UU) Nomor 10/2008 tentang Pemilihan Umum

(3)

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah (pemilu legislatif) serta UU Nomor 2/2008 tentang

Partai Politik telah memberikan mandat kepada parpol untuk memenuhi kuota

30% bagi perempuan dalam politik, terutama di lembaga perwakilan rakyat

(Keterwakilan Perempuan Di Lembaga Legislatif). Minat perempuan untuk terjun

ke dunia politik semakin terbukti dengan meningkatnya partisipasi perempuan

dalam mencalonkan diri menjadi seorang wakil rakyat. Presentase anggota dewan

perwakilan rakyat menurut jenis kelamin periode tahun 1999-2004, 2004-2009,

dan 2009-2014, bahwa laki-laki pada tahun 1999-2004 mencapai 91,0%,

perempuan mencapai 9,0%. Pada tahun 2004-2009 presentase laki-laki mencapai

89,3% dan perempuan 10,7%, hingga tahun 2009-2014 presentase laki-laki

mencapai 82,4% dan perempuan 17,6% (Sumber : Koran Tempo, Kamis 1

Oktober 2009). Pada data diatas, menunjukkan bahwa keterwakilan perempuan

dari periode ke periode mengalami peningkatan, dan bahkan apabila kita melihat

perkembangan dari periode 1999-2004 s.d 2009-2014 kenaikannya cukup

signifikan yaitu 9 persen meningkat menjadi 17,7 persen. Sehingga keterwakilan

perempuan dalam dunia politik juga semakin diperhitungkan.

Secara demografis, jumlah penduduk perempuan Indonesia lebih banyak

yaitu sekitar 50,88% sedangkan jumlah penduduk laki-laki hanya sekitar 49,12%.

Dalam hal partisipasi perempuan dalam dunia politik, juga harus diperhatikan

kepada perempuan yang berada pada komunitas marginal juga.Kondisi marginal

perempuan baik sebagai pemilih maupun caleg tidak terlepas dari lemahnya

pendidikan pemilih dan kepemiluan khususnya bagi komunitas perempuan. Hasil

penelitian UNDP (2008) memaparkan bahwa secara umum, “aspek ini relatif

kurang mendapatkan perhatian. Ada sinyalemen bahwa semakin pemilih tidak

paham dengan sistem pemilihan, mekanisme penyusunan calon, sampai implikasi

dari janji-janji kampanye, maka semakin peserta Pemilu mendapatkan

keuntungan. Pemilih yang pasif hanya dijadikan sebagai alat legitimasi atas

kekuasaan”. Lebih lanjut diungkapkan pendidikan elektoral kebanyakan

ditargetkan pada publik umum tanpa kategori khusus sesuai karakteristik pemilih

dan daerah, kecuali dalam beberapa kasus. Dalam hal ini komunitas perempuan

(4)

marginal (Ibu RT, pekerja informal, penyandang cacat, Pekerja Migran, Pembantu

Rumah Tangga, Lansia) sering luput dari target ini. Mereka dianggap dapat

memperoleh informasi atau dapat diwakili oleh suami/laki-laki. Hal ini

menunjukan bahwa pendidikan pemilih dan elektroral belum berperspektif

gender. Perempuan sebagai komunitas memiliki persoalan dan kebutuhan yang

berbeda dengan laki-laki. Tidak terwakilinya persoalan dan kebutuhan perempuan

menjadikan mereka komunitas yang dinomer duakan dalam pembangunan bangsa

ini. Kemiskinan, eksplotasi, dan kekerasan masih berwajah perempuan.

Kurangnya pengetahuan tentang pemilu dan elektoral menyebabkan mereka

kurang mampu menyuarakan persoalan dan kebutuhannya serta memberikan

suaranya secara tepat dan rasional agar memperoleh solusi. (www.menegpp.org;

UNDP, 2008).

Sebenarnya kendala perempuan dari dalam sendiri saat berpolitik meliputi

kurang percaya diri (self confident); kurang berani berperan aktif dalam kegiatan

politik; pemahaman yang keliru tentang politik yang dipandang sebagai hal yang

kasar, kotor, keras. Sedangkan kendala dari luar adalah hambatan dari berbagai

norma kultural dan struktural yang tidak menguntungkan perempuan. Masih

adanya sekelompok orang menganggap bahwa yang pantas jadi pemimpin adalah

laki-laki. Sehingga pelatihan kepemimpinan perlu diberikan kepada kaum hawa,

seperti salah satu LSM yang intens mengadakan pendidikan politik untuk

perempuan di Indonesia antara lain adalah International Republican Institute

(IRI). IRI memiliki tujuan untuk mengembangkan pembangunan politik menuju

negara yang demokratis semenjak jatuhnya rezim Soeharto pada tahun 1998.

Tujuan itu diwujudkan dengan cara mendukung proses konsolidasi demokratik di

Indonesia melalui penguatan lembaga pemerintahan, mendorong partai politik

agar lebih memahami keinginan pemilih dengan baik dan mendorong peningkatan

partisipasi perempuan di bidang politik dan pemerintahan (

www.iri.org/asia/indonesia.asp, diakses 9 Juni 2009). Sedangkan representasi

masyarakat sendiri terhadap wakil rakyat adalah mereka sudah memiliki tingkat

kepercayaan yang tinggi karena krakterisktik wakil rakyat yang kasat mata

(misalnya jenis kelamin) dan pengalaman yang serupa. Wakil rakyat yang

(5)

memiliki karakteristik dan pengalaman yang sama dengan konstituen mereka

mempunyai kemungkinan yang lebih besar untuk memahami pentingnya tempat

penitipan anak bagi perempuan yang bekerja karena yang bersangkutan tidak

pernah mengalami sulitnya menjaga keseimbangan peran sebagai ibu dan sebagai

pekerja (Mansbridge, 2000).

Partisipasi perempuan sangat rendah dibandingkan laki-laki. Lagi pula,

keterlibatan maupun pengaruh perempuan dalam politik terbatas. Ketika terlibat

dalam dunia politik terdapat ―tendency for women to hold posts that are

traditionally seen as ‘soft’ (Parawansa, 2010: 86)1.Perempuan sendiri juga

seharusnya perlu mendapatkan hak suaranya dalam berpolitik. Di Sarirejo,

mayoritas warganya berjenis kelamin perempuan. Mayoritas juga bukan

penduduk asli kota Salatiga. Perlakuan yang sama rata juga harus diberikan

kepada setiap individu. Namun, dari pihak KPU atau lembaga yang terkait dengan

pemilu sendiri masih kurang merata dalam memberikan informasi mengenai

pemilu kepada warga di Sarirejo.

“Saya tidak dapat yang soal politik-politik itu mbak. Soalnya setahu saya

yang diundang paling kalau acara kayak gitu itu yang punya

karaokeannya2.”

Tingkat kekritisan perempuan juga semakin diperhitungkan berkaitan dengan

politik praktis. Partisipasi perempuan juga perlu dilihat dari segi pemikirannya

terhadap persoalan masyarakat serta perubahan sosial yang terjadi.

Sekarang ini, banyak orang melakukan pemberontakan karena rasa

kekecewaan yang dialami setiap individu dalam hal kebijakan atau peraturan yang

dibuat oleh wakil rakyat. Khususnya perempuan yang termasuk dalam kaum

marginal, mereka tidak perduli siapa pun yang menjadi wakil mereka untuk

menyuarakan kebutuhan dan hambatan yang mereka hadapi sehari-hari. Beberapa

orang mengatakan bahwa pemilu atau pemilihan presiden itu tidak penting, jika

1

Kecenderungan bagi perempuan untuk memiliki pekerjaan yang secara tradisional digambarkan lembut‘.

2

Hasil wawancara dengan salah seorang Pemandu Karaoke di Sarirejo.

(6)

seseorang membutuhkan uang mereka juga tidak akan mungkin meminta atau

diberi oleh wakil rakyat tersebut. Justru mereka akan berusaha mencari atau

berusaha untuk mencari uang sendiri.

“Maunya kita ya kemakmuran kita, apa disuruh nyoblos, aku aja makan

gak minta presiden, ak cari sendiri bodo aja presiden siapa, ya maunya sih

yang enak-enak. Bisa juga PK-PK hidup makmur dan diangkat

derajatnya3.”

Dalam hal ini, partai-partai sendiri sudah berusaha untuk memberikan hak

perempuan sebesar 30% untuk menjadi wakil rakyat. Akan tetapi, fenomena yang

ada kader-kader perempuan pada partai bukan orang yang memiliki keahlian

dalam berpolitik. Bahkan untuk membuat program-program bagi masyarakat saja

khususnya perempuan mereka tidak paham. Sehingga membuat jarak antara

warga dengan calon legislatif atau calon presiden. Sebenarnya masyarakat tidak

semuanya paham mengenai visi misi, mereka justru lebih tertarik dengan

program-program yang akan dilaksanakan oleh wakil rakyat. Namun, calon

legislatif atau calon presiden sendiri dalam hal melakukan kampanye juga masih

kurang tepat sasaran.

Akan tetapi suara laki-laki lebih didengar dibandingkan suara perempuan.

Struktur patriarki yang dominan di sebagian besar masyarakat tidak melibatkan

perempuan dalam proses pembuatan keputusan. Laki-lakilah yang berkomunikasi

dengan dunia luar. Pengenalan teknologi baru, program pendidikan, peralatan

baru dan jasa yang beraneka-ragam, selalu dirundingkan terutama dengan

laki-laki. Kapitalisme internasional ini (dalam bentuk bantuan dan pembangunan)

secara implisit melembagakan dominasi laki-laki atas perempuan karena

pengetahuan, apa pun bentuknya, mempertinggi perluasan kekuasaan pria.Proses

marginalisasi partai politik semakin tajam ketika dalam proses pengambilan

keputusan dan kebijakan parpol sering mengabaikan kepentingan kaum

perempuan.

3

Hasil wawancara dengan warga RW 09 Kelurahan Sidorejo Lor, Salatiga.

(7)

Sebagai contoh, perumusan AD/ART, pedoman-pedoman

permusyawaratan, pedoman-pedoman perkaderan dan pedoman- pedoman

organisasi lainnya tidak memuat secara khusus kuota untuk perempuan.

Selain itu, rapat-rapat parpol yang terkait dengan pembuatan keputusan

strategis biasanya dilakukan pada malam hari. Bagi anggota legislatif

perempuan, rapat-rapat partai dan komisi di DPRD NTB yang sering

dilakukan pada malam hari sangat menganggu mereka,khususnya bagi

mereka yang masih memiliki anak kecil dan/atau mereka yang lajang

maupun menjanda (Sri Yanuarti, 2012)

“Seringakali kalau saya harus pulang larut malam sehabis mengikuti

sidang fraksi maupun komisi, saya harus teriak keras-keras dengan

mengatakan bahwa saya baru pulang dari sidang dan dengan siapa saya

pulang. Agar tetangga tidak berpikiran negatif, mengingat status saya yang

janda. Selain itu, secara khusus saya meminta adik atau kakak laki-laki

saya untuk menjemput saya, bukan sopir pribadi. Ini untuk mengurangi

fitnah”.

“Umur anak saya masih belum ada satu tahun, saya memberikan ASI pada

anak saya setiap harinya. Dengan adanya sidang pada malam hari otomatis

sangat menganggu jadwal saya memberikan ASI dan mengasuh anak saya.

Meskipun melalui bantuan peralatan modern kita bisa menyimpan ASI kita

dan memberikannya saat kita tidak ada, namun akan sangat berbeda

rasanya jika kita bisa memberikannya secara langsung. Anak pasti akan

lebih nyaman. Kalau pulang larut malam karena ada sidang, suami saya

yang menjemput. Kadang di kala senggang suami mampir dengan bayi

saya, agar saya bisa menyusui secara langsung. Untungnya Mataram

bukan Jakarta, sehingga jarak relatif tidak menjadi kendala”, kata seorang

anggota DPRD termuda di Kota Mataram(Sri Yanuarti, 2012).

(8)

Sedangkan di kota Salatiga sendiri tepatnya kelurahan Sidorejo Lor,

kecamatan Sidorejo RW 09 Sarirejo, banyak pemandu karaoke (PK) sekaligus

pekerja seks komersial (PSK) berbicara bahwa mereka tidak akan mengikuti pesta

demokrasi.

“Tidak ada mbak. Ya saya lakukan aktivitas seperti biasanya. Ya kerja,

kesalon, main sama teman-teman. Kalau saya tidak mbak. Tidak pulang

soalnya. Ya karena tidak pulang mbak. Mending disini cari uang saja.

Malas mbak4 saya. Saya juga tidak tahu caranya.”

Masyarakat Sarirejo khususnya perempuan sendiri merupakan korban kekerasan.

Sehinggapenjelasan tentang kekerasan (violence) meliputi serangan terhadap fisik,

integritas, mental, dan psikologis seseorang. Kekerasan terhadap perempuan

sering terjadi karena budaya dominasi laki-laki terhadap perempuan. Kekerasan

digunakan oleh laki-laki untuk memenangkan pendapat, menyatakan rasa tidak

puas, dan seringkali hanya untuk menunjukkan bahwa laki- laki berkuasa atas

perempuan. Kekerasan ini juga bisa dilihat pada saat penentuan daerah pemilihan

(dapil).

Perempuan cenderung ditempatkan di dapil yang tidak menguntungkan

misalnya dapil yang bukan kantong suara partai, sementara dapil yang potensial

didominasi oleh laki-laki, kecuali caleg perempuan yang memiliki kedekatan

secara personal dengan pimpinan parpol. Beban kerja ganda (double burden,

bahkan mungkin tripel burden) yang dialami perempuan sebagai akibat anggapan

masyarakat bahwa perempuan mempunyai sifat memelihara, mengasihi, dan

menyayangi. Untuk itu, perempuan cocok memikul tanggung jawab terhadap

semua pekerjaan domestik. Keadaan ini melahirkan beban kerja ganda bagi

perempuan yang bekerja di luar rumah sebab, selain bekerja membantu mencari

nafkah, perempuan juga harus tetap menjalankan pekerjaan domestik. Hal ini

disebabkan tuntutan tradisi yang mengharuskan perempuan mengurus rumah

tangga, sementara di sisi lain perempuan memiliki ekspektasi yang sama dengan

4

Panggilan untuk kakak perempuan dalam bahasa jawa

(9)

laki-laki, misalnya bekerja mencari nafkah dan aktif di parpol. Semua manifestasi

ketidakadilan jender di atas telah tersosialisasi dengan baik kepada perempuan

dan laki-laki, yang pada akhirnya secara perlahan-lahan, perempuan dan laki-laki

menjadi terbiasa dan mempercayai bahwa peran jender seolah-olah merupakan

kodrat (Luky Sandra Amalia, 2012). Sikap protes dengan tidak mau mengikuti

pemilihan umum, masyarakat khususnya perempuan sangat menarik untuk diteliti.

Terlebih lagi PK atau PSK yang sempat diwawancara juga punya jiwa politik dari

diri sendiri dengan terbentuknya sikap memberontak tersebut.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, terlihat bahwa peran serta perempuan dalam

dunia politik masih rendah. Karena belum ada 30% quota perempuan yang masuk

dalam ranah politik. Akan tetapi, sejak tahun 1999-2014 sekarang persentase

perempuan untuk berpolitik praktis semakin meningkat. Meskipun seperti itu,

perempuan masih tetap dianggap belum mempunyai pemikiran dan keputusan

yang kuat dalam berpolitik. Saat pesta demokrasi tahun 2014 ini, perempuan yang

terdaftar sebagai calon legislatif saja belum ada 30% dengan quota yang sudah

diberikan oleh pemerintah. Begitu pula dengan calon presiden dan calon wakil

presiden tahun 2014, perempuan seakan tidak ada wujudnya.

Khususnya untuk perempuan yang berada pada komunitas kaum marginal.

Pemerintah sering kali mengabaikan suara komunitas tersebut, yang kemudian apa

yang seharusnya menjadi kebutuhan semua masyarakat menjadi palsu. Karena

masih banyak suara-suara yang diabaikan oleh pemerintah. Padahal justru suara

kaum marginallah yang menjadi mayoritas di Indonesia. Sedangkan salah satu

komunitas marginal sendiri di Salatiga ada kawasan yang sering disebut RW 09.

Di RW 09 sendiri, yang mayoritas penduduknya perempuan dan bukan orang asli

Salatiga, mereka juga tidak mendapat perlakuan yang sama seperti yang lain. Saat

proses pemilu dilakukan, antara lain sosialisasi khusus untuk para pendatang pun

(10)

tidak dilaksanakan oleh KPU. Sehingga para pendatang yang ada di RW 09,

memilih untuk GOLPUT5.

Oleh karena itu rumusan masalah yang didapat berdasarkan latar belakang

diatas adalah:

1. Bagaimana kesadaran politik perempuan marginal di Desa Sarirejo

terbentuk?

2. Bagaimana bentuk tindakan politik kritis perempuan marginal di Desa

Sarirejo?

3. Bagaimana dialegtika kesadaran politik dan tindakan politik kritis

perempuan marginal di Desa Sarirejo?

1.3 Tujuan Penelitian

Dari berbagai uraian sebelumnya, maka yang menjadi tujuan adalah:

1. Mendeskripsikan kesadaran politik perempuan marginal di Desa Sarirejo.

2. Menjelaskan tindakan politik kritis perempuan marginal di Desa Sarirejo.

3. Menganalisa dialegtika kesadaran politik dan tindakan politik kritis

perempuan marginal di Desa Sarirejo.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian tentang “Tindakan Politik Pemilu yang Dilakukan

Perempuan Marginal” adalah untuk meninjau bagaimana partisipasi perempuan

saat pemilu dilakukan, serta upaya apa yang akan dilakukan KPU berkaitan

dengan tidak terdaftarnya mayoritas komunitas marginal yang ada di RW 09

Sarirejo, Salatiga. Penelitian ini juga bermanfaat bagi masyarakat luas, agar tidak

5

Kepanjangannya Golongan Putih

(11)

11

memandang kaum hawa sebagai kaum yang lemah dan tidak pantas untuk

menjadi seorang pemimpin.

Realitas politik saat ini malah sebaliknya, jumlah populasi perempuan

lebih besar dari pada laki-laki, namun institusi perpolitikan sangat MASKULIN

tidak otomatis memiliki sensitive gender. Kenyataanya sampai saat ini,

perempuan masih merupakan kelompok marjinal yang secara historis selalu

disisihkan dalam dunia politik dan pada proses-proses pengambilan keputusan

publik. Disisi lain tingkat pengetahuan perempuan tentang politik sangat berkaitan

erat dengan kesadaran politik perempuan, termasuk kesadaran untuk memilih

partai yang peduli terhadap kepentingan perempuan maupun wakilnya yang

perempuan di DPR maupun DPRD.

Sehingga dalam penelitian ini juga sangat bermanfaat analisisnya untuk

memperdalam peran serta perempuan dalam fenomena di ranah politik. Dapat

dikatakan bahwa perempuan juga memiliki peran penting dalam ranah politik saat

ini. Karena kebutuhan perempuan yang sampai sekarang belum terwujud

sepenuhnya. Kemudian manfaat teoritisnya, pendekatan feminisme dan teori

habitus milik Pierre Bourdieu dapat menjadi teori yang tepat untuk mengkaji

persoalan gender dan politik. Melihat dari latar belakang yang diambil dari agenda

negara lima tahunan yaitu pemilu dan peran serta pemandu karaoke yang

Referensi

Dokumen terkait

Melihat definisi yang dikemukakan Richter tentang matriks baik kiri dan kanan (yang mempertahankan ideal) dan keberadaan bentuk normal Smith (ada pada setiap matiks atas ring

Pengaruh Model Pembelajaran Kooperatif Number Heads Together (Nht) Terhadap Minat Dan Hasil Belajar Matematika Siswa Kelas VIII Pada Materi Prisma Dan Limas Di MTsN

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa persentase kecerdasan emosional siswa dari jumlah keseluruhan sampel 116 yaitu : 33,62% tergolong dalam kategori

perekonomian yang sangat besar serta realisasi harga yang lebih tinggi untuk petani banyak langkah yang diperlukan untuk mencapainya terkait dengan reformasi dari komite

Bentrok merupakan suatu tindakan yang bersifat negatif dalam hal kekerasan dilakukan secara serentak ,dapat merugikan orang lain yang terkait dalam suatu

Analisis data kecerdasan emosi pada siswa SMP Islam Sunan Gunung Jati Ngunut. Tulungagung dilaporkan pada

Kasus penganiayaan yang dilakukan oleh Aparatur Sipil Negara yang disebabkan oleh faktor internal yaitu, rasa kesal yang berasal dari dalam diri pelaku, Supriyadi

− Prototipe sistem SDR skala lab dengan frekuensi maksimal RF 50 MHz dengan daya RF kurang dari 1 mW menggunakan daughterboard Basic Tx-Rx dapat dikembangkan untuk sebuah