BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dewasa ini, masyarakat dibelahan bumi manapun mendambakan yang
namanya kebebasan mutlak. Kebebasan mutlak tidak bisa diperoleh
dimanapun.Jika hidup dalam lingkungan sosial, kebebasan juga perlu aturan. Saat
ini bumi semakin padat dipenuhi masyarakat, setiap detik perubahan sosial pasti
akan terjadi. Indonesia sendiri yang merupakan negara plural juga pastinya
mengalami perubahan sosial yang signifikan. Mulai dari zaman kerajaan, orde
lama sampai pada era reformasi. Indonesia yang saat itu berada pada masa orde
baru juga cukup diperhitungkan kebebasan berekspresinya, terutama media. Saat
itu demokrasi sendiri masih belum cukup diperhitungkan. Di Indonesia sendiri
pernah muncul terminology demokrasi terpimpin dan demokrasi pancasila. Pada
hakekatnya, istilah-istilah tersebut memiliki makna yang justru bertentangan
dengan hakekat demokrasi. Sebab mereka menggunakan istilah demokrasi
sekedar untuk menutupi sistem politik sesungguhnya yang bersifat diktator.
Termasuk menggunakan nama Pancasila, tetapi isi dan prakteknya jauh dari
hakekat dan makna Pancasila itu sendiri (Zamroni, 2011). Kemudian zaman
sekarang, pemilu sendiri merupakan sarana untuk mencapai sebuah demokrasi itu
sendiri.
Bangsa Indonesia sejak tahun 1955 hingga 2009 sudah melaksanakan 10
kali pemilihan umum legislatif (pileg). Dalam hal ini, tidak sepenuhnya
masyarakat Indonesia dapat turut andil atau merayakan pesta demokrasi tersebut.
Pesta demokrasi sering disebut dengan pemilihan legislatif atau presiden.Sikap
apatis yang dilakukan masyarakat Indonesia dalam pemilu semakin meningkat
tiap tahunnya. Semua dipicu karena ketidak tahuan tentang pemilu sendiri, atau
karena memang masyarakat sudah tidak peduli dengan wakil rakyat yang akan
terpilih nanti.
Pada akhirnya masyarakat yang apatis ini tidak akan datang. Suara mereka
yang tidak disampaikan pun menjadi sebutan golongan putih (golput). Sejak era
reformasi tren golput cendrung meningkat. Pileg 1999 angka golput mencapai
6,4%, pileg 2004 meningkat menjadi 15,9% dan pileg 2009 mencapai angka
29,1% (Arianto, 2011). KPU menargetkan, tingkat partisipasi pemilih tahun 2014
bisa mencapai 75 persen atau 25 persen Golput (www.kpu.or.id). Namun
demikian, banyak pihak memandang pemilu tahun 2014 kualitasnya jauh dibawah
pemilu sebelumnya, khususnya tahun 2004 dan 2009. Indikasinya melalui
banyaknya kasus dan angka partisipasi dalam pemilu. Pada pemilu tahun 2004 ada
sebanyak 273 kasus, jumlah ini meningkat sebannya 128% pada tahun 2009
(Kompas, 20 Mei 2009). Jumlah golput pada tahun 2009 mencapai 49. 677. 076
orang atau 29,01% dari jumlah Daftar Pemilih Tetap ( DPT). Jumlah tersebut di
luar warga negara yang terpaksa tidak dapat menggunakan hak pilihnya karena
kekacauan administratif DPT ( Kompas, 29 Mei 2009). Golput sendiri dimasa
orde baru merupakan bentuk protes dari masyarakat terhadap sistem pemilihan
yang dikendalikan oleh orang-orang yang berkuasa. Akan tetapi makna golput
untuk saat ini yaitu mulai dari era reformasi, golput dianggap sebagai suatu
bentuk kekecewaan yang cukup mendalam dari masyarakat kepada wakil-wakil
rakyat pada periode lalu, yang sebelumnya menjajikan program-program kepada
masyarakat akan tetapi tidak terealisasikan. Itu sebabnya masyarakat menjadi
acuh dengan diadakannya pemilu. Tutur salah satu Pemandu Karaoke:
“Saya tidak perduli mbak siapa-siapa yang menjadi presiden atau wakil
rakyat, orang saya makan saja tidak minta mereka” (Rini, 2014).
Saat ini, peran perempuan dalam dunia politik sendiri juga semakin
diperhitungkan. Tak heran sekarang kaum hawa berlomba-lomba untuk sejajar
dengan kaum adam dalam dunia terus disuarakan, seperti pada pelaksanaan
pemilu 2009, peraturan perundang- undangan telah mengatur kuota 30%
perempuan bagi partai politik (parpol) dalam menempatkan calon anggota
legislatifnya. Undang-Undang (UU) Nomor 10/2008 tentang Pemilihan Umum
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (pemilu legislatif) serta UU Nomor 2/2008 tentang
Partai Politik telah memberikan mandat kepada parpol untuk memenuhi kuota
30% bagi perempuan dalam politik, terutama di lembaga perwakilan rakyat
(Keterwakilan Perempuan Di Lembaga Legislatif). Minat perempuan untuk terjun
ke dunia politik semakin terbukti dengan meningkatnya partisipasi perempuan
dalam mencalonkan diri menjadi seorang wakil rakyat. Presentase anggota dewan
perwakilan rakyat menurut jenis kelamin periode tahun 1999-2004, 2004-2009,
dan 2009-2014, bahwa laki-laki pada tahun 1999-2004 mencapai 91,0%,
perempuan mencapai 9,0%. Pada tahun 2004-2009 presentase laki-laki mencapai
89,3% dan perempuan 10,7%, hingga tahun 2009-2014 presentase laki-laki
mencapai 82,4% dan perempuan 17,6% (Sumber : Koran Tempo, Kamis 1
Oktober 2009). Pada data diatas, menunjukkan bahwa keterwakilan perempuan
dari periode ke periode mengalami peningkatan, dan bahkan apabila kita melihat
perkembangan dari periode 1999-2004 s.d 2009-2014 kenaikannya cukup
signifikan yaitu 9 persen meningkat menjadi 17,7 persen. Sehingga keterwakilan
perempuan dalam dunia politik juga semakin diperhitungkan.
Secara demografis, jumlah penduduk perempuan Indonesia lebih banyak
yaitu sekitar 50,88% sedangkan jumlah penduduk laki-laki hanya sekitar 49,12%.
Dalam hal partisipasi perempuan dalam dunia politik, juga harus diperhatikan
kepada perempuan yang berada pada komunitas marginal juga.Kondisi marginal
perempuan baik sebagai pemilih maupun caleg tidak terlepas dari lemahnya
pendidikan pemilih dan kepemiluan khususnya bagi komunitas perempuan. Hasil
penelitian UNDP (2008) memaparkan bahwa secara umum, “aspek ini relatif
kurang mendapatkan perhatian. Ada sinyalemen bahwa semakin pemilih tidak
paham dengan sistem pemilihan, mekanisme penyusunan calon, sampai implikasi
dari janji-janji kampanye, maka semakin peserta Pemilu mendapatkan
keuntungan. Pemilih yang pasif hanya dijadikan sebagai alat legitimasi atas
kekuasaan”. Lebih lanjut diungkapkan pendidikan elektoral kebanyakan
ditargetkan pada publik umum tanpa kategori khusus sesuai karakteristik pemilih
dan daerah, kecuali dalam beberapa kasus. Dalam hal ini komunitas perempuan
marginal (Ibu RT, pekerja informal, penyandang cacat, Pekerja Migran, Pembantu
Rumah Tangga, Lansia) sering luput dari target ini. Mereka dianggap dapat
memperoleh informasi atau dapat diwakili oleh suami/laki-laki. Hal ini
menunjukan bahwa pendidikan pemilih dan elektroral belum berperspektif
gender. Perempuan sebagai komunitas memiliki persoalan dan kebutuhan yang
berbeda dengan laki-laki. Tidak terwakilinya persoalan dan kebutuhan perempuan
menjadikan mereka komunitas yang dinomer duakan dalam pembangunan bangsa
ini. Kemiskinan, eksplotasi, dan kekerasan masih berwajah perempuan.
Kurangnya pengetahuan tentang pemilu dan elektoral menyebabkan mereka
kurang mampu menyuarakan persoalan dan kebutuhannya serta memberikan
suaranya secara tepat dan rasional agar memperoleh solusi. (www.menegpp.org;
UNDP, 2008).
Sebenarnya kendala perempuan dari dalam sendiri saat berpolitik meliputi
kurang percaya diri (self confident); kurang berani berperan aktif dalam kegiatan
politik; pemahaman yang keliru tentang politik yang dipandang sebagai hal yang
kasar, kotor, keras. Sedangkan kendala dari luar adalah hambatan dari berbagai
norma kultural dan struktural yang tidak menguntungkan perempuan. Masih
adanya sekelompok orang menganggap bahwa yang pantas jadi pemimpin adalah
laki-laki. Sehingga pelatihan kepemimpinan perlu diberikan kepada kaum hawa,
seperti salah satu LSM yang intens mengadakan pendidikan politik untuk
perempuan di Indonesia antara lain adalah International Republican Institute
(IRI). IRI memiliki tujuan untuk mengembangkan pembangunan politik menuju
negara yang demokratis semenjak jatuhnya rezim Soeharto pada tahun 1998.
Tujuan itu diwujudkan dengan cara mendukung proses konsolidasi demokratik di
Indonesia melalui penguatan lembaga pemerintahan, mendorong partai politik
agar lebih memahami keinginan pemilih dengan baik dan mendorong peningkatan
partisipasi perempuan di bidang politik dan pemerintahan (
www.iri.org/asia/indonesia.asp, diakses 9 Juni 2009). Sedangkan representasi
masyarakat sendiri terhadap wakil rakyat adalah mereka sudah memiliki tingkat
kepercayaan yang tinggi karena krakterisktik wakil rakyat yang kasat mata
(misalnya jenis kelamin) dan pengalaman yang serupa. Wakil rakyat yang
memiliki karakteristik dan pengalaman yang sama dengan konstituen mereka
mempunyai kemungkinan yang lebih besar untuk memahami pentingnya tempat
penitipan anak bagi perempuan yang bekerja karena yang bersangkutan tidak
pernah mengalami sulitnya menjaga keseimbangan peran sebagai ibu dan sebagai
pekerja (Mansbridge, 2000).
Partisipasi perempuan sangat rendah dibandingkan laki-laki. Lagi pula,
keterlibatan maupun pengaruh perempuan dalam politik terbatas. Ketika terlibat
dalam dunia politik terdapat ―tendency for women to hold posts that are
traditionally seen as ‘soft’ (Parawansa, 2010: 86)1.Perempuan sendiri juga
seharusnya perlu mendapatkan hak suaranya dalam berpolitik. Di Sarirejo,
mayoritas warganya berjenis kelamin perempuan. Mayoritas juga bukan
penduduk asli kota Salatiga. Perlakuan yang sama rata juga harus diberikan
kepada setiap individu. Namun, dari pihak KPU atau lembaga yang terkait dengan
pemilu sendiri masih kurang merata dalam memberikan informasi mengenai
pemilu kepada warga di Sarirejo.
“Saya tidak dapat yang soal politik-politik itu mbak. Soalnya setahu saya
yang diundang paling kalau acara kayak gitu itu yang punya
karaokeannya2.”
Tingkat kekritisan perempuan juga semakin diperhitungkan berkaitan dengan
politik praktis. Partisipasi perempuan juga perlu dilihat dari segi pemikirannya
terhadap persoalan masyarakat serta perubahan sosial yang terjadi.
Sekarang ini, banyak orang melakukan pemberontakan karena rasa
kekecewaan yang dialami setiap individu dalam hal kebijakan atau peraturan yang
dibuat oleh wakil rakyat. Khususnya perempuan yang termasuk dalam kaum
marginal, mereka tidak perduli siapa pun yang menjadi wakil mereka untuk
menyuarakan kebutuhan dan hambatan yang mereka hadapi sehari-hari. Beberapa
orang mengatakan bahwa pemilu atau pemilihan presiden itu tidak penting, jika
1
Kecenderungan bagi perempuan untuk memiliki pekerjaan yang secara tradisional digambarkan lembut‘.
2
Hasil wawancara dengan salah seorang Pemandu Karaoke di Sarirejo.
seseorang membutuhkan uang mereka juga tidak akan mungkin meminta atau
diberi oleh wakil rakyat tersebut. Justru mereka akan berusaha mencari atau
berusaha untuk mencari uang sendiri.
“Maunya kita ya kemakmuran kita, apa disuruh nyoblos, aku aja makan
gak minta presiden, ak cari sendiri bodo aja presiden siapa, ya maunya sih
yang enak-enak. Bisa juga PK-PK hidup makmur dan diangkat
derajatnya3.”
Dalam hal ini, partai-partai sendiri sudah berusaha untuk memberikan hak
perempuan sebesar 30% untuk menjadi wakil rakyat. Akan tetapi, fenomena yang
ada kader-kader perempuan pada partai bukan orang yang memiliki keahlian
dalam berpolitik. Bahkan untuk membuat program-program bagi masyarakat saja
khususnya perempuan mereka tidak paham. Sehingga membuat jarak antara
warga dengan calon legislatif atau calon presiden. Sebenarnya masyarakat tidak
semuanya paham mengenai visi misi, mereka justru lebih tertarik dengan
program-program yang akan dilaksanakan oleh wakil rakyat. Namun, calon
legislatif atau calon presiden sendiri dalam hal melakukan kampanye juga masih
kurang tepat sasaran.
Akan tetapi suara laki-laki lebih didengar dibandingkan suara perempuan.
Struktur patriarki yang dominan di sebagian besar masyarakat tidak melibatkan
perempuan dalam proses pembuatan keputusan. Laki-lakilah yang berkomunikasi
dengan dunia luar. Pengenalan teknologi baru, program pendidikan, peralatan
baru dan jasa yang beraneka-ragam, selalu dirundingkan terutama dengan
laki-laki. Kapitalisme internasional ini (dalam bentuk bantuan dan pembangunan)
secara implisit melembagakan dominasi laki-laki atas perempuan karena
pengetahuan, apa pun bentuknya, mempertinggi perluasan kekuasaan pria.Proses
marginalisasi partai politik semakin tajam ketika dalam proses pengambilan
keputusan dan kebijakan parpol sering mengabaikan kepentingan kaum
perempuan.
3
Hasil wawancara dengan warga RW 09 Kelurahan Sidorejo Lor, Salatiga.
Sebagai contoh, perumusan AD/ART, pedoman-pedoman
permusyawaratan, pedoman-pedoman perkaderan dan pedoman- pedoman
organisasi lainnya tidak memuat secara khusus kuota untuk perempuan.
Selain itu, rapat-rapat parpol yang terkait dengan pembuatan keputusan
strategis biasanya dilakukan pada malam hari. Bagi anggota legislatif
perempuan, rapat-rapat partai dan komisi di DPRD NTB yang sering
dilakukan pada malam hari sangat menganggu mereka,khususnya bagi
mereka yang masih memiliki anak kecil dan/atau mereka yang lajang
maupun menjanda (Sri Yanuarti, 2012)
“Seringakali kalau saya harus pulang larut malam sehabis mengikuti
sidang fraksi maupun komisi, saya harus teriak keras-keras dengan
mengatakan bahwa saya baru pulang dari sidang dan dengan siapa saya
pulang. Agar tetangga tidak berpikiran negatif, mengingat status saya yang
janda. Selain itu, secara khusus saya meminta adik atau kakak laki-laki
saya untuk menjemput saya, bukan sopir pribadi. Ini untuk mengurangi
fitnah”.
“Umur anak saya masih belum ada satu tahun, saya memberikan ASI pada
anak saya setiap harinya. Dengan adanya sidang pada malam hari otomatis
sangat menganggu jadwal saya memberikan ASI dan mengasuh anak saya.
Meskipun melalui bantuan peralatan modern kita bisa menyimpan ASI kita
dan memberikannya saat kita tidak ada, namun akan sangat berbeda
rasanya jika kita bisa memberikannya secara langsung. Anak pasti akan
lebih nyaman. Kalau pulang larut malam karena ada sidang, suami saya
yang menjemput. Kadang di kala senggang suami mampir dengan bayi
saya, agar saya bisa menyusui secara langsung. Untungnya Mataram
bukan Jakarta, sehingga jarak relatif tidak menjadi kendala”, kata seorang
anggota DPRD termuda di Kota Mataram(Sri Yanuarti, 2012).
Sedangkan di kota Salatiga sendiri tepatnya kelurahan Sidorejo Lor,
kecamatan Sidorejo RW 09 Sarirejo, banyak pemandu karaoke (PK) sekaligus
pekerja seks komersial (PSK) berbicara bahwa mereka tidak akan mengikuti pesta
demokrasi.
“Tidak ada mbak. Ya saya lakukan aktivitas seperti biasanya. Ya kerja,
kesalon, main sama teman-teman. Kalau saya tidak mbak. Tidak pulang
soalnya. Ya karena tidak pulang mbak. Mending disini cari uang saja.
Malas mbak4 saya. Saya juga tidak tahu caranya.”
Masyarakat Sarirejo khususnya perempuan sendiri merupakan korban kekerasan.
Sehinggapenjelasan tentang kekerasan (violence) meliputi serangan terhadap fisik,
integritas, mental, dan psikologis seseorang. Kekerasan terhadap perempuan
sering terjadi karena budaya dominasi laki-laki terhadap perempuan. Kekerasan
digunakan oleh laki-laki untuk memenangkan pendapat, menyatakan rasa tidak
puas, dan seringkali hanya untuk menunjukkan bahwa laki- laki berkuasa atas
perempuan. Kekerasan ini juga bisa dilihat pada saat penentuan daerah pemilihan
(dapil).
Perempuan cenderung ditempatkan di dapil yang tidak menguntungkan
misalnya dapil yang bukan kantong suara partai, sementara dapil yang potensial
didominasi oleh laki-laki, kecuali caleg perempuan yang memiliki kedekatan
secara personal dengan pimpinan parpol. Beban kerja ganda (double burden,
bahkan mungkin tripel burden) yang dialami perempuan sebagai akibat anggapan
masyarakat bahwa perempuan mempunyai sifat memelihara, mengasihi, dan
menyayangi. Untuk itu, perempuan cocok memikul tanggung jawab terhadap
semua pekerjaan domestik. Keadaan ini melahirkan beban kerja ganda bagi
perempuan yang bekerja di luar rumah sebab, selain bekerja membantu mencari
nafkah, perempuan juga harus tetap menjalankan pekerjaan domestik. Hal ini
disebabkan tuntutan tradisi yang mengharuskan perempuan mengurus rumah
tangga, sementara di sisi lain perempuan memiliki ekspektasi yang sama dengan
4
Panggilan untuk kakak perempuan dalam bahasa jawa
laki-laki, misalnya bekerja mencari nafkah dan aktif di parpol. Semua manifestasi
ketidakadilan jender di atas telah tersosialisasi dengan baik kepada perempuan
dan laki-laki, yang pada akhirnya secara perlahan-lahan, perempuan dan laki-laki
menjadi terbiasa dan mempercayai bahwa peran jender seolah-olah merupakan
kodrat (Luky Sandra Amalia, 2012). Sikap protes dengan tidak mau mengikuti
pemilihan umum, masyarakat khususnya perempuan sangat menarik untuk diteliti.
Terlebih lagi PK atau PSK yang sempat diwawancara juga punya jiwa politik dari
diri sendiri dengan terbentuknya sikap memberontak tersebut.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, terlihat bahwa peran serta perempuan dalam
dunia politik masih rendah. Karena belum ada 30% quota perempuan yang masuk
dalam ranah politik. Akan tetapi, sejak tahun 1999-2014 sekarang persentase
perempuan untuk berpolitik praktis semakin meningkat. Meskipun seperti itu,
perempuan masih tetap dianggap belum mempunyai pemikiran dan keputusan
yang kuat dalam berpolitik. Saat pesta demokrasi tahun 2014 ini, perempuan yang
terdaftar sebagai calon legislatif saja belum ada 30% dengan quota yang sudah
diberikan oleh pemerintah. Begitu pula dengan calon presiden dan calon wakil
presiden tahun 2014, perempuan seakan tidak ada wujudnya.
Khususnya untuk perempuan yang berada pada komunitas kaum marginal.
Pemerintah sering kali mengabaikan suara komunitas tersebut, yang kemudian apa
yang seharusnya menjadi kebutuhan semua masyarakat menjadi palsu. Karena
masih banyak suara-suara yang diabaikan oleh pemerintah. Padahal justru suara
kaum marginallah yang menjadi mayoritas di Indonesia. Sedangkan salah satu
komunitas marginal sendiri di Salatiga ada kawasan yang sering disebut RW 09.
Di RW 09 sendiri, yang mayoritas penduduknya perempuan dan bukan orang asli
Salatiga, mereka juga tidak mendapat perlakuan yang sama seperti yang lain. Saat
proses pemilu dilakukan, antara lain sosialisasi khusus untuk para pendatang pun
tidak dilaksanakan oleh KPU. Sehingga para pendatang yang ada di RW 09,
memilih untuk GOLPUT5.
Oleh karena itu rumusan masalah yang didapat berdasarkan latar belakang
diatas adalah:
1. Bagaimana kesadaran politik perempuan marginal di Desa Sarirejo
terbentuk?
2. Bagaimana bentuk tindakan politik kritis perempuan marginal di Desa
Sarirejo?
3. Bagaimana dialegtika kesadaran politik dan tindakan politik kritis
perempuan marginal di Desa Sarirejo?
1.3 Tujuan Penelitian
Dari berbagai uraian sebelumnya, maka yang menjadi tujuan adalah:
1. Mendeskripsikan kesadaran politik perempuan marginal di Desa Sarirejo.
2. Menjelaskan tindakan politik kritis perempuan marginal di Desa Sarirejo.
3. Menganalisa dialegtika kesadaran politik dan tindakan politik kritis
perempuan marginal di Desa Sarirejo.
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian tentang “Tindakan Politik Pemilu yang Dilakukan
Perempuan Marginal” adalah untuk meninjau bagaimana partisipasi perempuan
saat pemilu dilakukan, serta upaya apa yang akan dilakukan KPU berkaitan
dengan tidak terdaftarnya mayoritas komunitas marginal yang ada di RW 09
Sarirejo, Salatiga. Penelitian ini juga bermanfaat bagi masyarakat luas, agar tidak
5
Kepanjangannya Golongan Putih
11
memandang kaum hawa sebagai kaum yang lemah dan tidak pantas untuk
menjadi seorang pemimpin.
Realitas politik saat ini malah sebaliknya, jumlah populasi perempuan
lebih besar dari pada laki-laki, namun institusi perpolitikan sangat MASKULIN
tidak otomatis memiliki sensitive gender. Kenyataanya sampai saat ini,
perempuan masih merupakan kelompok marjinal yang secara historis selalu
disisihkan dalam dunia politik dan pada proses-proses pengambilan keputusan
publik. Disisi lain tingkat pengetahuan perempuan tentang politik sangat berkaitan
erat dengan kesadaran politik perempuan, termasuk kesadaran untuk memilih
partai yang peduli terhadap kepentingan perempuan maupun wakilnya yang
perempuan di DPR maupun DPRD.
Sehingga dalam penelitian ini juga sangat bermanfaat analisisnya untuk
memperdalam peran serta perempuan dalam fenomena di ranah politik. Dapat
dikatakan bahwa perempuan juga memiliki peran penting dalam ranah politik saat
ini. Karena kebutuhan perempuan yang sampai sekarang belum terwujud
sepenuhnya. Kemudian manfaat teoritisnya, pendekatan feminisme dan teori
habitus milik Pierre Bourdieu dapat menjadi teori yang tepat untuk mengkaji
persoalan gender dan politik. Melihat dari latar belakang yang diambil dari agenda
negara lima tahunan yaitu pemilu dan peran serta pemandu karaoke yang