ABSTRACT
INFLUENCES OF ETHNIC, BUSSINES CAPITAL, AND EDUCATION TOWARD THE RELATIONSHIP BETWEEN THE ENTREPRENEURSHIP
SPIRIT, THE EMOTIONAL INTELLIGENCE AND THE BUSINESS MANAGEMENT EFFECTIVENES
(A case study of Spice Retailers in Beringharjo Market, DIY)
Veronica Iin Marlinasari Sanata Dharma University
2007
This study aims to find out whether: 1) there are ethnic influences toward the relationship between entrepreneurship spirit and the business management effectivenes; 2) there are ethnic influences toward the relationship between emotional intelligence and the business management effectivenes; 3) there are influences of bussines capital toward the relationship between entrepreneurship spirit and the business management effectivenes; 4) there are bussines capital influences toward relationship between emotional intelligence and the business management effectivenes; 5) there are influences of education toward the relationship between entrepreneurship spirit and the business management effectivenes; 6) there are influences of education toward relationship between emotional intelligence and the business management effectivenes.
This study was conducted in Beringharjo Market in the City of Yogyakarta from January to February 2007. The research population for this study was 100 people. 78 of them ware taken for research samples. The Researcher took the samples by applying simple random sampling technique. Data gathering techniques used in this study were observation and questionnaire. Data analysis technique employed in this study was equation model which was developed by Chow.
The result of this study shows that: 1) there are negative ethnic influences toward the relationship between entrepreneurship spirit and the business management effectivenes (p = 0.000 < α = 0.050); 2) there are negative ethnic influences toward the relationship between emotional intelligence and the business management effectiveness (p = 0.000 < α = 0.050); 3) there are negative capital influences toward the relationship between entrepreneurship spirit and business management effectivenes (p = 0.001 < α = 0.050); 4) there are negative capital influences toward the relationship between emotional intelligence and the business management effectivenes (p = 0.000 < α = 0.050); 5) there are negative educational influences toward the relationship between entrepreneurship spirit and business management effectivenes (p = 0.001 < α = 0.050); 6) there are negative educational influences toward the relationship between emotional intelligence and business management effectivenes (p = 0.000 < α = 0.050).
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
Do all the goods you can, All the best you can, In all
times you can, In all places you can, For all the creatures you
can.
- Anonim-
Laporan ini kupersembahkan untuk:
Bunda maria ……..
Kedua
orang
tuaku
yamg
tercinta
Oom Joko, Mbak Andri, AdhikkuDonni,
dan Keponakanku Chattra
serta my love Mas Drajad.
ABSTRAK
PENGARUH ETNIS, PERMODALAN, DAN PENDIDIKAN TERHADAP HUBUNGAN ANTARA JIWA KEWIRAUSAHAAN DAN KECERDASAN
EMOSIONAL DENGAN KEEFEKTIFAN MENGELOLA USAHA Studi Kasus pada Pedagang Bumbon/Craken di Pasar Beringharjo
Daerah Istimewa Yogyakarta
Veronica Iin Marlinasari Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta 2007
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah: (1) ada pengaruh etnis terhadap hubungan antara jiwa kewirausahaan dengan keefektifan mengelola usaha; (2) ada pengaruh ernis terhadap hubungan antara kecerdasan emosional dengan keefektifan mengelola usaha; (3) ada pengaruh jumlah modal terhadap hubungan antara jiwa kewirausahaan dengan keefektifan mengelola usaha; (4) ada pengaruh jumlah modal terhadap hubungan antara kecerdasan emosional dengan keefektifan mengelola usaha; (5) ada pengaruh tingkat pendidikan terhadap hubungan antara jiwa kewirausahaan dengan keefektifan mengelola usaha; (6) ada pengaruh tingkat pendidikan terhadap hubungan antara kecerdasan emosional dengan keefektifan mengelola usaha.
Penelitian ini dilaksanakan di Pasar Beringharjo, Kodya Yogyakarta pada bulan Januari sampai Februari 2007. Populasi dalam penelitian ini sebanyak 100 orang. Jumlah sampel adalah 78 orang. Pengambilan sampel dengan menggunakan
teknik simple random sampling.. Teknik pengumpulan data yang digunakan
observasi dan kuesioner. Teknik analisis data menggunakan model persamaan yang
dikembangkan oleh Chow.
Hasil penelitian menunjukkan: (1) ada pengaruh negatif etnis terhadap hubungan jiwa kewirausahaan dengan keefektifan mengelola usaha (p = 0,000 < α =0,050); (2) ada pengaruh negatif etnis terhadap hubungan kecerdasan emosional dengan keefektifan mengelola usaha (p = 0,000 < α =0,050); (3) ada pengaruh negatif permodalan terhadap hubungan jiwa kewirausahaan dengan keefektifan mengelola usaha (p = 0,001 < α =0,050); (4) ada pengaruh negatif permodalan terhadap hubungan kecerdasan emosional dengan keefektifan mengelola usaha (p = 0,000 < α =0,050); (5) ada pengaruh negatif pendidikan terhadap hubungan jiwa kewirausahan dengan keefektifan mengelola usaha (p = 0,001 < α =0,050); (6) ada pengaruh negatif pendidikan terhadap hubungan kecerdasan emosional dengan keefektifan mengelola usaha (p = 0,000 < α =0,050).
ABSTRACT
INFLUENCES OF ETHNIC, BUSSINES CAPITAL, AND EDUCATION TOWARD THE RELATIONSHIP BETWEEN THE ENTREPRENEURSHIP
SPIRIT, THE EMOTIONAL INTELLIGENCE AND THE BUSINESS MANAGEMENT EFFECTIVENES
(A case study of Spice Retailers in Beringharjo Market, DIY)
Veronica Iin Marlinasari Sanata Dharma University
2007
This study aims to find out whether: 1) there are ethnic influences toward the relationship between entrepreneurship spirit and the business management effectivenes; 2) there are ethnic influences toward the relationship between emotional intelligence and the business management effectivenes; 3) there are influences of bussines capital toward the relationship between entrepreneurship spirit and the business management effectivenes; 4) there are bussines capital influences toward relationship between emotional intelligence and the business management effectivenes; 5) there are influences of education toward the relationship between entrepreneurship spirit and the business management effectivenes; 6) there are influences of education toward relationship between emotional intelligence and the business management effectivenes.
This study was conducted in Beringharjo Market in the City of Yogyakarta from January to February 2007. The research population for this study was 100 people. 78 of them ware taken for research samples. The Researcher took the samples by applying simple random sampling technique. Data gathering techniques used in this study were observation and questionnaire. Data analysis technique employed in this study was equation model which was developed by Chow.
The result of this study shows that: 1) there are negative ethnic influences toward the relationship between entrepreneurship spirit and the business management effectivenes (p = 0.000 < α = 0.050); 2) there are negative ethnic influences toward the relationship between emotional intelligence and the business management effectiveness (p = 0.000 < α = 0.050); 3) there are negative capital influences toward the relationship between entrepreneurship spirit and business management effectivenes (p = 0.001 < α = 0.050); 4) there are negative capital influences toward the relationship between emotional intelligence and the business management effectivenes (p = 0.000 < α = 0.050); 5) there are negative educational influences toward the relationship between entrepreneurship spirit and business management effectivenes (p = 0.001 < α = 0.050); 6) there are negative educational influences toward the relationship between emotional intelligence and business management effectivenes (p = 0.000 < α = 0.050).
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat
dan karunianya, sehingga, penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul
“PENGARUH ETNIS, PERMODALAN, DAN PENDIDIKAN TERHADAP
HUBUNGNA ANTARA JIWA KEWIRAUSAHAAN, DAN KECERDASAN
EMOSIONAL DENGANM KEEFEKTIFAN MENGELOLA USAHA” Studi Kasus
Pada Pedagang Bumbon/Craken di Pasar Beringharjo Daerah Istimewa Yogyakarta.
Penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana
pendidikan khususnya pendidikan akuntansi di Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak dapat selesai tanpa bantuan dan
bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dengansegala kerendahan hati
penulis ingin menyampaikan rasa hormatdan terima kasih kepada:
1. Drs. T. Sarkim, M.Ed., Ph.D., selaku Dekan Falkutas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan Universitas Sanata Dharma
2. Y.Harsoyo, S.Pd., M.Si., selaku Ketua Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan
Sosial Universitas Sanata Dharma
3. L.Saptono, S.Pd., M.Si., selaku Ketua Program Studi Pendidikan Akuntansi
Universitas Sanata Dharma, dan selaku dosen pembimbing I yang telah banyak
memberikan bimbingan, petunjuk, dukungan, dan masukan dalam penyusunan
skripsi ini.
4. S.Widanarto P., S.Pd., M.Si, selaku dosen pembimbing II yang telah memberikan
koreksi dan masukan yang berharga pada penulisan skripsi ini.
5. Natalina Premastuti. B, S.Pd., selaku dosen penguji terimakasih atas kritik dan
saran yang telah diberikan untuk menjadikan penulisan skripsiku menjadi lebih
baik.
6. Bapak dan Ibu, yang telah mendidik dan membesarkan aku.
7. Mbak Andri dan adikku Donni serta Oom Joko yang telah mendoakan dan
memberiku semangat.
8. Keponakanku Chattra yang menbuatku tersenyum.
9. Mas Drajad terima kasih untuk semuanya.
10. Teman-temanku, Dewi bulan“gembul”, Wiwin “suciprut”, Goris “cuki”, Muntari
“mumun”, Eri “kutil”. Kalian yang selalu membuat hari-hariku penuh dengan
senyuman dan membantukku saat kesusahan.
11. Teman-teman team sukses; Yoyok, Harsoyo, Wisnu “kriwol”, Lusi, Dwi “dp”,
Lamdos, Gregoria “dawet”, Eli, Rena, Indri, Epi ‘fannya”, Bowo (pacar bulan),
terimakasih untuk dukungannya.
12. Teman-teman PAK B angkatan 2002, thanks for All semoga sukses selalu, GBU.
13. Pedagang bumbon di Pasar Beringharjo yang telah bersedia meluangkan waktu
untuk membantu mengisi kuesioner.
14. Perpustakaan Universitas Sanata Dharma yang telah memberikan pelayanan
peminjaman buku, skripsi.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL... i
HALAMAN PERSETUJUAN... ii
HALAMAN PENGESAHAN... iii
HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN... iv
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA... v
ABSTRAK ... vi
ABSTRACT... vii
KATA PENGANTAR ... viii
DAFTAR ISI... xi
DAFTAR TABEL ... xiv
DAFTAR LAMPIRAN ... xv
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah... 1
B. Batasan Masalah... 5
C. Perumusan Masalah... 5
D. Tujuan Penelitian ... 6
E. Manfaat Penelitian ... 7
BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 8
A. Efektivitas Mengelola Usaha ... 8
B. Jiwa Kewirausahaan ... 15
C. Kecerdasan Emosional ... 18
D. Etnis... 22
E. Permodalan ... 27
F. Pendidikan ... 29
G. Kerangka Berpikir ... 31
H. Perumusan Hipotesis ... 39
BAB III METODOLOGI PENELITIAN... 41
A. Jenis Penelitian... 41
B. Tempat dan Waktu Penelitian ... 41
C. Subjek dan Objek Penelitian ... 41
D. Populasi dan Sampel Penelitian ... 42
E. Variabel Penelitian dan Pengukuran... 42
F. Pengujian Validitas dan Reliabilitas………… ... 47
G. Teknik Pengumpulan Data ... 53
H. Teknik Analisis Data ... 54
BAB IV GAMBARAN UMUM ... 58
A. Sejarah Pasar Beringharjo... 58
B. Fasilitas dan Sarana Pendukung... 60
C. Gambaran Umun Pedagang Bumbon... 61
BAB V ANALISIS DATA DAB PEMBAHASAN ... 62
A. Deskripsi Data... 62
B. Analisis Data ... 68
1. Pengujian Prasyarat Analisis... 68
2. Pengujian Hipotesis... 70
C. Pembahasan Hasil Penelitian ... 79
BAB VI KESIMPULAN, KETERBATASAN, DAN SARAN... 95
A. Kesimpulan ... 95
B. Keterbatasan... 97
C. Saran... 98
DAFTAR PUSTAKA ... 101
LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Klasifikasi Variabel Etnis ... 43
Tabel 3.2 Klasifikasi Variabel Permodalan ... 43
Tabel 3.3 Klasifikasi Variabel Pendidikan... 44
Tabel 3.4 Operasionaisasi Variabel Jiwa Kewirausahaan... 44
Tabel 3.5 Operasionalisasi Variabel Kecerdasan Emosional... 45
Tabel 3.6 Opersionalisasi Variabel Pengelolaan Usaha... 47
Tabel 3.7 Hasil Pengujian Validitas Pengelolaan Usaha ... 50
Tabel 3.8 Hasil Pengujian Validitas Kecerdasan Emosional ... 51
Tabel 3.9 Hasil Pengujian Validitas Jiwa Kewirausahaan... 52
Tabel 3.10 Hasil Pengujian Reliabilitas ... 53
Tabel 5.1 Deskripsi Etnis ... 62
Tabel 5.2 Deskripsi Tingkat Permodalan... 63
Tabel 5.3 Deskripsi Tingkat Pendidikan... 63
Tabel 5.4 Deskripsi Variabel Jiwa Kewirausahaan... 65
Tabel 5.5 Deskripsi Variabel Kecerdasan Emosional... 66
Tabel 5.6 Deskripsi Variabel Keefektifan Mengelola Usaha... 67
Tabel 5.7 Hasil Pengujian Normalitas ... 68
Tabel 5.8 Hasil Pengujian Linearitas ... 69
Tabel 5.9 hasil Koefisien Regresi ... 79
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Kuesioner ... 104
Lampiran 2 Data Validitas dan Reliabilitas... 114
Lampiran 3 Output Validitas dan Reliabilitas ... 117
Lampiran 4 Data Penelitian ... 121
Lampiran 5 Deskripsi Data... 135
Lampiran 6 Output Normalitas dan Linearitas ... 139
Lampiran 7 Pengujian Korelasi Tanpa Variabel Kontrol... 140
Lampiran 8 Pengujian Regresi ... 141
Lampiran 9 Daftar Tabel ... 147
Lampiran 10 Surat Izin Penelitian ... 150
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Krisis yang dialami Indonesia beberapa tahun yang lalu masih menyisakan
permasalahan pelik hingga sampai saat ini. Permasalahan tersebut adalah
masalah pengangguran. Jumlah pencari pekerjaan dari waktu ke waktu
semakin meningkat, sedangkan jumlah lapangan pekerjaan semakin
menyempit. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, para penganggur
membuka usaha kecil pada sektor informal. Ada beberapa macam usaha kecil
yang mereka jalankan antara lain kerajinan (gerabah, pandai besi, topeng),
pertanian (salak, padi, jagung, tebu), peternakan (sapi, ayam, kambing),
berdagang di pasar (bumbu dapur, konveksi, buah-buahan), dan lain-lain.
Bidang usaha kecil yang mereka rintis terbukti tangguh. Fakta menunjukkan
bahwa krisis ekonomi, sosial, politik yang melanda Indonesia pada
pertengahan 1997 tidak membuat usaha mereka jatuh dan bahkan mereka
dapat mengembangkan usaha yang mereka dirikan (Majalah Manajemen,
1999:14).
Keberhasilan mereka dalam membuka usaha kecil tentu berhubungan
dengan keefektifan pengelolaannya. Keefektifan dalam mengelola usaha
merupakan indikator kesuksesan individu/organisasi dalam menyusun dan
mengorganisasikan sumber daya untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
keuletan, kegigihan, tegas dalam mengambil keputusan, memiliki rencana
bisnis, dana, tidak menggantungkan hidup pada nasib, keinginan untuk
mencapai hasil yang terbaik, memiliki etika moral merupakan dasar yang kuat
dalam mengelola usaha.
Ada beberapa faktor yang diduga kuat berhubungan dengan keefektifan
mengelola usaha, diantaranya jiwa kewirausahaan dan kecerdasan emosional.
Jiwa kewirausahaan merupakan rasa percaya diri, berinisiatif, berorientasi
hasil dan berwawasan ke depan, memiliki kepemimpinan, dan berani
mengambil resiko dengan penuh perhitungan (Suryana, 2003:2). Cara untuk
mencapai sifat tersebut tentu saja membutuhkan kerja keras, disiplin, belajar,
memanfaatkan waktu, dan memperbaiki sikap mental. Sedangkan kecerdasan
emosional merupakan kemampuan untuk mengatur diri kita sendiri dan
hubungan kita dengan orang lain secara efektif. Kecerdasan emosional
seseorang bukanlah bawaan sejak lahir, melainkan jembatan antara apa yang
diketahui dengan apa yang dilakukannya.
Seorang wirausaha yang memiliki jiwa kewirausahaan tinggi akan
terdorong untuk melakukan kegiatan pengelolaan usaha secara efektif. Hal ini
disebabkan pengelolaan usaha secara efektif membutuhkan sikap wirausaha
yang kreatif, berorientasi ke depan, inovatif, dan rasa percaya diri yang tinggi.
Semakin tinggi jiwa kewirausahaan seseorang diduga semakin efektif dalam
mengelola usahanya. Selain jiwa kewirausahaan yang tinggi, keefektifan
wirausaha mengelola usaha juga perlu didukung tingkat kecerdasan emosional
tergantung pada kemajuan seseorang dilihat dari peluang bisnis, kepekaan,
dan strategi bisnis. Dengan demikian semakin tinggi tingkat kecerdasan
emosional, diduga semakin efektif wirausaha dalam mengelola usahanya.
Derajat hubungan jiwa kewirausahaan, dan kecerdasan emosional dengan
keefektifan mengelola usaha diduga dipengaruhi oleh etnis, permodalan, dan
pendidikan. Etnis merupakan penggolongan manusia berdasarkan
kepercayaan, nilai, kebiasaan, adat istiadat, norma, bahasa, agama, sejarah,
geografis, dan hubungan kekerabatan (http://www.Lin.go.id). Dalam
penelitian ini penggolongan etnis difokuskan pada etnis Jawa dan etnis Cina.
Ada perbedaan karakteristik pada masing-masing etnis. Etnis Jawa memiliki
citra malas dan kurang ulet dan kurang bersungguh-sungguh dalam melakukan
suatu usaha atau kerja. Sedangkan etnis Cina cenderung suka bekerja keras,
ulet, tekun, selain itu serius dalam bekerja. Seorang wirausaha yang suka
bekerja keras, ulet, dan serius dalam bekerja jika dibarengi dengan sikap
kreatif, percaya diri, berorientasi ke depan, maka akan mampu mengelola
usahanya secara efektif. Selain jiwa kewirausahaan, kecerdasan emosional
juga diperlukan dalam menjalankan usaha. Jika kecerdasan emosional tinggi
maka seorang wirausaha akan berpeluang mencapai keberhasilan.
Berdasarkan uraian di atas, penulis menduga bahwa ada pengaruh etnis
terhadap hubungan antara jiwa kewirausahaan, dan kecerdasan emosional
dengan keefektifan mengelola usaha.
Permodalan merupakan uang atau barang yang dikeluarkan untuk
pikiran, dan pengetahuan yang dimiliki juga penting dalam pengelolaan usaha.
Semakin besar modal, semakin besar pula kemungkinan usaha yang
dijalankan. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa ada banyak wirausaha
yang tidak dapat mengembangkan usahanya dengan baik karena alasan
kekurangan modal. Modal memang bukanlah yang paling utama namun,
seorang wirausaha harus memiliki sikap kreatif, berorientasi ke depan, dan
juga rasa percaya diri agar dapat mengembangkan usahanya dengan baik.
Bahkan agar berhasil, seseorang wirausaha juga harus memiliki tingkat
kecerdasan emosional yang tinggi yakni dapat mengatur dirinya sendiri dan
juga dalam berhubungan dengan orang lain. Keadaan tersebut akan memacu
wirausaha melihat peluang bisnis yang ada. Dengan demikian diduga kuat,
semakin besar jumlah modal semakin tinggi derajat hubungan jiwa
kewirausahaan dan kecerdasan emosional dengan keefektifan mengelola
usaha.
Pendidikan adalah proses pembentukan kecakapan–kecakapan
fundamental secara intelektual dan emosional ke arah alam dan sesama
manusia. Jika seseorang berpendidikan tinggi, maka yang bersangkutan
diyakini memiliki wawasan yang luas. Wawasan seseorang akan mendukung
sikap percaya diri seseorang, kreativitasnya, ketekunan dalam menjalankan
usaha, keuletan, berorientasi ke depan, serta berani mengambil resiko dalam
mengelola usahanya secara efektif. Tingkat pendidikan seseorang juga
mendukung kemampuannya untuk memahami emosi orang lain dan mampu
dalam mengelola usaha. Dengan demikian diduga kuat bahwa semakin tinggi
tingkat pendidikan, semakin tinggi derajat hubungan jiwa kewirausahaan dan
kecerdasan emosional dengan keefektifan mengelola usaha.
Berdasarkan uraian di atas maka penulis tertarik mengadakan penelitian
dengan judul “Pengaruh Etnis, Permodalan, dan Pendidikan Terhadap
Hubungan Antara Jiwa Kewirausahaan, dan Kecerdasan Emosional Dengan
Keefektifan Mengelola Usaha”. Studi Kasus Pada Pedagang Bumbu/Craken di
Pasar Beringharjo.
B. Batasan Masalah
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi keefektifan mengelola usaha
antar lain etnis, business entity, kultur, permodalan, pendidikan. Namun dalam
penelitian ini penulis memfokuskan apakah ada pengaruh positif etnis,
permodalan, dan pendidikan yang mempengaruhi hubungan antara jiwa
kewirausahaan, dan kecerdasan emosional dengan keefektifan mengelola
usaha.
C. Perumusan Masalah
1. Apakah ada pengaruh etnis terhadap hubungan antara jiwa kewirausahaan
dengan keefektifan mengelola usaha?
2. Apakah ada pengaruh etnis terhadap hubungan antara kecerdasan
3. Apakah ada pengaruh permodalan terhadap hubungan antara jiwa
kewirausahaan dengan keefektifan mengelola usaha?
4. Apakah ada pengaruh permodalan terhadap hubungan antara kecerdasan
emosional dengan keefektifan mengelola usaha?
5. Apakah ada pengaruh pendidikan terhadap hubungan antara jiwa
kewirausahaan dengan keefektifan mengelola usaha?
6. Apakah ada pengaruh pendidikan terhadap hubungan antara kecerdasan
emosional dengan keefektifan mengelola usaha?
D. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui pengaruh etnis terhadap hubungan antara jiwa
kewirausahaan dengan keefektifan mengelola usaha.
2. Untuk mengetahui pengaruh etnis terhadap hubungan antara kecerdasan
emosional dengan keefektifan mengelola usaha.
3. Untuk mengetahui pengaruh permodalan terhadap hubungan antara jiwa
kewirausahaan dengan keefektifan mengelola usaha.
4. Untuk mengetahui pengaruh permodalan terhadap hubungan antara
kecerdasan emosional dengan keefektifan mengelola usaha.
5. Untuk mengetahui pengaruh pendidikan terhadap hubungan antara jiwa
kewirausahaandengan keefektifan mengelola usaha.
6. Untuk mengetahui pengaruh pendidikan terhadap hubungan antara
E. Manfaat Penelitian
a. Bagi Penelitian Selanjutnya
Penelitian ini diharapkan dapat dapat menjadi salah satu bahan acuan bagi
pelaksanaan penelitian yang relevan di masa datang.
b. Bagi Wirausaha
Penelitian ini diharapkan akan mampu memberikan sumbangan informasi
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Keefektifan Mengelola Usaha
1. Pengertian Keefektifan Mengelola Usaha
Mitsuyuki Masatsugu (1991) menjelaskan bagaimana cara
menjalankan perusahaan antara lain dengan menjaga tujuan agar selalu
terlihat jelas, memiliki gambaran transaksi keuangan, mengetahui titik
impas, mengusahakan biaya semurah-murahnya, menghilangkan yang
tidak diperlukan (membuang barang-barang yang tidak diperlukan) misal
barang-barang bekas, efisiensi tinggi dan upah tinggi. Marbun
(1986:49-122) menjelaskan bagaimana memanajemeni perusahaan kecil supaya
sukses.
a. Analisis situasi dan diri yang tajam dan tepat
Dalam mengelola perusahaan haruslah dimulai dengan perencanaan
yang matang, penuh perhitungan tentang segala kemungkinan yang
dapat mensukseskan usaha dan hal-hal yang dapat mengagalkan
kegiatan usaha. Untuk itu seorang pengusaha perlu melakukan analisis
kekuatan, kelemahan dan peluangnya. Pengkajian sebab-sebab
kegagalan ini dimaksudkan sebagai cermin supaya pengusaha tahu
persis siapa dirinya, mau ke mana, resiko-resiko apa yang perlu
dihadapi dan bagaimana menghindarkan atau paling sedikit
pengusaha harus memperhatikan beberapa hal seperti: peluang usaha,
pengetahuan tentang usaha yang akan dijalankan, siapa pesaing dan
calon pesaing, seberapa besar pangsa pasar, pemasok, penentuan lokasi
usaha, dan kemungkinan mendapatkan tambahan modal.
b. Perencanaan dan Pengendalian Yang Mantap
Semua perusahaan, termasuk perusahaan kecil, harus memiliki
perencanaan. Perencanaan adalah alat yang sangat ampuh untuk
menentukan prioritas, mengukur kemampuan, mengukur keberhasilan,
dan kegagalan. Jika mengelola perusahaan tanpa perencanaan
bagaimana perusahaan dapat mengetahui mau kemana, bagaimana
sampai di sana, apa yang harus dilakukan sehubungan dengan
keterlambatan, rintangan dan kelemahan yang lainnya. Perencanaan
adalah proses mulai dari mencari data, mengadakan analisis situasi dan
analisis diri (SWOT) hingga penyusunan segala tindakan yang akan
diambil dalam periode tertentu untuk mencapai tujuan serta bagaimana
proses evaluasinya sampai selesai akhir masa perencanaan. Rencana
adalah uraian yang berisi segala hal yang akan dikerjakan serta uraian
langkah-langkah yang akan ditempuh untuk mencapai sasaran dalam
periode tertentu. Dari kedua rumusan tersebut menjadi jelas bahwa
perencanaan adalah proses untuk mencapai tujuan yang dibagi dalam
berbagai sasaran dan dituangkan serta dijabarkan dalam rencana
langkah-langkah bagaimana mencapai sasaran. Sesuatu rencana
rencana jangka pendek yang dinyatakan dalam bentuk angka-angka
biasanya rupiah. Dalam praktiknya rencana anggaran adalah salah satu
alat kendali yang sangat berguna dan sangat membantu. Jenis anggaran
ini disesuaikan dengan bidang kegiatan perusahaan. Tetapi yang jelas
setiap perusahaan termasuk perusahaan kecil harus memiliki anggaran
pendapatan, anggaran penjualan, anggaran biaya, pegawai, dan biaya
umum. Semua anggaran ini harus dicatat dan dikendalikan dengan
cermat dan penuh disiplin. Kemudian jika dalam praktik terjadi
penyimpangan, seorang pengusahan dapat langsung melakukan
tindakan koreksi atau perbaikan menuju keefektivitas dan efisiensi
manajemen. Dengan demikian secara langsung maupun tidak langsung
perusahaan telah mengadakan pengendalian berencana terhadap semua
kegiatan perusahaan.
c. Perusahaan Kecil dan Pemasaran
Semua perusahaan baik kecil maupun besar dari segala jenis usaha
harus dapat mempraktikan manajemen pemasaran. Untuk dapat
bertahan dan bertumbuh serta berkembang maka bagi perusahan kecil
tidak ada jalan lain kecuali harus mengerti, meresapi, dan menjalankan
dalam praktik aspek-aspek atau paling sedikit dasar-dasar manajemen
pemasaran. Semakin besar ukuran suatu usaha, apabila mau bertahan
dan bertumbuh, tidak ada jalan lain kecuali dengan mempraktikan
manajemen yang benar. Dalam memasarkan barangnya seorang
jumlah calon pembeli dan jumlah pesaing, barang yang disukai dan
yang tidak disukai, tempat usaha yang strategis, memberikan
pelayanan yang simpatik (pembungkusan barang yang menarik, bahasa
yang simpatik, dan strategi harga), melakukan promosi sederhana
seperti penawaran langsung kepada konsumen yang datang, dekorasi
dan penataan barang yang menarik, memberikan potongan khusus, dan
memasang iklan di surat kabar atau membuat selebaran.
d. Perusahaan Kecil dan Keuangan
Semua perusahaan seharusnya mempunyai manajemen keuangan.
Karena hanya dengan pembukuan yang rapih dan teratur serta
berdisiplin, perusahaan dapat mengukur kegagalan dan
keberhasilannya serta bagaimana prospeknya. Perusahaan kecil demi
eksistensi dan masa depannya harus mengelola keuangannya secara
ketat dan berdisiplin. Perusahaan minimal harus mempunyai rencana
pemasukan dan pengeluaran. Adanya rencana keuangan yang
sederhana ini memungkinkan perusahaan mengendalikan keuangannya
dengan berencana demi mencapai hasil perusahaan yang maksimal.
Perencanaan dan pengendalian keuangan sangat vital bagi eksistensi
dan terlebih-lebih bagi masa depan perusahaan. Seorang pengusaha
harus tahu dan mengerti serta mampu menerapkan pedoman-pedoman
dasar dalam keuangan. Adapun pokok-pokok yang perlu dicatat
seperti hasil penjualan, penerimaan tunai, jumlah pembelian,
Semua catatan tersebut harus dikelola dengan penuh disiplin sehingga
menjadi sumber informasi yang paling penting untuk mengambil
kebijakan dan untuk mengetahui posisi perusahaan saat ini apakah
laba, rugi atau impas, dan tindakan apa yang perlu segera dilakukan
untuk mengatasinya.
e. Perusahaan Kecil, Organisasi dan Personalia
Pada dasarnya setiap organisasi bagaimanapun kecilnya harus
menjalankan prinsip-prinsip organisasi. Perusahaan kecil pun juga satu
organisasi. Perusahaan kecil, terutama mereka yang sudah mempunyai
1 atau 2 karyawan atau lebih, ada baiknya sejak semula telah mengenal
prinsip-prinsip organisasi yaitu bersama-sama dengan orang lain lewat
kerjasama yang efektif dan efisien demi mencapai tujuan. Dengan
demikian ada pembagian kerja, ada pembagian wewenang dan
tanggung jawab demi melancarkan usaha untuk mencapai hasil yang
dikehendaki. Yang jelas orang dalam perusahaan tahu tugas dan
tanggung jawabnya, siapa yang memberi perintah, kapan dilakukan
dan bagaimana sistem evaluasinya. Dari segi personalia, hubungan
kerja yang baik terjadi apabila antara majikan dan karyawan terdapat
saling pengertian mau mencapai apa, kapan, caranya bagaimana, serta
berapa imbalan yang mereka dapat. Ada baiknya pemilik perusahaan
1. Pedoman jam kerja per hari, per mingu, masa cuti, cuti sakit, dan
lain-lain.
2. Adanya gaji minimum dan tunjangan yang minimal cukup untuk
hidup wajar karyawan yang bersangkutan.
3. Memperhatikan ketentuan yang terdapat dalam peraturan
perburuhan.
4. Menetapkan cara seleksi dan persyaratan penerimaan karyawan.
5. Menetapkan syarat-syarat naik pangkat dan hukuman.
Keefektifan berasal dari kata efektif yang berarti dapat membawa
hasil, berhasil guna. Keefektifan berarti keberhasilan (Kamus Besar
Bahasa Indonesia, 1995:250). Menurut Anthony (1992:14) dalam bukunya
Sistem Pengendalian Manajemen keefektifan diartikan sebagai
kemampuan suatu unit untuk mencapai suatu tujuan yang dinginkan.
Arifin Sitio (http://www.smecda.com/deputi7/file8infokop/edisi%2024/
arifin) mengungkapkan definisi menurut Roulette dan Hodge. Roulette
(1991:1) mendefinisikan keefektifan adalah dengan melakukan hal yang
benar pada saat yang tepat untuk jangka waktu yang panjang, baik pada
organisasi tersebut dan pelanggan. Hodge (1984:299) menguraikan bahwa
keefektifan sebagai ukuran suksesnya organisasi didefinisikan sebagai
kemampuan organisasi untuk mencapai segala keperluannya. Hal ini
berarti bahwa organisasi mampu menyusun dan mengorganisasikan
sumber daya untuk mencapai tujuan. Sementara menurut Peter Drucker
keefektifan. Efisiensi berarti melakukan sesuatu secara benar (do thing
right), sedangkan keefektifan adalah melakukan sesuatu yang benar (do
the right thing). Efisiensi ditekankan pada penghematan dalam
penggunaan input untuk menghasilkan suatu output tertentu. Upaya ini
diwujudkan melalui beberapa penerapan konsep dan teori manajemen
yang tepat. Sedangkan keefektifan ditekankan pada tingkat pencapaian
atas tujuan yang diwujudkan melalui penerapan leadership dan pemilihan
strategi yang tepat (http://www.tazkiaonline.com/article.php?sid=416).
Jadi keefektifan mengelola usaha dikatakan baik jika suatu usaha
berhasil mencapai tujuan yang telah ditetapkan oleh usaha itu sendiri.
Sebaliknya keefektifan mengelola usaha dikatakan kurang baik jika suatu
usaha tidak berhasil dalam pencapaian tujuan yang telah ditetapkan.
2. Dimensi Mengelola Usaha
Siti Adiprigandari A Suprapto mengungkapkan (www.republika.
com), seorang pengusaha harus memiliki dasar yang kuat agar dapat
mengelola usahanya dengan baik. Dasar-dasar tersebut antara lain:
a. Semangat kerja. Mencintai apa yang harus dikerjakan sehingga membuatnya terus berkarya menghasilkan prestasi-prestasi baru tiada henti. Ketika menghadapi halangan atau kegagalan, tidak putus asa dan justru belajar dari kegagalan.
b. Seorang pengusaha harus memiliki impian. Impian merupakan wujud dari visi dan misi seseorang dalam berkarya. Dengan mimpi pikiran akan terfokus dan memudahkan mencapai apa yang diinginkan.
d. Dedikasikan seluruh tenaga, waktu, dan pikiran untuk pekerjaan. Kadangkala seseorang harus bekerja sedikitnya 13 jam sehari dan tujuh hari seminggu agar impiannya segera terwujud.
e. Rinci. Pengusaha harus bisa memperhatikan hal yang detail dari proses produksi usahanya dan tidak bersikap masa bodoh. Dengan demikian, ia bisa mengetahui kendala yang dihadapi dan cara mengatasinya. Ia juga tidak mudah dibohongi bawahannya.
f. Tidak menggantungkan hidup pada nasib. Yang menentukan apa yang ingin Anda kerjakan dan hidup Anda tidak ditentukan oleh atasan melainkan diri sendiri adalah Anda sendiri.
g. Dana. Menjadi kaya bukan tujuan utama seorang wirausahawan. Uang hanya ukuran keberhasilan. Bila sukses uang akan datang dengan sendirinya.
h. Bagi-bagi. Kepemilikan usaha dibagikan kepada karyawan-karyawan karena tanpa mereka bisnis tidak akan berjalan. Karena itu, karyawan harus diperhatikan agar ada rasa memiliki terhadap perusahaan.
i. Memiliki etika moral. Pengusaha sukses selalu memiliki moralitas yang baik dalam menjalankan bisnisnya. Moralitas ini menjadi penting karena berfungsi sebagai kendali diri agar tidak terjebak kepada praktik bisnis yang menghalalkan segala cara.
j. Mampu belajar dan mendengarkan. Pengusaha harus terus belajar dan mendengarkan masukan dari orang lain, tidak tergantung pada bakat alam. Berbagi ajang diskusi seminar, sekolah, konferensi menjadi tempat baginya untuk terus mengasah pengetahuan di bidangnya. k. Rencana bisnis. Seorang pengusaha selalu memiliki rencana bisnis
yang akan dikembangkan. Penyusunan rencana bisnis ini penting sebagai arahan dalam mencapai tujuan perusahaan. Ketika menyusun rencana bisnis biasanya seseorang pengusaha melibatkan konsultan bisnis professional.
l. Hasil terbaik. Pengusaha sukses selalu ingin mencapai prestasi terbaiknya. Prestasi itu akan menjadi kepuasan tersendiri yang sulit diganti apapun.
B. Jiwa Kewirausahaan
1. Pengertian Jiwa Kewirausahaan
Jiwa kewirausahaan adalah rasa percaya diri (yakin, optimis, dan
penuh komitmen), berinisiatif (energik dan percaya diri), memiliki motif
berprestasi (berorientasi hasil dan berwawasan ke depan), memiliki
penuh perhitungan (karena itu suka akan tantangan) (Suryana, 2003:2).
Jiwa kewirausahaan didefinisikan sebagai rasa tanggung jawab, kreativitas
dan mampu mengambil keputusan (http://www.pikiran-rakyat.com).
Sementara itu Eri Sudewo (Media Akuntansi, 1999:16-17) dalam ceramah
lokakarya yang diadakan di kantor IAI mengatakan bahwa
enterpreneurship mempunyai arti keberanian dalam mengambil resiko
yang bersumber pada kemampuan sendiri untuk berkarya dan berusaha.
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa jiwa
kewirausahaan merupakan rasa percaya diri dalam mengelola usaha,
kreatif, ketekunan, keuletan, berorientasi ke depan dan berani mengambil
resiko dengan penuh perhitungan.
Untuk mencapai entrepreneur yang ideal, seseorang harus mau
meningkatkan lagi kemampuan yang ada dalam dirinya. Di antara
upaya-upaya yang perlu dilakukan untuk meningkatkan enterpreneurship adalah
dengan:
a. Kerja keras. Kerja keras adalah kunci untuk mencapai sesuatu agar
mendapat hasil yang maksimal. Menjalani pekerjaan dengan tekun,
tidak mudah menyerah tetapi selalu kreatif menemukan pemecahan
masalah yang dihadapi, tidak takut bersaing untuk kemajuan agar
dapat menciptakan kreasi-kreasi baru yang berguna bagi kemajuan
diri.
b. Disiplin. Memenuhi komitmen yang telah dibuat, misalnya dengan
masalah yang dihadapi, berusaha untuk selalu jujur dalam bertindak,
dan berani bertangung jawab pada setiap tindakan yang telah
dilakukan.
c. Belajar. Ilmu selalu berkembang, maka untuk mengimbanginya kita
dituntut untuk belajar terus-menerus guna meningkatkan pengetahuan
dan ketrampilan kita.
d. Memanfaatkan waktu. Dalam menggunakan waktu kita dituntut untuk
seefisien mungkin, jangan membuang-buang waktu untuk pekerjaan
yang tidak bermanfaat. Gunakan waktu untuk hal-hal yang bermanfaat
dan dapat meningkatkan kemampuan diri.
e. Memperbaiki sikap mental. Tumbuhkan sikap mental maju dan buang
jauh-jauh sikap mental yang menghambat. Sikap mental maju yang
dapat meningkatkan enterprenership adalah sigap, cekatan, tak
menunda, tanggap, aktif, rajin, telaten, tekun, jujur dan bertangung
jawab, disiplin, teliti, kerja baik, berjiwa besar, dan mempunyai sikap
wira. Sementara sikap mental yang dapat menghambat adalah malas,
enggan, menunda, diam, pasif, masa bodoh, apatis, tak peduli, culas
dan curang, seenaknya, ceroboh, asal jadi, iri, dengki, dan sangat
personal.
2. Dimensi Jiwa Kewirausahaan
Menurut Eri Sudewo (Media Akuntansi, 1999:16-17) untuk dapat
menjadi seorang wirausaha yang berhasil maka seseorang harus memiliki
Percaya diri yang tinggi. Seorang enterpreneur mempunyai keyakinan akan kemampuan dirinya sendiri dan tidak bergantung para orang lain serta memandang masalah dengan kaca mata optimisme.
Selalu berorientasi pada tugas dan hasil. Seorang enterpreneur selalu haus dengan prestasi dan dalam bekerja mengorientasikan seluruhnya kepada pencapaian laba yang sebesar-besarnya. Dia melaksanakan pekerjaannya dengan tekun dan jika mengahadapi kendala dia akan tabah, selalu menguatkan tekadnya untuk terus maju dari dalam dirinya terus dikobarkan dorongan yang kuat, dia selalu bersemangat dalam bekerja dan selalu penuh dengan pemikiran-pemikiran yang mengarah kepada kemajuan.
Tidak ragu dalam mengambil resiko. Seorang enterpreneur menyukai tantangan yang ada dihadapannya. Tantangan itu membuatnya semakin bersemangat untuk dapat menaklukkannya. Dia selalu berpikir sematang mungkin sebelum bertindak.
Jiwa kepemimpinan. Seorang enterpreneur dapat menjadi jembatan bagi terciptanya hubungan yang baik dalam lembaga maupun lingkungan tempat tinggalnya. Dia tidak kaku atau mau menang sendiri tapi mau bermusyawarah dalam memutuskan suatu masalah, mempunyai jiwa yang arief bijaksana, mau mendengarkan keluhan orang lain, bisa menerima kritik orang lain yang sifatnya membangun dirinya kearah yang lebih baik, dan mampu memotivasi orang lain untuk bersama-sama mencapai tujuan.
Berpikir orisinil. Seorang entrepreneur mempunyai pemikiran yang inovatif, kreatif, banyak ilham dalam menyelesaikan pekerjaannya untuk hasil yang lebih baik. Suka bereksperimen mencari yang baru untuk mendapatkan produk yang lebih kompetitip dan dengan mudah diterima ditengah masyarakat.
Visi yang jelas. Seorang entrepreneur dalam setiap tindakan yang dibuatnya selalu berorientasi masa depan.
C. Kecerdasan Emosional
1. Pengertian Kecerdasan Emosional
Josh Hammond menyatakan bahwa emosi adalah sesuatu yang
mempunyai makna penting bagi perusahaan. Menurutnya, emosi adalah
pengorganisasian yang hebat dalam bidang pikiran dan perbuatan.
Meskipun demikian emosi tidak dapat dipisahkan dari penalaran dan
Dalam bahasa Latin emosi dikatakan sebagai motus anima, yang
artinya “jiwa yang menggerakkan kita” (http://www.purdiecandra.
com/jm/content/view/94/46). Lebih lanjut dalam kamus bahasa inggris
Oxford mendefinisikan emosi sebagai suatu kegiatan atau pergolakan
pikiran, suatu keadaan biologis dan psokologis dan serangkaian
kecenderungan untuk bertindak. Bentuk emosi yang muncul kerap
dirasakan atas sikap yang ditampilkan atas dasar suasana perasaan saat itu.
Beberapa contoh emosi yang sering kita rasakan menurut Daniel Goleman
dalam bukunya yang berjudul Kecerdasan Emosional, terbagi menjadi:
amarah, seperti mengamuk, bengis, benci, jengkel, kesal hati, rasa
terganggu, seperti rasa pahit, tersinggung, merasa hebat. Kesedihan,
seperti pedih, sedih, putus asa, kalau depresi berat. Rasa takut, seperti
cemas, takut, gugup, khawatir, waspada, tidak senang, was was, fobia,dan
panik. Kenikmatan, seperti bahagia, gembira, riangan, puas, terhibur,
bangga, takjub, senang sekali. Cinta, seperti penerimaan, persahabatan,
kepercayaan, kebaikan hati, rasa dekat, bakti, hormat, kasih. Terkejut,
seperti terpana, jengkel, hina, jijik, mual, benci, tidak suka, mau muntah.
Malu seperti rasa salah, malu hati, kesal hati hina, aib, hancur lebur
(http://www.binuscareer.com/Article.aspx?id=hLO3fqu87k631%2FWL86
qSqg%3D%3D).
Menurut Goleman (2003:14) kecerdasan emosional adalah
kemampuan untuk mengatur diri kita sendiri dan hubungan kita dengan
kesadaran diri, manajemen diri, kesadaran sosial dan kemampuan sosial.
Kecerdasan emosional menurut Cooper (1998:XV) adalah kemampuan
merasakan, memahami, dan secara efektif menerapkan daya dan kepekan
emosi sebagai sumber energi, informasi, koneksi, dan pengaruh yang
manusiawi. Sedangkan John Mayer, psikolog dari University of New
Hampshire dalam Harmoko (http://www.binuscareer.com/Article.aspx?id=
hLO3fqu87k631%2FWL86qSqg%3D%3D) mendefinisikan kecerdasan
emosi yaitu kemampuan untuk memahami emosi orang lain dan cara
mengendalikan emosi sendiri.
Goleman mengungkapkan perbedaan antara kecerdasan emosional
dengan kecerdasan intelektual (IQ). Kecerdasan intelektual sesungguhnya
merupakan keturunan seseorang yang tidak dapat dirubah, karena
pembawaan sejak lahir. Sedangkan kecerdasan emosional tidak demikian.
Kecerdasan emosional dapat dipelajari, dilatih, dan bisa dikembangkan.
Tetapi perlu diingat bahwa semuanya itu merupakan proses yang
memerlukan waktu, ketekunan, semangat tinggi dan keberanian untuk
mencoba. Kecerdasan emosional merupakan jembatan antara apa yang kita
ketahui, dengan apa yang kita lakukan. Dengan semakin tinggi kecerdasan
emosional, kita akan semakin terampil melakukan apapun yang kita
ketahui benar.
Entrepreneur yang memiliki kecerdaan emosional yang optimal,
akan lebih berpeluang mencapai puncak keberhasilannya. Mereka akan
adanya peluang dalam situasi apapun dan mampu mengatasi berbagai
konflik. Orang-orang yang benar-benar mengoptimalakan EQ, akan lebih
jeli dalam melihat sebuah peluang. Ia lebih cekatan dalam bertindak dan
lebih punya inisiatif. Atau ia akan lebih siap dalam melakukan negosiasi
bisnis. Lebih mampu melakukan langkah strategis bisnisnya, memiliki
kepekaan, daya cipta, dan komitmen yang tinggi. (http://www.
purdiecandra.com/jm/content/ view/93/46).
Unsur-unsur yang berkaitan dengan kecerdasan emosional menurut
Goleman (1999:274) meliputi:
a. Keyakinan
Perasaan kendali dan penguasaan seseorang terhadap tubuh, perilaku, dan dunia.
b. Rasa Ingin Tahu
Perasaan bahwa menyelidiki segala sesuatu itu bersifat positif dan menimbulkan kesenangan.
c. Niat
Hasrat dan kemampuan untuk berhasil dan untuk bertindak berdasarkan niat itu dengan tekun, Ini berkaitan dengan perasaan terampil, perasaan efektif.
d. Kendali Diri
Kemampuan untuk menyesuaikan dan mengendalikan tindakan dengan pola yang sesuai dengan usia, suatu rasa, kendali batiniah.
e. Keterkaitan
Kemampuan untuk melibatkan diri dengan orang lain berdasarkan pada perasaan saling memahami.
f. Kecakapan Berkomunikasi
Keyakinan dan kemampuan verbal untuk bertukar gagasan, perasaan, dan konsep dengan orang lain.
g. Koperatif
Kemampuan menyeimbangkan kebutuhan sendiri dengan kebutuhan orang lain.
2. Dimensi Kecerdasan Emosional
Siprianus Koda dalam “Membedah Dinamika Emosi Sebagai
kecerdasan emosional adalah kesanggupan manusia dalam menjangkaui
lima “kawasan” yang paling menentukan keberhasilan hidup seorang
individu.
Pertama, mengenal emosi diri. Pemahaman terhadap perasaan yang sedang berlangsung adalah dasar kecerdasan emosional. Dengan kontinuitas proses pemahaman terhadap gejolak perasaan, individu dimungkinkan untuk menjangkaui wawasan psikologi dan pemhaman diri, sekaligus pembebasan individu dari belenggu perasaan. Proses ini akan bermuara pada tercetusnya keputusan–keputusan yang efektif.
Kedua, mengelola emosi. Kesadaran diri merupakan dimensi penentu bagi penanganan perasaan agar dapat menjelma secara memadai. Pada individu yang gagal mengelola emosinya, akan terjadi pertarungan yang tak berkesudahan melawan emosinya sendiri.
Ketiga, memotivasi diri sendiri. Penataan emosi yang memadai merupakan sarana untuk memotivasi diri dan menguasai diri, serta untuk bereaksi secara wajar. Kemampuan demikian memperbesar peluang produktivitas dan efektivitas kerja dalam pelbagai bidang.
Keempat, mengenali emosi orang lain. Kesadaran emosional yang merupakan landasan sikap empati, mengandung kemampuan menangkap pesan–pesan sosial yang tersembunyi, yang menginformasikan kebutuhan dan kehendak orang lain.
Kelima, membina hubungan. Seni membina hubungan, sebagian besar merupakan keterampilan mengelola emosi orang lain. Berbekal kemampuan ini, seseorang akan terbantu dalam meraih popularitas, sukses dalam memimpin dan relasi antar pribadi.
D. Etnis
Etnis adalah penggolongan manusia berdasarkan kepercayaan, nilai,
kebiasaan, adat istiadat, norma, bahasa, agama, sejarah, grografis, dan
hubungan kekerabatan (http://www.lin.go.id). Dalam hal ini penulis hanya
membatasi pengelolaan usaha pada etnis Cina dan etnis Jawa. Berikut ini
1. Golongan etnis Jawa
Masyarakat Jawa merupakan salah satu masyarakat asli Indonesia
yang kini hidupnya sudah tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Secara
umum masyarakat Jawa dibagi menjadi tiga golongan kelas sosial yaitu:
(1) golongan orang biasa dan pekerja kasar atau buruh, (2) golongan
pedagang atau saudagar, (3) golongan pegawai negri, pencatatatan sipil
dan priyayi (Koentjaraningrat,1985:231). Selanjutnya Koentjaraningrat
dalam Martaniah (1984:54-57) menyebutkan mentalitas “priyayi” adalah
sebagai berikut; (1) mereka menganggap hakekat karya adalah kekuasaan,
kedudukan, dan lambang-lambang lahiriah dari kemakmuran; (2) persepsi
waktu mereka lebih ditentukan oleh masa lampau; (3) mereka sangat
menggantungkan diri pada nasib; (4) mereka sangat berorientasi ke arah
atasan, sehingga mematikan hasrat untuk berdiri sendiri, dan disiplin
pribadi. Adapun mentalitas petani adalah: (1) tidak bisa bersepekulasi
tentang hakekat hidup, karya, dan hasil karya manusia; (2) persepsi waktu
mereka terbatas, dan sebagian keputusan-keputusan penting dan arah
orientasi hidupnya ditentukan oleh keadaan masa kini; (3) menganggap
bahwa nasib sangat menentukan, dan bahwa orang harus hidup selaras
dengan alam; (4) petani menilai tingi konsep sama-rasa-sama-rata; mereka
beranggapan bahwa pada hakekatnya manusia itu tidak berdiri sendiri,
maka dari situ akan saling membantu. Menurut De Jong (Martaniah,
1984:56) orang Jawa untuk mencapai sesuatu tidak berusaha dengan keras,
Kekhasan masyarakat Jawa juga dapat dilihat pada bidang
pendidikan keluarga mereka. Dalam masyarakat Jawa, pendidikan di
dalam keluarga tidak bermaksud untuk menghasilkan orang yang dapat
berdiri sendiri melainkan menekankan orang yang sosial misalnya tolong
menolong, gotong royong dan toleransi terhadap sesama
(Mulder,1973:48). Anak-anak dibuat hidup senyaman dan semudah
mungkin. Dorongan untuk berprestasi dan hasrat untuk tahu tidak dihargai
dan didorong. Mereka hanya diberi mainan yang sifatnya penuh dengan
khayalan dan tidak membantu kecerdasan. Dasar anggapan ini adalah
bahwa anak–anak itu pada dasarnya tidak membutuhkan apa–apa selama
mereka diam dan manis, dan lingkungannya pun berusaha keras agar ia
tetap diam dan manis. Ia dimajakan dalam kehangatan badan dan jarang
diperlakukan dengan cara yang mengganggu. Anak dibuat senang oleh
orang–orang, benda–benda, dan mainan, hampir tidak diberi semangat
untuk menjelajahi dunia luar sendiri dan dengan spontan ditahan dengan
memberi sedikit kebebasan bergerak. Karena itulah masyarakat Jawa tidak
memiliki kemadirian untuk berdiri diatas kaki sendiri
(Mulder,1973:106-108). Pada orang Jawa hampir tidak ada motivasi yang kuat untuk bekerja.
Mereka bekerja sekedar untuk dapat hidup, mereka lebih suka
mengosongkan hidup ini untuk menanti hidupnya di dunia akhirat
(Hariyono,1993:43).
Masyarakat Jawa mempunyai citra malas, meskipun menurut
anggapan itu tidak benar karena kemalasan merupakan suatu konsep yang
relatif. Kemalasan dicirikan oleh suatu tanggapan yang mengelak suatu
keadaan yang memerlukan suatu kerja keras atau usaha. Orang-orang yang
memiliki pekerjaan sesuai dengan kemampuannya tidak dapat dikatakan
malas. Ia dikatakan malas jika ia menolak semua jenis pekerjan. Tetapi
citra malas itu sudah melekat kuat pada masyarakat Jawa, sehingga
mempengaruhi penilaian orang terhadap masyarakat Jawa yang dikatakan
kurang ulet dan kurang bersungguh-sungguh dalam melakukan suatu
usaha atau kerja, dan akhirnya mereka disimpulkan malas.
2. Golongan Cina
Masyarakat Cina di Indonesia sebenarnya juga bersifat majemuk
dan tidak sama di tiap daerah. mayarakat Cina di Jawa secara garis besar
dapat dibedakan antara Tionghoa totok dan peranakan. Orang Tionghoa
totok dimaksudkan sebagai orang Tionghoa yang baru menetap di
Indonesia selama satu atau dua generasi. Sedangkan Tionghoa peranakan
dimaksudkan sebagai orang Tionghoa yang telah lama menetap di
Indonesia, selama tiga generasi atau lebih (Hariyono, 1993:33).
Golongan etnis ini memang berbeda dengan masyarakat pribumi.
Perbedaan yang tampak yang sering dilihat antara lain dari segi fisik.
Golongan ini tampak lebih kuning dari masyarakat pribumi. Mereka juga
berbeda dalam hal budaya, adat istiadat, dan kehidupan religius. Tetapi
perbedaan yang paling sering dibicarakan adalah dalam bidang
orang Cina dengan populasi 2,15 juta jiwa mampu menguasai 75%
perekonomian Indonesia (Redding,1994:25). Dalam masyarakat Indonesia
umumnya dan di Yogyakarta khususnya, golongan keturunan Cina dikenal
sebagai pedagang dan wirausahawan yang berhasil.
Etos kerja pada orang Tionghoa banyak dipengaruhi oleh ajaran
Konfusius. Ajaran ini banyak memberikan perhatian pada lembaga
keluarga, sehingga etos kerjapun dihubungkan dengan keluarga. Hidup
dengan rajin, ulet, tanpa mengenal lelah, mencari kekayaan dan kesetiaan
dalam keluarga , membuat orang Tionghoa mempunyai sifat suka bekerja
keras untuk mencari kekayaan bagi kebahagiaan keluarga
(Hariyono,1993:37-39). Harrell (David, 1995:52) menyajikan tiga
penjelasan yang saling berhubungan tentang etos kerja orang Cina.
Pertama, ia mengusulkan, orang Cina dibesarkan dengan nilai-nilai yang
berbeda. Nilai positif tentang “kerja keras” secara kuat ditanamkan dalam
diri anak-anak Cina pada usia dini. Kedua, orang Cina bekerja keras untuk
mendapatkan ganjaran materi. Insentif untuk bekerja keras secara langsung
berhubungan dengan martabat sosial dan jaminan masa depan. Ketiga, etos
kerja orang Cina mampunyai orientasi kelompok. Individu bekerja tidak
semata-mata untuk kepentingan pribadi melainkan pertama-tama untuk
peningkatan kesejahteraan keluarga dan kemudian untuk kebaikan
bersama masyarakat.
Martaniah memberikan gambaran mengenai sifat orang Cina
orang-orang keturunan Cina ini suka bekerja, berani berspekulasi, penuh
inisiatif, dan materialistic, Allers (1955) maupun Hunter (1977)
menyatakan bahwa golongan keturunan Cina ini dikagumi akan keuletan
maupun kerajinannya. Menurut Willmoth (1961) orang Cina di Jawa kalau
dibandingkan dengan orang Jawa lebih kompetitif, mempunyai usaha yang
besar dan sangat mengusahakan prestasi, dan mereka mempunyai tingkat
aspirasi yang lebih tinggi. Selanjutnya dikatakan hal ini adalah akibat
adanya perbedaan dalam pengasuhan anak, antara kedua kelompok
tersebut. Orang tua keturunan Cina lebih banyak minta kepada anaknya
untuk berusaha mencapai prestasi dan sukses. Sementara orang tua suku
Jawa dalam mengasuh anaknya lebih longgar, mereka tidak menekankan
permintaan-permintaan pada anaknya.
E. Permodalan
Orientasi pengertian modal pada awalnya adalah “physical-oriented”,
dimana dapat dikemukakan pengertian modal secara klasik ialah sebagai hasil
produksi yang digunakan untuk memprodusir lebih lanjut. Dalam
perkembangnnya pengertian modal mulai bersifat “non-physical-oriented”,
dimana pengertian modal ditekankan pada nilai, daya beli, atau kekuasaan
memakai atau menggunakan yang terkandung dalam barang-barang modal.
Berikut dijelaskan beberapa pengertian modal (Riyanto, 1984:8-9)
1. Menurut Lutge
Modal diartikan sebagai uang (Geldkapital).
2. Menurut Schwidland
Modal tidak hanya berupa uang (Geldkapital) namun juga dalam bentuk
barang (Sachkapital), misalnya mesin, barang-barang dagangan.
3. Menurut A.Amonn, J.von komorzynsky
Modal dipandang sebagai kekuasaan menggunakan yang diharapkan atas
barang-barang modal yang belum digunakan.
4. Menurut Meij
Modal diartikan sebagai “kolektifitas dari barang-barang modal,” yang
dimaksudkan dengan barang-barang modal ialah semua barang yang ada
dalam rumah tangga perusahaan dalam fungsi produktifnya untuk
mendapatkan pendapatan.
5. Menurut Polak
Modal ialah sebagai kekuasaaan untuk menggunakan barang-barang
modal. Yang dimaksud dengan barang-barang modal ialah barang-barang
yang ada dalam perusahaan yang belum digunakan.
6. Menurut Bakker
Modal ialah baik yang berupa barang-barang konkrit yang masih ada
dalam rumah tangga perusahaan.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1995:588) modal
1. Uang yang dipakai sebagai pokok (induk) untuk berdagang, melepas uang,
dan sebagainya; harta benda (uang, barang, dsb) yang dapat dipergunakan
untuk menghasilkan sesuatu yang menambah kekayaan.
2. Barang yang dipergunakan sebagai dasar atau bekal untuk bekerja.
Sementara menurut kamus istilah ekonomi (1984:111) definisi modal adalah
bebagai berikut:
1. Sumber-sumber yang dimiliki untuk dimanfaatkan pada masa yang akan
datang.
2. Jumlah yang diinvestasikan ke dalam perusahaan oleh pemiliknya.
3. Kekayaan yang berbentuk harta benda/barang-barang berharga yang dapat
dipakai dalam produksi, misalnya: modal berupa uang, mesin,dan tanah.
Umumnya istilah modal selalu diasosiasikan atau dikaitkan dengan
uang sehingga tidak ada uang berarti tidak ada modal. Dari segi pandangan
mental wirausaha, pengertian modal bukan hanya uang. Pengertian modal
seharusnya dikaitkan dengan usaha atau upaya. Modal adalah sesuatu yang
dapat digunakan untuk menjalankan usaha. Dengan demikian, modal dapat
berupa benda fisik ataupun bukan. Pikiran, kesempatan, waktu, pendidikan,
dan pengalaman adalah benda abstrak yang sesungguhnya merupakan modal
yang tidak ternilai pentingnya dan sangat menentukan keberhasilan dalam
usaha (Wijandi,1988:66). Modal dalam hal ini hanya dibatasi pada besarnya
F. Pendidikan
1. Pengertian Pendidikan
Zahara Idris (1984:9) mengemukan beberapa definisi pendidikan
menurut beberapa ahli :
a. John Dewey mengatakan bahwa pendidikan adalah proses
pembentukan kecakapan–kecakapan fundamental secara intelektual
dan emosional ke arah alam dan sesama manusia.
b. Langeveld mengatakan bahwa mendidik ialah mempengaruhi anak
dalam usaha membimbingnya supaya menjadi dewasa. Usaha
membimbing adalah usaha yang disadari dan dilaksanakan dengan
sengaja. Pendidikan hanya terdapat dalam pergaulan yang disengaja
antara orang dewasa dengan anak.
c. Hoogveld mengatakan bahwa mendidik ialah membantu anak supaya
ia cukup cakap menyelenggarakan tugas hidupnya atas tangggung
jawabnya sendiri.
d. S.A. Branata, dkk mengatakan bahwa pendidikan ialah usaha yang
disengaja diadakan, baik langsunng maupun dengan cara yang tidak
langsung, untuk membantu anak dalam perkembangannya mencapai
kedewasaannya.
e. Rossceau mengatakan bahwa pendidikan adalah memberi kita
perbekalan yang tidak ada pada masa anak–anak, akan tetapi kita
f. Ki Hajar Dewantara mengatakan bahwa mendidik ialah menuntun
segala kekuatan kodrat yang ada pada anak–anak agar mereka sebagai
manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan
dan kebahagiaan yang setinggi – tingginya.
Dalam penelitian ini penulis menggunakan pengertian pendidikan
menurut John Dewey yang mengatakan bahwa pendidikan adalah proses
pembentukan kecakapan–kecakapan fundamental secara intelektual dan
emosional ke arah alam dan sesama manusia.
2. Klasifikasi Pendidikan
Philip H. Coombs dalam Vembriarto (1984:22-23) seorang ahli
perencanaan pendidikan mengklasifikasikan bentuk-bentuk pendidikan
menjadi tiga yaitu: pertama, pendidikan informal ialah pendidikan yang
diperoleh seseorang dari pengalaman sehari-hari dengan sadar atau tidak
sadar, sejak seseorang lahir sampai mati, di dalam keluarga, dalam
pekerjaan, atau dalam pergaulan sehari-hari. Kedua pendidikan formal
yang kita kenal dengan pendidikan sekolah: yang teratur, bertingkat dan
mengikuti syarat-syarat yang jelas dan ketat. Ketiga pendidikan
non-formal ialah pendidikan yang teratur, dengan sadar dilakukan tetapi tidak
terlalu mengikuti peraturan–peraturan yang ketat.
Jenjang pendidikan formal di Indonesia dimulai dari Taman
Kanak-kanak, Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP)
dan sederajat, Sekolah Menengah Atas (SMA) dan sederajat, Perguruan
Politeknik (Wens Tanlain, 2003:46). SD dan SMP merupakan pendidikan
Dasar karena ada Peraturan Pemerintah mengenai wajib belajar sembilan
tahun. Pendidikan menengah yaitu SMA dan sederajat, sementara
pendidikan tinggi dimulai dari Perguruan Tinggi dan sederajat.
G. KERANGKA BERPIKIR
1. Pengaruh Etnis Terhadap Hubungan Antara Jiwa Kewirausahaan, dengan
Keefektifan Mengelola Usaha
Perbedaan budaya, adat istiadat, dan religiusitas antara etnis Jawa
dan Cina membuat perbedaan pula dalam sifat dan karakteristik
masing-masing etnis. Salah satu perbedaan etnis Jawa dan Cina adalah dalam hal
mendidik anak. Perbedaan pola mendidik anak antara kedua etnis tersebut,
menyebabkan perbedaan pula pada perkembangan pribadi seseorang.
Tidak dapat dipungkiri keluarga berperan besar dalam pembentukan
pribadi seseorang.
Anak etnis Jawa sedari kecil tidak dibiasakan hidup mandiri. Orang
Jawa mempunyai konsep bahwa manusia di dunia ini pada hakekatnya
tidak berdiri sendiri, bahwa ia akan selalu akan mendapat bantuan dari
sesamanya (Martaniah, 1984:54). Dampak dari konsep ini adalah bahwa
orang harus berusaha untuk seragam dengan yang lain. Selain itu dalam
banyak hal orang Jawa menggantungkan dirinya pada nasib, untuk
mencapai sesuatu orang Jawa tidak berusaha dengan keras tetapi dengan
Selain itu etnis Jawa selama ini memiliki citra malas dan tidak memiliki
motivasi kerja yang kuat untuk bekerja. Sementara anak etnis Cina
dituntut orang tuanya untuk berprestasi dan sukses. Sejak kecil dalam diri
anak-anak Cina sudah ditanamkan nilai positif tentang kerja keras (David,
1995:52). Akibat pola pendidikan semacam ini orang Cina terbentuk
menjadi pribadi yang suka bekerja, berani bersepekulasi, dan penuh
inisiatif. Selain itu orang Cina terkenal dengan keuletan, ketekunan, dan
keseriusannya dalam bekerja.
Untuk dapat mengelola usahanya dengan efektif seorang
wirausahawan membutuhkan sikap kreatif, berorientasi ke depan, inovatif,
dan percaya diri. Jiwa kewirausahaan tersebut pada dasarnya dapat dilatih
dan ditingkatkan dengan cara kerja keras, disiplin, belajar, memanfaatkan
waktu, dan memperbaiki sikap mental. Sikap mental yang dapat
menunjang pembentukan jiwa kewirausahaan adalah sigap, cekatan, tidak
menunda, tanggap, aktif, rajin, telaten, tekun, jujur dan bertangung jawab,
disiplin, teliti, kerja baik, berjiwa besar, mempunyai sikap wira. Sementara
sikap mental yang menghambat perkembangan jiwa kewirausahaan adalah
malas, enggan, menunda, diam, pasif, masa bodoh, apatis, tidak peduli,
culas dan curang, seenaknya, ceroboh, asal jadi, iri, dengki, sangat
personal (Media Akuntansi, 1996:16). Sikap mental seseorang terbentuk
dari pola pendidikan sedari kecil. Dari penjelasan tersebut, penulis
jiwa kewirausahaan pada diri anak tersebut dibandingkan dengan pola
pendidikan pada etnis Jawa.
2. Pengaruh Etnis Terhadap Hubungan Antara Kecerdasan Emosional,
dengan Keefektifan Mengelola Usaha
Dalam manjalankan usahanya seorang wirausahawan yang berhasil
tidak hanya didukung oleh jiwa kewirausahaan tetapi juga kecerdasan
emosional. Enterpreneur yang memiliki tingkat kecerdasan emosional
yang tinggi, akan berpeluang mencapai puncak keberhasilannya. Goleman
mengungkapkan ada perbedaan antara kecerdasan emosional dengan
kecedasan intelektual (IQ). Kecerdasan intelektual itu sesungguhnya
merupakan keturunan seseorang yang tidak dapat dirubah, karena
pembawaan sejak lahir. Sedangkan kecerdasan emosional tidak demikian.
Kecerdasan emosional bisa dipelajari, dilatih, dan dikembangkan
(http://www.purdiecandra.com/jm/content/view/93/46). Perkembangan
kecerdasan emosional sendiri dapat dimulai sedari kecil dalam lingkungan
keluarga. Dalam lingkungan inilah seseorang untuk pertama kalinya
memulai interaksinya dengan orang lain. Pola pendidikan dalam keluarga
sangat menentukan pembentukan kecerdasan emosional seseorang.
Meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa masih ada lingkungan lain yang
dapat berpengaruh seperti lingkungan masyarakat dan lingkungan sekolah.
Kecerdasan emosional diartikan sebagai kemapuan untuk mengatur diri
kita sendiri dan hubungan kita dengan orang lain secara efektif yang terdiri
kesadaran sosial, dan kemampuan sosial. Seperti telah diuraikan di atas,
pola pendidikan pada etnis Cina menuntut seorang anak untuk mandiri,
berprestasi dan sukses. Untuk dapat mencapai semua itu diperlukan kerja
keras dan pengorbanan. Kerja keras dan pengorbanan yang dilakukan
dapat memberikan pelajaran berharga bagi seseorang termasuk dalam hal
perkembangan kecerdasan emosionalnya. Kerja keras dan pengorbanan
menuntut seseorang untuk dapat mengatur keinginan diri sendiri,
bagaimana mengelola keinginan diri sendiri agar tidak bersinggungan
dengan keinginan orang lain dan mampu memotivasi diri sendiri.
Sedangkan orang tua etnis Jawa dalam mengasuh anaknya lebih longgar,
mereka tidak menekankan permintaan-permintaan pada anaknya
(Martaniah, 1984:69-70). Dampak dari pola pendidikan semacam itu anak
pada etnis Jawa kurang dapat bekerja keras. Dari penjelasan tersebut,
penulis menduga pola pendidikan orang Cina lebih memungkinkan
tumbuhnya kecerdasan emosional pada diri anak tersebut dibandingkan
pada etnis Jawa.
3. Pengaruh Permodalan Terhadap Hubungan Antara Jiwa Kewirausahaan
dengan Keefektifan Mengelola Usaha
Pengertian modal bukan hanya uang atau barang. Namun pikiran,
kesempatan, waktu, pendidikan, dan pengalaman adalah benda abstrak
yang sesungguhnya merupakan modal yang tidak ternilai pentingnya dan
sangat menentukan keberhasilan dalam usaha (Wijandi, 1988:66). Dalam
menjalankan usaha. Modal dapat berupa uang atau barang. Semakin besar
modal yang ada, semakin besar pula kemungkinan ukuran usaha yang
dijalankan. Dalam kenyataannya, saat ini masih dapat kita dengar ada
pengusaha yang tidak dapat mengembangkan usahanya dengan baik
dengan alasan kekurangan modal.
Seorang wirausaha yang memiliki jiwa kewirausahaan diduga
dapat mengelola usaha secara efektif. Hal ini dikarenakan adanya rasa
percaya diri dalam diri wirausahawan tersebut yang meliputi berbagai
kemampuan dalam usaha pengembangan diri dan perusahaan dapat
menciptakan sebuah inovasi baru, memiliki keberanian untuk menghadapi
resiko, memiliki kemampuan manajerial, dan memiliki jiwa
kepemimpinan yang dapat secara tegas mengarahkan segala daya upaya
untuk mempertahankan dan mengembangkan usahanya. Dari penjelasan
tersebut penulis menduga, bahwa semakin besar modal yang dimiliki akan
semakin memperkuat derajat hubungan antara jiwa kewirausahaan dengan
keefektivitas mengelola usaha. Begitu sebaliknya semakin kecil modal
yang dimiliki maka akan memperlemah derajat hubungan antara jiwa
kewirausahaan dengan keefektifan mengelola usaha.
4. Pengaruh Permodalan Terhadap Hubungan Antara Kecerdasan Emosional
dengan Keefektifan Mengelola Usaha
Seorang entrepreneur yang memiliki kecerdasan emosional yang
tinggi, akan lebih berpeluang mencapai puncak keberhasilannya. Ia akan
dan lebih punya inisiatif. Ia juga akan lebih siap dalam melakukan
negosiasi bisnis dan lebih mampu melakukan langkah strategis bisnisnya,
memiliki kepekaan, daya cipta, dan komitmen yang tinggi (http://www.
purdiecandra.com/jm/content/view/93/46). Kecerdasan emosional yang
tinggi menunjang keberhasilan seorang pengusaha dalam menjalankan
usahanya. Pengusaha yang memiliki kecerdasan emosional tinggi akan
mampu mengelola modal yang dimilikinya dengan baik. Dengan
demikian, penulis menduga bahwa modal yang besar akan memperkuat
derajat hubungan antara kecerdasan emosional dengan keefektivitas
mengelola usaha. Sebaliknya apabila modal yang dimiliki semakin kecil
diduga akan memperlemah derajat hubungan antara kecerdasan emosional
dengan keefektivitas mengelola usaha.
5. Pengaruh Pendidikan Terhadap Hubungan Antara Jiwa Kewirausahaan
dengan Keefektifan Mengelola Usaha
Pendidikan adalah proses pembentukan kecakapan–kecakapan
fundamental secara intelektual dan emosional ke arah alam dan sesama
manusia (Zahara Idris, 1984:9). Dengan pendidikan seseorang diharapkan
mampu mencapai kematangan intelektual dan emosional. Kemampuan
seseorang dalam mengelola usaha dapat dipengaruhi oleh kematangan
intelektual dan emosionalnya. Kemampuan intelektual seseorang dapat
diperoleh salah satunya melalui pendidikan formal di sekolah.
Komponen lain yang mempengaruhi seseorang dalam mengelola usaha