HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI MAHASISWA PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA TERHADAP PROFESI
PSIKOLOG DENGAN MOTIF BERPRESTASI
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi (S.Psi)
Program Studi Psikologi
Oleh:
V. Anindita Wedhasmara
NIM : 029114063
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
Motto
Tariklah napas
Hembuskan
Tariklah napas sekali lagi
Tersenyumlah
Santailah
Sampailah
Dimana engkau berada
Bersikaplah alami
Terbukalah terhadap ketidakberdayaan
Untuk menjadi
Dan bukan melakukan
Tinggalkan segalanya
Biarkan pergi
Nikmati sebentar
Kenikmatan meditasi yang menakjubkan ini
Lama Surya Das
Hal yang paling berbahaya di dunia ini
Adalah mengira bahwa engkau memahami sesuatu
Skripsi dengan Judul
HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI MAHASISWA PSIKOLOGI
TERHADAP PROFESI PSIKOLOG DENGAN MOTIF
BERPRESTASI
Saya persembahkan kepada
:
Bapa di Surga
Bunda Maria
Bapak B. Widjokongko
Ibu Sri Budiastuti
Saudaraku Budi Baskara
Dan Malaikat kecilku Thea Novena
Serta semua nabi, mesias, avatar, budha dan sufi
yang telah menebarkan benih-benih kasih ke seluruh
penjuru dunia ini
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Dengan ini, saya menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul “Hubungan
Antara Persepsi Mahasiswa Psikologi Terhadap Profesi Psikolog Dengan Motif
Berprestasi” ini tidak memuat karya atau sebagian karya orang lain kecuali yang
telah saya sebut dalam kutipan dan daftar pustaka sebagaimana layaknya karya
ilmiah
Yogyakarta, 15 November 2007
Penulis,
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN
PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma :
Nama : V. Anindita Wedhasmara
Nomor Mahasiswa : 029114063
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan
Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:
Hubungan Antara Persepsi Mahasiswa Psikologi Universitas Sanata Dharma Terhadap Profesi Psikolog Dengan Motif Berprestasi beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di Internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.
Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di Yogyakarta
Pada tanggal : 28 Februari 2008
Yang menyatakan
ABSTRAK
V. Anindita Wedhasmara (2007). Hubungan Antara Persepsi Mahasiswa Psikologi Terhadap Profesi Psikolog Dengan Motif Berprestasi. Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma
Persepsi adalah cara individu dalam melihat, mengerti dan menafsirkan dunia, berdasarkan kebutuhan dan pengalamannya masing-masing. Penafsiran atau interpretasi yang dilakukan ini, pada akhirnya akan sangat mempengaruhi individu dalam berperilaku dan mengambil keputusan. Berpijak dari kenyataan tersebut, peneliti ingin melihat apakah persepsi mahasiswa psikologi terhadap profesi psikolog akan berhubungan dengan motif mahasiswa tersebut untuk berprestasi dengan lebih baik.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara persepsi mahasiswa psikologi terhadap profesi psikolog dengan motif berprestasinya. Subjek dalam penelitian ini adalah mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Jogjakarta, yang berjumlah 60 orang. Metode yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah dengan menggunakan skala, yaitu skala persepsi terhadap profesi psikolog dan skala motif berprestasi, yang dibuat sendiri oleh peneliti. Uji kesahihan butir dan reliabilitas skala penelitian menghasilkan koefisien reliabilitas sebesar 0,952 untuk skala persepsi terhadap profesi psikolog, dan sebesar 0,914 untuk skala motif berprestasi. Dari hasil tersebut terlihat bahwa kedua skala penelitian ini valid dan reliabel.
Hasil uji asumsi menunjukkan bahwa sebaran data yang ada normal dan mengikuti fungsi linier, sehingga data penelitian dapat dianalisis dengan menggunakan teknik korelasi product moment dari Pearson. Koefisien korelasi yang diperoleh adalah sebesar 0,706 dengan p = 0,000 atau p < 0,01. Dengan demikian hipotesis penelitian ini, yang menyatakan bahwa ada hubungan positif yang signifikan antara persepsi mahasiswa psikologi terhadap profesi psikolog dengan motif berprestasinya, dapat diterima.
ABSTRACT
V. Anindita Wedhasmara (2007). The Relationship between Psychology Student Perceptions in Psychologist Profession and the Achievement Motive. Yogyakarta: Faculty of Psychology of The Sanata Dharma University
The perception is the human individual way to see, to understand, and to estimate world based on the needs and experience. The human explanation or interpretation is highly influence to the human attitude mainly in decision making. Based on those realities, researcher wants to know, the connection between psychology student perceptions on profession with student’s motivation for better achievement.
The aim of this research was to found the relationship between psychology student perceptions in psychologist profession with achievement motive. The subject of this research were 60 students from the Faculty of Psychology, Sanata Dharma University, Yogyakarta. The collecting data technique used two scales, which were the perception scale for perception in psychology profession and achievement motive scale made by the researcher. The test of validity point and research scale reliability generated reliability coefficient as big as 0,952 for perception scale and 0,914 for achievement motive scale, so both scales were valid and reliable.
The product of assumption test showed normal distribution and linier function. Furthermore, the data can be analyzed by Pearson’s Product moment correlation technique. The coefficient correlation was 0.706 (p = 0.000 or < 0.01). So the hypotheses that highly positive correlation between psychology student perceptions in psychologist profession with the achievement motive was accepted.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Bapa di surga yang telah melimpahkan berkat
kasih-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Tanpa
bimbingan-Nya, tentulah skripsi ini tidak akan tersusun dengan baik.
Penulisan skripsi ini merupakan pengalaman yang sangat luar biasa bagi
penulis, karena lewat penulisan ini penulis mendapatkan banyak sekali pelajaran
hidup yang sangat berharga. Maka dari itu, penulis ingin mengucapkan terima
kasih kepada pihak-pihak yang telah memberikan waktu, informasi, dan dukungan
hingga selesainya penyusunan skripsi ini, secara khusus kepada:
1. Bapak P. Eddy Suhartanto, S.Psi, M.Si, selaku Dekan Fakultas Psikologi
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta yang telah memberi kesempatan
dalam penyusunan skripsi ini
2. Ibu Nimas Eki Suprawati, S.Psi, Psi selaku pembimbing skripsi, yang
dengan teliti memeriksa dan senantiasa memberikan masukan demi
kesempurnaan skripsi ini
3. Ibu Sylvia Carolina MYM., S.Psi, M.Si dan Ibu P. Henrietta PDADS., S.Psi,
M.Si yang telah memberikan masukan saat presentasi dan proses revisi.
4. Ibu Titik S.Psi, Bapak Carolus Adi Nugroho, S. Psi dan Ibu A. Tanti Arini,
S.Psi, M.Si selaku dosen pembimbing akademik
5. Bapak Y Agung Santoso, S. Psi dan Bapak Heri Widodo, S. Psi., M. Psi
6. Seluruh karyawan Fakultas Psikologi USD Yogyakarta; Ibu MB.
Rohaniwati, Mas Gandung Widiyantoro, Mas P. Mujiono, Mas Doni, dan
Bpk Giyono yang dengan setia senantiasa melayani kami para mahasiswa
7. Bapak B. Widjokongko, Ibu MTH. Sri Budiastuti serta adikku Ch. Budi
Baskara, yang senantiasa memberiku kasih dan semangat untuk
menyelesaikan skripsi ini
8. Lebih dari siapapun, untuk Thea Novena, kekasih sekaligus sahabat
terbaikku, terimakasih untuk semuanya, semoga berkat dan kasih Bapa
selalu membimbing setiap langkah hidupmu
9. Keluarga besar Gamelan Kidul; Bapak Andreas Tuwaji, Ibu Sri Susanti,
Mbak Lia dan Dik Theo terimakasih atas dukungan doa dan kasih yang
besar, sehingga penulis dapat tetap bersemangat untuk menyelesaikan
skripsi ini
10.Keluargaku di Jogja: Om Damar, Tante Ria, Tio dan Mbak Nem,
terimakasih untuk dukungan dan perhatiannya selama ini
11.Semua teman psikologi yang sudah meluangkan waktunya untuk mengisi
skala penelitian ini, terimakasih banyak
12.Ibu Etik, Mba Endah, Mbak Lia dan Mas Andri, terimakasih atas
13.Mas Uki Sadewa, guru serta pembimbing spiritualku, terimakasih untuk
percikan api kesadarannya
14.Teman-teman satu perjuangan di Asta Mistika: Nope, Ajenk, Asih, Aning,
Wiwin, Usman, Nanok, Budi dan tak ketinggalan Ucil, kalian semua berkat
bagiku, mari bersama berjalan menuju kesadaran!
15.Teman-teman di Alamanda: Gunawan, X-sun, Andimon, Ochin, Agus, Zoe,
Tusta, Mas Anggi, Mas Snuwi dan Pak Kapten, Berkah Dalem
16.Temen-teman di Geng Banyak: Tyas, Elen, Tika, Barjo, Arba, Desta, Lisna,
dan Dedy, kalian teman pertamaku di psikologi, terimakasih ya
17.Temen-temen psikologi ‘02: Lita, Fista, Mitha, Lia, Tanti, Ian, Sani, Dimas,
Roni, Ronald, dll, matur sembah nuwun
18.Galih, Fika, Cahya, Echa, serta semua anak bimbingannya bu Nimas yang
lain, maju terus!
19.Temen-temen komunitas KRK: Sinug, Puri, Ajeng, Monik, dll, hidup KRK!
20.Para sahabat di Solo: Somad, Bagus, Mia dan Jacob, kasih yang aku rasakan
lewat kehadiran kalian begitu besar, terimakasih ya, Gusti Mberkahi
21.Pak Joko, Yayank Tika serta Kang Hari, terimakasih atas berbagai suntikan
22.de Mello, Khrisna, Robbins, Das, Nietzche, Marx, Freud, Rowling, Stroud,
Brown, Dee, Utami, Ellis, Gunawan, Tallis, Goleman, Gardner, serta semua
penulis yang telah membakar dunia ini dengan karyanya, terimakasih!
Yogyakarta, 15 November 2007
Hormat saya,
V. Anindita Wedhasmara
DAFTAR ISI
JUDUL ...i
MOTTO ... ii
PERSEMBAHAN ... iii
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ...iv
ABSTRAK …... v
ABSTRACT ... vi
KATA PENGANTAR ... vii
DAFTAR ISI ... x
DAFTAR BAGAN ... xiv
DAFTAR TABEL ... xv
DAFTAR LAMPIRAN ... xvi
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 10
C. Tujuan Penelitian ... 10
D. Manfaat Penelitian ... 11
BAB II LANDASAN TEORI ... 12
1. Pengertian Motif ... 12
2. Pengertian Motif Berprestasi ...14
3. Ciri-Ciri Individu yang Memiliki Motif Berprestasi Tinggi ... 16
4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Motif Berprestasi ... 20
B. Persepsi Mahasiswa Psikologi Terhadap Profesi Psikolog ... 23
1. Persepsi ... 23
a. Pengertian Persepsi ... 23
b. Aspek-Aspek yang Membentuk Persepsi ... 26
c. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Persepsi ... 29
d. Syarat-Syarat Terbentuknya Persepsi ... 31
2. Profesi Psikolog ... 32
a. Pengertian Profesi ... 32
b. Pengertian Profesi Psikolog ... 35
3. Persepsi Mahasiswa Psikologi Terhadap Profesi Psikolog ...37
a. Mahasiswa Psikologi ...37
b. Persepsi Mahasiswa Psikologi Terhadap Profesi Psikolog ...39
C. Hubungan Antara Persepsi Mahasiswa Psikologi Terhadap Profesi Psikolog Dengan Motif Berprestasi ...46
D. Hipotesis ... 50
BAB III METODE PENELITIAN ... 52
A. Jenis Penelitian... 52
B. Variabel Penelitian ... 52
1. Persepsi Terhadap Profesi Psikolog ... 53
2. Motif Berprestasi... 53
D. Subyek Penelitian ... 54
E. Metode dan Alat Pengumpul Data ... 55
1. Skala Persepsi Terhadap Profesi Psikolog... 56
2. Skala Motif Berprestasi... 63
F. Pengujian Instrumen Penelitian... 66
1. Uji Coba Alat Ukur ... 66
2. Uji Kesahihan Item Skala ... 67
a. Skala Persepsi Terhadap Profesi Psikolog ... 67
b. Skala Motif Berprestasi ... 69
3. Uji Reliabilitas ... 70
G. Teknik Analisis Data ... 72
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 73
A. Orientasi Kancah Penelitian ... 73
B. Pelaksanaan Penelitian ... 75
C. Hasil Uji Asumsi ... 75
1. Uji Normalitas ... 75
2. Uji Linearitas ... 76
D. Hasil Penelitian ... 77
1. Data Penelitian ... 77
2. Uji Hipotesis ... 80
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 90
A. Kesimpulan ... 90
B. Saran ... 91
DAFTAR PUSTAKA ... 93
DAFTAR BAGAN
1. Bagan 1: Bagan Hubungan Antara Persepsi Mahasiswa Psikologi Terhadap
DAFTAR TABEL
1. Tabel 1: Distribusi Item Skala Persepsi Terhadap Profesi Psikolog
Sebelum Uji Coba ... 62
2. Tabel 2: Skor Skala Persepsi Terhadap Profesi Psikolog
Berdasarkan Kategori Jawaban ... 63
3. Tabel 3: Distribusi Item Skala Motif Berprestasi Sebelum Uji Coba ... 65
4. Tabel 4: Skor Skala Motif Berprestasi Berdasarkan Kategori Jawaban... 66
5. Tabel 5: Distribusi Item Skala Persepsi Terhadap Profesi Psikolog
Setelah Uji Coba ... 68
6. Tabel 6: Distribusi Item Skala Motif Berprestasi Setelah Uji Coba ... 70
7. Tabel 7: Data Penelitian ... 77
8. Tabel 8: Norma Kategorisasi Persepsi Terhadap Profesi Psikolog
Dan Motif Berprestasi ... 78
9. Tabel 9: Norma Kategorisasi Persepsi Tehadap Profesi Psikolog ... 79
DAFTAR LAMPIRAN
LAMPIRAN A : SKALA UJI COBA PENELITIAN ...97
A1 : Skala Motif Berprestasi ...97
A2 : Skala Persepsi Terhadap Profesi Psikolog ...103
LAMPIRAN B : SKALA PENELITIAN ...110
B1 : Skala Motif Berperstasi ...110
B2 : Skala Persepsi Terhadap Profesi Psikolog ...115
LAMPIRAN C : DATA UJI COBA PENELITIAN ...121
C1 : Data Motif Berprestasi ...121
C2 : Data Persepsi Terhadap Profesi Psikolog ...126
LAMPIRAN D : HASIL UJI RELIABILITAS ...131
D1 : Reliabilitas Motif Berprestasi ...131
D2 : Reliabilitas Persepsi Terhadap Profesi Psikolog ...138
LAMPIRAN E : DATA PENELITIAN ...146
E1 : Data Motif Berprestasi ...146
E2 : Data Persepsi Terhadap Profesi Psikolog ...154
LAMPIRAN F : HASIL UJI ASUMSI ...162
F1 : Uji Normalitas ...162
F2 : Uji Linearitas ...163
LAMPIRAN G : HASIL UJI HIPOTESIS ...164
LAMPIRAN H : SURAT IJIN PENELITIAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ilmu Psikologi mempunyai sejarah perkembangan yang
cukup panjang. Pada mulanya disiplin ini menjadi satu dengan filsafat dan tidak
menjadi sebuah disiplin ilmu tersendiri sampai tahun 1879, ketika Wilhelm
Wundt mendirikan laboratorium psikologi yang pertama. Sebelumnya, setiap
observasi dan wawasan yang diasosiasikan dengan psikologi adalah bagian dari
ilmu filsafat. Pada akhir abad dua puluh kedua bidang ini terpisah, psikologi
keluar dari disiplin humaniora dan lebih memilih pindah ke disiplin ilmu sosial.
Era psikologi behaviorisme membuat garis pemisah yang semakin jelas antara
psikologi dan filsafat. Tokoh psikologi behaviorisme seperti John Watson dan B.
F. Skinner membawa segala pertanyaan mereka tentang kehidupan manusia ke
dalam laboratorium, lalu melakukan percobaan atasnya. Demikianlah akhirnya
psikologi secara resmi benar-benar terpisah dari filsafat, walau sebenarnya kedua
bidang tersebut tidak bisa dipisahkan secara mutlak karena keduanya mempunyai
objek pengamatan yang sama yaitu kodrat manusia (Marinoff, 2003).
Setelah terpisah dari filsafat, psikologi mencoba mencari
jalannya sendiri, untuk menjawab pertanyaan mendasar tentang kodrat manusia.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat berdampak juga
pada perkembangan ilmu psikologi. Psikologi telah banyak melahirkan teori-teori
Behaviorisme dan Humanistik, yang masing-masing mempunyai cara pandang
berbeda tentang kodrat manusia (Rakhmat, 2001). Hal ini sebenarnya
menunjukkan kompleksitas manusia sebagai objek kajian psikologi. Terlebih di
era globalisasi seperti sekarang ini, permasalahan manusia menjadi semakin
kompleks. Ilmu pengetahuan bagaikan pisau bermata dua, karena disamping
membawa perubahan yang positif, kehadirannya juga menimbulkan banyak
permasalahan. Situasi seperti inilah yang semakin memicu perkembangan ilmu
psikologi sebagai salah satu alternatif solusi bagi permasalahan hidup manusia.
Di Indonesia, psikologi merupakan salah satu disiplin ilmu yang
masih terus berkembang. Disiplin ini, berdasarkan sistem pendidikan yang
diatur oleh negara (SK Mendikbud no. 18/D/O/1993), terbagi menjadi dua
kelompok profesi. Yang pertama dikenal dengan sebutan ilmuwan psikologi,
yaitu mereka yang berhak memberikan jasa psikologi namun tidak berhak atau
tidak berwenang dalam melakukan praktek psikologi di Indonesia. Sedang
yang kedua dikenal dengan sebutan psikolog, yaitu mereka yang berhak dan
berwenang menjalankan praktek psikologi di wilayah hukum negara Republik
Indonesia (Widyanto dan Suhartanto, 2004). Para profesional dari kedua
kelompok profesi psikologi inilah yang akan menentukan arah perkembangan
ilmu dan penerapan psikologi di Indonesia.
Selain peran dari para profesional psikologi, perkembangan ilmu
dan penerapan psikologi juga menjadi tugas bagi mahasiswa psikologi.
Kondisi profesi psikologi di masa yang akan datang akan sangat tergantung
merupakan calon psikolog atau ilmuwan psikologi itu sendiri. Demi
terwujudnya profesi psikologi yang berkualitas, maka setiap mahasiswa
psikologi harus memiliki motif berprestasi yang tinggi dalam dirinya. Motif
berprestasi merupakan usaha yang dilakukan individu untuk meraih sukses
atau prestasi yang berkualitas (Atkinson, 1957 dalam Jung, 1978). Motif
berprestasi menjadi penting karena tanpa adanya motif berprestasi yang tinggi
maka mahasiswa psikologi akan mengalami kesulitan untuk meraih
kesuksesan, baik itu dalam bidang akademik maupun dalam berbagai bidang
kehidupan yang lain.
Dengan motif berprestasi yang tinggi, mahasiswa akan selalu
terdorong untuk terus belajar demi mencapai hasil yang optimal. Mereka tidak
akan ragu dalam menghadapi tantangan karena setiap tantangan akan
dipandang sebagai kesempatan untuk mengembangkan kualitas pribadi
mereka menjadi lebih baik. Di samping itu mahasiswa yang mempunyai motif
berprestasi tinggi biasanya juga memiliki ketertarikan yang besar terhadap
kompetisi, baik itu kompetisi dengan dirinya sendiri maupun kompetisi
dengan orang lain (McClelland, 1986). Semangat berkompetisi ini akan
mendorong para mahasiswa untuk memunculkan kemampuan terbaiknya,
sehingga prestasi belajar mereka juga akan semakin meningkat.
Berdasarkan uraian di atas terlihat bahwa motif berprestasi
memiliki peran penting dalam meningkatkan prestasi belajar atau kinerja
mahasiswa psikologi. Maka dari itu menjadi sangat penting bagi setiap
dalam dirinya. Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi terbentuknya motif
berprestasi adalah persepsi. Dalam konteks penelitian ini, peneliti ingin
melihat apakah ada hubungan antara persepsi mahasiswa psikologi terhadap
profesi psikolog dengan motif berprestasi mereka. Peneliti memilih untuk
memfokuskan perhatian pada persepsi terhadap profesi psikolog, dan bukan
persepsi terhadap profesi ilmuwan psikologi, karena berdasarkan wawancara
terhadap beberapa mahasiswa dan dosen terlihat bahwa saat ini minat utama
sebagian besar mahasiswa psikologi adalah pada profesi psikolog. Hal ini
disebabkan karena profesi psikolog dapat menyediakan lapangan pekerjaan
yang lebih luas bila dibandingkan dengan profesi ilmuwan psikologi, sehingga
memudahkan anggotanya untuk memperoleh penghasilan finansial yang lebih
besar.
Namun sebelum membahas tentang persepsi mahasiswa psikologi
terhadap profesi psikolog, terlebih dahulu peneliti akan memberikan gambaran
tentang kondisi profesi psikolog di Indonesia. Hal ini penting karena kondisi
tersebut memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap terbentuknya
persepsi mahasiswa psikologi terhadap profesi psikolog. Profesi psikolog
merupakan profesi yang bergerak dalam berbagai bidang kehidupan
masyarakat, seperti industri, pendidkan dan kesehatan (klinis). Walaupun
setiap bidang tersebut memiliki kondisi khusus, yang mungkin berlainan satu
sama lain, namun secara umum kondisi tersebut dapat dibagi menjadi dua,
yaitu kondisi yang mendukung perkembangan profesi psikolog (aspek positif)
Pada pembahasan kali ini peneliti akan memberikan gambaran umum tentang
berbagai aspek positif dan negatif yang dimiliki oleh masing-masing bidang
profesi psikolog tersebut.
Salah satu aspek positif dari profesi psikolog di bidang industri
adalah sudah semakin diakuinya peran psikolog dalam menangani
masalah-masalah ketenagakerjaan. Pemerintah sudah mulai memberikan kepercayaan
pada psikolog untuk membantu para calon tenaga kerja dalam memahami
potensi dirinya serta untuk memilih bidang pelatihan yang sesuai dengan
potensinya tersebut (www.jatim.co.id). Sedangkan aspek positif yang muncul dalam bidang pendidikan adalah semakin banyaknya orang tua yang
menyadari peran penting psikolog dalam membantu mengatasi berbagai
permasalahan belajar anak. Pemahaman psikolog tentang kepribadian serta
modalitas belajar anak akan sangat membantu anak untuk dapat mencapai
prestasi belajar yang optimal. Sementara dalam bidang kesehatan,
perkembangan profesi psikolog sangat ditunjang oleh kondisi aktual seputar
kehidupan masyarakat Indonesia saat ini. Saat ini masyarakat Indonesia harus
berhadapan dengan berbagai permasalahan hidup yang cukup berat, yang
dapat menjadi faktor pemicu munculnya berbagai gangguan psikologis pada
masyarakat. Disinilah peran psikolog menjadi sangat dibutuhkan untuk
menjaga kesehatan mental masyarakat (Muhdi, dalam Kompas Maret 2007).
Di samping berbagai aspek positif di atas, ada juga berbagai
kondisi yang dapat menghambat perkembangan profesi psikolog di Indonesia.
psikolog dengan pekerja profesional yang lain, seperti praktisi hukum ataupun
manajemen, yang biasanya menjadi rekanan dalam satu kelompok Human
Research Development (HRD). Demikian juga dalam bidang pendidikan,
persinggungan sering terjadi antara psikolog dengan guru bimbingan
konseling di sekolah-sekolah. Menurut beberapa psikolog yang peneliti
wawancarai, persinggungan terjadi karena memang batasan kewenangan dari
profesi ini masih belum begitu jelas. Sementara dalam bidang kesehatan,
masalah yang muncul adalah masih banyaknya ahli-ahli terapi bukan psikolog
yang memberikan jasa pelayanan psikologi. Jasa pelayanan psikologi tersebut
biasanya terwujud dalam bentuk terapi-terapi psikologi, seperti salah satu
yang paling banyak diminati adalah hipnoterapi. Saat ini hipnoterapi sudah
menjadi sebuah bisnis yang dapat dipelajari maupun dipraktekkan dengan
mudah oleh setiap orang tanpa harus mendalami kajian keilmuan psikologi
secara formal (Kompas, 10 Desember 2006). Kondisi tersebut bila tidak
segera diatasi tentu akan merusak citra psikolog di mata masyarakat.
Berbagai kondisi seputar profesi psikolog di atas sangat berperan
dalam membentuk persepsi mahasiswa psikologi terhadap profesi ini. Persepsi
adalah suatu proses dimana individu mengorganisasikan dan
menginterpretasikan stimulus dan pola-pola yang ada di lingkungan sehingga
menjadi lebih berarti bagi individu yang bersangkutan (Atkinson, 1983).
Dengan kata lain persepsi adalah cara individu dalam memandang
lingkungannya, dimana individu berperan aktif untuk menginterpretasikan
stimulus tersebut. Maka dapat disimpulkan bahwa persepsi bersifat sangat
subjektif. Stimulus yang sama dapat dipersepsikan secara berbeda oleh
individu yang berbeda. Demikian pula halnya dengan persepsi mahasiswa
terhadap profesi psikolog. Mahasiswa yang memilih untuk memfokuskan
perhatian pada aspek positif atau berbagai potensi yang dimiliki oleh profesi
psikolog untuk berkembang, tentu akan memiliki kecenderungan untuk
mempersepsikan profesi ini secara positif. Sebaliknya mahasiswa yang hanya
memfokuskan perhatian pada aspek negatif atau kelemahan-kelemahan yang
dimiliki oleh profesi psikolog, tentu akan memiliki kecenderungan untuk
mempersepsikan profesi ini secara negatif.
Persepsi mahasiswa psikologi yang berbeda-beda terhadap profesi
psikolog ini akan berdampak pada terbentuknya motif berprestasi mereka
masing-masing. Hubungan antara persepsi dengan motif berprestasi itu sendiri
dijelaskan oleh McClallend dan Atkinson, yang menyatakan bahwa persepsi
individu terhadap suatu hal berperan dalam membentuk motif berprestasi
individu tersebut. McClallend dan Atkinson (1953, dalam Jung 1978)
menjelaskan bahwa persepsi dapat mempengaruhi motif berprestasi individu
karena persepsi sangat berperan dalam menentukan orientasi masa depan
individu tersebut. Dalam konteks penelitian ini persepsi mahasiswa psikologi
terhadap profesi psikolog akan sangat menentukan terbentuknya orientasi
masa depan mahasiswa tersebut, yaitu sebagai psikolog atau justru bukan
sebagai psikolog. Orientasi masa depan mahasiswa inilah yang pada akhirnya
Berdasarkan uraian di atas terlihat bahwa secara teoritis persepsi
mahasiswa psikologi terhadap profesi psikolog sangat berpengaruh terhadap
terbentuknya motif berprestasi mereka. Berpijak dari logika berpikir ini,
peneliti melakukan wawancara dengan beberapa orang mahasiswa psikologi
untuk melihat gambaran umum persepsi mereka terhadap profesi psikolog dan
pengaruh persepsi tersebut terhadap motif berprestasi mereka. Hasil yang
didapat cukup bervariasi. Sebagian mahasiswa memiliki persepsi yang positif
terhadap profesi psikolog. Menurut mereka seiring dengan semakin
meningkatnya taraf kecerdasan masyarakat, penerimaan dan penghargaan
terhadap profesi psikolog juga akan semakin meningkat. Bahkan dalam jangka
waktu 5 – 10 tahun lagi terapi psikologi dapat menjadi bagian dari gaya hidup
masyarakat Indonesia.
Persepsi yang positif terhadap profesi psikolog ini ternyata
berpengaruh terhadap meningkatnya motif berprestasi mahasiswa. Hasil
wawancara menunjukkan bahwa mahasiswa yang mempersepsikan profesi
psikolog secara positif menjadi lebih bersemangat dalam belajar maupun
dalam menyelesaikan tugas akhir mereka. Mahasiswa-mahasiswa tersebut
memiliki kemauan yang kuat untuk segera menyumbangkan ilmu yang mereka
miliki secara nyata di dunia kerja. Bahkan beberapa dari mereka sudah mulai
mencoba untuk menerapkan ilmunya dalam berbagai bidang pekerjaan yang
memang terkait dengan dunia psikologi.
Sementara itu beberapa mahasiswa psikologi yang lain ternyata
profesi psikolog kurang mempunyai nilai jual dalam dunia kerja. Seorang
mahasiswa mengatakan bahwa saat ini psikologi sudah menjadi objek kajian
yang populer, sehingga setiap orang merasa mampu mempelajari dan
menerapkan ilmu ini dengan mudah. Mahasiswa tersebut memberikan contoh
semakin banyaknya buku-buku bertemakan psikologi yang ditulis oleh
orang-orang yang bukan psikolog, seperti motivator, ahli-ahli agama ataupun
pelaku-pelaku bisnis. Hal tersebut sebenarnya positif, namun bila tidak diimbangi
dengan munculnya penulis-penulis dari profesi psikolog itu sendiri, maka
penghargaan masyarakat terhadap profesi ini akan semakin rendah.
Persepsi yang negatif terhadap profesi psikolog ini membuat para
mahasiswa tersebut menjadi kurang berorientasi pada keberhasilan studinya.
Hasil wawancara menunjukkan bahwa mahasiswa yang mempersepsikan
profesi psikolog secara negatif menjadi kurang bersemangat dalam meraih
kesuksesan. Padahal semangat untuk meraih kesuksesan merupakan salah satu
ciri dari individu yang mempunyai motif berprestasi tinggi, sehingga dapat
dikatakan bahwa para mahasiswa tersebut memiliki motif berprestasi yang
rendah (Harditono dalam Harahap, 2002). Beberapa mahasiswa malah dengan
sengaja menunda-nunda proses pengerjaan skripsi karena merasa bingung
dengan masa depan mereka setelah lulus nanti.
Berdasarkan analisis teori maupun wawancara di atas terlihat jelas
bahwa persepsi mahasiswa psikologi terhadap profesi psikolog sangat
berperan dalam menentukan kualitas motif berprestasi mereka. Berpijak dari
seperti apa yang muncul antara persepsi mahasiswa psikologi terhadap profesi
psikolog dengan motif berprestasi mereka.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang diatas, peneliti tertarik
untuk mengetahui apakah ada hubungan antara persepsi terhadap profesi
psikolog dengan motif berprestasi pada mahasiswa psikologi.
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk melihat ada tidaknya hubungan
antara persepsi terhadap profesi psikolog dengan motif berprestasi pada
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
a. Menambah pengetahuan atau kepustakaan dalam bidang psikologi,
khususnya yang menyangkut persepsi terhadap profesi psikolog dan
hubungannya dengan motif berprestasi mahasiswa psikologi.
2. Manfaaat Praktis
a. Memberikan informasi atau pengetahuan bagi dosen psikologi akan
pentingnya pembentukan persepsi yang positif terhadap profesi
psikolog, demi meningkatkan motif berprestasi mahasiswa psikologi.
b. Memberikan dorongan bagi dosen psikologi untuk menciptakan suatu
kondisi pembelajaran yang dapat membuat persepsi mahasiswa
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Motif Berprestasi
1. Pengertian Motif
Setiap individu dalam bertingkah laku akan dipengaruhi oleh faktor-faktor
tertentu yang menjadi sebab atau pendorong. Faktor pendorong inilah yang
disebut motif. Beberapa ahli memberikan pengertian yang berbeda antara motif
dan motivasi. Teevan dan Smith (1967, dalam Martaniah, 1984) menyatakan
bahwa motivasi adalah konstruksi yang mengaktifkan perilaku, sedangkan
komponen yang lebih spesifik dari motivasi yang berhubungan dengan tipe
perilaku tertentu disebutnya motif. Sedang Handoko (1992) mengartikan motif
sebagai suatu keadaan yang mengakibatkan individu bertingkah laku untuk
memenuhi kebutuhan atau mencapai tujuan tertentu. Sementara motivasi
merupakan motif yang telah menjadi perilaku konkret
Sementara McClelland (1967, dalam Martaniah, 1984) menggunakan
istilah motif dan motivasi dalam arti yang sama. Menurut pendapatnya semua
motif diperoleh dari hasil belajar. Motif merupakan dorongan untuk berubah
dalam kondisi yang afektif, karena semua motif sebenarnya didasari oleh emosi.
McClelland berpendapat bahwa motif tidak dapat dilihat begitu saja dari perilaku,
karena motif tidak selalu seperti yang tampak, kadang-kadang malah berlawanan
dengan yang tampak.
Menurut Martaniah (1982) motif selalu menjadi penyebab dari setiap
potensial dan laten yang dibentuk oleh pengalaman-pengalaman yang secara
relatif dapat bertahan meskipun ada kemungkinan berubah, yang berfungsi
menggerakkan dan mengarahkan perilaku pada tujuan tertentu.
Gerungan (1988) bependapat bahwa motif merupakan suatu pengertian
yang meliputi semua penggerak, alasan-alasan, dorongan-dorongan, hasrat,
keinginan dan tenaga penggerak lainnya yang berasal dari dalam diri individu
untuk melakukan sesuatu. Sedang McDonald (dalam Spillane dan Yudianti, 1987)
memberikan definisi tentang motif sebagai suatu perubahan tenaga di dalam diri
individu yang ditandai oleh dorongan afektif dan reaksi-reaksi dalam usaha
mencapai tujuan tertentu.
Motif merupakan suatu alasan atau dorongan yang menyebabkan individu
melakukan tindakan tertentu (Handoko, 1992). Selanjutnya Handoko menjelaskan
bahwa berdasarkan asalnya, motif dapat dibagi dalam dua kategori, yaitu:
a. Motif Biogenetis
Motif biogenetis merupakan motif yang berasal dari kebutuhan-kebutuhan
dasar organisme demi kelangsungan hidupnya secara biologis. Motif ini
bersifat universal, artinya tidak terikat pada umur, jenis kelamin, suku,
daerah dan lain-lain. Motif biogenetis juga tidak terikat pada lingkungan
kebudayaan tempat individu hidup dan berkembang. Motif biogenetis
b. Motif Sosiogenetis
Motif sosiogenetis berasal dari lingkungan kebudayaan tempat individu
berada dan berkembang. Motif ini tidak tergantung pada keadaan fisiologis
individu melainkan sebagai akibat dari interaksi dengan individu lain atau
hasil kebudayaan. Dengan kata lain motif ini bergantung pada lingkungan.
Salah satu motif yang termasuk motif sosiogenetis adalah motif
berprestasi.
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa motif
adalah suatu keadaan atau dorongan yang berasal dari dalam individu yang
mengarahkan dan menggerakkan seseorang untuk bertingkah laku. Ada motif
yang dibawa sejak lahir seperti motif biogenetis dan ada pula motif sosiogenetis
yang adanya karena dipengaruhi oleh lingkungan yang dipelajari dan timbul
sebagai akibat dari interaksi individu dengan orang lain atau hasil kebudayaan
dimana individu tersebut berada dan berkembang.
2. Pengertian Motif Berprestasi
McClelland (1953 dalam Martaniah, 1984) menggunakan istilah need for
achievement bagi motif berprestasi. McClelland mendefinisikan motif berprestasi
sebagai suatu usaha untuk mencapai sukses, yang bertujuan untuk berhasil dalam
kompetisi dengan suatu ukuran keunggulan. Ukuran keunggulan ini dapat berupa
prestasi yang diraihnya sendiri sebelumnya atau prestasi orang lain. Individu yang
situasi berprestasi. Kesenangan yang didapatnya bukan berasal dari penghargaan
masyarakat melainkan dari kesuksesan yang berhasil ia raih.
Sementara Heckhausen (1968 dalam Martaniah 1984) berpendapat bahwa
motif berprestasi merupakan usaha untuk meningkatkan atau mempertahankan
kecakapan pribadi setinggi mungkin dalam segala aktivitas dengan berpedoman
pada ukuran keunggulan atau patokan kualitas tertentu. Ukuran keunggulan
tersebut adalah kesempurnaan dalam mengerjakan tugas dan memperoleh hasil
(task oriented standard of excellend), prestasi yang pernah dicapai di masa lalu
(self related standard of excellend) dan prestasi yang pernah dicapai orang lain
(other related standard of excellend).
Menurut Murray (dalam Martaniah, 1984), motif berprestasi adalah
dorongan untuk berprestasi, yaitu dorongan untuk mengatasi rintangan-rintangan
dan memelihara kualitas kerja yang tinggi, juga dalam bersaing melalui
usaha-usaha untuk melebihi prestasi yang dicapai sebelumnya dan untuk mengungguli
prestasi orang lain.
Atkinson (1957, dalam Jung 1978) juga berpendapat bahwa motif
berprestasi merupakan salah satu aspek dari tingkah laku manusia yang berupa
usaha untuk mencapai sukses atau prestasi yang berkualitas. Motif berprestasi
adalah suatu disposisi usaha untuk sukses, dan merupakan motif dengan tendensi
untuk mendekat. Tendensi untuk mendekat tersebut disebut juga harapan akan
sukses. Individu dengan motif berprestasi tinggi, jika mempunyai tujuan, lebih
Sementara menurut Usman S. Madina (1998), motif berprestasi adalah
usaha yang dilakukan individu untuk mencapai tujuan yang berupa prestasi atau
hasil yang optimal dengan patokan ukuran keunggulan tertentu, yang meliputi
kesempurnaan dalam menyelesaikan tugas, peningkatan dari prestasi yang pernah
dicapai sebelumnya dan pelampauan terhadap prestasi yang dicapai oleh orang
lain.
Dari berbagai uraian diatas dapat disimpulkan bahwa motif berprestasi
adalah suatu dorongan yang menggerakkan individu untuk mengembangkan
kualitas pribadinya setinggi mungkin, dengan cara melakukan usaha-usaha untuk
meraih kesuksesan, mengatasi rintangan, memelihara kualitas kerja yang tinggi
dan berkompetisi dengan suatu ukuran keunggulan tertentu.
3. Ciri-ciri Individu yang memiliki Motif Berprestasi Tinggi
Bagi individu yang memiliki motif berprestasi, ada kemungkinan bahwa
individu tersebut akan lebih realistis terhadap dirinya sendiri dan terhadap prestasi
yang ingin diraihnya. Motif berprestasi tersebut membuat individu dapat
menyadari bahwa prestasi yang baik tidak dapat dicapai dalam waktu yang singkat
dan dengan cara yang mudah. Oleh karena itu secara mental individu harus lebih
berusaha dengan giat daripada mengharapkan nasib baik saja. Individu yang lebih
suka berusaha akan memiliki pikiran-pikiran yang mengarah ke masa depan dan
berpikir secara logis dibandingkan dengan individu yang kurang memiliki motif
Harditono (1979, dalam Madina 1998) menyatakan bahwa individu yang
memiliki motif berprestasi tinggi mempunyai ciri-ciri :
a. Berorientasi pada kesuksesan
b. Lebih percaya diri dalam menghadapi tugas
c. Perbuatannya selalu terarah pada tujuan dan selalu berorientasi pada masa
yang akan datang
d. Lebih menyukai tugas-tugas dengan tingkat kesulitannya sedang
e. Tidak suka membuang-buang waktu
f. Memiliki kemampuan yang lebih dari orang lain
Sementara McClelland (1986), setelah menarik kesimpulan dari beberapa
teori tentang motif berprestasi, menyatakan bahwa ciri-ciri orang yang
mempunyai motif berprestasi tinggi adalah :
a. Menjadi bersemangat sekali apabila unggul
b. Menentukan tujuan secara realistis dan berani mengambil resiko
c. Bertanggung jawab terhadap hasil dari pekerjaannya
d. Lebih memilih tugas yang menantang dan menunjukkan perilaku yang
berinisiatif
e. Menghendaki umpan balik yang konkrit dan cepat terhadap prestasi yang
telah dicapainya
g. Motivasi yang penting bagi mereka :
1. Melakukan pekerjaan yang membuat mereka puas
2. Mau menerima umpan balik terhadap kesuksesan maupun kegagalan
3. Mempunyai peluang untuk tumbuh
4. Melakukan sesuatu yang mempunyai tantangan tersendiri
h. Dapat diandalkan dan sangat diperlukan dalam organisasi
McClelland sendiri (1986), memberikan ciri-ciri individu yang memiliki
motif berprestasi tinggi, yaitu :
a. Memiliki tanggung jawab pribadi
b. Inovatif
c. Membutuhkan umpan balik terhadap hasil kerja
d. Cenderung memilih tugas dengan tingkat kesulitan moderat
McClelland juga berpendapat bahwa individu yang memiliki motif
berprestasi tinggi selalu penuh semangat dan penuh dengan kreatifitas. Mereka
selalu mencari cara untuk menyelesaikan tugas-tugas yang dihadapinya dengan
lebih baik. Hal ini membuat individu yang memiliki motif berprestasi tinggi
cenderung dapat melakukan tugas-tugas yang memiliki tingkat kesulitan tinggi
dengan baik.
Usman S. Madina (1998) mengemukakan bahwa individu dengan motif
berprestasi tinggi akan mempunyai ciri-ciri, yaitu :
a. Selalu berusaha mencapai sukses
b. Memiliki pemikiran realistis
d. Selalu berusaha untuk melakukan dan menyelesaikan tugas sebaik-baiknya
e. Selalu berusaha untuk mengungguli prestasi yang diperoleh sendiri
sebelumnya maupun prestasi orang lain
Dari berbagai pemaparan di atas dapat dilihat bahwa individu yang
memiliki motif berprestasi tinggi cenderung aktif, berani memperbaiki kesalahan
serta mengetahui kelebihan dan kekurangan dalam dirinya. Untuk kepentingan
penelitian ini peneliti menggunakan kesimpulan yang dibuat Usman S. Madina,
karena dipandang mampu menggambarkan secara lebih jelas ciri-ciri individu
yang mempunyai motif berprestasi tinggi. Usman S. Madina menarik kesimpulan
berdasarkan beberapa teori tentang ciri-ciri individu dengan motif berprestasi
tinggi. Ciri-ciri individu yang memiliki motif berprestasi tinggi adalah :
a. Selalu berusaha untuk mencapai sukses, yaitu memiliki kemauan dan usaha
keras untuk mencapai kesuksesan atau menyelesaikan suatu pekerjaan dengan
baik
b. Memiliki kepercayaan terhadap diri sendiri, yaitu perasaan berharga dan
percaya dari dalam diri individu atas kemampuannya untuk memperoleh
keberhasilan
c. Memiliki antisipasi terhadap kegagalan, yaitu keinginan dan usaha untuk
mengatasi kegagalan dengan cara merencanakan tindakan dan mencari tahu
tentang segala permasalahan yang akan dihadapi
d. Selalu berusaha untuk meningkatkan prestasi yang pernah dicapai
sebelumnya, yaitu keinginan dan usaha untuk selalu mencoba memperbaiki
e. Selalu berusaha untuk mengungguli prestasi orang lain, yaitu kemauan dan
usaha untuk berkompetisi secara sehat demi mengungguli prestasi orang lain
f. Mengusahakan kesempurnaan dalam penyelesaian tugas, yaitu kemauan dan
usaha untuk mengerjakan suatu tugas secara tuntas dan memuaskan
4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Motif Berprestasi
McClelland dan Atkinson (1953, dalam Jung 1978) menyebutkan
beberapa faktor yang mempengaruhi terbentuknya motif berprestasi, seperti :
a. Budaya
Motif berprestasi yang dikembangkan individu tergantung pada
kebudayaan tempat ia dilatih, dan pola tersebut serasi dengan nilai dan
harapan perilaku yang akan dihadapinya sebagai anggota di dalam komunitas
masyarakat tempat ia hidup.
b. Reward dan Punishment
Motif berprestasi individu dipengaruhi oleh besarnya penghargaan yang
akan ia terima jika berhasil mencapai suatu standar prestasi tertentu, juga
konsekuensi yang akan ia terima jika gagal dalam mencapai standar prestasi
tersebut.
c. Persepsi dan Orientasi masa depan
Motif berprestasi dipengaruhi oleh gambaran masa depan atau cita-cita
yang ingin diwujudkan individu di masa yang akan datang. Di mana dalam hal
ini persepsi memegang peranan penting dalam mempengaruhi terbentuknya
Sementara Heckhausen (1977, dalam Martaniah 1984) berpendapat bahwa
motif berprestasi dipengaruhi oleh harapan akan sukses atau yang sering disebut
sebagai tendensi untuk mendekat. Individu dengan motif berprestasi tinggi akan
digerakkan oleh pengharapan mereka untuk mencapai kesuksesan tertentu.
Sementara itu individu dengan motif berprestasi yang rendah cenderung
digerakkan oleh ketakutan mereka akan kegagalan. Mereka disebut individu
dengan tendensi untuk menjauh karena sebisa mungkin selalu berusaha untuk
menghindari kegagalan.
McClelland (1986) juga berpendapat bahwa motif berprestasi seorang
individu dipengaruhi oleh :
a. Kemampuan Intelektual
Semakin tinggi intelektualitas individu, akan semakin mudah bagi dirinya
untuk menganalisa permasalahan, memberikan penilaian dan mencari
pemecahan yang tepat dan efektif. Hal tersebut menyebabkan individu
mempunyai keinginan untuk meraih kesuksesan, karena percaya bahwa
dirinya mempunyai potensi yang besar untuk mencapainya.
b. Pengalaman
Pengalaman yang berhubungan dengan keberhasilan akan menimbulkan
perasaan positif dalam diri individu, yang sangat berperan dalam membentuk
kepercayaan dirinya untuk meraih keberhasilan. Sebaliknya pengalaman
kegagalan akan menghambat pembentukan kepercayaan diri individu karena
c. Lingkungan
Lingkungan, terutama keluarga, yang memberi kesempatan individu untuk
mengembangkan dirinya akan sangat berperan dalam membentuk motif
berprestasi individu.
d. Situasi
Latihan yang dirancang secara tepat terbukti dapat meningkatkan motif
berprestasi individu yang mengikuti latihan tersebut.
Atkinson (1964, dalam Parwitasari 2002) menyebutkan beberapa faktor
yang mempengaruhi motif berprestasi, yaitu :
a. Situasional
b. Resiko yang ditimbulkan sebagai akibat dari prestasi yang diperoleh
c. Cita-cita yang mendasar
d. Sikap terhadap kehidupan dan lingkungan
e. Harga diri yang tinggi
f. Adanya rasa takut untuk sukses atau kecenderungan untuk menghindari
sukses
g. Pengalaman yang dimiliki
h. Kedisiplinan seseorang
i. Potensi yang dimiliki
Jadi sesuai dengan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa secara garis
besar motif berprestasi dipengaruhi oleh faktor-faktor yang berasal dari dalam
kedisiplinan, dsb, serta faktor-faktor yang berasal dari luar individu tersebut,
seperti budaya, resiko, penghargaan serta latihan, dsb.
B. Persepsi Mahasiswa Psikologi Terhadap Profesi Psikolog
1. Persepsi
a. Pengertian Persepsi
Ada berbagai macam kajian tentang persepsi dalam psikologi. Menurut
Walgito (1994), persepsi merupakan suatu proses diterimanya stimulus oleh
individu melalui alat reseptor dimana stimulus yang diterima tersebut
diteruskan ke otak sehingga individu menyadari apa yang diperolehnya
melalui penginderaan tersebut. Persepsi penginderaan ini terjadi setiap saat,
yaitu pada waktu individu menerima stimulus yang mengenai dirinya melalui
alat indera. Alat indera ini merupakan penghubung antara individu dengan
dunia luarnya. Dengan persepsi individu dapat menyadari tentang keadaan
lingkungan yang ada di sekitarnya dan keadaan diri individu yang
bersangkutan (Davidoff dalam Walgito, 1999).
Rakhmat (2001) menyatakan persepsi sebagai suatu pengalaman
tentang objek, peristiwa atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan cara
menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Penafsiran atau interpretasi
yang dilakukan selalu melibatkan faktor personal, seperti kebutuhan,
pengalaman masa lalu maupun karakteristik individu yang memberikan
respon. Pendapat tersebut sesuai dengan pernyataan Atkinson (1983) yang
dan menginterpretasikan stimulus atau pola-pola dari lingkungan sekitarnya
sehingga menjadi lebih bermakna bagi individu tersebut. Dengan kata lain
persepsi adalah cara individu dalam memandang lingkungannya, dimana
individu berperan aktif untuk menginterpretasikan stimulus berdasarkan
pengalaman dan sikap-sikap yang relevan dengan stimulus tersebut. Hal ini
menjelaskan mengapa suatu stimulus yang sama dapat direspon secara
berbeda oleh masing-masing individu.
Psikologi gestalt menjelaskan sifat subjektifitas persepsi melalui
sebuah konsep yang dikenal dengan sebutan DMZ (demilitarized zone), yaitu
suatu area kesadaran yang berisi prasangka atau prapenilaian terhadap dunia
dan orang lain. Konsep ini menjelaskan kecenderungan manusia untuk melihat
realitas bukan sebagaimana adanya tetapi hanya sebagaimana kelihatannya
(Schultz, 1991). Persepsi adalah apa yang dilihat manusia dengan mata
pikirannya, sehingga dengan mengubah persepsi maka realitas juga akan ikut
berubah, karena persepsi sebenarnya adalah realitas itu sendiri (Gunawan dan
Setyono, 2006).
Gibson (1994) berpendapat bahwa persepsi merupakan suatu proses
kognitif yang membantu seseorang untuk menyeleksi, mengolah dan
menginterpretasikan stimulus menjadi gambaran yang bermakna dan koheren.
Dalam persepsi, stimulus dapat berasal dari luar maupun dari dalam diri
individu, dan sekalipun stimulusnya sama, jika kerangka acuannya berbeda,
lain akan berbeda. Setiap orang akan mengartikan sendiri stimulus yang
diperolehnya.
Sementara itu, Covey (1997) menggunakan istilah paradigma dalam
menjelaskan persepsi manusia. Paradigma adalah cara manusia dalam melihat,
mengerti dan menafsirkan dunia, yang secara sederhana dapat dianalogikan
sebagai peta. Peta ini sebenarnya adalah suatu mekanisme yang terletak pada
pikiran bawah sadar manusia, yang terbentuk dari pengalaman masa kecil dan
dipengaruhi oleh orang tua serta lingkungannya. Pada akhirnya peta tersebut,
dikenal juga dengan sebutan peta internal, akan mempengaruhi dan
menentukan kualitas hidup manusia, termasuk pikiran, perasaan serta
perilakunya (Covey, 1997, Gunawan dan Setyono, 2006).
Fenomena persepsi ini menjadi daya tarik tersendiri bagi para ilmuwan
psikologi maupun bagi para pemerhati ilmu pengembangan diri sebagai objek
kajian dalam memahami perilaku manusia. Berbagai buku tentang
pengembangan diri atau yang lebih dikenal dengan sebutan self-help selalu
menempatkan persepsi sebagai kajian utama. Alasannya karena persepsi
merupakan kunci yang dapat digunakan untuk membuka gerbang perubahan
(Gunawan dan Setyono, 2006). Sebab salah satu cara yang paling cepat dan
efektif untuk mengubah perilaku individu adalah dengan mengubah persepsi
individu tersebut menjadi lebih positif terhadap diri maupun lingkungan
sekitarnya (Sobur, 2003).
Berdasarkan pengertian mengenai persepsi di atas, maka dapat ditarik
pengindraan dimana stimulus yang diterima diorganisasikan, diinterpretasikan,
dan dinilai berdasarkan pengalaman subjektif individu sehingga menjadi
bermakna bagi individu yang mempersepsikannya. Penafsiran atau interpretasi
yang dilakukan itu selalu melibatkan faktor personal, seperti kebutuhan,
pengalaman masa lalu maupun karakteristik individu yang memberikan
respon. Persepsi ini pada akhirnya dapat mempengaruhi terbentuknya sikap
dan perilaku seseorang.
b. Aspek-Aspek yang Membentuk Persepsi
Menurut Moskowitz dan Orgel (dalam Walgito, 1994), persepsi
merupakan proses yang integrated dari individu terhadap stimulus yang
diterimanya. Proses yang integrated adalah suatu proses dimana seluruh hal
yang ada dalam diri individu seperti perasaan, pengalaman, kemampuan
berfikir, kerangka acuan dan aspek-aspek lain yang ada dalam diri individu
akan ikut berpengaruh saat seseorang mempersepsi orang lain (Walgito,
1994). Jadi, dalam mempersepsi suatu stimulus, seluruh hal yang ada dalam
diri individu merupakan suatu kesatuan yang saling mempengaruhi.
Filley, House dan Kerr (1976, dalam Spillane dan Yudianti 1987)
mengidentifikasikan tiga aspek utama dalam proses persepsi, yaitu :
1. Seleksi (screening)
Seleksi adalah proses psikologis yang sangat erat
hubungannya dengan pengamatan atas stimulus yang diterima dari
intensitasnya tetapi hanya sebagian kecil yang mencapai kesadaran
individu. Hal ini disebabkan adanya proses penyaringan oleh
indera.
2. Interpretasi
Interpretasi adalah proses pengorganisasian informasi
sehingga mempunyai arti bagi individu
3. Tingkah laku
Tingkah laku adalah reaksi interpretasi dari persepsi
Menurut Peter dan Olson (1999), aspek persepsi terdiri dari :
1. Cipta (Kognitif)
Aspek kognitif mengacu pada tanggapan mental atau
pemikiran. Fungsi utama dari kognitif adalah menginterpretasikan,
memberi makna dan memahami aspek utama pengalaman pribadi
individu sehingga terbentuklah persepsi. Aspek kognitif ini
meliputi :
a. Pengertian
Berfungsi untuk menginterpretasikan atau menetapkan arti
aspek khusus dari lingkungan individu.
b. Penilaian
Berfungsi untuk menetapkan apakah suatu aspek
lingkungan atau perilaku pribadi individu adalah baik atau
c. Perencanaan
Berfungsi untuk menetapkan bagaimana memecahkan suatu
permasalahan atau tujuan.
d. Penetapan
Berfungsi untuk membandingkan alternatif pemecahan
suatu masalah dari sudut pandang sifat yang relevan dan
mencari alternatif yang terbaik.
e. Berpikir
Aktivitas kognitif yang muncul di sepanjang proses di atas.
2. Rasa (Afektif)
Afektif mengacu pada tanggapan perasaan. Perasaan
merupakan salah satu unsur persepsi. Hal ini dikarenakan perasaan
yang ada dalam diri individu akan menentukan persepsi yang
terbentuk. Jika individu memiliki perasaan yang positif terhadap
suatu objek maka kemungkinan dia akan memiliki persepsi yang
positif juga. Sebaliknya, jika individu memiliki perasaan yang
negatif terhadap suatu objek maka kemungkinan dia akan memiliki
persepsi yang negatif. Ada empat jenis tanggapan yang afektif,
yaitu :
a. Emosi, misalnya cinta, gembira, marah.
b. Perasaan tertentu, misalnya kehangatan, penghargaan,
kepuasan.
d. Evaluasi, misalnya suka, tidak suka, menikmati, jelek.
Dari teori-teori yang diuraikan di atas dapat disimpulkan bahwa
terdapat beberapa aspek yang membentuk persepsi yaitu aspek seleksi,
interpretasi dan tingkah laku, dimana dalam proses terbentuknya ketiga aspek
tersebut dipengaruhi oleh komponen kognitif maupun afektif dalam diri
individu.
c. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Persepsi
Persepsi individu dipengaruhi oleh beberapa faktor. Rakhmat (2001)
mengatakan bahwa persepsi ditentukan oleh dua faktor yaitu faktor fungsional
dan faktor situasional. Faktor fungsional adalah kebutuhan, pengalaman masa
lalu dan hal-hal lain yang bersifat personal, seperti kepercayaan, nilai dan
kebiasaan individu. Faktor situasional adalah segala hal yang menyangkut
objek persepsi atau informasi-informasi mengenai stimulus yang meliputi
penampilan fisik, perilaku verbal maupun perilaku non verbal.
Dua hal penting dari faktor fungsional yang mempengaruhi persepsi
individu adalah nilai dan kepercayaan. Nilai adalah sesuatu yang dipandang
individu sebagai hal yang penting atau berharga. Nilai merupakan dasar
terbentuknya suatu kepercayaan. Sedang kepercayaan itu sendiri adalah
komponen kognitif dari faktor sosiopsikologis yang dapat bersifat rasional
atau irrasional (Hohler, 1978, dalam Rakhmat, 2001). Dengan kata lain
kepercayaan merupakan penerimaan akan kebenaran sesuatu atau penerimaan
oleh perasaan pasti yang bersifat emosional atau spiritual (Ensiklopedia
Encarta, dalam Gunawan dan Setyono, 2006). Kepercayaan memberikan
perspektif pada manusia dalam mempersepsi kenyataan, memberikan dasar
bagi pengambilan keputusan dan menentukan sikap terhadap objek sikap
(Rakhmat, 2001).
Sementara Walgito (1994) menjelaskan bahwa ada dua faktor yang
mempengaruhi persepsi seorang individu, yaitu:
1. Keadaan individu sebagai perseptor
Keadaan individu sebagai perseptor adalah faktor-faktor yang ada di
dalam diri perseptor itu sendiri, seperti pikiran, perasaan, sudut pandang,
pengalaman masa lalu, daya tangkap, taraf kecerdasan, serta harapan dan
dugaan perseptor.
2. Keadaan objek yang dipersepsi
Keadaan objek yang dipersepsi adalah karakteristik-karakteristik yang
ditampilkan oleh objek baik yang bersifat fisik, psikis maupun suasana.
Seorang ahli yang lain, Siagiar (1989), berpendapat bahwa secara
umum ada tiga faktor yang mempengaruhi persepsi individu, yaitu :
1. Diri individu yang bersangkutan itu sendiri
Apabila individu melihat sesuatu dan berusaha memberikan
interpretasi tentang apa yang dilihatnya, ia dipengaruhi oleh karakteristik
individual yang turut berpengaruh seperti sikap, kepentingan, minat,
2. Sasaran persepsi tersebut
Sasaran bisa berupa orang, benda atau peristiwa. Sifat-sifat sasaran itu
biasanya berpengaruh terhadap persepsi orang yang melihatnya.
3. Faktor situasi
Persepsi harus dilihat secara kontekstual yang berarti dalam situasi di
mana persepsi itu timbul perlu mendapatkan perhatian. Situasi merupakan
faktor yang turut berperan dalam penumbuhan persepsi individu.
Dari beberapa penjelasan di atas dapat dilihat bahwa terdapat beberapa
faktor yang mempengaruhi terbentuknya persepsi individu. Berbagai
penjelasan tersebut pada intinya menyebutkan bahwa persepsi dipengaruhi
oleh dua faktor, yaitu faktor internal atau segala hal yang berasal dari dalam
diri individu itu sendiri, dan faktor eksternal atau segala hal yang berasal dari
luar diri individu tersebut.
d. Syarat-Syarat Terbentuknya Persepsi
Agar individu dapat menyadari dan mengadakan persepsi, ada
beberapa syarat yang perlu untuk dipenuhi (Walgito, 1994) yaitu :
1. Ada objek yang dipersepsi
Objek akan menimbulkan terbentuknya stimulus yang kemudian
diterima oleh alat indera. Stimulus yang datang dari luar langsung
mengenai alat indera. Sementara stimulus yang datang dari dalam
2. Alat indera atau reseptor
Reseptor merupakan alat untuk menerima stimulus, di samping itu
harus ada syaraf sensoris sebagai alat untuk meneruskan stimulus yang
diterima reseptor ke pusat susunan syaraf yaitu otak sebagai pusat
kesadaran, dan sebagai alat respon diperlukan syaraf motoris.
3. Perhatian
Untuk menyadari atau mengadakan persepsi diperlukan adanya
perhatian yang merupakan langkah pertama yang harus dilakukan individu
sebagai suatu persiapan dalam mengadakan persepsi.
2. Profesi Psikolog
a. Pengertian Profesi
Kata “profesional” berasal dari kata sifat yang berarti pencaharian dan
kata benda yang berarti orang yang mempunyai keahlian, seperti guru, dokter,
hakim dan lain sebagainya. Pekerjaan yang bersifat profesional adalah
pekerjaan yang hanya dapat dilakukan oleh mereka yang khusus dipersiapkan
untuk itu dan bukan pekerjaan yang dilakukan oleh mereka karena tidak dapat
memperoleh pekerjaan lain (Sudjana, 1988).
Seorang profesional mempunyai loyalitas terhadap profesinya melebihi
loyalitas terhadap individu lain, seperti rekan kerja ataupun pimpinan
(Robbins, 1997). Mereka mempunyai kekuatan dan komitmen jangka panjang
meningkatkan pengetahuan dengan mengikuti perkembangan pengetahuan
terbaru yang sesuai dengan keahliannya.
Brandeis (1933, dalam Koehn 2000) memberi ciri-ciri profesi sebagai :
pekerjaan yang pada awalnya memerlukan pelatihan, sifatnya harus
intelektual, yang menyangkut pengetahuan dan sampai tahap tertentu
kesarjanaan, yang berbeda dari sekedar keahlian, sebagaimana terbedakan dari
kecakapan semata; pekerjaan itu dikerjakan sebagian besar untuk orang lain
dan bukan hanya demi diri sendiri saja; dan imbalan uang tidak diterima
sebagai ukuran keberhasilan.
Menurut Samana (1994) ciri-ciri jabatan profesional adalah :
1. Bagi para pelakunya secara nyata (de facto) dituntut berkecakapan kerja
(berkeahlian) sesuai dengan tugas-tugas khusus serta tuntutan dari jenis
jabatannya.
2. Kecakapan atau keahlian seorang pekerja professional bukan sekedar
hasil pembiasaan atau latihan rutin yang terkondisi, tetapi perlu didasari
oleh wawasan keilmuan yang mantap.
3. Pekerja professional dituntut berwawasan sosial yang luas, sehingga
pilihan jabatan serta kerjanya didasari oleh kerangka nilai tertentu
(bukan ikut-ikutan), bersikap positif terhadap jabatan dan perannya dan
bermotivasi serta berusaha untuk berkarya sebaik-baiknya.
4. Jabatan profesional perlu mendapatkan pengesahan dari masyarakat
dikembangkan oleh organisasi profesi sepantasnyalah dijadikan
acuannya.
Suatu profesi selalu terkait dengan pekerjaan atau aktivitas kerja
tertentu. Kerja merupakan suatu usaha yang dilakukan manusia untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya. Sedang profesi dapat diartikan sebagai suatu
jenis pekerjaan yang memiliki karakteristik dan keahlian tertentu yang
membedakannya dengan jenis pekerjaan lain (Noviyanti, 2004).
Dalam setiap profesi terkandung 4 aspek khusus dari pekerjaan
(Samana, 1994). Aspek-aspek ini akan sangat berpengaruh pada cara pandang
atau persepsi individu terhadap suatu profesi tertentu. Aspek-aspek tersebut
adalah:
1. Aspek Sosial
Merupakan aspek yang menggambarkan hubungan suatu profesi
dengan masyarakat luas, serta nilai atau kedudukannya dalam
masyarakat
2. Aspek Ekonomi
Merupakan aspek yang menggambarkan tingkat kesejahteraan suatu
profesi dalam bentuk uang atau pendapatan materiil
3. Aspek Profesional
Merupakan aspek yang menggambarkan kualitas suatu profesi dari
4. Aspek Kondisi Kerja
Merupakan aspek yang menggambarkan keadaan atau situasi dalam
pekerjaan yang dialami oleh suatu profesi
Secara khusus Spillane dan Yudianti (1987) menjelaskan bahwa ada
beberapa hal yang dimiliki oleh setiap profesi, yang pada akhirnya akan
mempengaruhi persepsi individu terhadap profesi tersebut. Beberapa hal
tersebut adalah: pengabdian suatu profesi pada masyarakat, pandangan
masyarakat terhadap suatu profesi, relasi sosial atau interpersonal dari suatu
profesi, tingkat penghasilan finansial dari suatu profesi, tanggung jawab suatu
profesi, tantangan kerja, pengembangan kemampuan profesional dan
kreatifitas suatu profesi, serta waktu luang yang dimiliki oleh suatu profesi
tertentu (Spillane dan Yudianti, 1987).
Dari beberapa penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa profesi
merupakan suatu jabatan atau pekerjaan yang menuntut keahlian yang khas
dari para anggotanya. Keahlian yang khas tersebut tentunya tidak dimiliki oleh
para anggota profesi lain, sebab keahlian dan ketrampilan yang dimilliki oleh
suatu profesi merupakan hasil pendidikan dan pelatihan yang terencana.
b. Pengertian Profesi Psikolog
Menurut Kode Etik Psikologi Indonesia, psikolog adalah Sarjana
Psikologi yang telah mengikuti pendidikan tinggi psikologi strata 1 (S1)
dengan kurikulum lama (Sistem Paket Murni) Perguruan Tinggi Negeri
(SK Mendikbud No. 18/D/O/1993) yang meliputi pendidikan program
akademik (Sarjana Psikologi) dan program pendidikan profesi (Psikolog); atau
kurikulum lama Perguruan Tinggi Swasta (PTS) yang sudah mengikuti ujian
negara sarjana psikologi; atau pendidikan tinggi psikologi di luar negeri yang
sudah mendapat akreditasi dan disetarakan dengan psikolog Indonesia oleh
Direktorat Pendidikan Tinggi (Dikti) Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
(Depdikbud RI). Sarjana Psikologi dengan kriteria tersebut dikenal dengan
sebutan psikolog, serta mempunyai hak dan wewenang untuk melakukan
praktek psikologi di wilayah hukum Negara Republik Indonesia (Widyanto
dan Suhartanto, 2004).
Praktek psikologi adalah kegiatan yang dilakukan oleh psikolog dalam
memberikan jasa atau praktek kepada masyarakat dalam pemecahan masalah
psikologis yang bersifat individual maupun kelompok dengan menerapkan
prinsip psikodiagnostik. Dalam memberikan jasa atau praktek psikologi
psikolog berkewajiban mengutamakan dasar-dasar ilmiah dan profesional.
Sikap profesional dapat diwujudkan dengan senantiasa berpijak pada
pengetahuan yang diperoleh secara ilmiah dan profesional ketika melakukan
kegiatan pendidikan dan kegiatan profesional lainnya.
Sikap profesional seorang psikolog juga ditandai dengan perilaku
mempertahankan dan meningkatkan keahlian dan kompetensi kerjanya.
Psikolog yang terlibat dalam asesmen, terapi, pengajaran, penelitian,
konsultasi organisasi maupun kegiatan professional lainnya harus
bertujuan untuk memperbaharui segala informasi ilmiah dan profesional
mereka agar sesuai dengan perkembangan ilmu psikologi itu sendiri
(Widyanto dan Suhartanto, 2004). Kesediaan psikolog untuk mempertahankan
keahliannya secara bertanggung jawab ini mencerminkan sikap profesional
mereka terhadap profesinya. Hal ini sesuai dengan pendapat Robbins (1997,
dalam Noviyanti 2004) yang menyatakan bahwa seorang profesional
mempunyai komitmen jangka panjang terhadap profesinya, sehingga sudah
menjadi kewajiban mereka untuk meningkatkan pengetahuan dengan cara
mengikuti perkembangan keilmuan terbaru sesuai dengan bidang keahlian
mereka.
Berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa profesi
psikolog adalah suatu jabatan atau pekerjaan dengan keahlian yang khas
dalam bidang psikologi, dimana keahlian tersebut diperoleh melalui proses
pendidikan yang berlandaskan pada wawasan keilmuan psikologi, selama
jenjang periode tertentu. Seseorang yang telah memenuhi kriteria tersebut
dikenal dengan sebutan psikolog, dan yang bersangkutan berhak serta
berwenang untuk melakukan praktek psikologi di wilayah hukum Negara
Republik Indonesia.
3. Persepsi Mahasiswa Psikologi Terhadap Profesi Psikolog
a. Mahasiswa Psikologi
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, mahasiswa adalah orang
perhatian terbatas pada mahasiswa psikologi Strata 1 (S1), yang biasanya
mempunyai rentang usia antara 18-25 tahun. Usia tersebut termasuk dalam
tahap perkembangan dewasa dini, dimulai pada umur 18 tahun sampai
kira-kira umur 40 tahun. Masa dewasa dini merupakan periode penyesuaian diri
terhadap pola-pola kehidupan baru dan harapan-harapan sosial baru.
Penyesuaian diri menjadikan periode ini suatu periode yang khusus dan sulit
dalam rentang kehidupan seseorang (Hurlock, 1980). Terlebih bagi
mahasiswa, penyesuaian diri terhadap harapan-harapan sosial membuat
pandangan mereka terhadap suatu hal menjadi tidak stabil. Mereka masih
sangat terbuka terhadap ide-ide atau pemikiran-pemikiran baru, yang mungkin
bertentangan dengan berbagai pandangan yang sudah baku. Kondisi ini
membuat penelitian tentang mahasiswa menjadi menarik karena pandangan
maupun perilaku mereka akan sulit untuk diprediksi.
Secara umum pengertian dari psikologi adalah ilmu yang mempelajari
tingkah laku manusia, atau ilmu yang mempelajari gejala-gejala jiwa manusia.
Kata psikologi pertama kali digunakan dalam bahasa Inggris pada tahun
1600-an untuk mengacu pada pembicara1600-an tent1600-ang jiwa. Psikologi pada awalnya
merupakan sebuah cabang metafisika yang berhubungan dengan konsep
tentang jiwa. Karena para ahli jiwa mempunyai penekanan yang berbeda,
maka definisi yang dikemukakan juga berbeda-beda (Wilcox, 2001).
Ahmadi (1998) mendefinisikan psikologi sebagai ilmu pengetahuan
yang mempelajari semua tingkah laku dan perbuatan individu, dalam mana
Wilcox (2001) mendefinisikan psikologi sebagai sebuah cabang ilmu
pengetahuan yang mempelajari tingkah laku, pikiran dan proses-proses mental
dalam diri manusia.
Maka dapat disimpulkan bahwa mahasiswa psikologi adalah orang
yang belajar di perguruan tinggi, yang secara khusus mempelajari tingkah
laku, pikiran dan proses-proses mental manusia dalam interaksinya dengan
lingkungan sekitarnya. Mahasiswa psikologi adalah calon psikolog ataupun
ilmuwan psikologi yang nantinya diharapkan dapat mengembangkan wawasan
keilmuan maupun penerapan psikologi di Indonesia.
b. Persepsi Mahasiswa Psikologi Terhadap Profesi Psikolog
Persepsi adalah proses menyeleksi, mengolah, menyimpan dan
menginterpretasikan stimulus sehingga menjadi suatu gambaran yang
bermakna bagi individu. Penafsiran atau interpretasi yang dilakukan ini selalu
melibatkan dua faktor, yaitu faktor personal dan faktor situasional (Rakhmat,
2001). Faktor personal merupakan berbagai bentuk kebutuhan, pengalaman
masa lalu dan karakteristik pribadi dari individu. Sedang faktor situasional
adalah karakteristik yang dimiliki oleh suatu stimulus atau objek persepsi itu
sendiri, yang mungkin tidak dimiliki oleh objek persepsi yang lain.
Perls, dalam kajian psikologi gestalt, mengemukakan bahwa persepsi
terkait erat dengan konsep DMZ (demilitarized zone). DMZ merupakan suatu
area kesadaran yang berisi prasangka atau prapenilaian terhadap dunia dan