• Tidak ada hasil yang ditemukan

SIARAN TELEVISI SEBAGAI PRODUKSI BUDAYA: SEBUAH STUDI KASUS PADA ACARA RINDU INUL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "SIARAN TELEVISI SEBAGAI PRODUKSI BUDAYA: SEBUAH STUDI KASUS PADA ACARA RINDU INUL"

Copied!
287
0
0

Teks penuh

(1)

SIARAN TELEVISI

SEBAGAI PRODUKSI BUDAYA:

SEBUAH STUDI KASUS PADA ACARA RINDU INUL YANG DITAYANGKAN OLEH STASIUN TRANS TV

TESIS

Untuk Memenuhi Persyaratan Mendapat Gelar Magister Humaniora (M.Hum) di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya,

Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

Oleh

C.B. BAMBANG KUKUH CHRISTONO ADI

N I M : 016322007

PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA FAKULTAS PASCASARJANA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(2)

SIARAN TELEVISI

SEBAGAI PRODUKSI BUDAYA:

SEBUAH STUDI KASUS PADA ACARA RINDU INUL YANG DITAYANGKAN OLEH STASIUN TRANS TV

TESIS

Untuk Memenuhi Persyaratan Mendapat Gelar Magister Humaniora (M.Hum) di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya,

Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

Oleh

C.B. BAMBANG KUKUH CHRISTONO ADI

N I M : 016322007

PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA FAKULTAS PASCASARJANA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

2005

(3)
(4)
(5)

iv

PERNYATAAN

Dengan ini, saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Siaran Televisi sebagai Produksi Budaya: Sebuah Studi Kasus pada Acara Rindu Inul yang

Ditayangkan oleh Stasiun Trans TV, merupakan hasil karya dan penelitian saya. Di dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi. Peminjaman karya-karya sarjana lain di dalam tesis ini adalah semata-mata untuk keperluan ilmiah sebagaimana diacu secara tertulis dalam daftar pustaka.

Yogyakarta, 18 Agustus 2005

(6)

v

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma:

Nama : C.B. BAMBANG KUKUH CHRISTONO ADI

Nomor Mahasiswa : 06322007

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:

SIARAN TELEVISI SEBAGAI PRODUKSI BUDAYA

beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk: pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di Internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di Yogyakarta

Pada tanggal: 27 Agustus 2005

Yang menyatakan

(7)

vi yang dilimpahkan kepada penulis sehingga tesis ini bisa terselesaikan.

Tesis ini merupakan satu penggalan kisah pengalaman yang tidak akan pernah penulis lupakan saat bekerja di sebuah stasiun televisi swasta. Kisah ini terjalin dari waktu ke waktu ditambah dengan sejumlah kisah pengalaman praktisi televisi yang lainnya; kemudian dirangkai dengan studi yang ditempuh penulis pada program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Perpaduan antara pengalaman praktik di bidang pertelevisian dan studi tentang budaya, khususnya yang berhubungan dengan media, telah menciptakan nuansa khusus dalam tesis ini, yakni sebuah relevansi empirik yang diberi dasar teoritis untuk memberi pemahaman baru mengenai fenomena siaran televisi. Semua ini dapat terealisasikan melalui usaha yang keras dengan bantuan dari berbagai pihak.

Pada kesempatan ini penulis menghaturkan terima kasih dan penghargaan yang amat besar kepada Dr. Ishadi S.K., M.Sc, yang dengan segala kesibukannya sebagai Presiden Direktur Trans TV serta berbagai kegiatan akademik beliau yang demikian padat, masih menyediakan waktu untuk membimbing penulis dalam menyelesaikan tesis ini dan kemudian menyempatkan diri untuk menjadi penguji. Tanpa beliau, tesis ini tidak akan memiliki kedalaman makna tentang dunia pertelevisian.

Penulis juga menghaturkan penghargaan dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dr. St. Sunardi, Ketua Program Studi Magister Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, yang senantiasa mendorong penulis untuk menggeluti Kajian Budaya, khususnya yang berhubungan dengan bidang media. Beliau jugalah yang membawa penulis kepada pergumulan dengan sejumlah pemikiran sosial budaya, khususnya yang menyangkut tesis ini.

Penghargaan dan penghormatan setinggi-tingginya juga penulis berikan kepada Dr. Novita Dewi, M.S., M.A., (Hons) yang telah memberikan dorongan yang cukup besar bagi penulis untuk belajar di program studi Magister Ilmu Religi dan Budaya, yang kemudian juga bersedia menjadi reader (penguji) tesis ini. Semoga persahabatan kita tidak luntur oleh jaman yang semakin menggila.

(8)

vii

Dharma, Ibu Henki dan Ibu Lely yang telah membantu kelancaran studi penulis sampai selesai.

Terima kasih juga penulis sampaikan kepada teman-teman mahasiswa di Program Studi Magister Ilmu Religi dan Budaya, angkatan 2000, 2001, 2002, dan 2003. Pergaulan kami, dengan segala kemajemukan yang tidak pernah menimbulkan pertentangan, telah memberikan kontribusi yang besar bagi penulisan tesis yang 'berbeda' dengan bidang-bidang kajian lainnya.

Penghargaan yang sangat besar penulis haturkan pula kepada segenap staf di Trans TV Jakarta: Mbak Lilo, Pak Noko, Mas Taufik, Mas Emil Syarif, Pak pertelevisian tidak dapat berlangsung dan tesis ini tidak memiliki isi sama sekali.

Tidak lupa pula penulis ucapkan banyak terima kasih kepada Yustinus dan Carolina di Gunung Putri, Bogor dan sahabat penulis, L.E. Purwatmoko beserta keluarga di Cempaka Baru, Jakarta karena di rumah kedua keluarga ini penulis diperkenankan untuk tinggal selama melaksanakan penelitian di Jakarta.

Penghargaan yang tak ternilai penulis haturkan kepada ayahanda, G. Moedjanto dan ibunda, M.C. Suhartini Moedjanto di Yogya yang telah memberikan bantuan moril dan materiil kepada penulis. Penghargaan yang amat besar juga penulis sampaikan kepada Mas Sigap dan keluarga yang meskipun sibuk tetapi masih sempat memikirkan adhiknya dan memberi masukan yang sangat berarti dalam penulisan tesis ini; Dhik Tanti sekeluarga yang dengan senang hati selalu memberikan banyak bantuan yang penulis perlukan; Mbak Eta sekeluarga dan 'Ipouk' Vivayanto, yang meski jauh, memberikan dukungan yang sangat besar bagi penulis.

Penulis juga menghaturkan penghargaan yang amat besar kepada ayahanda R. Soetardjo dan ibunda Agnes Sumiyati di Kudus, yang juga memberikan dukungan amat besar bagi penulis dan keluarga. Terima kasih kepada adhik-adhik: Rio yang menyediakan tempat dan fasilitas serta menunjukkan jalan ketika penulis di Jakarta; Leoni dan Gaby yang meringankan tugas-tugas domestik di Minomartani; Ria, Yuli dan Ari yang dengan segala doa dan tenaga membantu penulis dan keluaga.

Secara amat khusus dan istimewa penulis menghaturkan penghargaan dan terima kasih kepada istri tercinta Carla Sih Prabandari yang telah senantiasa memberikan semangat kepada penulis dan merawat anak-anak tercinta, Carolina Reni Kusumaningsih dan Carel Nicko Adikusuma sejak berada dalam kandungan hingga bisa berjalan sendiri. Atas namaNya, kasih dan cinta kita tidak akan pernah padam selamanya.

(9)

viii

(10)

ix

C. Tujuan Penulisan Tesis

D. Manfaat Penulisan Tesis

31 32

BAB II. TELEVISI DAN PRODUKSI BUDAYA

A. Televisi: Praktik Produksi Budaya

2. Keterlibatan Agen Institusi dalam Arena Televisi 3. Inul sebagai Realitas yang dikonstruksikan

BAB IV. LATAR BELAKANG HISTORIS: DARI MONOPOLI KE

(11)

x

A. Monopoli Siaran Televisi

B. Satu Kroni Enam Televisi dalam Satu Arena

C. Persaingan Siaran Televisi di Indonesia

1. Pertumbuhan Negatif Siaran TV: Peningkatan Produksi Lokal 2. Arena Televisi yang Semakin Padat

BAB V. ARENA TELEVISI DI INDONESIA

A. Ruang Sosial Arena Televisi

B. Hukum dan Logika dalam Arena Televisi

C. Interaksi dalam Arena Televisi

BAB VI. TRANS TV: AGEN INSTITUSI DALAM ARENA TELEVISI

INDONESIA

A. Profile Trans TV

B. Manajemen Trans TV

C. Karakter Trans TV

D. Komposisi Modal Trans TV

E. Peranan Habitus Kelompok bagi Trans TV

(12)

xi

BAB VII. INUL DALAM TELEVISI: ARENA TELEVISI SEBAGAI

ARENA PRODUKSI BUDAYA DAN ARENA KEKUASAAN

A. Televisi sebagai Arena Produksi Budaya

1. Proses Kreatif Artistik Rindu Inul

2. Kerja Teknik Produksi

3. Pemrograman Siaran Rindu Inul

4. Rindu Inul: Konstruksi Baru dalam Arena Produksi Budaya

B. Pergerakan Inul dalam Arena

1. Goyang Ngebor sebagai Strategi

2. VCD Bajakan sebagai Alat Akumulasi Modal Simbolik 3. Inul Dalam Arena Dangdut

4. Dua Kekuatan Dominan dalam Arena Kekuasaan

(13)

xii

Lmpiran 1

- TPI Daily Program Schedule on Saturday, May 03, 2003 - TPI Daily Program Schedule on Sunday, May 04, 2003

- Kategori Program dalam Pola Acara Harian ANTV, May 03, 2003

Lampiran 2

Daftar Stasiun Televisi Nasional, Lokal, dan Komunitas yang beroperasi di Indonesia hingga Maret 2005

Lampiran 3

- Tabel 4a. Jumlah Jam Siaran dan Mata Acara Televisi dalam Satu Minggu hingga September 2002

- Tabel 4b. Jumlah jam siaran berdasarkan variasi Program Minggu Kedua, September 2002, hari Senin hingga Minggu

Lampiran 4

Bagan Organisasi PT Televisi Transformasi Indonesia

Lampiran 5

Rundown Program 'Rindu Inul' dari Trans TV

Lampiran 6

Salinan Surat PAMMI kepada Iwan, Direktur PT Blackboad Indonesia

256 257 258

259

260

261

268

269

(14)

xiii

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Perkembangan Jam Siaran Televisi di Indonesia.

Tabel 2. Kategori (Genre) program televisi di Indonesia hingga akhir tahun 2002

Tabel 3. Pertumbuhan Program Musik Dangdut hingga awal Juni 2003 Tabel 4a. Jumlah Jam Siaran dan Mata Acara Televisi dalam Satu Minggu Tabel 4b. Jumlah Jam Siaran berdasarkan Variasi Program per Hari dalam

Satu Minggu

Tabel 5. Institusi yang terlibat dalam arena televisi dan kecenderungan akumulasi modal.

Tabel 6. Invididu yang terlibat dalam arena televisi berdasarkan kategori sosial dan kecenderungan akumulasi modal.

Tabel 7. Perbandingan kecenderungan akumulasi modal Trans TV terhadap agen-agen institusi lain dalam arena televisi.

Tabel 8. Perbandingan kecenderungan akumulasi modal Trans TV - RCTI. Tabel 9. Perbandingan kecenderungan akumulasi modal Trans TV - TPI. Tabel 10. Perbandingan kecenderungan akumulasi modal Trans TV - Lativi. Tabel 11. Perbandingan kecenderungan akumulasi modal Trans TV - Metro

TV.

Tabel 12. Institusi yang terlibat dalam arena dangdut pada tahun 2003 dan kecenderungan akumulasi modal.

Tabel 13. Individu yang terlibat dalam arena dangdut pada tahun 2003 dan kecenderungan akumulasi modal

Tabel 14. Riwayat hidup Inul Daratista dan Rhom Irama.

(15)

xiv

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Skema kode-kode televisi

Gambar 2. Dua aksis modal dalam pembagian kelas sosial. Gambar 3. Logo Trans TV

Gambar 4. Peta ruang sosial arena televisi 2005 berdasarkan pontesi dan kecenderungan akumulasi modal agen.

Gambar 5. Inul di antara artis-artis pendukung, bersama Trans TV menambah akumulasi modal mereka melalui acara Rindu Inul

Gambar 6. Arena televisi sebagai arena produksi budaya, arena kekuasaan, dan arena hubungan kelas

Gambar 7. Dua komparasi pakaian dan rambut Inul Daratista saat sebelum dan sesudah memasuki arena televisi

Gambar 8. Rhoma Irama: Raja Dangdut dan Ketua PAMMI

42 52 134

156 166

168

189

(16)

xv

ABSTRAK

Praktik pertelevisian merupakan sebuah upaya membangun konstruksi sosial atas individu tertentu dalam sebuah kondisi sosial melalui produksi dan penyiaran program televisi yang memadukan berbagai unsur-unsur seni di dalamnya. Dalam program musik dangdut di televisi, produksi dan penyiaran program menjadi arena bagi praktik produksi budaya. Tujuannya adalah untuk memperoleh dan mempertahankan posisi dominan individu atau lembaga dalam kondisi sosial tertentu.

Televisi telah mengubah kondisi masyarakat Indonesia semenjak adanya sistem siaran televisi. Fenomena itu diawali dengan munculnya kebiasaan baru, yakni menyaksikan siaran televisi, yang mengalami pasang surut karena persaingan antar lembaga penyiaran televisi. Kebiasaan itu kemudian membentuk budaya baru, budaya televisi di mana peristiwa-peristiwa dalam program televisi telah menjadi bagian dari realitas sosial masyarakat audiens. Kondisi seperti itu medorong sebuah lembaga penyiaran televisi, Trans TV, bersama praktisi di dalamnya, memproduksi program-program televisi sekompetitif mungkin, dengan mempertimbangkan faktor-faktor eksternal. Fenomena menyangkut munculnya budaya televisi di Indonesia tampaknya perlu dikaji dengan menggunakan teori sosial budaya yang komprehensif.

Dalam memproduksi dan menyiarkan program televisi, praktisi dan lembaga penyiaran televisi, serta mereka yang terlibat dalam kerja budaya tersebut, dituntut untuk menghasilkan produk-produk yang tidak saja bernilai ekonomi tetapi juga artistik yang dapat diapresiasi oleh audiens. Oleh karena itu, kerja mereka tidak hanya melibatkan modal ekonomi, tetapi juga modal budaya, simbolik, dan modal sosial. Latar belakang sosial, pengalaman, pengetahuan dan wawasan tentang bidang pertelevisian juga menjadi syarat penting bagi mereka yang terlibat dalam produksi dan penyiaran program televisi. Mereka yang terlibat dalam praktik produksi budaya televisi juga tidak bisa dilepaskan dari habitus mereka, yakni sistem disposisi yang distrukturkan sekaligus berfungsi untuk menstrukturkan tindakan. Habitus menjadi dasar orientasi tindakan dari dalam diri mereka.

(17)

xvi

ABSTRACT

Television practice is an effort to create a social construction of an individual (person) in a social condition by producing and broadcasting a television program, which combine the artistic elements within it. In the television program of dangdut music, the production and the broadcasting become the field of cultural production. The aim is to obtain or to maintain the dominant position of an individual or institution in a certain social condition.

Television has changed the condition of the society in Indonesia since the broadcasting systems arrived here. This phenomenon happened to the people who has new habit, that is watching the television programs which has grown up and down because of the competition among the television institution. This habit has created a new culture, the television culture. Throughout the habit, the events in the television program have become part of social reality. This condition motivated a television institution, namely Trans TV, together with the practitioners, to produce television programs as competitively as possible, considering the other external factors. It seems necessary that the phenomena concerning the production of television culture be studied using the social theory of culture which is more comprehensive.

In producing and broadcasting the programs, television practitioners and institutions, and those who are involved in that cultural works, are demanded to put out the products, not only containing the economic value, but also the artistic values which are appreciative by the audience. Therefore, their works did not only involve the economic capital, but also the cultural capital, the symbolic capital, and the social capital. The social background, experience, knowledge, and view concerning field of television have also become the important requirements for those who are involved in the production and the broadcasting of television programs. They, who are involved in the practice of cultural production, cannot be separated from their habitus, that is the disposition which is structured and, at the same time, is structuring the action. Habitus has provided the principle of orientation for action from the inside of them.

Inul Daratista, a dangdut singer who is very famous for the 'drilling' dance, has been the one of the production of the television culture. The popularity of Inul began from the circulation of the pirated VCDs showing the stage acts which arouse the public controversies because those acts were assumed as sensuous and erotic. Inul obtained a greater success through her involvement in the television universe. She replaced the position of other dangdut artist which existed before her. This success was, of course, inseparable from the work of television practitioners and institution. However, since her performance in the television was judged as sensuous and erotic, Inul and the television institutions have received many criticisms from several groups of people, including other dangdut artists. Trans TV responded the criticisms by creating a new construction of Inul through the cultural works in the television program of Rindu Inul. This thesis is the result of the research on the contestations of the capital involved in the productions of television program Rindu Inul.

(18)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tesis ini sesungguhnya merupakan refleksi pribadi dari penulis yang pernah memiliki pengalaman praktik televisi di Indonesia selama lebih dari lima tahun (antara 1993-1998). Lima tahun sebagai praktisi televisi di Indonesia, khususnya dalam bidang programming, adalah waktu yang cukup singkat jikalau kita mengukurnya dengan bentangan waktu siaran televisi di Indonesia. Namun mengingat perhitungan operasional di stasiun televisi menggunakan satuan waktu terkecil, yakni detik, dan siaran berlangsung rata-rata 20 jam per hari, maka waktu lima tahun menjadi terasa sangat panjang dan mengesankan.

Praktisi televisi adalah sebuah profesi yang menggeluti berbagai bidang menyangkut pengoperasian media televisi dalam sebuah lembaga produksi dan penyiaran program televisi, yang meliputi: 1) Teknik, 2) Kreatif/Produksi (Production), 3) jurnalistik/liputan (News), 4) manajemen dan administrasi penyiaran yang mencakup Planning, Programming, Scheduling, Traffic, Research and Development, Promotion, dan Sales/marketing.1 Nama-nama bagian tersebut secara kebetulan diadopsi begitu saja dari istilah-isltilah pertelevisian yang menggunakan bahasa Inggris. Istilah-istilah tersebut bisa saja menunjuk pada nama bagian atau proses kerja dalam lembaga produksi dan penyiaran televisi. Dalam tesis ini,

1

(19)

2

penulisan nama-nama bagian dalam institusi TV mempergunakan huruf besar pada awal kata, sedangkan untuk menunjuk pada sebuah proses atau kerja akan mempergunakan huruf kecil.

Hingga tahun 2000, jumlah praktisi televisi di Indonesia belum begitu banyak jika dibandingkan dengan profesi bidang media lainnya seperti media radio dan media cetak Bahkan hingga tahun 2003, mungkin jumlah praktisi televisi yang berpengalaman sampai 5 tahun lebih masih dibawah 10 ribu orang di Indonesia. Jumlah itu meliputi seluruh bidang praktik televisi di sebelas stasiun televisi yang beroperasi secara nasional di Indonesia; dari sebelas, baru 6 stasiun saja yang telah mengudara selama lebih dari lima tahun.

Praktisi khusus yang bekerja di bagian Programming televisi di negara berpenduduk sekitar 240 juta ini, jumlahnya tidak sebanyak seperti dalam Produksi dan Liputan, karena biasanya personil bagian Programming di sebuah stasiun televisi hanya mengerjakan hal-hal yang bersifat administratif sehingga jumlah mereka jauh lebih kecil. Akan tetapi jika kita memaknai programming sebagai sebuah proses maka personalianya akan meliputi orang-orang yang bekerja di bidang planning,

programming, scheduling, kreatif/produksi dan peliputan (dua bagian yang menyumbangkan program siaran televisi), promosi, dan operasional penyiaran. Dengan demikian jumlah personil yang terlibat dalam proses itu berlipat ganda.

(20)

3

surat lamaran yang masuk ke HC Department padahal waktu itu yang dibutuhkan baru 250 orang.2 Dewasa ini, orang-orang yang bekerja di dunia televisi juga masih mendapat penghargaan sosial yang sangat besar di tengah-tengah masyarakat kita. Cuplikan percakapan di bawah ini bisa memberikan sedikit gambaran bagaimana respons masyarakat terhadap posisi praktisi televisi.3

"Hai!! 'Pa kabar!" "Emm...baik..."

"Kerja di mana sekarang?" "Emm... di Trans TV." "Oh ya! Jadi apa? "Reporter."

"Wah, hebat deh... Eh... ngomong-ngomong, Trans TV masih buka lowongan nggak?"

Adalah hal yang selalu amat menyenangkan bekerja di stasiun televisi, apalagi yang dimiliki oleh perusahaan televisi seperti PT Surya Citra Televisi (SCTV) yang dikenal luas hingga di wilayah regional ASEAN, dan stasiun televisi yang mengudara secara nasional atu berjejaring lainnya di Indonesia. Menyenangkan bagi para praktisi televisi memiliki banyak arti, salah satunya bahwa dalam bekerja terdapat lebih banyak hal yang dapat dinikmati daripada yang membosankan. Mereka yang sudah bekerja lebih dari 5 tahun akan merasakan kesan yang tidak jauh berbeda antara satu dengan yang lainnya.

Faktor finansial mungkin bukan motivasi utama bekerja di institusi televisi pada waktu itu, mengingat sebenarnya perhitungan atas beban kerja, terutama kerja

2

Warna Warni Televisi, 2003: 117

(21)

4

non-fisik dan yang tidak resmi, tidak seimbang dengan upah yang diterima. Ketika berada di tempat-tempat yang memasang televisi, praktisi televisi tidak akan melewatkan begitu saja aneka tayangan televisi, tetapi bukan untuk menikmati melainkan untuk mempelajari, menilai, mencari informasi tentang program tersebut, bahkan hingga merekam dalam pikiran apa saja yang ditampilkan dalam tayangan tersebut. Para praktisi ini larut dalam budaya industri media massa, di mana persaingan lembaga satu dengan yang lainnya berlangsung secara ketat.

Selain itu, kebanggaan bekerja sebagai praktisi televisi juga dikarenakan jumlah lembaga penyiaran televisi, hingga tahun 2003 ini, di negara kita masih belum banyak dan sangat mudah dikenal publik. Selain langka, semenjak mulai diperkenalkan ke publik, bermula di Eropa dan Amerika, televisi juga sudah membawa pesona tersendiri bagi mata manusia. Seolah-olah sudah dari lahirnya, pesawat televisi memiliki daya tarik yang amat kuat bagi sebagian besar penduduk dunia, terutama di negara-negara yang sudah mengembangkan sistem siaran televisi.

Hal yang mungkin dirasakan paling menyenangkan oleh banyak praktisi pertelevisian adalah bahwa mereka bisa mengekpresikan gagasan-gagasannya ke dalam aneka ragam program acara televisi. Inilah yang membedakan praktik pertelevisian dengan berbagai bidang pekerjaan lainnya, misalnya di bidang perbankan di mana para praktisinya harus taat pada aturan dan sistem tanpa bisa mengekspresikan diri melalui pekerjaannya.

(22)

5

Dalam hal ini, pengalaman bersifat obyektif dan bisa menjadi landasan untuk melakukan telaah kritis atas sesuatu yang terjadi di dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dalam hal ini adalah praktik televisi.

1. Televisi dan Masyarakat Indonesia

Praktik pertelevisian di Indonesia sudah dimulai sejak tahun 1962 sebagai realisasi ide Bung Karno untuk menyiarkan pesta olah raga antar bangsa se Asia di Jakarta.4 Peristiwa itu tidak saja menandai era baru teknologi komunikasi, tetapi lebih luas lagi, era baru kebudayaan Indonesia. Pada satu sisi, televisi menjadi sarana komsumsi acara budaya oleh masyarakat yang memiliki pesawat televisi. Pada sisi lain, televisi menjadi sarana pemacu produksi kebudayaan yang dituangkan dalam bentuk kerja produksi dan penyiaran program siaran televisi.

Memang selama kurang lebih dua dasawarsa siaran televisi dimulai di Indonesia, pemilik pesawat televisi masih belum sebanyak seperti ketika Indonesia mengalami peningkatan pertumbuhan ekonomi pada dasawarsa 1990-an. Pada awal hingga pertengahan masa pemerintahan Orde Baru, pesawat televisi masih menjadi barang langka dan mewah di kala itu. Namun semenjak tingkat pendapatan per kapita penduduk Indonesia dan daya beli masyarakat Indonesia meningkat pada tahun pertengahan tahun 90-an hingga menjelang krisis ekonomi 1998, televisi bukan lagi menjadi barang mewah yang harganya tidak terjangkau. Bahkan sekarang ini masyarakat dengan penghasilan minimum sekalipun, mampu menghadirkan pesawat

(23)

6 televisi ke dalam rumah mereka.

Televisi, seperti halnya telepon seluler yang saat ini bisa dimiliki oleh banyak orang, sudah bukan termasuk kategori barang mewah yang memiliki nilai prestise yang tinggi di tengah-tengah masyarakat. Harga mahal sebuah pesawat televisi bukanlah satu-satunya kriteria yang menentukan nilai prestise yang tinggi. Masih ada sejumlah kriteria yang mejadikan sebuah produk bernilai sosial ekonomi tinggi, di antaranya adalah:

1. merk dagang (trademark); 2. kecanggihan teknologi; 3. perancang atau pembuatnya;

4. kelangkaan produk (biasanya diproduksi dalam jumlah terbatas); 5. trend setter.

Jika kelima kategori ini terpenuhi, ditambah dengan harga mahal, sebuah produk sungguh memiliki nilai prestise sosial ekonomi yang tinggi.

(24)

7

memenuhi kebutuhan akan informasi dan hiburan; tentu saja dengan cara mengkonsumsinya melalui pesawat televisi. Prestise televisi telah bergeser dari nilai-nilai ekonomi menjadi nilai-nilai-nilai-nilai budaya dalam bentuk hiburan dan informasi; kapasitas ekonomi masyarakat sudah beralih ke dalam kapasitas sosial budaya. Dalam hubungannya dengan televisi, kriteria prestise telah berubah, bukan lagi pada keempat hal terdahulu, tetapi pada:

1. kecepatan memperoleh informasi; 2. kemampuan menikmati hiburan;

3. kemampuan memaknai informasi dan hiburan;

4. kecepatan menyebarkan informasi dan hiburan kepada orang lain; 5. kemampuan menjadikan isu-isu dalam media televisi sebagai bahan pembicaraan dalam aktivitas sehari-hari.

(25)

8

tidak mengeluarkan komentar apapun, bahkan tidak dalam hati sekalipun. Ilustrasi tersebut ingin menunjukkan bahwa kemampuan A dalam memberikan pemaknaan atas peristiwa di televisi lebih bernilai di banding B.

Dengan kategori baru di atas, kita tidak perlu mempermasalahkan berapa harga ekonomis sebuah informasi atau hiburan. Tidak memandang anak-anak balita, remaja atau orang tua, berpendidikan tinggi atau rendah, laki-laki ataupun perempuan, kaya atau miskin, siapapun bisa menyaksikan siaran televisi dengan sesuka hati jika sudah berhadapan dengan pesawat televisi. Tidak harus memenuhi syarat apapun untuk memiliki pesawat televisi, misalnya lingkungan sosial yang ramah, rumah dengan dinding batu, dan lain sebagainya. Asal mampu membeli pesawat televisi semahal atau semurah apapun dan membayar suplai arus listrik (dengan baterai sekalipun), siapapun dapat menikmati siaran televisi. Tengoklah di sejumlah kios di terminal bis, stasiun kereta api, bahkan kios di pinggir jalan utama kota, kita akan mendapati orang-orang sedang asyik menyaksikan siaran televisi.

Menonton televisi sudah menjadi bagian dari alam bawah sadar sebagian masyarakat kita, sehingga ada orang tua yang rela mengorbankan pendidikan anaknya demi menyaksikan siaran Sepakbola Piala Dunia yang berlangsung pada bulan Juni – waktu anak-anak lulus sekolah dan mencari jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Uang yang seharusnya bisa dipergunakan untuk membeayai kelanjutan sekolah anaknya justru dipergunakan untuk membeli pesawat televisi.

(26)

9

player.5 Kelebihan memiliki pesawat televisi, kalau kita bandingkan dengan koran dan jenis media cetak lainnya, adalah bahwa kita tidak perlu membeli dan membawa informasi atau hiburan dari luar ke dalam tempat tinggal kita. Sedangkan dibanding dengan media elektronik lainnya seperti radio, kaset, dan piringan audio (compact disk) yang hanya mampu menghadirkan suara, televisi mampu menghadirkan aneka ragam informasi dan hiburan dalam format audio-visual atau suara berikut gambarnya. Meskipun sekarang sudah banyak kaset video dan video disk yang mampu menampilkan gambar dan suara, namun dengan televisi siaran, kita tidak perlu membeli atau menyewanya. Kita memang dapat menikmati kaset atau piringan video beberapa kali tetapi keduanya tidak memiliki ragam yang beraneka dibanding dengan televisi. Internet sekalipun, yang kini juga memiliki format tampilan isi yang bersifat hiburan dan informasi, tidak mampu menandingi kepraktisan televisi. Untuk mengakses intenet, kita harus membayar pulsa telpon atau harus keluar rumah menuju warnet dan harus mengeluarkan beaya tambahan. Itulah mengapa banyak orang lebih memilih menyaksikan siaran televisi dengan aneka ragam informasi dan hiburan tanpa harus bersusah payah dibanding media lainnya.

Dengan gemar menonton televisi, masyarakat telah menciptakan budaya baru yakni budaya televisi. Dalam menyaksikan siaran televisi, mereka tidak hanya mengarahkan mata pada pesawat televisi tetapi juga berusaha untuk memberikan respons melalui gerakan fisik, emosi dan kognisi. Respons ini bisa dilakukan secara individu maupun berkelompok; dalam ruang dan waktu yang sama atau berlainan.

5 Sebenarnya masih ada media rekaman audio-visual lain lain seperti Laser Disk (LD) dan Digital

(27)

10

2. Pertumbuhan Siaran Televisi

Kondisi pertelevisian di atas, mendorong sejumlah pengusaha dan praktisi televisi Indonesia untuk membangun jaringan operasi siaran televisi. Para pengusaha yang memiliki modal berupa modal materiil dan akses cepat ke birokrasi negara, bergabung dengan atau merekrut para praktisi yang memiliki pengetahuan dan pengalaman di bidang pertelevisian. Mereka mengembangkan usaha penyiaran yang masih langka, diawali dengan RCTI, kemudian dikuti SCTV, TPI, ANTV, dan IVM pada masa orde baru.

(28)

11 Tabel 1. Perkembangan Jam Siaran Televisi Nasional di Indonesia.6

Perkembangan jumlah jam siaran ini terkait cukup erat dengan situasi ekonomi nasional di Indonesia. Sejak 1980-an hingga pertengahan 1997 Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi yang sangat signifikan sehingga mendorong pertumbuhan siaran TV dengan cukup meyakinkan. Setelah krisis moneter menimpa Indonesia pada akhir 1997 yang selanjutnya menjadi krisis ekonomi, siaran di Indonesia pun mengalami penurunan karena banyaknya jam siaran yang dikurangi. Namun pada tahun 2001, siaran televisi kembali bergairah dan jumlah jam siaran pun pelan-pelan mulai meningkat, apalagi ditambah beroperasinya sejumlah stasiun televisi swasta baru. Belum lagi jika jumlah tersebut ditambah dengan jam siaran sejumlah TV Lokal, Komunitas, dan Berlangganan yang berkembang di wiayah-wilayah tertentu sehingga pertumbuhan jam siaran televisi bisa jauh lebih tinggi daripada yang ada dalam Tabel 1. Dunia pertelevisian di Indonesia menjadi sebuah arena yang dipadati oleh mereka yang memiliki minat pada bidang pertelevisian.

6 Sumber berasal dari Atmowiloto, 1986; Effendi, 1993; Kitley, 2000; Suplemen Jadwal Siaran

(29)

12

Peningkatan jam siaran ini dibarengi pula dengan peningkatan jumlah kategori program (genre)7 yang ditayangkan oleh para pengelola stasiun televisi. Kalau kita telusur ke belakang, pada saat siaran televisi di monopoli oleh TVRI, ragam acaranya pun telah cukup banyak meski jam siarannya hanya 55 j/mg. Pada saat itu sudah terdapat ragam acara telenovela dan seri Asia (Jepang), namun masih belum sebanyak yang sekarang. Setelah TV swasta bermunculan, ragam acara TV bertambah semakin banyak, misalnya seperti infotainmen, infomercial, film/seri India dan lain-lain.

Kategori program televisi ini belum dijadikan standar karena masing-masing stasiun TV dan pembuat acara/program dapat menentukan kategori program sesuai dengan konvensi maupun mempertimbangkan keunikan masing-masing acara/program.8 Berdasarkan kondisi tersebut, dalam siaran televisi di Indonesia teradapat kategori-kategori yang meliputi:

Tabel 2. Kategori program televisi di Indonesia hingga akhir tahun 2002.9

Naik turunnya jam siaran televisi dan bertambahnya jumlah kategori program televisi tersebut di atas dintentukan oleh faktor internal dalam stasiun televisi tertentu

7

Konsep 'genre' program televisi di sini tidak menunjuk pada hal-hal khusus tetapi merujuk pada kategorisasi program yang dilakukan secara sewenang-wenang oleh praktisi televisi.

8

Pembahasan mengenai kategorisasi program televisi silakan lihat Kukuh, 2002; 14-22

9 Sumber berasal situs TPI dan ANTV (lihat Lampiran 1), dan RCTI; serta berbagai informasi dari

(30)

13

dan faktor eksternal. Faktor internal dalam stasiun televisi yang mempengaruhi kateogri tersebut adalah bagian Liputan dan Produksi yang menghasilkan program televisi, serta Programming yang menentukan jam tayang dan program televisi apa saja yang akan disiarkan. Ketiga bagian itulah yang memberikan penamaan kategori program TV di stasiun yang bersangkutan. Sedangkan faktor eksternal adalah audiens dan pasar (pengiklan). Jika pasar menghendaki adanya sebuah kategori program TV tertentu untuk lebih menarik perhatian audiens pada produknya, maka sebuah stasiun TV akan mempertimbangkan untuk memproduksi sendiri (inhouse production) atau membeli dari distributor program TV atau dari Production House (PH).

3. Peningkatan Siaran Program Dangdut di Televisi

Seiring dengan peningkatan jam siaran televisi dan bertambahnya kategori program televisi di Indonesia, tentu terjadi juga peningkatan jam siaran kateogri program-program tertentu seprti infotainmen, liputan (news), variety show, musical program, dan sinetron. Jumlah program Dangdut juga mengalami peningkatan pesat dari era TVRI hingga pertengahan tahun 2003. Kategorinya bukan hanya pada

musical program saja, tetapi juga meliputi variety show, infotainmen, dan kuis. Memang ada kategori program variety show yang tidak hanya menyiarkan musik dangdut saja, tetapi musik campuran, misalnya seperti Gebyar BCA (Indosiar), Telkomania (Indosiar, RCTI), dan KD Show (TransTV). Ada juga sinetron yang menampilkan tokoh-tokoh dangdut dengan ilustrasi musik dangdut pula, misalnya,

(31)

14

Tabel 3. Pertumbuhan jumlah Acara dan Jam Siaran Program Dangdut di televisi semester pertama 2003.10

Program musik Dangdut di televisi memang sangat marak semenjak Dangdut tidak lagi dianggap sebagai musik kampungan dan telah di terima di hati masyrakat kelas menengah.11 Dalam sejarah, musik Dangdut di Indonesia semakin berkibar dan memperoleh banyak penggemar dari berbagai kalangan semenjak Golkar, dibawah rezim Orde Baru melalui jalur birokrasi dan ABRI pada tahun 1980-an, memanfaatkan dangdut dalam setiap kampanyanyenya. Namun usaha itu tidak lepas dari jasa seorang musikus Dangdut yang mendapat julukan Raja Dangdut, yakni Rhoma Irama, yang mengklaim dirinya sebagai orang yang menjadikan Dangdut sebagai Musik Dakwah (Islam).12

Pada pertengahan dekade 80-an, Dangdut sudah sering ditampilkan di layar televisi melalui program-program musikal TVRI, seperti Aneka Ria Safari, Kamera Ria dan Album Minggu Ini. Akan tetapi ketika sejumlah televisi swasta beroperasi, musik Dangdut sendiri belum memperoleh tempat di layar televisi swasta selain Televisi Pendidikan Indonesia (TPI). Keempat stadiusn swasta lainnya, RCTI, SCTV,

10

Sumber: Tabloid Bintang Indonesia Edisi Minggu I, Januari; Minggu I, April; dan Minggu I Juni 2003.

11 Lockard, 1998, hal. 104 12

(32)

15

Indosiar, dan ANTV masih enggan memberikan tempat bagi musik dangdut hingga krisis ekonomi melanda Indonesia tahun 1998. Setelah krisi 1998, Dangdut ikut memeriahkan suasana ruang elektronik yang sempit melalui semua saluran televisi karena faktor beaya produksi yang relatif lebih murah daripada membeli program asing. Selain itu, Program Dangdut juga diyakini bisa menaikkan ratings dan

audience shares televisi untuk kelompok masyarakat menengah ke bawah.

Meningkatnya sejumlah Program Dangdut di layar kaca membuka kesempatan bagi banyak penyanyi dangdut muda untuk tampil di panggung musik dangdut Indonesia, sebutlah misalnya, Cici Faramida, Iis Dahlia, Ikke Nurjanah, dan beberapa penyanyi dangdut lainnya menjadi populer lewat penampilan mereka di layar televisi pada akhir 90-an. Tentu saja penyanyi dangdut senior yang sudah eksis, seperti Elvy Sukaesih, Hamdan ATT, Meggy Z, Camelia Malik, Rita Sugiarto, Evie Tamala, Lilis Karlina, dan lain-lainnya juga berhasil memantapkan posisi mereka di blantika musik Dangdut lewat media televisi.

(33)

16

merupakan singkatan dari Sarapan Bu bur. Perubahan yang paling menonjol adalah gaya dan penampilan mereka – terutama pedangdut perempuan – yang sangat sensasional dalam menyanyi di atas panggung. Gaya khas para pedangdut perempuan itu menghasilkan julukan khas bagi penyanyi tertentu. Inul, misalnya mendapat julukan Ratu Ngebor; Uut Permatasari dikenal dengan Ratu Ngecor; Anisa Bahar dengan goyang patah-patah; Ira Swara dengan goyang getar; dan lain-lain.

(34)

17

televisi tetapi justru menambah maraknya tayangan musik dangdut, khususnya dalam kategori program televisi infotainmen.

4. Relitas Sosial dan Realitas Media

Di Indonesia, sebagian besar anggota masyarakat menerima kondisi perubahan ini dengan suka cita. Mereka sangat menikmati realitas yang bergerak-gerak ke sana kemari di dalam pesawat televisi yang disebut sebagai realitas media. Dalam kotak ajaib televisi, ditampilkan berbagai adegan yang mampu menciptakan getaran emosi penonton yang berada dalam sebuah realitas sosial sehingga kedua realitas tersebut sering berjumbuh perlahan-lahan dan bisa menjadi satu (dissolved) dalam alam pikiran individu.

Menurut Baudrillard, jumbuhnya kedua realitas ini disebut dengan hiperealitas.13 Dalam sebuah kondisi hiperrealitas, masyarakat dibawa ke dalam kenikmatan realitas media yang mampu meniadakan realitas sosial mereka sendiri. Tidak jarang ketika acara musik dangdut ditayangkan di televisi, mereka yang tidak berada di sekitar pesawat televisi dan hanya mendengar suaranya saja, tanpa terasa ikut menggoyang-goyangkan tubuh. Contoh lain ketika mengikuti acara pertandingan olah raga di televisi, tidak jarang pemirsa yang mengumpat ketika menyaksikan atlit kesayangannya tidak bisa memenangkan pertandingan tersebut. Bahkan dalam sebuah

talkshow, realitas media mampu membawa relitas sosial ke dalamnya.14 Realitas

13

Casey, et als., 2002, 172; Stevenson, 1996, 160-161

14

Ketika kasus perseteruan Inul Daratista dan Rhoma Irama diangkat ke layar televisi dalam acara

(35)

18

sosial saat itu bercampur dengan realitas yang hidup di televisi, bahkan seolah-olah ‘hilang’ ditelan oleh realitas media. Realitas sosial itu baru muncul kembali manakala

program di layar kaca itu telah usai; mata dan pikiran penonton tidak lagi terpaku pada benda ajaib tersebut.

Realitas media merupakan salah satu bagian dari budaya televisi yang diproduksi oleh praktsisi dan lembaga penyiaran televisi. Realitas media itu sendiri berawal dari sebuah gagasan dalam realitas sosial. Melalui serangkaian sistem produksi program televisi, gagasan tersebut direalisasikan ke dalam bentuk program televisi yang kemudian ditayangkan ke layar kaca melalui sistem penyiaran televisi. Realitas media hadir di tengah-tengah realitas sosial dan menjadi obyek kenikmatan audiens karena daya pesona sistem siaran televisi.

Seiring berkembangnya tayangan televisi, realitas media menjadi semakin banyak dan kondisi hiperrealitas pun semakin bertambah. Artinya semakin banyak pula realitas sosial yang ‘hilang’ dalam diri individu yang menyaksikan siaran televisi

karena mereka begitu menikmati tontonan televisi yang ada. Dengan kondisi seperti itu masyarakat tidak diberi kesempatan untuk menyadari bahwa ada permasalahan dalam realitas sosial ketika berjumbuh dengan realitas media, misalnya eksploitasi kekerasan di televisi; program anak-anak yang ditayangkan pada jam tayang utama (prime time) yang merupakan waktu belajar bagi mereka; eksploitasi anak dalam tayangan iklan televisi untuk produk umum; pemanfaatan tubuh perempuan dalam program-program televisi; dan masih banyak lagi yang lainnya.

(36)

19

Persoalan-persoalan itu kurang mendapat perhatian dari masyarakat awam. Pada umumnya mereka hanya melihat, memperhatikan, dan menikmati program televisi. Meski ada beberapa kelompok masyarakat yang sudah mencapai penguasaan

media literacy, namun seringkali mereka tidak mampu mempengaruhi kebijakan yang dijalankan oleh lembaga penyiaran televisi.

5. Studi tentang Televisi di Indonesia

Berdasarkan penelusuran di sejumlah perpustakaan kampus di Yogyakarta, situs internet stasiun televisi dan perusahaan penerbitan buku, hanya terdapat sejumlah kecil karya penelitian dan publikasi buku-buku mengenai praktik televisi di Indonesia yang mengkaji masalah-masalah produksi program dan programming

televisi.15 Dari peredaran buku-buku mengenai televisi di masyarakat, sebagian pengarangnya hanya melakukan pembahasan mengenai topik atau tema-tema tertentu tanpa melakukan penelitian. Memang ada beberapa yang melakukan penelitian namun masih sangat sedikit dibandingkan dengan pesatnya perkembangan pertelevisian di Indonesia.

Arswendo Atmowiloto (1986), Garin Nugroho (1995) dan Veven Sp. Wardhana (1995, 1997, dan 2001) pernah mengkaji secara kritis praktik televisi di Indonesia. Ketiganya mengulas banyak mata acara atau program televisi dalam hubungannya dengan berbagai permasalahan kehidupan sosial pada umumnya. Atmowiloto merupakan salah satu kritikus televisi yang gigih pada saat rezim orde baru begitu kuat mengangkangi TVRI. Ia mengajak para pembaca dan audiens pada

15

(37)

20

umumnya untuk juga mengkritisi acara-acara televisi dalam salah satu bahasannya yang berjudul Menjadi Penonton Televisi yang Baik. Di situ ia memberikan contoh-contoh pertanyaan menggugat pengelola TVRI dan sekaligus pemerintah dalam membuat kebijakan-kebijakan perihal siaran TVRI. Dalam beberapa bagian yang lain Atmowiloto mengulas isi siaran atau tayangan TVRI, mulai dari olah raga, musik, dokumenter (feature), iklan, serial drama lokal dan impor, film asing dan impor. Selain itu ada pula hal-hal yang menyangkut teknis penyiaran seperti misalnya tentang Direct Broadcasting Satellite (DBS) dan pemanfaatan pesawat televisi untuk pemutaran hiburan dalam bentuk kaset video.

Nugroho pun tidak banyak berbeda dengan Atmowiloto. Dalam bukunya

Hiburan dan Kekuasaan (1995), Nugroho juga mengulas banyak hal, meski tidak sebanyak pendahulunya. Namun Nugroho cukup berani dalam menilai baik buruknya sebuah sinetron dalam hubungannya dengan realitas kehidupan artis sinetron. Misalnya, Rano Karno dalam Si Doel Anak Sekolahan dan Lydia Kandau dalam

Gara-Gara, dinilai sebagai artis pemeran tokoh sinetron yang baik. Bahkan Si Doel Anak Sekolahan, oleh Nugroho, dianggap sinetron yang bermutu bagus secara keseluruhan. Kedua kasus tersebut, plus ulasan tentang Meryl Streep dalam film She Devil, dijadikan sebagai sebuah palajaran (teori berakting) yang bermanfaat bagi para calon pemain sinetron (hal. 56-75).

(38)

21

bahwa pada masa Wardhana sudah terdapat lebih banyak stasiun televisi yang beroperasi di Indonesia. Tulisan-tulisan Wardhana juga cukup kritis dan penuh dengan kiasan-kiasan yang cukup ringan dibaca. Beberapa bahasannya cukup tajam, seperti misalnya mengenai rating program televisi dalam bukunya yang kedua Wardhana; hal mana tidak pernah dibahas oleh kedua kritikus sebelumnya.

Ketiga kritikus tersebut tidak pernah bertele-tele dalam menuangkan gagasannya ke dalam bab atau sub-bab yakni sekitar 3 sampai 6 halaman buku. Tulisan mereka terkesan merupakan kumpulan karangan pendek di media cetak seperti koran, tabloid dan majalah. Referensi bacaan dalam karya ketiganya tidak tertata secara sistematis, bahkan sering tidak kita temukan.

Dalam perspektif yang lain, Saraswati Sunindyo membahas tiga sinetron televisi Indonesia, Sayekti dan Hanafi, Apa Yang Kau Cari Adinda, dan Karina,

menggunakan pendekata kajian Poskolonial.16 Cukup menarik karena Sunindyo tidak

hanya berbicara masalah isi ceritanya saja, tetapi ia juga membahas mengenai sosok artis yang ditampilkan dalam berbagai sinetron di Indonesia. Antara lain, ia menjelaskan tujuan pemanfaatan artis yang berdarah indo (peranakan campuran Indonesia dengan asing) dan bukan indo dalam sinetron yang ditayangkan di televisi Indonesia. Ia menemukan adanya wacana dominasi darah keturunan indo dalam dunia sinetron Indonesia.

Tema yang hampir sama denga Sunindyo juga dibahas oleh Pam Nilan (2001)

16 Sunindyo, S, 1998, ‘Wacana Gender di TVRI: Antara Hegemoni Kolonialisme dan Hollywood’,

(39)

22

yang mengamati penayangan telenovela dan menghubungkannya dengan permasalahan gender. Nilan melihat ada sebuah kondisi psikologis dalam audiens televisi perempuan Indonesia yang muncul tatkala mereka menyaksikan telenovela, yakni mimpi-mimpi tentang sosok wanita yang berusaha untuk melepaskan diri dari permasalahan penindasan atas diri mereka sebagai kaum perempuan. Umumnya mimpi para wanita dalam realitas media menjadi kenyataan pada akhir cerita. Bagi Nilan, kondisi ini terkait juga dengan kondisi sosial, khususnya masyarakat Bali dan Indonesia pada umumnya, di mana perempuan ideal sering digambarkan sebagai wanita yang halus, penurut, dan setia, namun mereka sering berada pada kondisi tertekan. Kondisi ideal tersebut justru menjadi kekuatan perempuan di mana melalui kesetiaannya, ketaatannya dan kelembutannya, perempuan dalam cerita di layar kaca mampu melepaskan diri dari permasalahan.

(40)

23

Di antara penulis buku tentang pertelevisian di Indonesia, hanya Kitley (2000) dan Ishadi (2002) yang melakukan penelitian cukup luas cakupannya dan dengan ulasan yang cukup mendalam.17 Kitley menulis sejarah awal keberadaan TVRI dan pertama kalinya dilakukan siaran televisi di Indonesia pada tahun 1962. Sorotan tajam terhadap manajemen TVRI juga dilontarkan pada bagian lain sebagai sebuah praktik monopoli. Kitley mencurigai praktik televisi di Indonesia pada masa orde baru merupakan sebuah bentuk praktik ideologi untuk mempertahankan kekuasaan sebuah rezim. TVRI menjadi sebuah sarana propaganda beraneka macam doktrin orde baru melalui sejumlah program, mulai yang ditujukan untuk anak-anak hingga dewasa. Dalam hal ini Kitley mengambil program animasi Boneka Si Unyil untuk menganalisa doktrin orde baru tentang anak-anak ideal di Indonesia dan sinetron

Keluarga Rahmat untuk doktrin keluarga Indonesia yang sederhana.

Selain itu, Kitley juga membahas mengenai munculnya televisi swasta (RCTI, SCTV, dan TPI) dan mengulas perbedaan-perbedaannya dengan televisi pemerintah. Meskipun dari sisi manajemen dan operasionalnya kedua jenis televisi itu berbeda, pada praktiknya, dalam kacamata Kitley, mereka tetap dikendalikan cukup kuat oleh pemerintah. Hal ini tercermin antara lain dalam keharusan (wajib) relay berita-berita dan liputan-liputan (laporan khusus) tentang pemerintah yang ditayangkan TVRI. Kitley juga membicarakan aspek hukum yang mengatur jalannya siaran dan manjemen televisi di Indonesia selain menampilkan banyak data yang berupa angka, gambar dan bagan, sebagai hasil dari penelitiannya yang intensif dan ekstensif.

17

(41)

24

Sementara itu, Ishadi, dalam disertasi doktoralnya yang ia pertahankan pada bulan Oktober 2002 di Universitas Indonesia, juga melakukan pembahasan yang amat luas dan mendalam tentang pertelevisian di Indonesia. Ia mengulas secara panjang lebar, menggunakan pendekatan politik ekonomi komunikasi, mengenai masalah hubungan antara praktisi televisi dengan pemiliki modal perusahaan televisi. Fokus penelitiannya adalah seputar proses produksi liputan atau berita di ruang redaksi pemberitaan televisi SCTV, RCTI, dan Indosiar. Selain itu, ia juga melakukan wawancara dengan petinggi dan pemilik stasiun TV.

Dalam penelitiannya, Ishadi menemukan bahwa para pemilik modal perusahaan pertelevisian berusaha sekuat tenaga untuk mencampuri proses kreatif produksi program liputan. Meskipun demikian, para praktisi televisi tidak begitu saja menuruti keinginan pemilik modal perusahaan pertelevisian; bahkan resistensi muncul di ruang praktik televisi, secara khusus dalam ruang pemberitaan. Sehingga tarik ulur antara kepentingan bisnis para pemilik modal dengan idealisme para praktisi televisi menjadi sebuah pertarungan. Dalam pandangannya, tarik ulur ini akan semakin kuat terjadi di masa-masa yang akan datang dan sulit untuk diramalkan kepentingan mana yang menang maupun yang kalah.

(42)

25

Programming juga memiliki peran yang cukup penting dalam dunia siaran televisi di Indoensia dan oleh karenanya banyak institusi televisi memiliki bagian ini.

Teks-teks tentang televisi, khususnya yang menyangkut produksi dan penyiaran program televisi, belum banyak ditemukan di Indonesia sehingga terjadi ketidak-seimbangan antara praktik dan kritik dalam dunia pertelevisian di Indonesia.18 Meskipun demikian, teks-teks yang disebut di atas memberikan sumbangan penting bagi perkembangan pengetahuan dan wawasan masyarakat tentang dunia pertelevisian di Indonesia. Teks-teks tersebut di atas juga akan dipergunakan sebagai sumber informasi dan rujukan penting dalam tesis ini.

Kurangnya pengkajian televisi di Indonesia yang dilakukan secara serius, misalnya dengan penelitian yang mendalam seperti menggunakan metode etnografis atau sosiologis, mendorong penulis untuk mencoba mengadakan eksplorasi dunia pertelevisian di Indonesia.

6. Peranan Lembaga Penyiaran Televisi

Quaal dan Brown mengatakan bahwa manajemen stasiun televisi tidak sama satu dengan yang lainnya, namun pada umumnya manajemen sebuah stasiun televisi mempunyai tiga bagian besar yakni Programming, Teknik, dan Umum.19 Selanjutnya ketiga bagian umum tersebut dikembangkan oleh stasiun-stasiun televisi sesuai dengan kebutuhan masing-masing. Satu lembaga penyiaran televisi tertentu bisa saja memantapkan hanya bagian Produksi (Production) terlepas dari Programming,

18 Kukuh, Ibid. 19

(43)

26

misalnya HBO. Tetapi ada juga yang mengembangkan bagian Liputan (News)

terlepas dari Programing, misalnya CNN. Banyak juga lembaga penyiaran televisi yang mempunyai kedua bagian tersebut yang masing-masing bersifat independen secara manajerial seperti lembaga-lembaga penyiaran televisi di Indonesia pada umumnya. Selain Liputan dan Produksi, tidak sedikit pula lembaga penyiaran yang memisahkan Marketing dari Programming. Dengan pengembangan seperti itu, lembaga penyiaran televisi, terutama yang menyajikan hiburan dan informasi, bisa dibagi ke dalam bagian-bagian utama berikut ini:

a. Teknik,

Keenam bagian di atas masih bisa dibagi lagi ke dalam sub-sub bagian sesuai dengan kebutuhan masing-masing bagian dan institusi media tertentu.

Teknik merupakan bagian dalam institusi media televisi yang bertanggung jawab atas segala sesuatu yang berhubungan dengan peralatan teknik, baik untuk produksi maupun untuk penyiaran. Keuangan dan Administrasi Umum, seperti dalam kebanyakan organisasi perusahaan pada umumnya, menangani permasalahan-permasalahan keuangan, manajemen, kepegawaian, kehumasan, dan administrasi pada umunya.

20

(44)

27

Sedangkan bagian Liputan dan Produksi sama-sama bertanggung jawab pada produksi materi siaran (program televisi). Perbedaannya, Liputan menghasilkan program televisi yang berisi informasi atau pemberitaan dengan narasi khas jurnalistik; sedangkan Produksi menghasilkan program televisi yang lebih menekankan pada artistik-kreatif dibandingkan nilai-nilai informasi dan jurnalistik. Sehingga program hasil kreasi Liputan biasanya tidak menggunakan gerakan dan sudut kamera yang ekstrim dan eksploratif, misalnya low angle atau trick shot. Hal ini sangat berbeda dengan hasil kreasi Produksi yang menggunakan banyak gerakan dan sudut kamera, misalnya low angle, tilt down, tilt up, zoom in, zoom out, moving shot

dan penggunakan trick shot, misalnya adegan manusia terbang, dan masih banyak lagi ciri perbedaan dalam pengambilan adegan dalam bidang Produksi. Demikian pula dalam hal narasi, Liputan biasanya menggunakan gaya informatif , ekpositori, dan investigatif, sedangkan Produksi bisa mengeksplorasi gaya yang lebih banyak dan ekstrim seperti hiperbolik, inversif, seduktif, sensual, dan lain sebagainya.

Bagian Programming memiliki peran krusial dalam lembaga penyiaran televisi karena menjadi muara dari semua program sebelum ditayangkan di layar kaca. Bagian inilah yang menyusun jadwal siaran dan menentukan slot (tempat dalam pola dan susunan jadwal) acara televisi. Semua program, baik yang dihasilkan oleh Liputan maupun Produksi, harus diserahkan ke bagian ini disesuaikan dengan slot

yang sudah ditetapkan sebelumnya.

(45)

28

memperoleh dana baik secara langsung dalam bentuk finansial, maupun dalam bentuk fasilitas seperti misalnya make-up dan kostum, akomodasi, logistik, dan lain sebagainya. Selain itu, bagian ini pula yang mempromosikan acara-acara kepada para pemirsa baik melalui siaran (on-air promo) maupun media lain (cetak, radio, website, udara terbuka) serta mengadakan acara jumpa artis dengan para pemirsa atau off-air promo yang biasanya digelar bersama bagian Public Relation (PR) stasiun yang bersangkutan.

Institusi media televisi merupakan produser beraneka produk budaya seperti gambar-gambar yang dihasilkan melalui kerja kamera, olah suara dan olah tubuh oleh artis yang tampil di televisi, gagasan-gagasan yang menjadi tema pembuatan program televisi, dan lain sebagainya. Produk budaya tersebut ditujukan kepada audiens – pemirsa televisi. Dunia televisi merupakan arena produksi berskala besar (filed of large scale production) karena ditujukan bagi kalangan audiens yang sangat luas.21 Dalam institusi media televisi, produksi budaya lebih banyak dilakukan dalam lingkungan bagian Liputan dan Produksi; sedangkan usaha untuk bisa mencapai sasaran dikerjakan oleb bagian Programming. Dalam tesis ini kita akan membahas dua dari enam bagian institusi media tersebut di atas, yang memiliki peran dalam membangun konstruksi sosial, yakni Produksi dan Programming.

Pertama adalah bagian Produksi. Gagasan sebuah program televisi mungkin bisa berasal dari siapa saja, namun untuk merealisasikan gagasan tersebut – tentu bukan untuk memproduksi program informasi atau jurnalistik yang merupakan

21

(46)

29

bidang kerja Liputan (News Department) – mau tidak mau harus berhubungan dengan praktisi yang berkecimpung dalam bagian Produksi. Proses produksi diawali dengan pembuatan desain produksi di mana proses kreatif artistik masih berbentuk rancangan yang berisi antara lain: latar belakang dan tujuan pembuatan program, siapa yang akan ditampilkan, kemasan program, kru produksi yang terlibat, kostum, desain settingnya, dan peralatan-peralatan produksi yang diperlukan. Dalam proses kreatif artistik, produser, director (sutradara), asisten produksi, dan tim kreatif membangun karakter tokoh atau artis yang akan ditampilkan, menentukan hal-hal apa saja yang akan dikatakan dan dilakukan oleh tokoh tersebut. Orang-orang inilah yang membangun konstruksi sosial yang tidak lain adalah sebuah realitas media.

Desain produksi tersebut dituangkan dalam sebuah skenario atau screenplay

atau program rundown, tergantung dari kemasan program yang ditentukan. Skenario,

screenplay, atau program rundown berfungsi sebagai pegangan bagi siapa saja yang terlibat dalam pelaksanaan produksi. Sebelum pelaksanaan produksi, biasanya dilakukan rehearsal atau gladi atau latihan pelaksanaan produksi dengan tujuan agar apa yang telah didesain dapat berjalan sesuai dengan rancangan dalam proses kreatif artistik. Atau, jika terdapat hal-hal yang tidak sesuai dengan yang diinginkan, bisa segera dilakukan perbaikan demi tujuan produksi program itu sendiri.

(47)

30

penjadwalan program televisi di buat secara detail.22 Bagian ini pula yang melakukan pembelian program bilamana bagian Liputan dan Produksi tidak mampu memenuhi pengadaan materi siaran. Bahkan bagian Programming juga sangat berperan dalam mengonstruksi audiens.

Kendati demikian, Programming tetap memerlukan dukungan dari bagian lain setelah manajemen menentukan kebutuhan apa saja yang harus dipenuhi untuk merealisasikan rencana tersebut. Dukungan itu mencakup banyak hal dan melibatkan unit-unit terkecil dalam organisasi staisun televisi. Di samping faktor internal untuk mendukung sisi teknis, isi dan kreativitas, dalam suasana kompetisi yang sangat ketat dengan stasiun TV lain, Programming juga harus mampu memperhitungkan faktor eksternal, seperti misalnya hasil survei kepemirsaan dan

trend acara televisi yang ada.23 Dengan posisi dan perannya seperti di atas, Programming bertanggung jawab atas sukses atau tidaknya sebuah stasiun televisi menayangkan program-programnya di layar kaca.

B. Rumusan Masalah

Tesis ini hendak membahas tentang peranan lembaga penyiaran televisi dalam proses produksi dan penyiaran program televisi sebagai proses produksi budaya sekaligus proses konstruksi sosial atas individu yang ditampilkan dalam program televisi tersebut. Secara khusus, tesis ini membahas tentang proses produksi program dangdut Rindu Inul, berikut pemrogramannya, yang dilakukan oleh lembaga

22 Quaal dan Brown, Ibid., hlm. 162-164. 23

(48)

31

penyiaran Trans TV yang menghadirkan artis utama Inul Daratista. Untuk itulah permasalahan dalam tesis ini dirumuskan dalam empat pertanyaan berikut ini:

1. Apa yang menjadi latar belakang lembaga penyiaran televisi menjadikan program televisi sebagai produksi budaya?

2. Bagaimanakah sebuah program televisi dijadikan sebuah produksi budaya oleh lembaga penyiaran televisi?

3. Bagaimanakah individu dikonstruksikan dalam tayangan televisi? 4. Apakah tujuan individu dikonstruksikan dalam tayangan televisi?

Dengan demikian, cakupan pembahasan tesis ini meliputi dunia pertelevisian di Indonesia pada umumnya sebagai latar belakang, sebuah lembaga penyiaran televisi sebagai latar depan, dan sebuah program televisi sebagai studi kasus. Lembaga penyiaran televisi yang dijadikan latar depan adalah Trans TV, sedangkan studi kasusnya adalah Rindu Inul yang ditayangkan Trans TV pada tanggal 4 Juni 2003.

C. Tujuan Penulisan Tesis

1. Membuat peta sosial dunia pertelevisian di Indonesia;

2. Menggambarkan posisi dan peran lembaga penyiaran televisi tertentu dalam dunia pertelevisian di Indonesia yang disebut dengan arena televisi;

3. Menguraikan proses produksi dan penyiaran program televisi – mulai dari penciptaan gagasan, desain produksi, pelaksanaan produksi, dan pemrograman siaran televisi;

(49)

32

D. Manfaat Tesis

1. Memberikan gambaran perkembangan siaran televisi dan dunia pertelevisian di Indonesia kepada publik;

2. Memberikan pemahaman mengenai proses produksi dan penyiaran program televisi kepada publik;

3. Membangun critical media-awareness di kalangan praktisi televisi dan publik;

4. Membangun kesadaran publik agar mau berpartisipasi dalam pengambilan keputusan tentang siaran televisi;

(50)

33

BAB II

TELEVISI DAN PRODUKSI BUDAYA

Siaran televisi merupakan sebuah kerja praktik, tidak saja praktik menciptakan program televisi, tetapi juga menyangkut produksi nilai-nilai dan makna. Dengan demikian praktik produksi dalam siaran televisi dapat dikatakan sebagai praktik produksi budaya. Bagian pertama bab ini kita akan membahas pertelevisian sebagai praktik produksi budaya yang akan mencakup dua hal: pertama, televisi selalu berhubungan makna dan nilai-nilai sosial; kedua, praktek pembuatan program televisi sendiri adalah sebuah kerja budaya. Kemudian, dalam bagian selanjutnya kita akan berbicara tentang teori yang menjadi landasan bagi pembahasan masalah utama tesis ini, yakni teori Arena yang meliputi konsep habitus, modal, dan arena itu sendiri. Pada bagian ketiga akan dipaparkan susunan pembahasan berdasarkan konsep-konsep beserta yang telah ditentukan.

A Televisi: Praktik Produksi Budaya

Hiruk pikuk pertelevisian tidak terlepas dari konsep budaya televise dan praktik produksi budaya; keduanya memilliki keterkaitan satu dengan lainnya. Pada bagian pertama ini, kita akan melihat pemaparan konsep budaya televisi. Kemudian, pada bagian berikutnya, kita akan membahas pertelevisian sebagai praktik produksi budaya.

1. Televisi dan Budaya Televisi

(51)

34

makna.24 Televisi tidak dilihat sebagai sebuah medium per-se yang mempengaruhi audiens. Tetapi dalam Kajian Media, televisi juga dimaknai sebagai sebuah konstruksi sosial yang dibangun berdasarkan hubungan kompleks produser – televisi – audiens. Meskipun sebenarnya tidak pernah terlepas dari teori-teori dalam disiplin ilmu yang lain seperti Ilmu Komunikasi, Sosiologi, Filsafat, dan ilmu sosial lainnya, Kajian Budaya/Media telah menjadikan televisi dan perkembangan teknologi yang menyertainya sebuah obyek yang sangat ideologis.

Karakter ideologis tersebut ditunjukkan oleh James Lull dengan mengatakan bahwa televisi merupakan sebuah institusi yang memiliki otoritas istimewa yang sering diperebutkan oleh berbagai kekuatan untuk menciptakan legitimasi mereka.(1998: 67-68). Otoritas tersebut didasarkan pada apa yang melekat dalam penampilannya yakni audio-visual, langsung, dan leluasa. Kekuatan itu bisa berupa kekuatan politis seperti negara, kekuatan ekonomi seperti pemilik modal, kekuatan sosial seperti audiens, atau kekuatan individu seperti para selebritis dan para praktisi. Televisi merupakan media yang amat rentan terhadap berbagai pengaruh ideologi. Rasanya amat sulit untuk menghentikan jalannya sebuah siaran televisi oleh berbagai kekuatan tersebut kecuali dengan cara-cara yang ekstrim, misalnya menghentikan proses transmisi dari dan melalui satelit atau menghentikan paksa secara fisik siaran di studio pemancar televisi. Kerentanan televisi dan bersatunya pengaruh berbagai kekuatan di dalamnya mampu membangun sebuah struktur dinamis yang disebut dengan budaya televisi (television culture).

24

(52)

35

Menurut Fiske (1980: 1), budaya televisi merupakan

... bagian yang sangat penting dari dinamika sosial di mana struktur sosial mempertahankan dirinya melalui sebuah proses produksi dan reproduksi yang konstan: makna, kenikmatan populer, dan peredaran keduanya menjadi bagian dan bidang struktur sosial ini.

Budaya televisi bukan sekedar kebiasaan menonton program-program televisi tertentu pada jam tertentu dan menikmati isi tontonan tersebut. Dalam kebiasaan itu, audiens tidak hanya menikmati apa yang dilihat dan didengar. Motivasi, cara menonton, cara menikmati, bagaimana menilai baik buruknya sebuah program televisi, isi program televisi, dan lain-lain yang berhubungan dengan televisi dan siapa saja yang terlibat dalam program tersebut merupakan bagian dari budaya televisi. Audiens yang menyaksikan acara televisi mau tidak mau akan memberikan pemaknaan dan membangun struktur makna berdasarkan pengetahuan masuk akal (common-sense knowledge) atas realitas dalam televisi (realitas media) dan atas realitas sosial mereka. Mereka melibatkan perasaan, indera, anggota tubuhnya, bahkan mereka sering melibatkan siapa saja atau apa saja yang ada di sekitarnya, baik yang kelihatan maupun yang tidak kelihatan. Inilah yang dikonsepsikan sebagai audiens aktif dalam Kajian Budaya (Hall, 1980a; Morley, 1980; Ang, 1985, Fiske 1987). Aktivitas-aktivitas semacam itu tidak saja dilakukan satu atau segelintir individu. Namun kadang terjadi koinsidensi aktivitas menonton televisi antara satu dengan banyak audiens lainnya, bahkan mereka yang berada dalam ruang dan waktu yang berbeda.

(53)

36

pengetahuan yang mereka miliki. Pemaknaan itu melibatkan hal-hal yang sama dengan yang dilibatkan oleh audiens ketika menyaksikan program televisi. Dalam proses produksi ini, struktur makna juga akan terbentuk pada saat program telah dijadwalkan untuk dihadirkan ke ruang publik.

Budaya televisi selalu berhubungan dengan produksi, peredaran, dan reproduksi. makna dan kenikmatan. Untuk memproduksi makna maka harus ada teks yang akan dimaknai; untuk memproduksi teks harus ada program; untuk memproduksi program harus ada 'cerita'; untuk memproduksi cerita harus ada realita. Kata yang tepat untuk memperlakukan realita sehingga menjadi cerita adalah 'membaca'.25 Realita memang bisa dilihat atau disaksikan. Akan tetapi melihat atau menyaksikan saja tidak cukup; harus ada sikap proaktif dan dasar pengetahuan agar realita memiliki makna. Pembacaan merupakan sikap proaktif – yang mendasarkan pada pengetahun yang dimiliki oleh produsen program – untuk membangun sebuah cerita menjadi sebuah program televisi dan selanjutnya menjadi wacana bermakna. Setelah ditayangkan ke dalam layar kaca, program tersebut akan dimaknai kembali sesuai dengan cara-cara dan kemampuan yang dimiliki audiens. Makna dan kenikmatan timbul, baik dalam diri audiens maupun mereka yang turut memproduksi program dan menanyangkan program itu.

2. Pertelevisian sebagai Praktik Produksi Budaya

Selama ini kajian tentang budaya televisi lebih banyak dilakukan melalui

25

Gambar

Gambar  1. Skema kode-kode televisi
Tabel 1. Perkembangan Jam Siaran  Televisi Nasional di Indonesia.6
Tabel 2. Kategori program televisi di Indonesia hingga akhir tahun 2002.9
Tabel 3. Pertumbuhan  jumlah Acara dan Jam Siaran  Program Dangdut di
+7

Referensi

Dokumen terkait

dapat dikemukakan bahwa hipotesis yang penulis rumuskan pada Bab I yaitu terdapat kontribusi yang signifikan antara keseimbangan statis dan power lengan terhadap

Konsep realitas dipahami sebagai cara orang-orang dari kultur yang berbeda tentu memiliki ide yang berbeda tentang realitas. Realitas yang dipahami misalnya

Berdasarkan pendapat beberapa ahli, Maka dapat disimpulkan bahwa deiksis wacana berhubungan dengan penggunaan ungkapan di dalam suatu ujaran untuk mengacu

[r]

Pernyataan Saya minum-minuman keras atau memakai narkoba berlebihan Saya makan makanan yang sehat Saya belajar atau mengerjakan tugas sekolah semalaman ketika sudah mendekati

Pemahaman tentang profesi SDM penting bagi mahasiswa untuk memberikan gambaran yang jelas mengenai profesi SDM dalam prakteknya di dunia kerja, sehingga Universitas Atma

tujuan yang sama dengan sekolah, namun kedua model belajar tersebutb. mempunyai perbedaan-perbedaan, salah satunya yakni dalam proses

Berdasarkan tujuan yang telah dirumuskan, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara kesadaran merek ( brand awareness ) dengan minat