• Tidak ada hasil yang ditemukan

LATAR BELAKANG HISTORIS: DARI MONOPOLI KE KOMPETISI

A. Monopoli Siaran Televisi

Pencetus gagasan siaran televisi di Indonesia adalah Maladi, Menteri Penerangan pada era Soekarno (Desember 1959 – Maret 1962) yang sebelumnya menjabat sebagai Kepala Siaran Radio Republik Indonesia (RRI) (1946 – 1959).51 Gagasan itu sudah diusulkannya sejak tahun 1952. Jika pada awalnya, Maladi mengusulkan demikian dalam bingkai politik kekuasaan dan tidak ditanggapi serius, maka pada tahun 1959, ia mengajukan usulan serupa namun dengan bingkai politik pendidikan dan komunikasi yakni perlunya melakukan peliputan pesta olah raga

51

80

negara-negara Asia seperti dilakukan oleh Jepang tahun 1958.52 Kemudian, MPRS sebagai pengejawantahan rakyat dan pemerintah RI menanggapinya dengan membuat Keputusan MPRS Nomor II/MPRS/1960, khususnya dalam Lampiran A, Bab I Pasal 18 yang menyebutkan bahwa pembangunan siaran televisi untuk keperluan pendidikan dalam tahap pertama dibatasi pada tempat-tempat yang ada universitasnya di Indonesia.53 Presiden Soekarno pun menyetujui rencana tersebut dan Menpen Maladi mengeluarkan Keputusan Menteri Penerangan Nomor 20/SK/M/61 tanggal 25 Juli tentang pembentukan Panitia Persiapan Televisi (P2TV).54

Setelah melalui berbagai proses persiapan, P2TV melakukan uji coba sistem siaran televisi dengan menayangkan secara langsung acara peringatan hari Kemerdekaan RI ke 17 pada tanggal 17 Agustus 1962 di Istana Merdeka Jakarta selama tiga setengah jam. Siaran pertama inilah yang menandai kebesaran bangsa Indonesia dengan menjadi negara ke 4 di Asia yang mampu melakukan siaran televisi. Dengan posisi tersebut, Indonesia bisa disejajarkan dengan negara-negara lain yang telah memiliki siaran televisi yang masih langka pada waktu itu.

Seminggu setelah uji coba, TVRI mulai menyiarkan secara langsung liputan sejumlah peristiwa dalam Asian Games IV yang berlangsung di Jakarta setiap hari mulai tanggal 24 Agustus hingga 12 September. Sedangkan peristiwa-peristiwa lain yang tidak bisa disiarkan secara langsung, ditayangkan ulang dalam 'jurnal' Asian Games setiap hari. Selama itu, siaran televisi dilakukan minimum 1,5 jam setiap

52 Ibid., hlm. 26. 53 Panjaitan, 2000: 2 54 Ibid.

81

harinya meskipun tercatat bahwa siaran TVRI pernah berlangsung selama 15,5 jam pada hari Sabtu, 1 September 1962.55 Liputan Asian Games IV menandai resminya TVRI melakukan siarannya dan tanggal 24 Agustus 1962 pun ditetapkan sebagai hari lahirnya TVRI.

Meskipun sebenarnya belum jelas siapa yang sudah menikmati siaran televisi pada masa itu, masyarakat Indonesia telah dihadapkan pada sebuah bentuk budaya baru yang kehadirannya diageni oleh pemerintah sendiri. Hingga akhir tahun 1972 atau dalam kurun waktu 10 tahun, baru terdapat 4 stasiun televisi di Indonesia yakni di Jakarta, Jogjakarta, Medan dan Makasar. Dengan wilayah geografis Indonesia yang demikian luas, siaran TVRI selama itu baru menjangkau tidak lebih dari 5 %. Itupun belum banyak penduduk yang mampu membeli pesawat televisi. Sebagian besar warga masyarakat masih menyaksikan tayangan televisi melalui pesawat televisi yang dipajang di tempat-tempat umum milik pemerintah seperti di kantor-kantor kecamatan di kota tertentu atau menumpang di rumah tetangga yang sudah memiliki pesawat televisi.56

Siaran dan kegemaran menonton televisi itu mengandung makna simbolis. TVRI dan bangsa Indonesia memiliki ritual yang sama dan persamaan ini pula yang mempertautkan TVRI sejak siaran pertamanya dengan proses politis pembangunan bangsa, serta pembentukan dan penyebaran ide-ide tentang budaya nasional dan

55

Kitley, Ibid.

56

Tidak mengherankan kalau di depan Gedung Senisono Jogjakarta (sebelah selatan Gedung Agung di ujung selatan area Malioboro) pada era 1970-an dipadati oleh warga yang menonton peswat televisi yang dipasang oleh pemerintah bekerja sama dengan TVRI Jogjakarta

82

dalam praktek politis, ideologis, dan budaya bangsa.57 Ritual yang dimaksud adalah peristiwa-peristiwa media yang muncul dalam televisi sebagai bentuk komunikasi yang dimonopoli, direproduksi tidak secara kritis, dalam hal ini oleh pemerintah, dan hanya menjadi tontonan masyarakat.58 TVRI memproduksi peristiwa media dalam bentuk acara-acara televisi seperti liputan (berita), dialog, dan drama televisi. Dengan kewenangannya, TVRI memonopoli komunikasi melalui siaran televisi. Sementara itu, masyarakat Indonesia yang sudah bisa menerima siaran televisi senantiasa manyaksikan acara-acara tersebut. Keduanya, TVRI dan masyarakat pemirsanya, melakukan pekerjaan masing-masing tanpa sikap kritis.

Pemerintah hanya mempersiapkan dirinya untuk menyambut kehadiran budaya baru, sedangkan masyarakat umum hanya menerima begitu saja tanpa persiapan. Pada awal hadirnya sistem siaran televisi, pemerintah membagikan 10.000 unit pesawat televisi kepada pegawai negeri, sejumlah di antaranya dipasang di beberapa tempat di bagian informasi Komite Kotapraja Asian Games dan sudut-sudut kota Jakarta supaya siaran TVRI bisa ditonton masyarakat.59 Namun hal itu tetap saja menandakan bahwa proyek televisi adalah gagasan dari pemerintah tanpa melibatkan masyarakat. Kendali atas siaran televisi seluruhnya berada di tangan pemerintah. Masyarakat hanya menjadi sasaran dari proyek ini dan tidak diberi peluang untuk terlibat dalam berbagai kebijakan yang berhubungan dengan siaran televisi. Ritual ini

57

Kitley, 2000: 30.

58

Curran dan Liebes (1998: 4) meminjam istilah Dayan dan Katz, Media Events (1992); Carrey menyebut ritual sebagai peristiwa media yang merupakan episode-episode dalam sejarah negara bangsa, dan dalam era pertelevisian, relasi antara negara, bangsa, dan kelompok-kelompok masyarakat. (1998: 43)

59

83

berlangsung selama berpuluh-puluh tahun hingga munculnya stasiun televisi yang lain yang disebut TV swasta.

Pertelevisian di Indonesia mulai diatur sebagai lembaga negara pada tahun 1966 ketika TVRI berada di bawah Dirjen Radio, Televisi dan Film Departemen Penerangan Republik Indonesia; tidak lagi langsung berada di bawah Presiden (Yayasan Gelora Bung Karno).60 Pada tahun 1971, pemerintah memperkuat keberadaan TVRI dengan sebuah Keputusan Menteri; menjadikan TVRI sebagai Direktorat Televisi yang kekuasaannya menjadi cukup besar untuk mengatur segala hal yang bersangkutan dengan teknis masalah pertelevisian di Indonesia.61 Akan tetapi pada tahun 1987, wewenang TVRI diperbesar lagi melalui Kepmen No. 190A/KEP/MENPEN/1987, dan memungkinkan untuk melibatkan pihak swasta dalam penyelenggaran siaran televisi, khususnya dalam bentuk Sistem Siaran Terbatas (SST).62 Meskipun demikian, peraturan-peraturannya masih ditentukan oleh Menteri Penerangan.63