• Tidak ada hasil yang ditemukan

ARENA TELEVISI DI INDONESIA

A. Ruang Sosial Arena Televisi

2. Lembaga sebagai Agen

Lembaga merupakan kategori umum yang masih bisa diperinci ke dalam lembaga yang lebih spefisik yang tentu saja jumlahnya secara keseluruhan akan menjadi sangat banyak. Karena karakter lembaga yang terlibat dalam arena televisi berbeda-beda, distribusi modal mereka pun tidak sama. Ada tiga kategori umum lembaga dalam bagian ini. Pertama, lembaga kebijakan publik yang terlibat dalam arena televisi adalah pemerintah, DPR, komisi independen, dan Lembaga Sensor Film LSF).74 Disebut lembaga kebijakan publik karena lembaga-lembaga ini memiliki kekuasaan dan kewenangan dalam menentukan kebijakan-kebijakan umum berkenaan dengan bidang pertelevisian. Kedua, lembaga publik swasta adalah lembaga yang dikelola oleh badan swasta atau yang dijadikan seperti badan swasta. Mereka yang terlibat dalam arena televisi adalah lembaga penyiaran televisi75, distributor program

73

Bourdieu sendiri memberikan catatan tambahan dalam kurung 'secara relatif' ketika membandingakan dua modal yang diakumulasi dua agen: kaum intelek dan pebisnis. Selengkapnya Bourdieu menuliskan, "There is thus chiasmatic structure, homologous with the structure of the field of power, in which, as we know, the intellectuals, richin cultural capital and (relatively) poor in economic capital, and the owners of idustry and business, rich in economic capital and (relatively) poor in cultural capital, ..." (1993, 185). Cetak miring dari penulis.

74

Pada waktu berada di bawah wewengan Departemen Penerangan, lembaga ini bernama Badan Sensor Film (BSF). Namun semenjak tahun 1994 diubah menjadi Lembaga Sensor Film yang posisinya berada langsung di bawah Presiden. Anggota LSF berjumlah 45 orang yang berasal dari berbagai ormas yang ada di Indonesia.

75 Sebenaranya lembaga penyiaran televisi terdiri beberapa macam. Namun pengelolaan lembaga tersebut, termasuk pengelolaan manajemennya tidak jauh berbeda antara satu dengan yang lainnya.

100

televisi, rumah produksi, perusahaan sponsor acara televisi, dan lembaga survei penyiaran. Ketiga, lembaga sosial nirlaba terdiri dari orgnasisasi kemasyarakatan (ormas), institusi pendidikan, dan lembaga swadaya masyarakat (LSM). Di bawah ini terangkum lembaga-lembaga yang terlibat dalam arena televisi dengan struktur modal yang sudah diakumulasi hingga tahun 2005.

Akumulasi Modal

Institusi Ekonomi Simbolik Budaya Sosial

1. Pemerintah - + + +

2. Komisi independen - + - -

3. Dewan Perwakilan Rakyat - + + +

4. Lembaga Sensor Film - + + -

5. Lembaga Penyiaran Televisi + + + +

6. Distributor Program Televisi + - + -

7. Rumah Produksi (Production House)

+ - + +

8. Lembaga Survei Penyiaran + + + +

9. Perusahaan-perusahaan Pengiklan + - + +

10. Organisasi Kemasyarakatan - - + +

11. Institusi Pendidikan - - + +

12. Lembaga Swadaya Masyarakat - - + +

Tabel 5. Institusi yang terlibat dalam arena televisi dan kecenderungan akumulasi modal: (+) menandakan dominan, (-) tidak dominan.

a. Lembaga Kebijakan Publik

Pemerintah adalah lembaga negara eksekutif yang menjalankan roda pemerintahan. Lembaga ini bisa berupa departemen atau kementrian yang terkait dengan siaran televisi, misalnya Departemen Komunikasi dan Informasi yang menangani perijinan siaran lembaga penyiaran televisi. Sementara itu di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terdapat komisi-komisi (sebagai badan kelengkapan DPR) yang berhubungan dengan masalah siaran televisi. Komisi independen adalah komisi yang berkaitan dengan siaran televisi, misalnya Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Komisi Penegak Perilaku Penyiaran Televisi (KP3T), Komisi Pemilihan Umum

101

(KPU) dan lain-lain. Namun komisi yang terlibat secara intens dan dominan dalam arena televisi adalah KPI Sedangkan Lembaga Sensor Film (LSF) merupakan satu-satunya lembaga yang dengan kewenangan tunggal meluluskan atau tidak meluluskan program televisi untuk ditayangkan.

Keempat lembaga tersebut memiliki modal simbolik yang sangat dominan namun tidak satupun mengakumulasi modal ekonomi secara dominan. Hal ini lebih disebabkan kewenangan dan tugas mereka memang tidak bertujuan untuk memperoleh keuntungan ekonomi dan mereproduksi modal ekonomi. Modal simbolik yang mereka miliki merupakan hasil kesepakatan politik di antara mereka yang terlibat dalam arena televisi. Keempat lembaga ini diserahi tanggung jawab untuk membuat dan menjalankan peraturan-peraturan yang berlaku dalam arena televisi.

Dari keempat lembaga pertama di atas, pemerintah dan DPR memiliki akumulasi modal yang cukup dominan dalam hal modal simbolik, budaya, dan sosial. Sebagai lembaga negara, mereka memiliki kekuasaan dan kewenangan untuk mengeluarkan berbagai kebijakan tentang penyiaran televisi. Namun kekuasaan dan kewenagan tersebut tidak dapat dijalankan secara sewenang-wenang. Meskipun memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap berbagai institusi dan individu sebagai age-agen dalam arena televisi, berbagai kebijakan yang diambil dan diputuskan oleh pemerintah dan DPR harus mempertimbangkan kekuatan lain dalam arena tersebut.

Pemerintah dan DPR merupakan lembaga yang sudah sejak awal, bersama dengan lembaga penyiaran televisi, ikut mengembangkan dunia pertelevisian di Indonesia. Mereka juga telah belajar banyak dalam bidang pertelevisian. Oleh karena itu, kedua lembaga ini juga telah memiliki modal budaya yang cukup dominan.

102

Kewenangan dan tugas mereka sangat luas sehingga memungkinkan mereka untuk menjalin kerja sama dan membentuk jaringan dengan lembaga-lembaga lain, termasuk dengan individu. Kerja sama inilah yang memperkuat modal sosial mereka. Sekalipun demikian, mereka tidak mampu mengakumulasikan modal ekonomi karena karakter khas mereka sebagai lembaga kebijakan publik yang tidak berorientasi pada kepentingan ekonomi.

Sementara itu, komisi independen yang selalu terlibat dalam arena televisi adalah Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).yang berpusat di ibukota negara, Jakarta.76 Lembaga ini juga merupakan lembaga kebijakan publik dan menjadi 'pemain' paling baru yang terlibat dalam arena televisi sejak disahkan pada tahun 2003. Sebagai lembaga kebijakan publik, seperti halnya pemerintah dan DPR, KPI berpotensi untuk mengakumulasikan modal budaya dan modal sosial secara dominan. Tetapi, hingga sekarang ini, KPI baru mengakumulasikan modal simbolik dengan kekuasaan dan kewenangan yang dilimpahkan melalui UU Penyiaran NO. 32 tahun 2002. Kendati demikian, KPI masih barus berjuang dengan keras karena masih ada gugatan atau pertanyaan-pertanyaan mengenai kekuasaan dan wewenang yang diembannya.77

Modal budaya yang diakumulasikan oleh KPI juga belum dominan. Meskipun anggota-anggotanya memiliki kapabilitas intelektual karena keanggotaanya ditentukan melalui fit and proper test (termasuk dalam hal pengetahuan dan wawasan

76

Di samping KPI Pusat (Nasional) juga ada KPID (Komisi Penyiaran Indonesia Daerah) di wilayah Propinsi. Selain KPI, juga ada KP3 yang baru dibentuk tahun 2005. Kedudukan KP3 dalam arena televisi sejajar dengan KPI. Meskipun demikian KP3 tidak akan dibahas dalam tesis ini.

77Misalnya kebratan Direktur Pemberitaan SCTV atas Ssurat Teguran KPI. (lihat http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2004/11/26/brk,20041126-01,id.html

103

dalam bidang pertelevisian) yang dilakukan oleh DPR,78 secara kelembagaan KPI belum memiliki pengalaman dan wawasan yang luas tentang pertelevisian di Indonesia.79 Jaringan sosial KPI yang belum banyak dibangun secara kelembagaan, misalnya kerja sama dengan ormas, LSM, dan lain-lainnya, menjadikan akumulasi modal sosialnya pun tidak begitu dominan. Banyak praktisi pertelevisian di Indonesia yang masih belum mengetahui secara persis keberadaan KPI, berikut tugas dan wewenangnya dalam bidang pertelevisian.

LSF merupakan 'pemain' lama dalam arena televisi yang terlibat sejak tahun 1990 berdasarkan Keputusan Menteri Penerangan RI No. 111/1990. Tugas dan wewenang LSF dalam arena televisi sangat terbatas yakni memeriksa isi program televisi yang sudah direkam dan berwenang untuk meluluskan seluruh isi program televisi, meluluskan dengan perbaikan, atau menolak seluruh isi sebuah program televisi.80 Jika meluluskan, LSF akan mengeluarkan Surat Tanda Lulus Sensor (STLS) pada setiap program rekaman yang akan ditayangkan oleh stasiun televisi. Namun jika menolak, lembaga ini akan memberikan Surat Tanda Tidak Lulus Sensor (STTLS) kepada lembaga penyiaran yang mengajukan pemerikasaan program. Keberadaan LSF untuk menentukan lulus tidaknya sebuah program televisi hanya terpusat di Jakarta. Karena keterbatasan-keterbatasan tersebut, LSF tidak memiliki modal sosial yang dominan.

78

Untuk Ketua dan Anggota KPID, pelaksanaan fit and proper test dilaksanakan oleh DPRD Propinsi.

79

Ibid.. Dalam penolakan tersebut, Karni Ilyas – Penanggung Jawab Liputan SCTV – masih mempertanyakan pengetahuan KPI tentang sejumlah batasan-batasan siaran televisi.

80

Ketentuan yang berlaku mensyaratkan pada lembaga penyiaran televisi untuk memeriksakan seluruh program televisi. Namun dalam prakteknya, karena keterbatasan jumlah anggota LSF, tidak semua program televisi mampu ditangani oleh LSF dengan cepat (berdasarkan waktu tayang) seperti program siaran tunda dan siaran langsung.

104

b. Lembaga Swasta

Dari sepuluh kategori agen lembaga di atas, yang memiliki peran sangat sentral dan paling menonjol adalah lembaga penyiaran televisi dengan akumulasi modal sangat dominan, baik modal ekonomi, simbolik, budaya dan sosial. Meskipun terdapat jenis TV yang tidak bersifat komersial seperti TV Publik dan TV Komunitas, pada dasarnya lembaga penyiaran televisi mengakumulasikan modal ekonomi. Mereka tidak akan mampu bermain dalam arena televisi tanpa bentuk modal tersebut. Lembaga penyiaran televisi juga memiliki kewenangan untuk melaksanakan siaran televisi yang sangat dominan. Walaupun diatur oleh Undang-undang dan lembaga kebijakan publik, kebijakan yang diambil oleh lembaga penyiaran televisi sering tidak begitu mudah dipengaruhi oleh lembaga-lembaga lain dalam arena televisi.

Dengan kewenangan dan kebijakan dalam melakukan siaran televisi, lembaga penyiaran juga berhasil mengakumulasikan modal simbolik. Siaran televisi dengan berbagai aneka ragam jenisnya memiliki pengaruh yang sangat kuat terhadap semua agen yang terlibat dalam arena televisi, baik kelembagaan maupun individual. Dari berbagai interaksi yang dilakukan oleh lembaga-lembaga penyiaran dengan agen-agen lain, tercapailah banyak kesepakatan dalam berbagai hal, terutama yang menyangkut soal siaran televisi. Pengaruh dan kesepakatan yang muncul dari lembaga penyiaran ini semakin menguatkan modal simbolik lembaga tersebut.

Keberadaan lembaga penyiaran televisi semenjak adanya TVRI – kendati terdapat sejumlah staisun televisi yang belum lama beroperasi – memberikan mereka modal budaya yang cukup dominan sama halnya dengan pemerintah dan DPR. Modal budaya diakumulasikan melalui berbagai transfer ilmu dan teknologi pertelevisian

105

dari institusi penyiaran di luar negeri sejak awal keberadaan TVRI hingga beroperasinya TV swasta. Modal budaya ini juga ditunjukkan dengan sifat organik dan dinamiknya lembaga-lembaga yang bergerak dalam penyiaran televisi.

Ruang gerak lembaga penyiaran yang sangat luas memberi sumbangan modal sosial yang sangat besar pula terhadap lembaga tersebut. Ruang gerak itu tidak saja meliputi hal-hal praktis yang berhubungan dengan siaran televisi, tetapi juga mencakup wilayah-wilayah konseptual seperti pendidikan, penelitian, dan pelatihan. Kerja sama terjalin secara mantap dengan berbagai institusi dan individu sebagai agen-agen dalam arena televisi.

Distributor program televisi terlibat dalam arena televisi ketika TVRI menyiarkan banyak program asing. Namun mereka aktif bermain sejak munculnya lembaga penyiaran televisi swasta. Wewenang lembaga sangat terbatas dengan orientasi ekonomi yakni menyediakan program televisi bagi lembaga penyiaran televisi, namun tidak dengan memproduksi program melainkan dengan menyewakan hak tayang. Pada dasarnya mereka telah memiliki modal ekonomi yang cukup dominan. Disrtibutor program televisi tidak mengakumulasi modal simbolik secara dominan sebab mereka tidak mampu mempengaruhi lembaga-lembaga lain baik secara langsung maupun tidak langsung kecuali lembaga penyiaran televisi dan rumah produksi. Karena sudah lama berkiprah dalam arena televisi, mereka cukup mengenal seluk beluk pertelevisian di Indonesia. Oleh karena itu pula lembaga ini telah mengakumulasi modal budaya seara dominan. Walaupun demikian, mereka tidak memiliki jaringan sosial yang cukup luas, misalnya mereka tidak berhubungan dengan LSF atau DPR atau akademisi, dan lain-lain, sehingga mereka pun tidak

106 memiliki modal sosial yang dominan.

Sedikit berbeda dengan distributor program televisi, Rumah Produksi (Producion House) atau yang lebih dikenal dengan PH ikut terlibat dalam arena televisi ketika TVRI kewalahan melakukan produksi program televisi. Mereka semakin aktif ketika lembaga penyiaran televisi swasta semakin menjamur. Oleh karena sudah cukup lama bermain dalam arena televisi, mereka pun telah mengakumulasi moda budaya secara dominan. Orientasi mereka adalah ekonomi sehingga memberikan sumbangan bagi akumulasi moda ekonomi secara dominan. Dengan wewenang hanya memproduksi program televisi bagi lembaga penyiaran televisi, sementara jumlah PH di Indonesia sangat banyak dan bersaing secara ketat, agen lembaga ini tidak mengakumulasi modal simbolik yang dominan. Di samping itu, sama halnya dengan distributor program televisi, PH hanya mampu mempengaruhi lembaga penyiaran televisi. Jikapun produk mereka yang berupa program televisi, mendapat apresiasi yang cukup bagus dari publik, yang diuntungkan adalah lembaga penyiaran televisi yang menayangkannya. Namun, karena mereka mampu menjalin kerja sama dengan lembaga-lembaga lain dalam arena televisi, mereka juga telah mengakumulasikan modal sosial yang cukup dominan.

Pada bagian lain dalam arena televisi, terdapat lembaga survei penyiaran yang dalam hal ini ditempati oleh AC Nielsen, sebuah lembaga survei penyiaran yang telah mendapat pengakuan internastional dalam bidang penyiaran, khususnya pertelevisian. Pengakuan agen-agen lain dalam arena televisi terhadap akuntabilitas, kredibilitas, dan reputasi AC Nielsen, memberikan sumbangan yang amat kuat terhadap modal simbolik lembaga ini. Pengaruhnya terasa sangat besar terhadap lembaga-lembaga

107

lain dalam arena televisi seperti lembaga penyiaran televisi, PH, dan perusahaan pengiklan. Hasil kerja lembaga survei ini tidak pernah mendapat protes dari lembaga-lembaga lain kecuali institusi pendidikan.81 Hasil kerja tersebut juga menunjukkan bahwa lembaga survei penyiaran televisi ini telah memiliki modal budaya yang amat kuat. Sebagai sebuah lembaga yang berorientasi ekonomi, AC Nielsen telah mengakumulasikan modal ekonomi secara dominan. Hampir semua informasi (data) yang berhubungan dengan pertelevisian yang dikumpulkan oleh AC Nielsen tidak dapat diakses oleh publik kecuali dengan 'kontrak bisnis'. Dengan jaringan yang begitu luas, lembaga ini juga telah mengakumulasi modal sosial yang cukup besar.

Yang dimaksud dengan perusahaan pengiklan adalah perusahaan-perusahaan umum yang mengiklankan produk-produknya dalam berbagai program siaran televisi dan perusahaan yang mengelola iklan-iklan tersebut (perusahaan periklanan khususnya yang tergabung dalam Persatuan Perusahaan Peiklanan Indonesia atau P3I). Mereka sangat dominan dalam hal modal ekonomi dan memiliki pengaruh yang sangat kuat bagi penumpukan modal ekonomi lembaga-lembaga lain. Meskipun demikian, lembaga ini tidak memiliki modal simbolik yang cukup kuat karena kewenangan dalam arena televisi sangat terbatas.

Institusi ini juga sudah lama terlibat dalam arena televisi dan mereka pun sangat memahami pertelevisian dan perkembangannya. Oleh karena itu, mereka pun memiliki modal budaya yang cukup kuat. Jaringan perusahaan pengiklan ini terjalin cukup luas misalnya melalui kerja sama dengan lembaga pemerintah untuk

81 Institusi pendidikan sebagai lembaga ilmiah sering mempertanyakan akurasi dan reliabilitas survei AC Nielsen.

108

mengampanyekan program-program pemerintah dalam bentuk iklan layanan masyarakat yang ditayangkan di televisi. Hal ini menunjukkan bahwa modal sosial mereka juga cukup besar.

Seluruh lembaga swasta tersebut di atas, dengan demikian, mengakumulasikan modal ekonomi secara dominan karena orientasi mereka pada keuntungan ekonomi. Mereka juga dominan dalam hal modal budaya karena mereka sangat mengenal dunia pertelevisian di Indonesia. Bisa dikatakan sumbangan mereka terhadap perkembangan pertelevisian di Indonesia cukup besar. Keberadaan lembaga-lembaga swasta inilah yang menghidupkan arena televisi di Indonesia.

c. Lembaga Sosial Nirlaba

Dalam kategori umum lembaga sosial nirlaba terdapat Organisasi Kemsasyarakatan (Ormas), Institusi Pendidikan, dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Karakter khas yang mereka miliki sama yakni sebagai lembaga non-profit (ekonomi) dan non-politik (partisan dan kenegaraan). Dengan karakter seperti itu, maka lembaga-lembaga tersebut tidak mengakumulasikan modal ekonomi dan simbolik kecuali lembaga-lembaga tertentu yang memiliki jaringan sosial sangat dominan yang tentu saja jumlahnya sangat terbatas, seperti MUI (Majelis Ulam Indonesia) dan YLKI (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia). Namun secara keseluruhan, kekuatan dominan mereka hanya ada pada modal budaya dan modal sosial. Lembaga sosial yang aktif melibatkan diri dalam arena televisi sudah memiliki pengalaman dan wawasan dalam bidang pertelevisian sehingga memungkinkan mereka mengakumulasikan modal budaya secara dominan. Pada umumnya jaringan

109

sosial mereka juga cukup besar dan ini menjadi modal utama yang bisa diandalkan untuk ikut mempengaruhi lembaga-lembaga lain dalam arena televisi.

MUI merupakan sebuah lembaga sosial nirlaba dengan jaringan yang paling besar di Indonesia karena struktur organisasinya telah mantap menyebar dan menjangkau seluruh wilayah Indonesia. Selain itu mereka sudah terlibat sejak lama dalam arena pertelevisian, khususnya untuk hal-hal yang berhubungan dengan moral dan agama Islam. Dengan kekuatan itu, MUI mampu memberikan pengaruh yang sangat kuat bagi lembaga-lembaga lain dalam arena televisi. Kritik dan saran mereka terhadap kebijakan-kebijakan lembaga lain selalu memperoleh respons yang sangat cepat dan diikuti dengan tindakan dari lembaga lain. Contoh yang sangat nyata adalah tidak adanya penayangan program-program televisi yang menampakkan sensualitas (pornografi dan pornoaksi) selama bulan Ramadhan. Kebijakan ini tidak saja melibatkan MUI dan lembaga penyiaran televisi tetapi juga melibatkan pemerintah, KPI, PH, perusahan pengiklan, dan LSF. Satu-satunya modal yang tidak diakumulasi secara dominan oleh MUI adalah modal ekonomi sesuai dengan karakter organisasi tersebut.

Satu lagi lembaga sosial nirlaba yang memiliki modal budaya dan modal sosial yang sangat kuat adalah YLKI. Lembaga konsumen ini, melalui sikap kritisnya dan jaringan sosial yang sangat kuat, mampu mempengaruhi kebijakan-kebijkan lembaga-lembaga lain dalam arena televisi. Kebijakan penyangan iklan rokok di atas jam 21.30 hingga pukul 5.00 waktu setempat adalah contoh konkrit insiatif YLKI yang melibatkan lembaga lain seperti lembaga penyiaran televisi, lembaga pemerintah, KPI, dan perusahaan pengiklan.

110