• Tidak ada hasil yang ditemukan

KUALITAS TERJEMAHAN BENTUK MITIGASI PADA TINDAK TUTUR MEMERINTAH (COMMANDING) DALAM DUA SERI NOVEL HARRY POTTER

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "KUALITAS TERJEMAHAN BENTUK MITIGASI PADA TINDAK TUTUR MEMERINTAH (COMMANDING) DALAM DUA SERI NOVEL HARRY POTTER"

Copied!
180
0
0

Teks penuh

(1)

KUALITAS TERJEMAHAN BENTUK MITIGASI PADA TINDAK TUTUR MEMERINTAH (COMMANDING) DALAM DUA SERI

NOVEL HARRY POTTER

(Sebuah Kajian Terjemahan dengan Pendekatan Pragmatik) TESIS

Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Derajat Magister

Program Studi Linguistik

Minat Utama Linguistik Penerjemahan

3

Disusun Oleh:

ANGGA AMINULLAH MANSUR (S131302003)

PROGRAM STUDI LINGUISTIK MINAT UTAMA PENERJEMAHAN

PASCASARJANA UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

2014

(2)

PENGESAHAN PEMBIMBING

KUALITAS TERJEMAHAN BENTUK MITIGASI PADA TINDAK TUTUR MEMERINTAH (COMMANDING) DALAM DUA SERI NOVEL HARRY

POTTER

(Sebuah Kajian Terjemahan dengan Pendekatan Pragmatik) Disusun oleh

Angga Aminullah Mansur S131302003

Telah Disetujui oleh Tim Pembimbing pada tanggal 12 Agustus 2014.

Pembimbing I Pembimbing II

Prof. Drs. MR. Nababan, M.Ed., MA., Ph.D Prof. Dr. Djatmika, MA.

NIP 1963 0328 1992 022 001 NIP 1967 072 6199 3021 001

Mengetahui,

Ketua Program S2 Linguistik

Prof. Drs. MR. Nababan, M.Ed., MA., Ph.D NIP 1963 0328 1992 022 001

(3)

PENGESAHAN TESIS

KUALITAS TERJEMAHAN BENTUK MITIGASI PADA TINDAK TUTUR MEMERINTAH (COMMANDING)

DALAM DUA SERI NOVEL HARRY POTTER

(Sebuah Kajian Terjemahan dengan Pendekatan Pragmatik)

Disusun oleh:

Angga Aminullah Mansur S131302003

Telah Disetujui oleh Tim Penguji pada Tanggal ...

Tim Penguji:

Jabatan Nama Tanda Tangan

Ketua Dr. Diah Kristina, M.A., Ph.D.

NIP. 1959 0505 1986 112 001 Sekretaris Dr. Tri Wiratno, M.A.

NIP. 1961 0914 1987 031 001

Anggota Prof. Drs. MR. Nababan, M.Ed., M.A., Ph.D.

NIP. 1963 0328 1992 022 001 Prof. Dr. Djatmika, M.A.

NIP. 1967 072 6199 3021 001

Mengetahui,

Direktur Program Pascasarjana Ketua Program Studi Linguistik Universitas Sebelas Maret Universitas Sebelas Maret

Prof. Dr. Ir. Ahmad Yunus, M.S. Prof. Drs. MR. Nababan, M.Ed., M.A., Ph.D.

(4)

NIP. 1961 0717 1986 011 001 NIP. 1963 0328 1992 022 001 PERNYATAAN ORISINALITAS DAN PUBLIKASI ISI TESIS Saya menyatakan dengan sebenarnya bahwa:

1. Tesis yang berjudul “KUALITAS TERJEMAHAN BENTUK MITIGASI PADA TINDAK TUTUR MEMERINTAH (COMMANDING) DALAM DUA SERI NOVEL HARRY POTTER (Sebuah Kajian Terjemahan dengan Pendekatan Pragmatik) ini karya penelitian saya sendiri dan bebas plagiat, serta tidak terdapat karya ilmiah yang pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik serta tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain kecuali secara tertulis digunakan sebagai acuan dalam naskah ini dan disebutkan dalam sumber acuan serta daftar pustaka. Apabila dikemudian hari terbukti terdapat plagiat dalam karya terjemahan ini, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan (Permendiknas No. 17, tahun 2010).

2. Publikasi sebagian atau keseluruhan isi tesis pada jurnal dan forum ilmiah lain harus seijin dan menyertakan tim pembimbing sebagai author atau PPs UNS sebagai institusinya. Apabila dalam waktu sekurang-kurangnya satu semester (enam bulan sejak pengesahan tesis) saya tidak melakukan publikasi dari sebagian atau keseluruhan tesis ini, maka Prodi Linguistik PPs UNS berhak mempublikasikannya pada jurnal ilmiah yang diterbitkan oleh Prodi Linguistik PPs UNS. Apabila saya melakukan pelanggaran dari ketentuan publikasi ini, maka saya bersedia mendapatkan sanksi akademik yang berlaku.

Surakarta, ...

Mahasiswa

Angga Aminullah Mansur S131302003

(5)

Indung tunggul rahayu, Bapa tangkal darajat

Mugia Alloh maparin mamah bapa sagala rupi ni’mat sareng kamuliaan dunia tur ahirat.

Bulan teh langlayangan peuting Nu dipulut, ditarik ku tali gaib Entong salempang, mun kuring miang Ditatar ti Tatar Sunda, dipulut nya balik deui kadieu Masing percaya

Kanggo bunda & dede, pala bebene hate.

Karya ieu mangrupi tawis asih pangraket urang sadaya.

(6)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirobbil’alamin,

Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang senantiasa mencurahlimpahkan ni’mat beserta rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan sebaik-baiknya. Tak lupa penulis haturkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang telah memberi dukungan kepada penulis dalam menyelesaikan tugas akhir ini, yaitu:

1. Prof. Dr. Ahmad Yunus, M.S., selaku Direktur Pasca Sarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta atas izin dan kesempatan yang diberikan kepada penulis.

2. Prof. Drs. M.R. Nababan, M.Ed., M.A., Ph.D, selaku Ketua Program Studi Linguistik Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta dan pembimbing I, atas segala arahan dan bimbingan yang telah diberikan selama proses penyusunan hingga terselesaikannya tesis ini.

3. Prof. Djatmika, M.A., selaku pembimbing ke II, atas kesabaran, ketulusan, dan pengorbanan waktunya, dalam membimbing penulis.

4. Segenap Dosen yang telah membimbing dan memberikan ilmunya pada penulis selama menimba ilmu di Program Studi Linguistik Minat Utama Linguistik Penerjemahan Universitas Sebelas Maret Surakarta.

5. Segenap Karyawan TU, petugas perpustakaan Program Pascasarjana UNS, serta Mbak Hany Septiana, yang telah membantu kelancaran penyusunan tesis ini.

6. Para rater yang telah membantu dan memberikan kesediaan waktunya sebagai informan penelitian penulis: Mas Robbit, Mba Ikke, Bu Ida, Pak Jejen, dan Kang Narudin, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini dengan lancar.

7. Kedua orang tua penulis, Bapak Drs. Aan Sahal Mansur, S.H. dan Ibu Ida Hendari S.Pd.SD, atas semua doa, restu, dan dukungannya yang tak pernah

(7)

putus untuk penulis, serta Bapak dan Ibu Mertua penulis, Bapak Sukirno, S.E.

dan Ibu N. Kesih, S.Pd.SD atas segala dukungannya selama ini.

8. Istri tercinta Dian Nur Asmawati, S.Si. dan ananda tersayang Qazaska Syakila yang senantiasa menjadi sumber inspirasi dan penyemangat penulis, atas limpahan cinta, kasih sayang, doa, serta dukungannya selama ini.

9. Adik-adik tercinta, Arini Najmiati dan Jainal Abidin, Aditya Hilmawan dan Resty Destriana, si bungsu Citra Kamila, beserta keponakan-keponakan tercinta Tisha dan Nala, atas semangat, doa, dan dukungannya.

10. Teman-teman seperjuangan 207: Bang Ayouk, Mbak Hed, Mbak Nik, Mbak Er, Pak Sig, Mas Aji, Mbak Ir, Mbak Gil, Mbak Di, Mbak Shal, Mbak Arin, Mbak Nov, Mas Dan, dan Kang Ipin, atas kekeluargaan dan kebersamaannya selama ini.

11. Sahabat-sahabat Ironman atas semua dukungan dan kebersamaannya.

Surakarta, 12 Agustus 2014

Angga Aminullah Mansur

(8)

DAFTAR ISI

PENGESAHAN PEMBIMBING ii

PENGESAHAN TESIS iii PERNYATAAN iv

PERSEMBAHAN v KATA PENGANTAR vi

DAFTAR ISI viii

DAFTAR TABEL xi DAFTAR GAMBAR xiii

ABSTRAK xiv

ABSTRACT xv

BAB I PENDAHULUAN 1

A. Latar Belakang Masalah 1

B. Pertanyaan Penelitian 5

C. Tujuan Penelitian 6

D. Manfaat Penelitian 7

E. Batasan Penelitian 8

BAB II KAJIAN TEORI DAN KERANGKA PIKIR 9

A. Kajian Teori 9

1. Penerjemahan 9

1.1 Definisi Penerjemahan 9

1.2 Penerjemahan Sebagai Sebuah Proses 10

1.3 Teknik Penerjemahan 11

1.4 Penilaian Kualitas Penerjemahan 14

2. Teori Linguistik 17

2.1 Seputar Pragmatik 17

2.2 Tuturan dan Tindak Tutur 18

2.2.1 Tuturan 18

(9)

2.2.2 Tindak Tutur 18

2.3 Tindak Tutur Memerintah (Commanding) 20

2.3.1 Tinjauan Struktural 20

2.3.2 Tinjauan Pragmatis 22

2.4 Prinsip, Skala, dan Strategi Kesantunan 23

2.4.1 Prinsip Kesantunan 23

2.4.2 Skala Kesantunan 25

2.4.3 Strategi Kesantunan 27

2.5 Upaya Penghalusan Tuturan (Mitigasi) dan Wujudnya 28 2.5.1 Upaya Penghalusan Tuturan (Mitigasi) sebagai Wujud

Kesantunan Negatif 28

2.5.2 Wujud Upaya Penghalusan (Mitigasi) 29

B. Kerangka Pikir 34

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 36

A. Metode dan Jenis Penelitian 36

B. Lokasi Penelitian 37

C. Teknik Cuplikan (Sampling) 37

D. Data dan Sumber Data 38

E. Teknik Pengumpulan Data 39

F. Validasi Data 42

G. Teknik Analisis Data 43

H. Prosedur Pelaksanaan Penelitian 48

BAB 1V ANALISIS DAN PEMBAHASAN 49

A. Hasil Temuan 49

1. Bentuk Mitigasi pada Tindak Tutur Memerintah 51 1.1 Bentuk Mitigasi dan Wujud Terjemahannya 51

1.2 Pergeseran Terjemahan 96

2. Teknik Penerjemahan Bentuk Mitigasi pada Tindak

Tutur Memerintah 107

(10)

3. Kualitas Terjemahan Bentuk Mitigasi pada Tindak

Tutur Memerintah 124

B. Pembahasan 134

1. Bentuk, Pergeseran, Teknik Penerjemahan, dan Kualitas 136 2. Dampak Pergeseran dan Teknik Penerjemahan terhadap…………..151

C. Tema Budaya 157

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan 158

B. Saran 160

DAFTAR PUSTAKA 162

(11)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Teknik-Teknik Penerjemahan Molina dan Albir 12

Tabel 2.2 Parameter Penilaian Keakuratan 15

Tabel 2.3 Parameter Penilaian Keberterimaan 16

Tabel 2.4 Parameter Penilaian Keterbacaan 16

Tabel 2.5 Ragam Ilokusi Searle 19

Tabel 2.6 Imperatif menurut Frank 21

Tabel 2.7 Prinsip Sopan Santun 23

Tabel 2.8 Skala Kesantunan Leech 25

Tabel 2.9 Keterkaitan Mitigasi 33

Tabel 3.1 Instrumen Penilai Keakuratan 40

Tabel 3.2 Instrumen Penilai Keberterimaan 41

Tabel 3.3 Contoh Data Bentuk Penghalusan 43

Tabel 3.4 Contoh Analisis Taksonomi 46

Tabel 3.5 Contoh Analisis Komponensial 47

Tabel 4.1 Tindak Tutur Memerintah 50

Tabel 4.2 Penerapan Bentuk Mitigasi 51

Tabel 4.3 Detil Temuan Bentuk Mitigasi 52

Tabel 4.4 Temuan Indirectness 54

Tabel 4.5 Temuan Immediacy 59

Tabel 4.6 Temuan Conditional 64

Tabel 4.7 Temuan Disclaimer 70

Tabel 4.8 Temuan Relevance Hedge 75

Tabel 4.9 Temuan Hedging Modal Verb 77

Tabel 4.10 Temuan Mitigating Hedge 83

Tabel 4.11 Temuan Identitiy Marker 88

Tabel 4.12 Temuan Tag Question 93

Tabel 4.13 Pergeseran Terjemahan 97

Tabel 4.14 Teknik Penerjemahan 107

(12)

Tabel 4.15 Kualitas Terjemahan 124

Tabel 4.16 Bentuk Penghalusan, Pergeseran 134

Tabel 4.17 Indirectness, Pergeseran, Teknik 137

Tabel 4.18 Immediacy, Pergeseran, Teknik 137

Tabel 4.19 Conditional, Pergeseran, Teknik 139

Tabel 4.20 Disclaimer, Pergeseran, Teknik 143

Tabel 4.21 Relevance Hedge, Pergeseran, Teknik 144

Tabel 4.22 Hedging Modal Verb, Pergeseran, Teknik 145

Tabel 4.23 Mitigating Hedge, Pergeseran, Teknik 148

Tabel 4.24 Identitiy Marker, Pergeseran, Teknik 149

Tabel 4.25 Tag, Pergeseran, Teknik 151

Tabel 4.26 Bentuk Mitigasi, Pergeseran, Teknik, dan Kualitas 152

(13)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Skema Proses Penerjemahan 10 Gambar 2.2 Kerangka Pikir 35

(14)

Angga Aminullah Mansur. NIM: S131302003. 2014. Kualitas Terjemahan Bentuk Mitigasi pada Tindak Tutur Memerintah (Commanding) dalam Dua Seri Novel Harry Potter (Sebuah Kajian Terjemahan dengan Pendekatan Pragmatik). Tesis.

Pembimbing I: Prof. Drs. M.R. Nababan, M.Ed., M.A., Ph.D., Pembimbing II: Prof.

Dr. Djatmika, M.A.. Minat Utama Linguistik Penerjemahan, Program S2 Linguistik, Program Pascasarjana, Universitas Sebelas Maret Surakarta.

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini ialah mendeskripsikan bentuk-bentuk mitigasi yang diterapkan pada tindak tutur memerintah (commanding) dalam dua seri novel Harry Potter dan terjemahannya, yakni seri pertama yang berjudul Harry Potter and the Sorcerer’s Stone dan seri ketiga yang berjudul Harry Potter and the Prisoner of Azkaban. Selain itu, akan dideskripsikan pula teknik-teknik penerjemahan yang digunakan, kualitas terjemahan bentuk-bentuk mitigasi tersebut ditinjau dari aspek keakuratan dan keberterimaannya, serta dampak dari pergeseran dan teknik penerjemahan yang digunakan terhadap kualitas keakuratan dan keberterimaan terjemahannya.

Dari hasil analisis pada 108 buah data tindak tutur memerintah (commanding), ditemukan 9 jenis bentuk mitigasi dengan frekuensi penggunaan sebanyak 155 kali.

Bentuk-bentuk mitigasi tersebut ialah (1) Indirectness (Ketaklangsungan) (2) Immediacy (Penyertaan) (3) Conditional (Pengandaian) (4) Disclaimer (Kesangsian/Penyangkalan) (5) Relevance Hedge (Hedge Relevansi) (6) Hedging Modal Verb (Kata Kerja Bantu Penghalus) (7) Mitigating Hedge (Adverbia/Interjeksi Penghalus) (8) Identitiy Marker (Sapaan) (9) Tag Question (Penegasan). Dalam menerjemahkan bentuk-bentuk mitigasi tersebut, 14 buah teknik penerjemahan diterapkan. Teknik literal merupakan tenik penerjemahan yang paling banyak digunakan.

Secara umum, terjemahan bentuk mitigasi pada tindak tutur memerintah (commanding) tersebut cenderung memiliki kualitas keakuratan dan keberterimaan yang baik karena jumlah data yang dikategorikan sebagai terjemahan akurat dan berterima lebih banyak daripada terjemahan yang kurang atau tidak akurat dan yang kurang atau tidak berterima, dengan rincian 128 buah data atau 82, 7% dari total 155 buah data dikategorikan sebagai terjemahan akurat dan sebanyak 121 buah data atau 78, 1% dikategorikan sebagai terjemahan berterima. Sementara itu, berkaitan dengan dampak pergeseran terjemahan dan teknik penerjemahan terhadap kualitas terjemahan, dapat dikatakan bahwa pergeseran terjemahan yang terjadi cenderung memberikan dampak negatif pada kualitas keakuratan namun masih berdampak positif pada kualitas keberterimaan. Dari segi teknik penerjemahan yang digunakan, kecuali teknik reduksi dan variasi, 12 teknik penerjemahan lainnya cenderung memberikan dampak positif bagi masing-masing aspek kualitas terjemahan yang dinilai.

Kata Kunci: mitigasi, tindak tutur memerintah, penerjemahan, kualitas

(15)

Angga Aminullah Mansur. NIM: S131302003. 2014. The Translation Quality of Speech Act Mitigation on Commanding Speech Act in Two Volumes of Harry Potter (a Translation Study based on Pragmatic Approach). Thesis. Supervisor I:

Prof. Drs. M.R. Nababan, M.Ed., M.A., Ph.D., Supervisor II: Prof. Dr. Djatmika, M.A. Postgraduate Program in Linguistics, Majoring in Translation Studies. Sebelas Maret University Surakarta.

ABSTRACT

The aim of this study is to describe the mitigation forms applied on commanding speech acts found in two volumes of Harry Potter—the first one which is the first volume entitled “Harry Potter and the Sorcerer’s Stone” and the second one which is the third volume entitled “Harry Potter and the Prisoner of Azkaban”, and their translated versions in Bahasa. It is also aimed at describing the translation techniques used in translating those mitigation forms, the translation quality of those mitigation forms in terms of their accuracy and acceptability, and the impact of the mitigation shifts and translation techniques applied toward the translation quality in the aspects of accuracy and acceptability.

According to the analysis conducted on 108 commanding speech acts found in the volumes, 9 types of mitigation are found and applied 155 times. They are (1) Indirectness (2) Immediacy (3) Conditional (4) Disclaimer (5) Relevance Hedge (6) Hedging Modal Verb (7) Mitigating Hedge (8) Identity Marker (9) Tag Question. In translating those mitigation forms, 14 translation techniques are applied. Literal technique is the most frequent translation technique used.

In general, the translations of those mitigation forms tend to be accurate and acceptable since the amount of the accurate and acceptable ones are greater than those categorized as the less accurate and the inaccurate or the less acceptable and the inacceptable, with the ratio of 128 or 82, 7% out of 155 data classified accurate and 121 or 78, 1% classified acceptable. In term of the impact of mitigation shifts on the translation qualities, it can be concluded that the mitigation shifts found tend to interpose the quality of accuracy but give a positive impact on the quality of acceptability. In term of the impact of the translation techniques applied, the reduction and the variation techniques interpose the quality of the translations.

Key word: Mitigation, commanding speech act, translation, TQA

(16)

BAB 1 PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kajian penerjemahan dengan pendekatan pragmatik bukan merupakan hal baru dalam penelitian penerjemahan. Fitur-fitur pragmatik seperti tindak tutur (speech act) dan kesantunan (politeness) merupakan dua dari sekian banyak aspek dalam pragmatik yang menarik untuk dikaji. Berbeda dengan penelitian penerjemahan secara formal (struktural) yang memfokuskan kajian pada bentuk-bentuk internal bahasa, penelitian penerjemahan pragmatik menitikberatkan pada kajian bahasa dan penggunaannya secara konkret di masyarakat. Meskipun wujud atau bentuk merupakan unsur yang tak dapat dikesampingkan, fokus kajian penerjemahan pragmatik bertumpu pada penerjemahan fungsi-fungsi bahasa (language functions) yang diimplementasikan secara konkret dalam wujud tindak tutur (speech act).

Perbedaan sistem budaya dan berbagai aspek lain antara bahasa sumber (BSu) dan bahasa sasaran (BSa) dapat saja berimbas pada kesepadanan wujud tindak tutur (speech act) maupun kesantunan (politeness) tersebut ketika diterjemahkan.

Sebagai sebuah satuan lingual, istilah imperatif dapat ditinjau dan dipahami dari beberapa sudut pandang. Secara struktural atau sintaksis, istilah imperatif mengacu pada satuan kalimat yang predikatnya disebutkan tanpa menghiraukan persona atau kala. Secara semantis, istilah ini mengacu pada wujud satuan lingual atau pernyataan yang memilki makna perintah dengan tanggapan berupa perbuatan atau tindakan (Frank, 1972; Ramlan, 1987; Pyle dan Munoz, 2001). Sementara itu, secara pragmatis, sebagaimana akan di bahas dalam penelitian ini, istilah imperatif mengacu pada sub-fungsi memerintah (commanding) pada tindak tutur ilokusi impositif direktif dan bersifat kompetitif dengan tujuan untuk menghasilkan suatu efek berupa tindakan atau perbuatan yang dilakukan oleh si petutur (Searle, 1969;

Leech, 1983; Yule, 1996). Untuk selanjutnya, istilah tindak tutur memerintah

(17)

(commanding) akan digunakan untuk mengacu pada istilah imperatif dalam konteks pragmatik.

Sebagai sebuah tindak ilokusi yang bertujuan untuk menghasilkan efek tindakan atau perbuatan dari mitra tutur, tindak tutur memerintah (commanding) merupakan bentuk impositif yang paling rawan memicu pelanggaran serta ketidaktaatan atas norma kesantunan. Selain itu, bentuk ilokusi ini dianggap pula sebagai bentuk ilokusi yang paling rentan menyebabkan tindak pengancaman muka (face threatening act) yang seharusnya dihindari oleh setiap pihak yang terlibat dalam sebuah petuturan karena dinilai sebagai bentuk tekanan terhadap petutur untuk melakukan dan tak melakukan sesuatu. Untuk menghindari situasi seperti ini, penutur dapat menerapkan sebuah startegi kesantunan sebagaimana dikemukakan oleh Yule (1996) dengan mengikuti pendapat Brown dan Levinson (1987), yang dikenal dengan tindak penyelamatan muka (face saving act).

Dengan menerapkan upaya penghalusan tuturan (mitigasi) sebagai salah satu wujud dari strategi tindak penyelamatan muka (face saving act), sebuah tindak tutur memerintah (commanding) langsung “Close the door!” dapat diungkapkan secara lebih halus dan tak langsung dengan menambahkan kata ‘please’ sebagai penghalus (mitigator) menjadi “Close the door, please”. Upaya lain yang dapat dilakukan ialah dengan mengubah struktur tindak tutur memerintah (commanding) langsung tersebut ke dalam wujud struktur lain seperti “Could you close the door?” dalam wujud pertanyaan atau “It will be nice if you close the door” dalam wujud pernyataan.

Penerapan bentuk ketaklangsungan dan modifikasi tindak tutur dengan perangkat penghalusan tuturan (mitigator) pun memungkinkan untuk diterapkan. Seperti halnya pada wujud pertanyaan “Could you please close the door?”, tindak tutur memerintah (commanding) tak diwujudkan dalam wujud imperatif langsung, melainkan diungkapkan dalam wujud tak langsung berupa pertanyaan dengan menerapkan beberapa perangkat penghalusan tuturan (mitigator) yakni bentuk modal epistemis

‘could’ dan kata ‘please’ sebagai penghalus. Upaya-upaya tersebut tergolong ke dalam salah satu sub-strategi dalam tindak penyelamatan muka (face sving act) yang dapat dilakukan dalam sebuah petuturan. Sub-strategi tersebut dinamakan sebagai

(18)

strategi kesantunan negatif (negative politeness). Dengan demikian, kemungkinan terjadinya tindak pengancaman muka (face threatening act) dalam setiap tuturan dapat diminimalisir.

Upaya penerjemahan sebuah tindak tutur berikut bentuk mitigasi yang diterapkan akannya, merupakan hal yang menarik untuk dikaji sekaligus dianggap sebagai upaya yang membutuhkan perhatian khusus. Hal ini terjadi karena dalam menerjemahkan sebuah tindak tutur berindikasi penghalusan tuturan, fokus pengalihan pesan tentunya tidak hanya akan bertumpu pada pesan ilokusi yang terkandung dalam tindak tutur tersebut saja tetapi juga pada pesan penghalusan yang terkandung dalam perangkat penghalusan (mitigasi) yang diterapkan. Pemahaman pemertahanan dua jenis pesan ini dapat dikaitkan dengan pendapat Fraser (1980) yang dengan tegas menyebutkan bahwa mitigasi bukanlah merupakan jenis tindak tutur (speech act) tertentu melainkan sebuah upaya pemodifikasian semata yang ditujukan untuk mengurangi efek dari tindak pengancaman muka yang dapat saja ditimbulkan oleh sebuah tindak tutur. Berkaitan dengan dipilihnya dua seri novel Harry Potter, yakni seri pertama yang berjudul Harry Potter and the Sorcerer’s Stone dan terjemahannya yang berjudul Harry Potter dan Batu Bertuah serta seri ketiga yang berjudul Harry Potter and the Prisoner of Azkaban dan terjemahannya yang berjudul Harry Potter dan Tawanan Azkaban, sebagai sumber data kajian ini, peneliti menganggap bahwa sebagai serial petualangan dengan alur yang relatif menegangkan serta tokoh dan konteks situasi yang beragam, serial ini tentunya banyak memuat bentuk tindak tutur memerintah (commanding) sebagai salah satu sub-fungsi direktif yang rentan mengakibatkan tindak pengancaman muka (face threatening act), yang sudah barang tentu mendorong diterapkannya wujud-wujud upaya penghalusan (mitigasi) sehingga bentuk-bentuk mitigasi pun akan banyak ditemukan.

Sebelum masuk pada proses dan tahapan penelitian maupun penulisannya, peneliti terlebih dahulu meninjau beberapa hasil penelitian yang berkaitan dengan tindak tutur sebagai obyek kajiannya. Hal ini dilakukan agar peneliti dapat menemukan dan menentukan celah dan batasan penelitian yang akan peneliti lakukan

(19)

guna menghindari overlapping dengan fokus penelitian yang telah atau akan dilakukan oleh peneliti lain. Hasil-hasil penelitian yang peneliti tinjau itu ialah

“Analisis Wujud Mitigasi (Penghalusan Tuturan) Dalam Tuturan Imperatif Pada Novel The Family At Willow Bend Karya Hellen Fowler (Sebuah Kajian Pragmatik)”

ditulis oleh Mansur (2008), “Perbandingan Terjemahan Tindak Tutur Mengeluh Dalam Film Bad Boys II Yang Ditayangkan Di Stasiun Televisi Dan VCD (Kajian Strategi Penerjemahan, Kesepadanan Makna, dan Keberterimaan)” oleh Nuraeni (2008),“Politeness Features And Their Translations In The Indonesian Subtitiles Of The Last Samurai” ditulis oleh Sri Barustyawati (2013),“Analisis Tindak Tutur Direktif Pada Novel The Godfather Dan Terjemahannya Dalam Bahasa Indonesia”

ditulis oleh Kuncara (2013), dan yang terakhir sebuah usulan proposal tesis berjudul

“Analisis Strategi Kesantunan Pada Tindak Tutur Permintaan (Request) Dalam Novel Breaking Down Dan Terjemahannya” oleh Valensia (2013).

Dari lima karya penelitian tersebut, hanya tiga yang berkaitan secara langsung dengan penerapan kesantunan dan upaya mitigasi pada tindak tutur. Mansur (2008) dalam skripsinya yang berjudul “Analisis Wujud Mitigasi (Penghalusan Tuturan) Dalam Tuturan Imperatif Pada Novel The Family At Willow Bend Karya Hellen Fowler (Sebuah Kajian Pragmatik)” mengkaji tentang upaya mitigasi yang diterapkan pada tuturan imperatif. Secara umum, pengelompokan jenis atau wujud mitigasi sudah berhasil dilakukan. Dalam penelitian ini pun dikaji mengenai faktor- faktor pendorong dilakukannya upaya penghalusan tuturan tersebut. Namun demikian, ia tidak membedakan secara tegas penggunaan istilah imperatif yang memang terkesan lebih dekat dengan struktur atau bentuk satuan lingual daripada fungsi pragmatisnya. Selain itu, karena merupakan kajian pragmatik murni, kajian ini belum atau tidak membahas mengenai penerjemahan yang mungkin dilakukan terhadap wujud-wujud mitigasi tersebut. Lain halnya dengan Sri Barustyawati (2013), penelitiannya yang berjudul “Politeness Features And Their Translations In The Indonesian Subtitiles Of The Last Samurai” hanya memfokuskan perhatian pada penerjemahan penanda kesantunan saja dan tak mengkaitkannya dengan wujud penerapan strategi kesantunan (politeness strategies) secara umum. Penanda

(20)

kesantunan tersebut lebih didominasi oleh unit mikro berupa kata sapaan. Sementara itu, sehubungan dengan usulan proposal penelitiannya yang berjudul “Analisis Strategi Kesantunan Pada Tindak Tutur Permintaan (Request) Dalam Novel Breaking Down Dan Terjemahannya”, Valensia (2013) lebih cenderung akan memfokuskan perhatian pada penerapan strategi kesantunan pada tindak tutur permintaan (request) tanpa memfokuskan perhatian pada bentuk-bentuk mitigasi yang mungkin dilakukan.

Dari beberapa tinjauan tersebut, peneliti menemukan beberapa dasar pemikiran yang mengarahkan peneliti pada celah atau gap yang peneliti jadikan dasar pijakan dalam melakukan penelitian. Berikut beberapa dasar pemikiran tersebut:

1. Kajian penerjemahan mengenai tindak tutur masih bersifat terlalu umum dan jarang yang mengkaitkannya dengan fitur-fitur pragmatik yang lain, misalnya strategi kesantunan dan upaya penghalusan tuturan (mitigasi).

2. Kajian penerjemahan tindak tutur yang khusus mengkaji sub-fungsi direktif memerintah (commanding) dan yang mengkaitkannya dengan penerapan strategi kesantunan dan bentuk penghalusan tuturan (mitigasi) tidak penulis temukan.

3. Secara lebih spesifik, kajian penerjemahan yang khusus mengkaji strategi kesantunan negatif (negative politeness) pada tindak tutur memerintah (commanding) serta bentuk penghalusannya (mitigasi) tidak penulis temukan.

Dari celah atau gap penelitian yang peneliti temukan tersebut, peneliti mengangkat judul “Kualitas Terjemahan Bentuk Mitigasi pada Tindak Tutur Memerintah (Commanding) dalam Dua Seri Novel Harry Potter (Sebuah Kajian Terjemahan dengan Pendekatan Pragmatik)” sebagai judul penelitian peneliti.

B. Pertanyaan Penelitian

Mengacu pada gap atau celah penelitian yang penulis temukan di atas, berikut beberapa pertanyaan penelitian yang peneliti rumuskan:

1. Bagaimanakah bentuk mitigasi pada tindak tutur memerintah (commanding) dalam dua seri novel Harry Potter, yakni seri pertama Harry Potter and the

(21)

Sorcerer’s Stone dan terjemahannya yang berjudul Harry Potter dan Batu Bertuah dan seri ketiga Harry Potter and the Prissoner of Azkaban dan terjemahannya yang berjudul Harry Potter dan Tawanan Azkaban?

2. Teknik-teknik penerjemahan apa sajakah yang digunakan dalam menerjemahkan bentuk mitigasi pada tindak tutur memerintah (commanding) dalam dua seri novel Harry Potter, yakni seri pertama Harry Potter and the Sorcerer’s Stone dan terjemahannya yang berjudul Harry Potter dan Batu Bertuah dan seri ketiga Harry Potter and the Prissoner of Azkaban dan terjemahannya yang berjudul Harry Potter dan Tawanan Azkaban?

3. Bagaimanakah kualitas terjemahan bentuk mitigasi pada tindak tutur memerintah (commanding) dalam dua seri novel Harry Potter, yakni seri pertama Harry Potter and the Sorcerer’s Stone dan terjemahannya yang berjudul Harry Potter dan Batu Bertuah dan seri ketiga Harry Potter and the Prissoner of Azkaban dan terjemahannya yang berjudul Harry Potter dan Tawanan Azkaban, ditinjau dari aspek keakuratan dan keberterimaannya?

4. Bagaimanakah dampak pergeseran dan teknik terjemahan terhadap kualitas terjemahan bentuk mitigasi pada tindak tutur memerintah (commanding) dalam dua seri novel Harry Potter, yakni seri pertama Harry Potter and the Sorcerer’s Stone dan terjemahannya yang berjudul Harry Potter dan Batu Bertuah dan seri ketiga Harry Potter and the Prissoner of Azkaban dan terjemahannya yang berjudul Harry Potter dan Tawanan Azkaban, ditinjau dari aspek keakuratan dan keberterimaannya?

C. Tujuan Penelitian

Dari pertanyaan penelitian yang peneliti kemukakan di atas, peneliti merumuskan beberapa tujuan penelitian yang peneliti lakukan:

1. Mengidentifikasi dan mendeskripsikan bentuk mitigasi pada tindak tutur memerintah (commanding) dalam dua seri novel Harry Potter, yakni seri pertama Harry Potter and the Sorcerer’s Stone dan terjemahannya yang berjudul Harry Potter dan Batu Bertuah dan seri ketiga Harry Potter and the

(22)

Prissoner of Azkaban dan terjemahannya yang berjudul Harry Potter dan Tawanan Azkaban.

2. Mengidentifikasi dan mendeskripsikan teknik-teknik penerjemahan yang digunakan dalam menerjemahkan bentuk mitigasi pada tindak tutur memerintah (commanding) dalam dua seri novel Harry Potter, yakni seri pertama Harry Potter and the Sorcerer’s Stone dan terjemahannya yang berjudul Harry Potter dan Batu Bertuah dan seri ketiga Harry Potter and the Prissoner of Azkaban dan terjemahannya yang berjudul Harry Potter dan Tawanan Azkaban.

3. Mendeskripsikan kualitas terjemahan bentuk mitigasi pada tindak tutur memerintah (commanding) dalam dua seri novel Harry Potter, yakni seri pertama Harry Potter and the Sorcerer’s Stone dan terjemahannya yang berjudul Harry Potter dan Batu Bertuah dan seri ketiga Harry Potter and the Prissoner of Azkaban dan terjemahannya yang berjudul Harry Potter dan Tawanan Azkaban, ditinjau dari aspek keakuratan dan keberterimaannya.

4. Mendeskripsikan dampak pergeseran dan teknik terjemahan terhadap kualitas terjemahan bentuk mitigasi pada tindak tutur memerintah (commanding) dalam dua seri novel Harry Potter, yakni seri pertama Harry Potter and the Sorcerer’s Stone dan terjemahannya yang berjudul Harry Potter dan Batu Bertuah dan seri ketiga Harry Potter and the Prissoner of Azkaban dan terjemahannya yang berjudul Harry Potter dan Tawanan Azkaban, ditinjau dari aspek kekauratan dan keberterimaannya.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini dapat memberikan gambaran dan pemahaman bahwa kajian penerjemahan tidaklah harus selalu menggunakan pendekatan struktural tetapi dapat juga menggunakan pendekatan-pendekatan lain seperti halnya pendekatan pragmatik.

Disamping itu, penelitian ini juga dapat memberikan informasi yang lebih lengkap mengenai upaya dan bentuk penghalusan tuturan (mitigasi) pada tindak tutur memerintah (commanding), bentuk terjemahannya dalam bahasa Indonesia,

(23)

pergesreran terjemahannya, teknik-teknik penerjemahan yang paling memungkinkan untuk diterapkan dalam menerjemahkan bentuk mitigasi tersebut, kualitas terjemahannya ditinjau dari aspek keakuratan dan keberterimaannya, serta dampak pergeseran dan teknik penerjemahan tersebut terhadap kualitas terjemahannya.

Pada akhirnya, peneliti harapkan bahwa penelitian ini dapat memberikan kontribusi positif bagi perkembangan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan penelitian terutama dalam bidang bahasa dan penerjemahan.

E. Batasan Penelitian

Penelitian ini mengkaji terjemahan bentuk mitigasi pada tindak tutur memerintah (commanding) dalam dua seri novel Harry Potter, yakni seri pertama yang berjudul “Harry Potter and the Sorcerer’s Stone” yang diterjemahkan ke dalam versi bahasa Indonesia dengan judul “Harry Potter dan Batu Bertuah” dan seri ketiga yang berjudul “Harry Potter and the Prissoner of Azkaban” yang diterjemahkan dalam versi bahasa Indonesia dengan judul “Harry Potter dan Tawanan Azkaban”. Dalam penelitian ini juga akan dikaji dampak pergesean terjemahan dan teknik penerjemahan yang digunakan terhadap kualitas terjemahannya ditinjau dari aspek keakuratan dan keberterimaannya.

(24)

BAB II

KAJIAN TEORI DAN KERANGKA PIKIR

A. KAJIAN TEORI 1. Penerjemahan

1.1 Definisi Penerjemahan

Definisi mengenai penerjemahan telah banyak dikemukakan oleh para pakar bahasa yang bergelut dalam bidang penerjemahan. Newmark (1981: 7) menyebutkan bahwa “translation is a craft consisting in the attempt to replace a written message and/or a statement in one language by the same message and/or statement in another language”. Sementara itu, Catford (1978) mengemukakan terjemahan sebagai “the replacement of textual material in one language (source language) by equivalent textual material in another language (target language).” Dua pendapat ini mengemukakan penerjemahan sebagai sebuah upaya pengalihan atau penggantian pesan tertulis dari satu bahasa ke dalam pesan tertulis bahasa lain yang sepadan.

Sependapat dengan kedua pakar di atas, Brislin sebagaimana dikutip oleh Nababan (1999: 19) menyebutkan bahwa penerjemahan merupakan suatu istilah umum yang mengacu pada pengalihan pikiran atau gagasan dari bahasa sumber (BSu) ke dalam bahasa sasaran (BSa) baik lisan maupun tulisan. Sementara itu, Munday (2008) tidak hanya menandaskan penerjemahan sebagai sebuah upaya pengalihan pesan lisan atau tertulis semata melainkan pula sebagai sebuah upaya pengalihan budaya karena penerjemahan merupakan tindak komunikasi lintas bahasa dan budaya yang berusaha untuk menyampaikan pesan yang dimaksudkan untuk tujuan dan pembaca yang berbeda.

Dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa penerjemahan tidak hanya mengacu pada proses pengalihan pesan dari bahasa satu ke dalam bahasa lain tetapi juga mengacu pada proses pengalihan budaya satu ke dalam budaya lain. Untuk itu, dalam menerjemahkan, seorang penerjemah tak hanya dituntut untuk peka

(25)

terhadap sistem kebahasaan yang dimiliki oleh BSu dan BSa saja tetapi juga peka akan sistem budaya keduanya.

1.2 Penerjemahan Sebagai Sebuah Proses

Dalam praktiknya, penerjemahan merupakan sebuah upaya yang dilakukan melalui serangkaian tahapan. Hal inilah yang disebut sebagai proses penerjemahan.

Sebagaimana dikemukakan oleh Nababan (2003: 24) bahwa proses penerjemahan merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh seorang penerjemah dalam mengalihkan amanat dari bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran. Secara lebih rinci, Nida dan Taber (1982: 33) menggambarkan proses penerjemahan dalam sebuah skema yang digambarkan sebagai berikut:

A (Source) B (Reseptor)

Analysis Restructuring

Transfer

Gambar 2.1 Skema Proses Penerjemahan Nida dan Taber (1982: 33)

Dapat dijelaskan sebagaimana digambarkan dalam skema di atas bahwa, ketika menerjemahkan, seorang penerjemah melalui tiga rangkaian tahapan. Tahapan pertama disebut sebagai Tahap Analisis. Dalam tahapan ini penerjemah dituntut untuk dapat memahami isi, makna atau pesan BSu yang akan diterjemahkan secara utuh ke dalam BSa dengan cara membacanya berulang-ulang sampai benar-benar menangkap pesan yang dimaksudkan oleh BSu. Upaya analisis ini menuntut bukan hanya pemahaman si penerjemah akan sistem kebahasaan secara internal saja melainkan juga aspek kebahasaan secara eksternal yang berhubungan dengan aspek

(26)

sosial budaya pada BSu. Pada tahapan kedua, yang disebut sebagai Tahap Pengalihan (Transfer), penerjemah mengalihkan isi pesan dari BSu ke dalam BSa. Proses pengalihan ini merupakan proses kognitif yang bertujuan untuk mencari padanan dalam BSa yang benar-benar pas dan tepat sehingga dapat menghasilkan hasil terjemahan yang baik. Berkenaan dengan hal ini, Bell (1997:7) mengemukakan bahwa pengalihan pesan dalam penerjemahan ditekankan pada kesepadanan nilai- nilai yang meliputi suasana, nuansa keindahan maupun struktur batin suatu pesan.

Sementara itu, pada tahapan ketiga atau Tahap Perbaikan (Restructuring), penerjemah menyusun kembali hasil terjemahan yang dihasilkan dari tahap sebelumnya. Hal ini dilakukan agar penerjemah benar-benar menghasilkan hasil terjemahan yang akurat, berterima dan terbaca.

Ketiga rangkaian proses ini bersifat layaknya sebuah siklus. Penerjemah dapat mengulang kembali tahapan-tahapan yang sudah dilalui untuk memecahkan masalah apabila menemui hambatan di tengah- tengah proses penerjemahan. Hal ini dilakukan agar penerjemah benar-benar menghasilkan terjemahan yang benar-benar sesuai.

1.3 Teknik Penerjemahan

Dalam penelitian penerjemahan yang berorientasi pada produk, hal yang ditekankan ialah penerapan teknik dan strategi penerjemahan yang ditujukan untuk menghasilkan hasil terjemahan yang akurat, berterima dan terbaca. Maka dari itu, objek kajiannya akan bertumpu pada teknik dan strategi penerjemahan.

Untuk memahami teknik penerjemahan, ada baiknya kita bertolak dari pemahaman mengenai startegi penerjemahan terlebih dahulu. Molina dan Albir (2002) memberikan batasan mengenai strategi dan teknik penerjemahan. Mereka menyebutkan bahwa strategi penerjemahan merupakan proses berpikir penerjemah ketika melakukan penerjemahan dan diterapkan ketika mengalami masalah dalam penerjemahan yang dilakukannya. Sementara itu, teknik penerjemahan mengacu pada hasil dari pengambilan keputusan yang dibuat oleh si penerjemah tersebut dan merupakan perwujudan dari strategi yang diambil dalam memecahkan masalah penerjemahan.

(27)

Secara lebih komprehensif, Molina dan Albir (2002: 509-511) mengemukakan beberapa teknik penerjemahan yang dapat dikatakan sebagai hasil evaluasi dan penyempurnaan dari teknik-teknik penerjemahan yang telah dicetuskan sebelumnya oleh para pakar penerjemahan lain, seperti Vinay dan Darblenet, Nida, Margot, Vazquez Ayora, Newmark, dan Delisle. Berikut penulis gambarkan secara ringkas teknik-teknik penerjemahan tersebut dalam tabel berikut ini:

Tabel 2.1 Teknik-Teknik Penerjemahan Menurut Molina dan Albir (2002: 509-511)

Teknik Deskripsi Contoh

Adaptasi (Adaptation) Penggantian unsur budaya BSu dengan unsur budaya yang bersifat sama dalam BSa serta akrab bagi pembaca BSa.

Baseball (Inggris) diadaptasikan dengan istilah lain yang lebih awam dikenal dan digunakan dalam BSa yakni Futbal (Spanyol).

Amplifikasi

(Amplification) Pengeksplisitan suatu informasi yang implisit dalam BSu.

Ramadan (Arab) dieksplisitkan menjadi Ramadan, the Moslem month of fasting (Inggris).

Peminjaman (Borrowing)

Peminjaman ungkapan atau istilah dalam BSu dan digunakan dalam terjemahan BSa.

1. Alami: Lobby (Inggris) menjadi Lobby (Spanyol) 2.

Naturalisasi: meeting (Inggris) menjadi mitin (Spanyol).

Kalke (Calque) Penerjemahan frasa atau kata BSu secara literal.

Frasa nomina Ecole Normale (Perancis) diterjemahkan menjadi Normal School (Inggris).

Kompensasi (Compensation)

Penerjemahan unsur-unsur informasi atau pengaruh stalistik BSu di tempat lain dalam teks BSa.

Idiom “Don’t tell me a fish story!” diterjemahkan menjadi “Jangan bohong padaku!” Hal ini

disebabkan ungkapan idiomatik tersebut tak memungkinkan untuk diterjemahkan secara literal.

(28)

Deskripsi (Description)

Penggantian istilah BSu dengan pendeskripsian bentuk dan fungsi dalam BSa.

Kata dalam bahasa Italia

‘panettone’ diterjemahkan menjadi ‘kue tradisional Italia yang dimakan pada saat Tahun Baru’.

Kreasi Diskursif

(Discursive Creation) Penyepadanan tak terduga biasanya dalam judul-judul film.

Judul sebuah novel ‘Master of the Game’ diterjemahkan menjadi ‘Ratu Berlian’.

Kesepadanan Lazim (Established

Equivalent)

Pelaziman yakni

menggunakan istilah atau padanan yang sudah lazim dalam kamus.

‘Yours faithfully’ lazim diterjemahkan menjadi

‘hormat saya’.

Generalisasi (Generalization)

Penggunaan istilah yang lebih umum.

BSu: “He has been living at the same flat for ten years.”

BSa: “Ia telah tinggal di rumah itu selama sepuluh tahun.”

Amplifikasi Linguistik (Linguistics

Amplification)

Penambahan unsur-unsur

linguistik dalam BSa. ‘No way’ (Ing)

diterjemahkan menjadi ‘De ninguna de las maneras’

(Spa).

Kompresi Linguistik (Linguistics

Compression)

Pemotongan unsur-unsur linguistik dalam BSa.

‘Yes, so what?’ (Ing) manjadi ‘lalu?’ (Ind).

Penerjemahan Harfiah

(Literal Translation) Penerjemahan kata demi

kata. ‘I will tell you’ (Ing)

diterjemahkan menjadi

‘Saya akan memberitahu kamu’ (Ing).

Modulasi

(Modulation) Pengubahan sudut pandang, fokus, atau kategori kognitif dalam kaitannya denggan BSu

‘You are going to have a child’ (Ing) menjadi ‘Anda akan menjadi seorang ayah’

(Ind).

Partikularisasi

(Particularization) Lawan dari Generalisasi, menggunakan istilah yang lebih konkrit.

‘Air transportation’ (Ing) diterjemahkan ke dalam kata yang lebih khusus,

‘helikopter’ (Ind).

(29)

Reduksi (Reduction) Pengimplisitan, informasi BSu dipadatkan dalam BSa.

‘Yes, I do’ (Ing)

diterjemahkan menjadi ‘Ya’

(Ind).

Substitusi (Substitution)

Pengubahan unsur-unsur Linguistik dan

Paralinguistik.

Bahasa isyarat dalam bahasa Arab ‘menaruh tangan di dada’

diterjemahkan menjadi

‘terima kasih’.

Transposisi

(Transposition) Pengubahan kategori

gramatikal. ‘He will soon be back’

(Ing) diterjemahkan menjadi ‘No tardara en venir’ (Spa). Kata ‘soon’

yang berkategori kata keterengan (adverb) diterjemahkan menjadi

‘tardara’ yang merupakan kata kerja (verb).

Variasi Pengubahan elemen

linguistik atau

paralinguistik (intonasi, gerak tubuh), yang

mempengaruhi aspek variasi linguistik: pertukaran nada tekstual, gaya, dialek sosial, dialek geografis, dst.

‘Move a little bit, will you!’

(Ing) diterjemahkan

menjadi ‘geser dikit, dong!”

(Ind).

1.4 Penilaian Kualitas Terjemahan

Sebuah hasil terjemahan yang baik dan berkualitas setidaknnya harus dapat memenuhi tiga aspek penilaian, yakni: 1. Keakuratan (Accuracy), mengacu pada ketepatan pengalihan pesan 2. Keberterimaan (Acceptability), mengacu pada ketepatan pengungkapan pesan dalam BSa, dan 3. Keterbacaan (Readability), mengacu pada kealamiahan bahasa terjemahan. Berkenaan dengan hal ini, Nababan, dkk (2012: 39-57) merumuskan dan mengembangkan alat ukur penilaian kualitas terjemahan melalui model penilaian kualitas terjemahan yang dikembangkannya.

Berikut intisari atau beberapa rumusan mendasar mengenai model penilaian kualitas terjemahan tersebut:

(30)

1. Keakuratan (Accuracy)

Komponen ini berkaitan dengan ketepatan pengalihan pesan atau makna yang terkandung dalam BSu ketika diterjemahkan ke dalam BSa. Nababan, dkk (2012: 44) mengemukakan bahwa istilah ini mengacu pada upaya pengevaluasian sepadan atau belumnya hasil terjemahan. Berikut parameter penilaian dari aspek ini (Nababan, dkk, 2012: 50):

Tabel 2.2 Parameter Penilaian Keakuratan oleh Nababan, dkk (2012: 50) Kategori

Terjemahan

Skor Parameter Kualitatif

Akurat 3 Makna kata, istilah, frasa, klausa, kalimat atau teks bahasa sumber dialihkan secara akurat ke bahasa sasaran, sama sekali tidak ada distorsi makna.

Kurang Akurat 2 Sebagian besar makna kata, istilah, frasa, klausa, kalimat atau teks bahasa sumber sudah dialihkan secara akurat ke bahasa sasaran.

Namun, masih banyak terdapat distorsi makna atau terjemahan makna ganda (taksa) atau ada makna yang dihilangkan, yang mengganggu keutuhan pesan.

Tidak Akurat 1 Makna kata, istilah, frasa, klausa, kalimat atau teks bahasa sumber dialihkan secara tidak akurat ke bahasa sasaran atau dihilangkan (deleted).

2. Keberterimaan (Readability)

Komponen ini berkaitan dengan apakah hasil terjemahan sudah diungkapkan sesuai dengan kaidah-kaidah, norma dan budaya BSa atau belum, baik dalam tataran mikro maupun makro (Nababan, 2012: 44-45). Apabila keakuratan berfokus pada ketepatan penyampaian pesan, keberterimaan lebih berfokus pada wajar atau tidaknya sebuah hasil terjemahan. Berikut parameter penilaiannya:

(31)

Tabel 2.3 Parameter Penilaian Keberterimaan oleh Nababan, dkk (2012: 51) Kategori

Terjemahan

Skor Parameter Kualitatif

Berterima 3 Terjemahan terasa alamiah; istilah teknis yang digunakan lazim digunakan dan akrab bagi pembaca; frasa, klausa, kalimat yang digunakan sudah sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa Indonesia

Kurang Berterima 2 Pada umumnya terjemahan sudah terasa alamiah; namun ada sedikit masalah pada penggunaan istilah teknis atau terjadi sedikit kesalahan gramatikal.

.

Tidak Berterima 1 Terjemahan tidak alamiah atau terasa seperti karya terjemahan; istilah teknis yang digunakan tidak lazim digunakan dan tidak akrab bagi pembaca; frasa, klausa, kalimat yang digunakan tidak sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa Indonesia.

3. Keterbacaan (Readability)

Komponen terakhir ini melibatkan peran pembaca dalam BSa. Sebuah hasil terjemahan disebut terbaca apabila mudah dipahami maksudnya oleh si pembaca. Di sini, pembaca berperan sebagai subjek penentu apakah sebuah hasil terjemahan termasuk tulisan yang mudah dibaca atau tidak (Sakri dalam Nababan, 2010). Namun demikian, Nababan (2012: 45) mengemukakan bahwa istilah keterbacaan dalam penerjemahan tak hanya berkaitan dengan keterbacaan teks bahasa sumber (BSu) melainkan pula dengan keterbacaan teks bahasa sasaran (BSa). Berikut parameter penilaiannya:

Tabel 2.4 Parameter Penilaian Keterbacaan oleh Nababan, dkk (2012: 51) Kategori

Terjemahan

Skor Parameter Kualitatif Tingkat

Keterbacaan Tinggi 3 Kata, istilah teknis, frasa, klausa, kalimat atau teks terjemahan dapat dipahami dengan mudah oleh pembaca.

(32)

Tingkat Keterbacaan Sedang

2 Pada umumnya terjemahan dapat dipahami oleh pembaca; namun ada bagian ternetu yang harus dibaca lebih dari satu kali untuk memahami terjemahan.

Tingkat Keterbacaan Rendah

1 Terjemahan sulit dipahami oleh pembaca.

Dalam kaitannya dengan penelitian ini, peneliti hanya akan menilai kualitas terjemahan obyek kajian penelitian penerjemahan ini dari sisi keakuratan dan keberterimaannya saja.

2. Teori Linguistik 2.1 Seputar Pragmatik

Pragmatik bukanlah suatu hal yang baru. Pragmatik, pada mulanya, merupakan bagian dari ilmu lambang dan tanda yang dikenal sebagai semiotika (semiotics). Berkenaan dengan hal ini, Rahardi (2005: 47) menandaskan bahwa istilah pragmatik telah dikenal sejak masa hidup seorang filsuf bernama Moris. Filsup ini membagi semiotika ke dalam tiga cabang ilmu, yakni: (1) sintaktika (syntactic), yaitu studi relasi formal tanda-tanda (2) semantika (semantic), yaitu studi relasi tanda-tanda dengan obyeknya (3) pragmatika (pragmatic), yaitu studi relasi tanda-tanda dengan penafsirannya.

Istilah ini juga telah banyak didefinisikan oleh para pakar bahasa. Levinson (1983: 9) mengemukakan pandangannya mengenai pragmatik bahwa pragmatik merupakan suatu ilmu yang mempelajari hubungan antara bahasa dengan konteks dan untuk dapat memahami maksud suatu ujaran juga diperlukan pengetahuan di luar makna kata dan hubungan tata bahasanya. Yule (1996: 3) menyebutkan bahwa

“Pragmatics is the study of speaker meaning, pragmatics is the study of contextual meaning, pragmatics is the study of how more gets communicated than is said, and pragmatics is the study of the expression of relative distance.” Menurut Yule di sini, pragmatik mempelajari makna penutur, makna kontekstual, makna di balik makna, serta ungkapan berdasarkan keeratan. Sementara itu, Nababan (1987: 2)

(33)

mengemukakan pragmatik sebagai aturan-aturan pemakaian bahasa, yaitu pemilihan bentuk bahasa dan penentuan maknannya sehubungan dengan maksud si pembicara sesuai dengan konteks dan keduanya.

Dari pendapat-pendapat di atas, jelas sekali bahwa fokus utama pragmatik adalah makna tutur yang dipengaruhi oleh berbagai macam faktor. Pragmatik tidak hanya mempelajari bahasa dari tata bahasanya saja melainkan pula dari makna yang dituturkan yang dilatarbelakangi oleh konteks ketika bahasa itu digunakan.

2.2 Tuturan Dan Tindak Tutur 2.2.1 Tuturan

Tuturan merupakan wujud satuan lingual yang lazim digunakan ketika kita berbicara. Realisasi dari tuturan tersebut berupa satuan-satuan lingual yang diucapkan, meliputi kata, frasa atau kalimat baik dalam bentuk lisan maupun tulisan.

Kridalaksana (1993) menyebutkan bahwa tuturan ialah kalimat atau bagian kalimat yang dilisankan. Hurford dan Heasley (1983: 15) mengemukakan “An utterance is any stretch of talk, by one person, before and after which there is silence on the part of the person.” Sementara itu, Saeed (1997: 13) menyebutkan bahwa sebuah tuturan diwujudkan dengan mengucapkan atau menuliskan suatu bahasa. Sebagai penandanya dalam wujud tulis, Hurford dan Heasley (1983: 16) menyatakan “The convention that anything written between double quotation marks represents utterance.”

Dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan tuturan ialah tindak berbahasa seseorang secara verbal yang diwujudkan dalam bentuk lisan ataupun tulisan. Ketika diwujudkan dalam bentuk tulisan, sebuah tuturan memliki ciri lingual khusus yakni diapit oleh tanda kutip.

2.2.2 Tindak Tutur

Dalam sebuah tuturan yang diujarkan, kita tidak hanya sebatas mengucapkan rangkaian kata-kata atau struktur bahasa saja tetapi juga sekaligus melakukan suatu tindakan atau perbuatan atas tuturan yang kita ucapkan tersebut. Tindakan berbahasa ini disebut tindak tutur atau speech act. Yule (1996: 47) mengemukakan bahwa “In

(34)

attempting to express themselves, people do not only produce utterances containing grammatical structures and words, they perform actions via those utterances.”

Diterangkan lebih lanjut, “Actions performed via utterances are generally called speech act and, in English, are commonly given more specific labels, such as apology, complaint, compliment, invitation, promise or request.”

Austin (1962) mengklasifikasikan tindak tutur ke dalam tiga jenis tindak tutur, yaitu: (1) Tindak Tutur Lokusi atau the act of saying something, yakni tindak bertutur dengan kata, frasa, dan kalimat sesuai dengan makna yang dikandung (2) Tindak Ilokusi atau the act of doing something, yakni tindak melakukan sesuatu dengan maksud dan fungsi tertentu pula (3) Tindak Perlokusi atau the act of affecting something, yakni tindak menumbuhkan pengaruh kepada mitra tutur.

Dalam perkembangannya, wujud tindak tutur di atas mengalami modifikasi dan penyempurnaan. Searle (1969) membuat sebuah klasifikasi baru yang sebetulnya bertolak dari apa yang dikemukakan oleh Austin, yakni dengan mengklasifikasikan tindak tutur ke dalam lima kelompok, yakni: (1) Asertif (2) Direktif (3) Komisif (4) Ekspresif (5) Deklaratif. Sementara itu beberapa dekade setelahnya, Leech (1983) mengklasifikasikan fungsi-fungsi ilokusi berdasarkan hubungannya dengan tujuan- tujuan social ke dalam empat ragam fungsi, yaitu: (1) Kompetitif (Kompetitif) (2) Menyenangkan (Convival) (3) Bekerja Sama (Collaborative) (4) Bertentangan (Conflictive). Apabila dihubungkan, kedua teori di atas memiliki beberapa kesamaan.

Hal ini mendorong Leech (1983) untuk menunjukkan keterkaitan antara ragam tindak tutur yang dicetuskannya dengan ragam tindak tutur yang dicetuskan Searle (1969) yang ia gambarkan dalam penjelasan berikut ini:

Tabel 2.5 Ragam Ilokusi Searle serta keterkaitannya dengan Fungsi Ilokusi Leech Ragam Tindak

Ilokusi Searle Keterangan Wujud

Kaitannya dengan Fungsi

Ilokusi Leech Asertif

(Assertives)

Pada ilokusi ini n terikat pada kebenaran proposisi yang diungkapkannya

Menyatakan, mengusulkan, membual, mengeluh,

mengemukakan

Dari segi sopan santun ragam ini cenderung bersifat

netral dan

(35)

pendapat tergolong ke dalam kategori Collaborative atau

bekerja sama

Direktif (Dirrectives)

Ilokusi ini bertujuan unntuk menghasilkan

suatu efek berupa tindakan yang dilakukan oleh

penutur

Memesan, memerintah, memohon, menuntut,

memberi nasehat

Mencakup kategori-kategori

ilokusi yang membutuhkan

kesantunan negative dan tergolong ke dalam kategori Competitive atau

bersaing

Komisif (Commisives)

n sedikit banyak terikat oleh suatu tindakan di masa

depan

Menjanjikan, menawarkan, berkaul

Cenderung berfungsi Convival atau menyenangkan

dan kurang bersifat kompetitif

Ekpresif (Expressives)

Mengungkapkan atau megutarakan sikap psikologis terhadap keadaan yang tersirat

dalam ilokusi

Mengucapkan terima kasih, member maaf,

mengucapkan selamat, mengecam,

memuji, mengucapkan bela

sungkawa

Secara umum bersifat menyenangkan

atau Convival

Deklaratif (Declaratives)

Berdampak pada kesesuaian proposisi

dengan kenyataan

Mengundurkan diri, memecat, membaptis,

member nama, menjatuhkan

hukuman

Bersifat khusus dan kadar kesantunan tak bisa ditentukan

2.3 Tindak Tutur Memerintah 2.3.1 Tinjauan Struktural

Tindak tutur memerintah sebagai salah satu sub-fungsi dari ilokusi direktif sering dikaitkan dengan wujud atau bentuk kalimat imperatif, bahkan banyak anggapan yang menganggap kedua hal tersebut sama. Kalimat imperatif ialah ragam kalimat yang digunakan untuk menyatakan permintaan atau perintah kepada orang lain sehingga orang lain tersebut menanggapinya dalam suatu bentuk perbuatan atau tindakan. Pyle dan Munoz (1991: 85) menyebutkan “A command is an imperative

(36)

statement” bahwa “One person orders another to do something.” Dalam konteks lain, istilah ini digunakan untuk menyebut suatu bentuk kata kerja dalam kalimat perintah yang dikenal sebagai imperative mood sebagaimana dikemukakan oleh Richard et al. (1985: 183) bahwa “Imperative mood is the form of the verb used in imperative sentence.” Senada dengan hal tersebut, Frank (1972: 87) menyebutkan

“…, it is perhaps more accurate to say ‘mood’ refers to the special forms used to express command or request (imperative mood),…” Sementara itu, Ramlan (1987:

45) menjelaskan bahwa kalimat suruh itu, dalam kaitannya dengan situasi, merupakan suatu bentuk kalimat yang mengharapkan tanggapan berupa tindakan dari orang yang diajak bicara.

Secara struktural, sebagai sebuah satuan lingual, wujud imperatif memiliki ciri khas tersendiri apabila dibandingkan dengan wujud satuan lingual lain. Ciri khas utama wujud ini ialah kemunculan predikat yang tidak disertai dengan adanya subjek yang mendahuluinya. Selain itu, kalimat imperatif merupakan jenis tuturan yang tidak terpengaruh oleh sistem kala maupun persona. Berikut wujud imperatif dalam bentuk perintah (command) dan permintaan (request) sebagaimana dikemukakan oleh Frank (1972) dan Pyle dan Munoz (1991):

Tabel 2.6 Imperatif menurut Frank (1972) dan Pyle dan Munoz (1991)

Bentuk Penjelasan Contoh

Positive Command Bentuk langsung dari kalimat imperatif, dikatakan pula sebagai wujud sederhana (simple form) dari imperative mood.

Close the door!

Please turn off the light.

Open the wwindow.

Be quite.

Negative Command Bentuk negatif dari kalimat imperatif. Menambahkan kata kerja bantu negative do not atau don’t sebelum verba imperatif.

Don’t close the door!

Don’t be shy, girls!

Indirect Command Bentuk tak langsung dari kalimat imperatif. Bentuk- bentuk performative verb lazim digunakan.

I want you to wash the clothes.

John told Marry to close the door.

(37)

Negative Indirect Command

Bentuk negatif dari imperatif tak langsung dengan

menambahkan partikel atau penanda negatif not sebelum bentuk infinitf.

I want you not to wash your clothes.

John told Marry not to close the door.

Bentuk Tak Langsung

Lain Menggunakan bentuk modal

auxiliary seperti could, should, must dll.

Mengkonstruksikannya ke dalam bentuk interogatif menjadi bentuk permintaan halus.

You must close the door.

Could you close the door?

2.3.2 Tinjauan Pragmatis

Sebagai sebuah produk ujaran, sosok imperatif memiliki kaitan erat dengan jenis-jenis tindak tutur sebagaimana dikemukakan sebelumnya. Keterkaitan tersebut dapat digambarkan sebagai berikut: (1) sebagai sebuah tindak lokusi, tuturan imperatif mengacu pada pernyataan makna dasar dari konstruksi imperatif itu sendiri (2) sebagai sebuah tindak ilokusi, tuturan imperatif mengacu pada maksud yang disampaikan penutur dalam menyampaikan tuturan imperatif itu sendiri (3) sebagai tindak perlokusi, tuturan imperatif berkaitan dengan efek yang ditimbulkan sebagai akibat dari tindak tutur (Rahardi, 2005: 7).

Menilik pada Ragam Ilokusi Searle (1969) serta Fungsi Ilokusi Leech (1983), sebagai sebuah tindak ilokusi, tuturan imperatif tergolong pada kategori direktif dengan sub-fungsi memerintah yakni sebagai ilokusi yang bertujuan untuk menghasilkan suatu efek berupa tindakan yang dilakukan oleh lawan bicara atau mitra tutur. Sementara itu, berdasarkan tujuan sosial, tindak tutur ini tergolong pada fungsi ilokusi kompetitif yang tujuan ilokusinya bersaing dengan tujuan sosial.

Sebagai sebuah ilokusi direktif, makna yang dimiliki tindak tutur memerintah ini tak hanya memerintah saja melainkan memiliki makna-makna lain yang bertujuan sama seperti memesan, menuntut, memberi nasehat, meminta dan sebagainya.

(38)

2.4 Prinsip, Skala, dan Strategi Kesantunan 2.4.1 Prinsip Kesantunan

Dalam komunikasi sehari-hari, penggunaan bahasa lazim diwujudkan dalam dua bentuk penggunaan praktis berbahasa yakni bahasa lisan dan tulisan. Dalam ranah pragmatik, aktifitas penggunaan bahasa lisan dan tulis ini tergolong ke dalam wujud retorika, yang dikenal sebagai Retorika Antarpribadi (Interpersonal Rhetoric) dan Retorika Tekstual (Textual Rhetoric). Leech (1983: 15) menyebutkan bahwa retorika merupakan seni keterampilan berbahasa “….rhetoric has been understood, in particular historical traditions, as the art of using language skillfully for persuasions, or for literary expression, or for public speaking”. Selain itu, Ia menganggap retorika sebagai sebuah upaya yang dilakukan oleh seseorang untuk menyampaikan suatu maksud tertentu baik dalam bentuk lisan maupun tulisan “…rhetoric is the focus it places on a goal-oriented speech situation, in which s uses language in order to produce a particular effect in mind of h.”

Sopan santun atau etika berbicara dalam kegiatan percakapan sehari-hari merupakan salah satu prinsip yang termuat dalam Retorika Antarpribadi bersamaan dengan dua prinsip lain, yakni Prinsip Kerjasama dan Prinsip Ironi. Ketiga prinsip ini memiliki peranan penting dalam percakapan dan senantiasa menjadi aturan main berjalannya sebuah percakapan. Leech (1983: 132) merumuskan beberapa Prinsip Sopan Santun (PS) yang seyogyanya dipatuhi oleh pihak-pihak yang terlibat dalam sebuah percakapan. Berikut penjelasan singkat mengenai rumusan-rumusan kesantunan tersebut:

Tabel 2.7 Prinsip Sopan Santun menurut Leech (1983: 132) No Maxim Kesantunan Prinsip Dasar Penjelasan 1 Tact Maxim (in

impositives and commisives)

(a) minimize cost to other [(b) maximize benefit to other]

Maxim Kearifan: buatlah kerugian sekecil mungkin pada mitra tutur, buatlah keuntungan sebesar mungkin pada mitra tutur.

2 Generosity Maxim

(in impositives and (a) minimize benefit to

self [(b) maximize Maksim Kedermawanan:

buatlah keuntungan diri

(39)

commisives) benefit to other] sekecil mungkin, buatlah pengorbanan diri sebesar mungkin. Penghormatan terhadap mitra tutur terjadi apabila penutur dapat

mengurangi keuntungan bagi dirinya sendiri dan

memaksimalkan keuntungan bagi mitra tutur.

3 Approbotion Maxim (in expressive and assertive)

(a) minimize dispraise of other [(b) maximize dispraise of other]

Maksim Penghargaan:

Kecamlah mitra tutur sesedikit mungkin, pujilah mitra tutur sebanyak mungkin. Seorang penutur akan dianggap santun pabila selalu berusaha memberikan pengharagaan pada orang lain.

4 Modesty Maxim (in expressive and assertive)

(a) minimize praise of self [(b) maximize dispraise of self]

Maksim Kesederhanaan:

Kurangi pujian pada diri sendiri, tambahi cacian pada diri sendiri. Seorang penutur dikatakan rendah hati pabila mengurangi pujian terhadap dirinya sendiri dan dikatakan sombong pabila selalu meninggikan diri sendiri.

5 Agreement Maxim (in assertive)

(a) minimize

disagreement between self and other [(b) maximize agreement between self and other]

Maksim Pemufakatan:

Upaya untuk menguatkan kesepakatan antara penutur dan mitra tutur, dikatakan santun pabila penutur dan mitra tutur berbagi

kesepahaman yang baik.

6 Symphaty Maxim (in assertive)

(a) minimize antipathy between self and other [(b) minimize

agreement between self and other]

Maksim Simpati: Kurangi rasa antipasti antara diri dan lain sekecil mungkin, tingkatkan rasa simpati sebanyak-banyaknya.

Dengan menerapkan prinsip-prinsip kesantunan sebagaimana tertuang dalam rumusan PS di atas, derajat atau tingkat kesantunan sebuah tuturan dapat diukur.

(40)

Dalam kaitannya dengan penelitian penerjemahan ini, sebuah tindak tutur memerintah (commanding) berpenghalusan tuturan dalam BSu dapat diukur derajat atau tingkat kesantunannya untuk kemudian dibandingkan dengan terjemahan dalam BSa-nya apakah terjadi pergeseran derajat atau tidak.

2.4.2 Skala Kesantunan

Untuk mengetahui derajat atau peringkat kesantunan sebuah tuturan, dalam hal ini tindak tutur memerintah (commanding) sebagai sebuah impositif, skala-skala kesantunan sebagaimana dikemukakan oleh Leech (1983) dapat diterapkan dengan tetap mendasarkan pada rumusan PS sebagaimana telah disebutkan di atas. Leech (1983: 123-126) menetapkan beberapa skala kesantunan yang dapat dijadikan patokan untuk mengukur derajat atau peringkat kesantunan sebuah tuturan. Berikut peneliti gambarkan skala-skala kesantunan tersebut dalam tabel berikut ini:

Tabel 2.8 Skala Kesantunan Leech (1983: 123-126)

No Skala Penjelasan

1 Cost-benefit scale:

Representing the cost or benefit of an act to speaker and hearer

Skala untung rugi ini bertumpu pada seberapa besar atau kecilnya kerugian dan keuntungan yang ditimbulkan oleh sebuah tindak tutur pada sebuah tuturan. Semakin rugi penutur dalam sebuah tuturan maka akan semakin santunlah tuturan tersebut. Sementara itu, semakin untung penutur dalam sebuah tuturan maka semakin tak santunlah tuturan tersebut.

2 Optionally scale:

Indicating the degree of choice permitted to speaker and or hearer by a specific

Semakin banyak pilihan yang dapat digunakan oleh pelibat dalam sebuah petuturan, maka akan semakin santunlah petuturan tersebut. Pun sebaliknya, semakin sedikit pilihan dalam sebuah petuturan maka akan dianggap semakin tak santun.

3 Indirectness scale:

Indicating the content of inferencing required of the hearer in order to

establish the intended speaker meaning.

Semakin tak langsung sebuah tuturan, maka semakin santunlah tuturan tersebut. Begitu pula sebaliknya, semakin langsung sebuah tuturan maka akan diangap semakin tak santun.

Gambar

Gambar 2.1 Skema Proses Penerjemahan               10 Gambar 2.2 Kerangka Pikir                                                   35
Gambar 2.1 Skema Proses Penerjemahan Nida dan Taber (1982: 33)
Tabel 2.1 Teknik-Teknik Penerjemahan Menurut Molina dan Albir (2002: 509-511)
Tabel 2.2 Parameter Penilaian Keakuratan oleh Nababan, dkk (2012: 50) Kategori
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dalam penelitian ini, penulis akan meneliti Organizational Citizenship Behavior (OCB) terhadap kinerja karyawan, dilihat dari kondisi yang dihadapi oleh karyawan

[r]

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh kombinasi dari tepung tapioka-tepung beras ketan dan tepung terigu-tepung beras ketan serta bentuk lingkaran (diameter 3.5 cm),

Penanganan kehamilan ektopik terganggu pada umumnya adalah laparatomi, dalam tindakan demikian beberapa hal harus diperhatikan.. dan dipertimbangkan yaitu: kondisi

 Guru mengecek kehadiran peserta didik (melalui Whattsapp group, Zoom, Google Classroom, Telegram atau media daring lainnya).  Guru menyampaikan tujuan dan manfaat

Beberapa upaya yang dilakukan dalam pertanian berkelanjutan diantaranya dengan meningkatkan kemandirian petani terhadap sarana produksi pertanian (benih/bibit, pupuk,

Motor utama adalah motor penggerak cekam ( Chuck ) untuk memutar benda kerja. Arah gerakan penyayatan gerakan dapat sejajar, tegak lurus atau miring terhadap sumbu utama. Arah

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2004 tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik