• Tidak ada hasil yang ditemukan

Lampiran 1: Panduan Wawancara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Lampiran 1: Panduan Wawancara"

Copied!
100
0
0

Teks penuh

(1)

70 Lampiran 1: Panduan Wawancara

1. Profil Informan

Nama lengkap : ...

Usia : ...

Jenis usaha : ...

2. Pelaksanaan Wawancara Hari/tanggal : ...

Jam : ... - ... (... menit)

Tempat : ...

Suasana wawancara : ...

3. Demografi

a. Bagaimana asal mula berjualan di sini? (tingkat pendidikan terakhir, pengalaman kerja serta pengaruhnya terhadap usahanya sekarang, usia)

b. Dalam seminggu apakah usaha Anda ada hari liburnya? Kalau ke tempat ibadah apakah libur? (agama yang dianut) Meskipun Anda sibuk, apakah tetap dapat melaksanakan ibadahnya?

c. Apakah ada nilai-nilai agama yang diterapkan dalam menjalankan usaha?

4. Faktor Institusional 4.1 The Regulative Pillar

a. Apakah ada bantuan peranan pemerintah dalam usaha Anda? Sebutkan!

b. Bagaimana menurut Anda kemudahan yang diberikan pemerintah untuk memulai bisnis?

c. Bagaimana menurut Anda kemudahan yang diberikan pemerintah dalam mengajukan perijinan pendirian usaha?

d. Bagaimana menurut Anda kemudahan yang diberikan pemerintah dalam melakukan pendaftaran aset?

e. Bagaimana menurut Anda kemudahan dan fasilitas yang diberikan pemerintah dalam mengajukan pinjaman?

f. Apakah ada perlindungan hukum bagi usahawan?

g. Bagaimana menurut Anda kesesuaian pembayaran pajak dengan pendapatan usahawan?

h. Bagaimana menurut Anda kemudahan yang diberikan pemerintah dalam membuat dan menjalankan kontrak perdagangan?

i. Bagaimana menurut Anda keadilan peraturan mengenai ketenagakerjaan?

j. Apakah Anda memiliki karyawan? Apa saja hak dan kewajiban karyawan?

k. Bagaimana menurut Anda kemudahan yang diberikan pemerintah dalam mengajukan Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI)?

l. Apa yang Anda harapkan dari pemerintah untuk mendukung usaha Anda?

4.2 The Normative Pillar

a. Apakah Anda mengajak saudara atau kerabat untuk memasarkan dan membantu menjalankan usaha?

b. Apakah keluarga Anda mempengaruhi keputusan Anda dalam menjadi seorang wirausahawan?

c. Bagaimana peran dan dukungan keluarga Anda dalam memulai dan menjalankan bisnis?

d. Bagaimana pandangan keluarga Anda terhadap kewirausahaan?

e. Bagaimana budaya keluarga Anda dalam menjalankan usaha?

f. Apakah Anda menerapkan nilai-nilai keluarga dalam menjalankan usaha? Sebutkan!

g. Apakah latar belakang dan gaya hidup keluarga Anda mempengaruhi cara Anda menjalankan usaha Anda? Dalam hal apa?

h. Apakah pengalaman kerja dan pendidikan keluarga Anda mempengaruhi cara Anda menjalankan usaha Anda? Dalam hal apa?

i. Fasilitas apa saja yang ditawarkan untuk pelanggan? Apakah pembayarannya bisa ditunda?

(2)

71

j. Fasilitas apa saja yang ditawarkan pada distributor atau dalam melakukan konsinyasi?

k. Bagaimana cara Anda memimpin karyawan?

l. Fasilitas apa saja yang diberikan untuk karyawan?

m. Bagaimana Anda mengawasi karyawan?

n. Bagaimana pandangan dan budaya masyarakat tentang pelaku usaha? Apakah budaya masyarakat mempengaruhi usaha Anda?

o. Nilai-nilai sosial apa saja yang berlaku di masyarakat mengenai tingkah laku dalam menjalankan usaha? Apakah nilai-nilai tersebut mempengaruhi usaha Anda?

p. Bagaimana hubungan Anda dengan masyarakat sekitar?

q. Apa partisipasi usaha Anda dalam masyarakat?

4.3 The Cultural-cognitive Pillar

a. Bagaimana Anda menuangkan kreatifitas dalam usaha Anda?

b. Bagaimana cara Anda membuat produk yang berbeda dari yang lain?

c. Apakah Anda melakukan penilaian tentang penghasilan, keuntungan, kontinuitas produk pada usaha Anda? Dalam periode berapa lama melakukan penilaian?

d. Apakah Anda merasakan kebebasan dalam membuat keputusan ketika menjalankan usaha Anda?

e. Bagaimana cara Anda memasarkan produk? Melalui media apa saja, menggunakan metode apa saja, di mana saja?

f. Apakah Anda menyediakan layanan pengiriman?

g. Apa tujuan Anda untuk ke depannya?

h. Bagaimana cara Anda mencapai cita-cita tersebut?

i. Bagaimana Anda mengatasi kegagalan usaha?

j. Bagaimana Anda memotivasi diri sendiri untuk tetap menjalankan dan memajukan usaha?

k. Apakah Anda cenderung berani mengambil resiko tinggi?

l. Apakah usaha Anda terpengaruh dengan yang sekarang sering dibicarakan, misalnya seperti dolar naik, bahan baku naik, atau bensin naik?

m. Bagaimana cara Anda dalam mengambil keputusan dan memecahkan masalah?

n. Suka duka apa saja yang Anda alami selama menjalankan usaha?

o. Dalam penjualan produk apakah Anda melakukan analisa produk mana yang paling laku? Apakah produk yang paling laku diproduksi lebih banyak?

p. Apakah pernah ada komplain dari pelanggan? Bagaimana cara menyelesaikannya?

q. Apa pernah jika ada masalah tetapi justru dijadikan peluang untuk berkembang?

r. Bagaimana sistem gaji karyawan? Bagaimana jam kerjanya?

s. Bagaimana Anda mengatur bahan baku?

(3)

72

Lampiran 2: Transkrip Wawancara Choirul Mahpuduah

1. Profil infroman

Nama lengkap : Choirul Mahpuduah

Usia : 46

Jenis usaha : Produsen Almond Crispy dan kue basah 2. Pelaksanaan Wawancara I

Hari/tanggal : Senin, 19 Oktober 2015

Jam : 09.49 – 11.49 WIB

Tempat : tempat produksi Pawon Kue

Suasana wawancara : dilakukan ketika membuat packaging 300 pesanan kue basah Keterangan:

P: Pewawancara N: Narasumber Demografi

P : Boleh tau nama lengkapnya, Bu?

N : Choirul Mahpuduah.

P : Kalau “Mahpuduah” itu dari mana ya, Bu?

N : Dari Kediri saya.

P : Asal usulnya bisa berjualan ini bagaimana, Bu?

N : Kampung Kue? Asal usul terbentuknya Kampung Kue?

P : Bukan, yang Ibu jual ini, Pawon Kue.

N : Pawon Kue?

P : Iya, kenapa kok bisa punya ide untuk buat kue, atau dari orang tua, atau bagaimana?

N : Saya kan organisirnya Kampung Kue. Jadi ingin bagaimana ini nanti kawasan ini menjadi kawasan Kampung Kue. Kita dituntut tidak hanya ngomong, tapi kita juga bisa membuktikan bahwa kita itu betul-betul terlibat di dalamnya. Bisa ngomong, bisa mengajari orang-orang bikin kue, ya kita harus praktekkan. Kita harus bisa. Artinya apa? Ya memang target pengorganisasian yang kita lakukan di sini, ya kita harus berani dan bisa membuktikan. Aku lo juga bikin kue.

P : Memberi contoh gitu ya, Bu.

N : Iya. Sehingga orang-orang yang semula ada 10, 15, 25 orang yang buat kue di sini. Kalau latar belakang itu. Tapi terus kemudian ya memang sebelumnya kan juga pernah beli semacam lokasi di pinggir jalan punya orang yang sudah tua. Tiba-tiba aku ditawari sama tukang parkir, “Mbak, mau jualan nasi pecel?” dia bilang gitu. “Kenapa?” “Itu lo, Mbah itu lo, warungnya dijual.” “Dijual berapa?” “2 juta.” “Nggak boleh kurang?” “Enggak, ya 2 juta itu. Sudah semua sama piringnya, sama sendoknya, sama gelasnya, sama meja-mejanya, sama semuanya.” Terus kemudian saya dipertemukan dengan Mbah tua itu. Aku bilang,

“Aku itu nggak bisa masak, Mbah.” “Ya wes pokoknya nanti saya ajari.” gitu. Terus sungguan, akhirnya aku bayar 2 juta itu diajari sama dia.

P : Buat nasi pecelnya itu?

N : “Ini lo nasi pecel di sini, kalau masak begini, kalau buat kopi gulanya segini. Pelangganku itu, itu, itu, itu. Yang itu kalau makan, nasinya minta banyak. Kalau itu makan piringnya nggak mau dikembalikan. Kalau minta kopi, kopinya minta banyak.” Sampai kemudian,

“Kalau kamu jualan rokok, kalau rokoknya dibuka jangan ditaruh utuh di situ. Taruh saja dua. Kalau nanti diambil dia satu berarti kan masih satu. Kalau diambil dua-duanya tapi dia bayarnya ngomong satu, berarti kan kurang, dia ambil satu nggak bayar. Terus juga itu utangnya sampai numpuk, hati-hati.” Kayak gitu. Terus akhirnya diajari dan kemudian aku jualan nasi pecel di pinggir jalan. Kebetulan kan suami habis di PHK dari pabriknya. Terus gitu uang pesangonnya dipakai untuk beli lokasi warungnya itu sama modal kerja. Terus gitu ternyata di situ itu banyak gusuran-gusuran, banyak penertiban, waktu Bu Risma dulu masih masuk di bagian Dinas Perkotaan dan Pertamanan itu. Itu akhirnya kan banyak, Pak Bambang D. H. mau dateng, tutup, diringkesi. Besok ada tamu atau apa, tutup, diringkesi. Itu kan capek, setiap ngeringkesi selalu bayar orang, tukang becak. Sampai pada saat itu kan aku ketuanya PKL yang ada di situ, koordinatornyaPKL yang di situ. Sampai kemudianada

(4)

73

penyeragaman alat peraga, misalnya tenda-tenda semua seragam. Tapi akhirnya nggak tahan karena digusur juga. Terus kemudian aku masuk di sini. Tahun 2005 itu masuk disini. Nggak jualan di luar akhirnya, masuk di sini. Terus kemudian kan ternyata banyak orang juga mulai di PKL itu sudah banyak orang yang tanya, “Nggak ada kuenya sekalian, Bu. Masa nasi aja?”

Kalau dia pesen nasi sekaligus pesen kue. Akhirnya bener, walaupun tidak di luar tapi kan tetep ada langganan-langganan. Selain itu kan ya nggak bisa kita berhenti, aku akhirnya putar otak, di sana aku mengorganisir, mengkoordinir anak-anak PKL yang semuanya rata-rata laki-laki. Di situ aku juga membuktikan aku bisa ngomong tapi aku kan juga jualan. Begitu aku masuk di sini, walaupun tidak di pinggir jalan tapi di rumah sendiri kan lebih aman. Dan aku juga membuktikan ke orang-orang bahwa aku juga jualan, begini caranya. Itu latar belakangnya.

P : Itu kapan, Bu?

N : PKL itu tahun 2001. Kalau di Kampung Kue ini mulai tahun 2005.

P : Tahun 2005 Ibu sudah masuk kampung sini?

N : Iya. Tahun „90 sebetulnya aku sudah tinggal di daerah sini.

P : Tinggal di sini tapi untuk jualannya di luar?

N : Iya, di luar. Baru untuk kuenya masuknya tahun 2005 sampai sekarang.

P : Berarti itu Ibu waktu mudanya ya, Bu?

N : Iya, tahun ‟90 itu. Pernah kerja di pabrik juga.

P : Pabrik apa Bu?

N : Pabrik Ria Star Indonesia, yang produksi alat-alat rumah tangga dari plastik. Ada keranjang, keranjang sampah, ada termos, rice cooker, terus ada raknya Teh Botol. Itu juga aku dulu di sana aktif di gerakannya juga, misalnya pada saat harusnya anak-anak kan diberi upahnya pas, tapi kan ketika ada kekurangan upah, kemudian anak-anak bergerak. Terus kemudian kita minta ada pemisahan ruang ganti yang terpisah antara laki-laki dan perempuan. Itu laki- laki dan perempuan kalo ganti pakaian ya bareng di sebelah-sebelah mesin. Kadang anak laki-laki yang jail ngintip, nggoda anak-anak yang ayu-ayu. Terus akhirnya itu kita tuntut minta ruang ganti pakaian yang terpisah antara laki-laki dan perempuan. Terus gitu kan anak- anak perempuan kan nggak mendapat cuti haid. Terus kita menuntut diberikannya cuti haid.

Kemudian ketika cuti haid diberikan, tapi premi keaktifan itu hilang. Padahal kan nggak boleh, namanya premi keaktifan memang seaktif satu minggu sekali harus dikasi satu hari upah. Tapi mereka dengan alasan ini kan kamu kan nggak masuk. Padahal nggak masuk kan mengambil hak, jadi nggak boleh dong motong. Nah itu kita tuntut. Kemudian ada lagi dia akalnya banyak. Kalau mengambil cuti haid itu harus diperiksa, disenter gitu betul-betul haid nggak, betul merah nggak. Akhirnya kita bergerak, tahun ‟91 bergerak, ‟92 bergerak, ‟93 bergerak. Itu kalau nggak salah aku sama teman-teman bisa menggerakkan 3000 orang. Aku di-PHK itu tahun Maret ‟93.

P : Waktu ini umur berapa Ibu?

N : Itu aku kelahiran tahun ‟69. Itu umur berapa itu? Ya 21.

P : Berarti seumur saya, Bu. Berarti ‟93 umur 21 sudah kerja?

N : Iya, sudah kerja, sudah mimpin buruh pabrik 3000 orang. Sudah jadi artis di tempatnya situ.

Sampai di majalah Liberti ada di situ. Sampai tulisannya itu “Berikan cuti haidku, jangan buka celana dalamku”. Itu kan strategi kayak kampanye gitu yang bisa menarik perhatian orang-orang. Sampai kemudian masuk kantor polisi satu hari satu malam. Nah, saya kira bermodal itu artinya apa? Bahwa di mana pun tempat kan kita bisa bantu orang. Di tempatnya PKL bisa bantu orang. Di tempatnya kampung bisa bantu. Karena di PKL itu sendiri dulu aja kalo istrinya anak yang jualan itu ada yang melahirkan ya kita menjenguk, dikasi uang santunan. Kalo ada orang sakit dijenguk, kita kasi uang untuk besuk. Karena memang ada dana iuran. Nah, kalo di sini apalagi, di sini kan ada koperasinya. Kalo di Kampung Kue tahun 2005 itu kan aku begitu ngasi pelatihan orang-orang ayo bikin. Nanti selebihnya bisa diperiksa ya. Googling aja ada nanti, ketik namaku, itu nanti langsung muncul. Googling aja. Dulu awalnya misalnya kemudian aku pernah ada juga dimuat di Tabloid Nova ada juga. Banyak tabloid-tabloid. Ada film-film. Pernah dimuat di National Geographic juga.

P : Berarti kalo waktu ibu kerja itu kan umur 21, berarti sudah ...

N : Sekarang aku sudah 46 tahun.

(5)

74

Lampiran 2: Transkrip Wawancara Choirul Mahpuduah (sambungan)

P : Berarti dari SMA langusng kerja?

N : SMA berhenti sebentar. Aku ‟89 itu selesai, terus kemudian tahun ‟90 ke sini. Bulan Juli ke pabrik. Kuliah tahun ‟96.

P : Kuliahnya setelah kerja?

N : Iya, setelah kerja setelah kasus-kasus. Tahun ‟94 itu aku sudah nggugat ke pengadilan. Di tingkat pengadilan negeri menang. Tingkat banding pengadilan tinggi menang. Tingkat kasasi menang.

P : Ini setiap hari buka ya, Bu ya?

N : Iya, buka. Setiap hari buka.

P : Nggak ada liburnya gitu?

N : Ada orang-orang sebagaian libur hari Senin.

P : Oh, Senin justru libur. Kalo misalkan ke tempat ibadah ditinggal, Bu?

N : Kalo Jumat-Jumat gitu?

P : Iya?

N : Kalo puasa gitu libur. Puasa Ramadhan gitu libur. Kalo sore.

Asal usul Kampung Kue dan faktor normatif (karakteristik kelompok)

N : Nah itu aku bilang bahwa kita awalnya melakukan pemetaan kecil-kecilan beberapa ibu-ibu kalo kita mau bergerak kan pasti harus ada faktor pembenar, harus ada orang lain yang sepakat dengan kegiatan kita. Soal sepakatnya berapa persennya kan proses. Aku kalo bilang ke orang-orang, “Gimana, kalo seperti ini, Rungkut Lor ini kan potensinya banyak. Kalo seperti ini aja kan nggak bisa maju. Gimana biar maju?” Makanya waktu itu kita melakukan pemetaan ada dua hal. Potensinya apa di Rungkut Lor itu. Pilihan usahanya, maksudku, dua hal itu. Sebetulnya potensinya kalo saya melihatnya di sini itu banyak perempuan-perempuan yang nganggur gitu kan. Kalo pagi sudah cangkrukan, guyonan, wes rasan-rasan, sudah petan. Terus yang kedua lokasinya kumuh sekali. Kalo ada hujan pasti banjir. Terus kemudian yang ketiga selain lokasinya kumuh, banyak sekali juga orang renternir berkeliaran, ngasih duit ke orang-orang. Kalo sudah dipinjami gitu kan kadang-kadang dia nggak bisa bayar. Dari mana bisa bayar. (Ada ibu-ibu sedang membersihkan jalan di luar) Itu lagi bersih-bersih, mau ada Bu Risma dateng hari Rabu besok.

P : Saya ke sini lagi kalo gitu.

N : Iya, harus ke sini. Sekalian bisa potret-potret. Sekalian untuk dokumentasi.

P : Jam berapa, Bu?

N : Jam 8 pagi. Kalo ada skripsi ada orang terkenal ada nilai plus-nya. (Kembali ke topik wawancara) Utang duit tapi nggak bisa bayar. Terus lagi, sebetulnya banyak orang yang bikin kue tapi ya cuman gitu aja. Ibunya sampai tua bikin kue tapi ya nggak ada kemajuan.

Kemudian aku ngajak ngobrol sama orang-orang. Sebetulnya potensinya ada dua. Satu, dulu itu riwayatnya nenek moyangnya orang-orang di sini bikin jahit. Jahit tapi jahit underwear- nya bapak-bapak, ibu-ibu. Kalo bapak-bapak yang kolor warna item warna putih itu. Terus kemudian untuk underwear-nya ibu-ibu itu yang bra yang belakangnya ada talinya itu yang bikin langsing yang kayak punyanya artis-artis. Itu kan jaman-jaman jadul. Terus akhirnya ketemunya yang jahit itu. Terus yang kedua adalah buat kue. Nah, kemudian yang kita ambil pertama adalah yang bikin jahit. Tapi kan tidak underwear, kan kita mengikuti perkembangan jaman. Akhirnya kita pilih bikin bando, bikin tas, tapi topiknya jahit.

P : Yang berhubungan dengan jahit-menjahit gitu ya, Bu.

N : Iya. Terus sulam pita. Terus kemudian ternyata kurang maksimal. Karena ini kan mentalnya orang yang bikin kerajinan dengan yang lain itu kan berbeda. Kalo bikin kerajinan itu kan barang nggak basi. Jadi besok juga laku. Kalo nggak laku besok ya besoknya lagi. Sampai kemudian waktu itu ketika pilihannya kita menjahit, saya tanya ke ibu-ibu siapa yang punya mesin jahit. Terutama saya juga punya mesin jahit. Itu ada 9 orang. Terus ditanya siapa yang bisa jahit, ya otomatis yang punya mesin jahit bisa menjahit. Ada 9 orang. Terus siapa yang bisa memasarkan, hanya 3 orang yang punya potensi memasarkan dari 9 orang itu. Terus siapa yang bisa desain, hanya 2 orang. Terus kemudian itu kita coba, kita produksi. Ternyata nggak maksimal karena jaga‟ne kalo ada event, jaga‟ne kalo nggak laku sekarang ya besoknya. Kayak gitu kan akhirnya kita lari ke pilihan kedua, yang bikin kue itu. Begitu bikin kue, terus kemudian keinginan itu aku sampaikan ke ibu-ibu. Terus kalo kita bikin kue siapa,

(6)

75

kan nggak bisa semua orang bikin kue. Ya sudah ayo belajar, kita ajari bikin kue. Bikin kue, sabun cair pencuci piring, kayak gitu-gitu kita. Terus akhirnya pelan-pelan mereka seneng.

Ya kalo sudah bisa bikin kue, ya ayo bikin tapi jangan kerja sama aku, tapi punya usaha sendiri-sendiri. Terus akhirnya sudah bisa bikin kue. Terus kemudian, modalnya apa? Terus akhirnya saya ngajak ibu-ibu lagi 3 orang urunan masing-masing 50ribu. Gitu aja sudah dipinjem orang-orang untuk beli wajan teflon.

P : Untuk modalnya ya

N : Untuk modalnya. Karena kan gini, kalo aku ngasih pelatihan itu biasanya ya berangkat dari mereka, apa yang disenengi orangnya. “Kesenanganmu apa?” “Aku masak”, misalnya gitu.

“Ya sudah ayo latihan masak. Terus masak apa?” Nggak punya alat, nggak punya mixer, nggak punya blender, nggak punya oven. Karena kalo kita bikin kue itu kan identik dengan mixer, blender, oven. “Punyanya apa?” Ya berangkatnya ya dari mudah dari yang mereka miliki di rumahnya mereka sendiri-sendiri. Akhirnya “Sudah aku pinjem ya duitnya.” “Untuk apa.” “Untuk beli teflon.” Karena teflon itu kan rencananya waktu itu dia mau bikin dadar gulung. Teflon itu kan bisa 6 macam kue, alatnya satu aja 30ribu tapi bisa dibuat macam- macam. Dadar gulung, pisang keju, sosis solo, bisa risoles, bisa lumpia, lumpia basah, coba bayangkan. Kalo orang lagi bisa gitu kan bisa bikin pancake durian. Tergantung orangnya.

Nah karena itu makanya dia waktu itu pinjam duit kepinginnya untuk beli alat. Tapi ternyata sudah, tidak lama kemudian duitnya dikembalikan 100ribu itu. Karena uangnya 150ribu dipinjam 100ribu kan sisa 50ribu. Nggak lama gitu ditanya, “Kok sudah dibalikin?” “Iya, Bu sudah balik modal.”

P : Lebih cepat ketimbang yang jahit itu ya.

N : Iya lebih cepet. Karena mentalnya berbeda. Kalo orang usaha kue, dia akan bilang jam sebelas, jam segini, kalo belum laku dia sudah bingung. Mau dikemanakan kuenya itu.

Bedanya di situ. Jadi akhirnya ya lebih cepet. Lebih cepet dapat penghasilan untuk orang- orang. Terus kemudian setelah itu baru kemudian orang-orang tanya, “Bu sudah bisa buat jajan, punya modal, terus dijual dimana ini?” Dijual kemana. Ya sudah kita tawar-tawarkan ke orang-orang. Toh kan sudah ada yang mulai. Ada beberapa orang yang sudah bikin itu kita contoh dia. “Bu kita punya produk, titip ya.” “Kalau nggak laku gimana?” “Konsinyasi, kalo nggak laku ya kembali aja.” Karena ini kan untuk orang-orang pertama yang ikut membangun nama Kampung Kue. Kalo nggak laku kembali nggak papa. Kita kan masih menjual.

Faktor normatif (menggunakan koneksi)

N : Terus kemudian, selain itu sistem konsinyasi, kemudian kita banyak jejaring dengan media.

Dari mana dia, ya dari orang-orang yang meliput ketika aku aktif di pabrik dulu. Kalo ada demo-demo gitu. “Mbak kegiatannya apa sekarang?” “Itu ngurusi jajan.” “Kok ganti, kok jauh sekali gantinya, dari pabrik bikin kue?” Termasuk tabloid Nova ini. “Katanya ada kegiatan baru ya, Mbak?” “Iya. Gimana tertarik?” “Iya, saya liput ya.” Gitu. Terus akhirnya itu saya menggerakkan teman-teman yang dulu pernah meliput saya ketika aktif di pabrik itu.

P : Berarti itu juga sebagai untuk promosi ya?

N : Itu kan potensi yang kita miliki. Nah, ketika potensi pribadi digabungkan dengan potensi yang dimiliki masyarakat itu pasti jadi.

P : Berarti pekerjaan Ibu yang sebelumnya juga mempengaruhi ya, dengan usaha sekarang?

N : Iya. Akhirnya promosi-promosinya lewat-lewat kayak gitu. Ya sudah. Banyak diliput oleh media cetak, media elektronik, televisi, radio, talk show di radio, terus berita online, banyak sekali. Selain itu aku kan juga aktif di kegiatan pendidikan politik untuk perempuan- perempuan marjinal. Nah, basisnya apa? Waktu itu aku ngambil 6 kecamatan itu di Rungkut, di Genteng, di Sukolilo, Jambangan, Wonokromo. Ada 5 basis yang aku ambil. Waktu itu kerja sama dengan teman-teman Jakarta sama Australia. Lembaga dana Australia. Jadi berpolitik. Artinya apa, untuk mem-publish sesuatu itu memang butuh banyak orang, butuh banyak issue yang mendukung. Ketika aku ngomong pendidikan politik, untuk siapa, untuk Kampung Kue. Kayak gitu kan keren. Kampung Kue apa? Ibu-ibu yang bikin kue. Yang modalnya sehari 100ribu, 300ribu, sampai yang jutaan. Kalo aku kan sehari itu modal bisa, kalo lagi belanja gitu, bisa satu juta. Almond-nya aja 1 kg 250ribu, terus namanya green tea aja 1kg 750ribu. Belum telurnya, belum tepung-tepung, margarin, butter. Kalo margarin aja

(7)

76

Lampiran 2: Transkrip Wawancara Choirul Mahpuduah (sambungan)

aku pake yang 40ribu 1 kg-nya. Untuk butter-nya aja aku pake yang agak rendah sedikit.

Yang paling mahal kan yang Wisman itu, aku pake bawahnya itu Golden 120rb 1 kg. Aku pake tepung terigu aja, kalo orang-orang kan pake tepung terigu biasa itu 6ribu sekian. Aku aja pake yang premium, yang hampir 10ribu 1 kg. Memang produknya berkualitas. Terus akhirnya orang-orang, ya sudah kita promosi. Sudah serahkan aku, promosi banyak yang meliput.

P : Juga banyak koneksi-koneksi gitu ya, Bu.

N : Itu ya, networking itu penting sekali. Aku ngobrol kayak gini nggak pernah aku punya perasaan, “Enak aja, skripsi.” Nggak bosen-bosennya, sudah berapa kali sih orang itu ke sini ngambil case-nya di Kampung Kue. Prinsipku ya, semakin banyak koneksi, jaringan, itu semakin mendukung usaha kita, makin dikenal. Di sana lo Bu Irul bikin Almond Crispy.

Prinsip saya gitu, sehingga bisa sharing dengan teman-teman. Nah, terus kemudian yang semula, tadi aku ngomong pemasaran kan sistem konsinyasi, dititipkan. Terus akhirnya banyak dengan berita-berita disitu, talk show di radio itu banyak orang yang datang ke sini kulakan. Pinginnya dia ngomong, “Bu aku ikut konsinyasi.” “No. Ndak bisa.” Ini khusus.

Kalo konsinyasi itu kan sistem titip retur, kalo nggak laku balik. Ya bangkrut, semua orang nggak laku balik. Akhirnya orang-orang yang baru itu akhirnya ya beli. Beli putus, ada duit saya kasi jajan. Itu pemasarannya.

P : Ibu untuk memasarkan juga mengikutsertakan saudara, atau kerabat-kerabat gitu nggak, Bu?

N : Ya kalo memasarkan, mereka ikut memasarkan gitu?

P : Iya.

N : Enggak sih, enggak. Cuman kadang kalo aku lagi di Facebook di-tag saudara-saudaraku, teman-temanku. Ditandai aja. Secara otomatis kan terbaca oleh teman-temannya dia yang di Bandung, teman-temannya adikku yang di Jakarta juga ikut baca status itu.

P : Untuk motto usahanya ada, Bu?

N : Ada sih. Tagline-ku itu “Mengabadikan dengan beragam menu sajian”.

Faktor normatif (membangun kerja sama dan kepercayaan)

N : Terus kemudian orang bahkan yang tidak punya keahlian handicraft nggak bisa, jajan nggak bisa, bisanya apa, bisanya jualan, bisanya ngomong, dia pasang juga selebaran menerima kue basah, kue kering. Padahal nggak bisa buat jajan.

P : Berarti nanti dialihkan ke ibu-ibu yang lain?

N : Iya, kayak gitu-gitu. Perannya hanya menjualkan. Kampung Kue menghidupi banyak orang.

Banyak memberi inspirasi ke orang-orang lain. Dan bahkan juga temanku yang di Malang itu, dia belajar mendirikan Kampung Kue seperti apa. Dia mendirikan juga di Malang, masuk di Kick Andy juga. Aku aja belum.

P : Nah, untuk kalau mau membangun kepercayaan, Bu. Membangun kepercayaan dalam jangka panjang ke orang lain, misalkan kayak ke pelanggannya Ibu, atau untuk partner-partner-nya Ibu, itu gimana, Bu? Misalkan kayak memberikan fasilitas-fasilitas apa gitu?

N : Kalo fasilitas itu tetap pelanggan, terutama orang yang 45 ke sini ya, pelanggannya orang yang tengkulak. Yang pertama tengkulak. Tengkulak kan nanti dia punya pelanggan lagi.

Atau aku tidak melalui tengkulak tapi konsumen langsung itu kan juga pelangganku. Kalo kepada tengkulak yang kita lakukan pada mereka, kita juga terbuka kalo mereka menjadi anggota koperasi kita. Ada juga yang menjadi anggota koperasi. Terus kemudian yang kita terapkan adalah saling percaya di antara mereka. Jadi begini, kalo tengkulak itu kadang nggak bawa duit, “Bawa dulu ya,” gitu kan. Itu tetep kita kasih. Itu terjadi biasanya ketika dia barusan saja mudik. Mudik karena anaknya sakit, mudik karena kepentingan apa. Balik ke sini nggak bawa duit sama sekali. Untuk kulakan nggak punya duit, apalagi yang sistem putus, kayak gitu ya. Nggak papa, kita percaya kepada mereka. Masa sih gara-gara uang 10ribu dia nggak balik ke sini, mengorbankan mata pencahariannya kan, pasti enggak la, iya kan? Tapi ya memang ada juga pernah orang ngambil, ngambil, ngambil gitu sampai numpuk berapa ratus, berapa juta dari kumpulan banyak orang gitu ya, ternyata dia sudah tidak lagi berjualan. Ya pernah.

P : Terus gimana, Bu kalo yang kayak gitu?

N : Ya sudah. Paling aku ada berapa 50 ribu an. Orang itu siapa berapa, orang sana berapa, orang sana berapa. Kan gitu. Itu kepercayaan. Kalo kita ngomong konsumen secara umum, semua

(8)

77

konsumen untuk membangun kepercayaan ya di dalam promosi publish yang kita lakukan itu kita selalu ngomong bahwa produknya Kampung Kue lo aman, berkualitas, dan itu kita jaga.

Dan bahkan Kampung Kue masih menggunakan, ada beberapa sih, yang menggunakan pewarna alami, misalnya pandan ditumbuk dan lain sebagainya, kayak gitu. Itu kita coba komunikasikan ke konsumen. Terus selain itu untuk membangun kepercayaan ke mereka ya kita mengajarkan ke ibu-ibu ya kalo kirim ya tepat waktu. Kalo contoh kuenya ini ya dibikinkan yang kue itu. Itu selalu kita tanamkan ke mereka. Teorinya seperti itu. Kemudian dalam prakteknya seperti apa ini kan juga masing-masing orang. Atau bahkan kalo konsumennya tengkulak, misalnya. Tengkulak kadang juga komplain ke orang-orang, “Aku kemarin dikirimi berapa?” “15, Pak.” “Sebenernya kamu itu bisa ngitung ndak?” “Kenapa?”

“Kok jumlahnya hanya 12?”

P : Kurang gitu, Bu?

N : Kurang, misalnya. Ya kadang ada orang-orang itu yang merasa dibohongi sama orang pembuat kue. Walaupun kadang kita juga nggak sengaja. Misalnya kayak gitu. Tapi kadang juga ya menurut saya saya sudah benar, sudah dihitung berkali-kali. Karena kita ngitung itu biasanya gini, satu lajur 10 kalo kali 10 berarti kan 100. Kadang satu kardus ini isinya 5, satu tumpuknya isinya hanya 4, berarti 5 kali 4 kan 20 per kardunya. Itu kadang kita juga gitu.

“Gak, nggak mungkin itu kurang. Karena apa, 1, 2, 3, 4, 5 ke atasnya 4, 20. 20 kalo 5 kardus itu kan sudah 100. Gitu kan. 100, kalo tambahannya dimasukkan di kantong kresek kan gitu.

Jadi kadang dia ngomong begini, ya sudahlah kurang brapa? Saling menanamkan kepercayaan. Kita jaminannya juga kualitas produknya, kita berusaha. Terus kemudian ketepatan waktu pengiriman, terus kemudian kalo aku sih kalo ada pesenan gitu misalnya ini nanti ada pesenan 300, gitu kan, kita berusaha ya tepat waktu, gitu kan. Terus lagi kepercayaan, kadang kalo aku sendiri sih, sementara beberapa orang memang tidak ada jasa layanan antar. Kelebihan kalo pesen di aku ada layanan antar sampai di tempat. Terus lagi kepercayaan yang kita berikan kepada konsumen, begitu mereka telfon, alamatnya jelas, saya mesti ngecek. Telfon, alamatnya jelas, ada di peta, itu ya sudah kita kirim, walaupun tidak ada DP-nya, tetep kita kirim. Tapi kalo dia nawari DP, kadang kita ambil, kadang nggak,

“Sudah nanti aja, Bu.” Apalagi kalo DP-nya hanya 50 ribu aja, sudahlah nanti sekalian COD aja, misalnya gitu. Kita minta bayar di tempat. Terus kalo ada, “Bu nanti kalo dikirim aku mesti bayar berapa ongkirnya?” “Nggak usah bayar lah, nanti kasi aja tips pada yang ngantar.” Padahal ya suami sendiri yang ngantar, ya diposisikan. Ada yang ngantar nanti kan dikasi tips aja. Ada yang kasi uang bensin 20ribu, kita terima.

Faktor normatif (mengawasi karyawan)

P : Ibu kan punya karyawan. Nah itu sistem gajinya gimana, Bu?

N : Seminggu sekali. Seminggu sekali, kadang kalo nggak sempat ambil duit ya, “Bu besok aja ya, Bu.” Kadang kehabisan duit gitu, “Bu aku pinjam duitmu, aku pake belanja.” Ya pernah.

Baru bayari dipinjam lagi. Seringkali.

P : Itu ada kayak bonus?

N : Kalo bonus apa, ya Bu ya? (bertanya pada karyawan yang kebetulan ada di lokasi wawancara) Nggak ada ya bonus-bonusan di sini. Kalo pingin mau makan ya masak sendiri, Bu yang penting di situ ada telor, ada kecap, ada lombok, ada beras, ya sudah kayak gitu.

Kadang, “Nggak mau, Bu males, tapi aku laper ya, Bu.” Ya tetep, akhirnya ya masak. Ya kita ngomong ke teman-teman itu ya apa adanya. Ada makanan ya dimakan, selesai ya pulang.

“Bu berangkat jam 9 ya.” “Lo mau ke mana?” “Mau bayar listrik.” “Ya sudah nggak papa.”

“Mau ngambil rapot.” “Iya nggak papa.” Ya gimana, saya merasa tidak memenuhi kebutuhan mereka secara maksimal, ya kan. Umpama gaji harusnya ya dibayar berapa. Ya kalo UMR sudah berapa. Aku juga harus toleransi terhadap kepentingan-kepentingan mereka juga.

P : Lebih fleksibel juga.

N : Iya. Ya sudah sama enaknya lah. “Bu besok libur ya.” Kadang ada pesenan, “Bu harus masuk lo, nggak boleh libur sek.” Ya sudah gimana. “Pokoknya masuk bentar aja, baru gitu pulang.”

P : Itu shift-shift-an?

N : Ada yang shift. Kita awalnya ada shift. Dia khusus pagi 2 orang. Nanti sore ada satu orang.

Terus malam ada 2 orang. Nah kebetulan yang masuk malem ini anaknya masih kecil-kecil, jadi dia 2-2 nya libur.

(9)

78

Lampiran 2: Transkrip Wawancara Choirul Mahpuduah (sambungan)

P : Itu ada bagian-bagiannya nggak, Bu? Kalo misalkan Ibunya ini untuk bagian buat almond- nya, terus yang lain buat apanya.

N : Iya, kalo yang pagi itu buat almond. Kalo yang sore itu bikin sosis solo. Kalo malem ngelanjutin bikin sosis solo, nge-pack-i. Ngantar ke toko-toko.

P : Itu yang shift malam yang ngantar itu?

N : Iya, sampai pagi.

P : Itu karyawannya kan dilatih dulu ya, Bu ya? Untuk buat. Itu dilatih sendiri atau dikursuskan?

N : Dilatih sendiri, sambil lihat ya sudah bisa. Pokoknya gini, nggak bisa ya belajar. Kadang- kadang ya digremengi dikit. Ini kok bolong. Ya sudah biasa, mereka juga sudah tau. Yang penting kita ngomongnya baik, dia pasti nerima dengan baik. Kalo saya prinsipnya begitu.

Terus satu lagi ya, ini kan UKM ya masih kecil, gitu kan. Kadang orang-orang kalo berpikiran itu begini, aku lo apa ya kuat bayar karyawan. Terus kemudian buat bayari aku sendiri aja nggak bisa. Tapi selalu kita tanamkan ke orang-orang ke anggota bahwa orang yang bekerja pada kita secara prinsip itu membawa rejeki masing-masing. Ya kebetulan aja, rejekinya Bu Tun, rejekinya Mbak Retno itu melalui saya. Sehingga ya jangan kuatir, nggak mungkin lah kita punya usaha terus Gusti Allah itu tidak memberi rejeki kepada saya. La terus apa yang saya gunakan untuk bayar mereka. Kita prinsipnya harus begitu juga.

P : Untuk caranya gimana untuk mengawasi karyawannya?

N : Kalo kita sih gampang, karena sehari-hari ya ketemu. Sudah ruangannya sudah kecil, umpama ngelirik gitu nggak usah repot-repot. Kita sudah di situ ngelirik gitu sudah tau, itu kurang apa, kurang apa sudah tau, nggak perlu teriak-teriak. Teklak-tekluk mau gimana ya memang ngantuk. Ya kita latih sendiri, bahan-bahan kita sendiri. Jadi kadang kita itu juga,

“Mbak piye?” Begitu ada kemasan, “Mbak ini kemasannya baru. Apik ya?” “Iya, apik.”

Kayak gitu-gitu. Kita mulai juga “Gimana kalo buat gini?” “Brapa, Bu alatnya?” “25 juta”

“Wow, 25 juta.”

Faktor normatif (dukungan keluarga)

P : Kalo keluarganya Ibu sendiri berpengaruh nggak dengan usahanya Ibu?

N : Ya berpengaruh, karena apa, adikku itu ya bikin kue. Aku bikin kue, adikku 2 di sini bikin kue semua.

P : Juga mendukung berarti ya, Bu ya keluarganya?

N : Iya.

P : Kalo pandangan keluarganya Ibu tentang kewirausahaan? Jadi kayak, kalo mama saya bilang,

“Kamu jangan berwirausaha dulu, kamu jadi karyawan dulu.”

N : Enggak, ibuku itu, adikku yang kerja, aku terus adikku itu, dia sebelum ke sini itu di desa itu sering bikin putu ayu, yang kelapa itu ijo kelapa. Yang biasa tapi, bukan putu yang ngiik ngiik bukan. Putu ayu yang atasnya kelapa terus bawahnya kayak roti kukus ijo warnanya.

Jadi adikku itu di desa itu pinter sama ibuku pinter bikin putu ayu itu. Akhirnya pertama kali dateng ke sini dia bikin putu ayu itu, laris. Artinya apa, seluruh keluarga mendukung. Ibuku, kakak-kakakku. Kakakku di Jakarta juga punya usaha bengkel mobil. Tiap anak KKN, anak bikin skripsi, ngelatih-ngelatih di sana ya ngelatih bikin otomotif, kayak gitu-gitu. Bikin prototype-nya mobil nasional, kayak gitu kakakku di sana. Diundang pelatihan-pelatihan di dinas-dinas di Semarang, Jogja.

P : Ibunya Ibu juga jual kue?

N : Enggak, ibuku tani. Tapi ya pernah juga bikin nasi bungkus, kayak gitu. Ada orang bakul mlijo itu, bukan rengkek, digendong. Gara-gara disuruh buatkan nasi, terus dibungkusi. Gitu kalo cerita, Ya Allah, kalo cerita ke tempatnya langganannya itu lo di toko-toko di tempatnya Kandangan, Pare, saya kan rumahnya Kandangan, Pare, kalo cerita, “Enak, enak. Ini lo orangnya yang buat itu sawahnya lebar masih mau buat nasi.” Kurang ajar, pelecehan.”Enak ta nasinya? Itu orangnya yang buat sudah kaya, sawahnya lebar, kalo jual laris juga. Itu lo Budhe Yati itu lo orangnya.” “Oh itu ta? Itu ta?” Karena sudah tua ini sudah enggak.

Keluarga semua mendukung lah karena latar belakang, didikan.

P : Nilai-nilai keluarga ada yang diterapkan dalam usahanya Ibu, nggak Bu?

N : Pasti ada. Aku sendiri membangun Kampung Kue. Ibuku itu demokratis kok. Biarpun aku dulu menikah itu umur 31, ndak pernah kok ngomong, “Cepetan menikah kenapa?” Mau

(10)

79

kerja apa, ndak ada kudu kerja gini-gini, ya sudah. Biarpun aku kemana aja ya, dia cuman bilang hati-hati.

P : Jadi didukung ke mana aja.

N : Iya, kemana aja. “La gitu itu gimana disana? Siapa nanti yang ngasih makan?” Kan aku kan juga sering to diundang ke luar negeri, kayak gitu-gitu. “Nanti disana siapa yang ngasih makan? Sudah pokoknya hati-hati.” Adikku ini yang bawahku sendiri itu belum menikah sampai sekarang. Karena prinsipnya aku nggak minta orang tua, kayak gitu-gitu lo nggak nggeributi. Orang tua ikut ngatur itu kan ketika kita masih menjadi kayak kamu misalnya, sekolah masih dibayari. Pasti mempengaruhi, artinya apa ibuku itu demokratis, jadi aku ya mencoba misalnya membangun Kampung Kue juga membawahi banyak suara. Menurut ibu- ibu gini, menurut sana gini. Kadang juga sulit dibedakan, bedanya tipis antara demokratis apa nggak punya pendirian. “Piye, Bu?” “Piye?” Tapi saya sendiri kalo punya keinginan kuat.

Pingin gini ya gini sudah, nggak urus, terserah Bu Tun ngomong apa. Ya kalo punya pendirian ya kuat kan. Tapi ya kadang ya bingung sendiri, kadang sampai dipikir sampai nggak bisa tidur.

Faktor kognitif (melihat kesempatan bisnis)

N : Sekarang sudah berjumlah 45 orang yang kulakan, dari sini dibawa ke luar. Dijual di kantin, sekolah, di pasar, di minimarket-minimarket, ada Carrefour, ada toko Rahmat, ada Ciko.

Kayak gitu-gitu ada. Terus kalo segmen pasar lebih banyak orang-orang itu, kalo kita ngomong presentase, lebih banyak bidikan pasar menengah ke bawah. Ya aku sebetulnya ya getun, ngapain ya aku dulu nggak langsung membidik yang menengah ke atas. Seandainya menengah ke atas itu kan orang-orang pasti penghasilannya lebih gede lagi. Nah, kalo untuk bidikan pasar menengah ke atas kemudian kita serahkan ke personal masing-masing. Kalo kamu mau nembus Carrefour silakan, kamu mau nembus minimarket silakan. Tapi mereka lakukan sendiri-sendiri. Ya memang ada kayak punyaku, ini kan cenderung menengah ke atas kan, produknya. Kue-kuenya juga begitu. Kalo orang-orang kan kue-kuenya ya kue-kue yang agak murah-murah. Gorengan-gorengan seribuan, kayak gitu-gitu. Aku sudah mulai yang nembus 1500, 2500. Almond crispy-ku itu aja 50 ribu gitu kan. Dan juga aku sudah mulai menembus, ya namanya kue kering itu tidak hanya di momentum lebaran, tapi kue kering ya memang kita desain untuk sepanjang waktu, setiap hari ada. Aku ngajari orang-orang gitu.

Terus kemudian kalo dulu orang-orang yang bikin kue itu aja kalo promosi dari mulut ke mulut. Sekarang dia sudah punya kartu nama. Dia kita coba kasi contoh bikin spanduk, banner.

P : Selebaran juga.

N : Selebaran. Dan ada yang sudah online, group BBM.

P : Bu, kalo dikonsinyasi itu Ibu yang ngirim atau ...

N : Orang-orang yang ngirim. Orang-orang kan punya usaha sendiri-sendiri kan. Mereka ngirim ke pasar. Kalo orang yang nggak sistem konsinyasi itu kalo pagi dateng di sini. Di tengah situ, ya kayak pasar gitu transaksinya.

P : Kalo nggak konsinyasi di depan rumah?

N : Iya, di depan rumah. Ada mejanya.

P : Atau kalo kue-kue ada yang pake sepeda?

N : Ada, sepeda ontel, sepeda motor, bahkan pake mobil ada.

N : Jadi misalnya kuenya seribuan gitu, kalo orang lagi pinter lihat kue-kue mana yang laku gitu kan dia pasti, walaupun harganya seribu, dia bisa jual 1500. Tergantung segmen pasar.

Misalnya kayak kerupuk gitu ya. Kerupuk itu kalo dari orang-orang kan 800. Di Ubaya itu lo, di Ubaya Kalirungkut bisa dijual 1500-an kerupuknya. Artinya kan pinter-pinternya orang- orang untuk membidik pasar.

P : Ngambil kesempatan.

N : Iya, dimana pasarnya. Sudah kerupuknya enak, pasarnya di teman-teman mahasiswa Ubaya, itu kan sudah beda dengan teman-teman Unair, teman-teman universitas yang lain. Bisa ambil keuntungan sendiri satu bungkus 700.

N : Terus hambatannya juga masuknya kue-kue dari luar dimasukkan ke sini, seolah-olah itu adalah produknya Kampung Kue. Kue dari Pasar Kembang, kue dari kampung mana, kan gitu. Tapi itu tetep kita sikapi dengan sikap positif. Artinya saya mencoba mengajak ke ibu-

(11)

80

Lampiran 2: Transkrip Wawancara Choirul Mahpuduah (sambungan)

ibu berpikir, jangan hanya mengeluh banyak kue masuk ke Kampung Kue. Coba diperiksa kue apa itu yang masuk di Kampung Kue. Dia bilang, “Oh jenang jagung, Bu Irul.” Nah pertanyaanku ada ndak jenang jagung di Kampung Kue. Nggak ada. Ya sudah kalo nggak ada dimaklumi aja. Ini kan tambah orang tengkulak. One stop shopping, itu tambah seneng.

Sekali masuk Kampung Kue, satu rombong gede seribu kue masuk di dalam rombong. Ya kalo kamu nggak mau ada kue luar masuk ke dalam Kampung Kue, ya bikinlah namanya jenang jagung. Bener, sekarang ada juga, kayak gitu. Akhirnya ya kita tengok lah diri kita itu seperti apa. Kalo enggak, nanti kita bisa bertengkar, apalagi yang bawa kue itu juga anak- anak Kampung Kue sendiri.

P : Pernah nggak, Bu kalo misalkan ada masalah, tapi justru masalah itu dijadikan peluang.

Kayak misalkan Ibu jual roti sampai ke Sidoarjo gitu. Tapi kalo sudah di Sidoarjo itu barangnya sudah nggak fresh. Nah akhirnya Ibu nanti buka cabang di Sidoarjo atau apa. Itu kan masalah sebenernya, cuma dijadikan peluang untuk berkembang.

N : Ya kayak tadi kemarin itu yang jenang jagung nggak ada, ya kan. Itu kita jadikan peluang, akhirnya apa, nambah satu anggota yang membuat jenang jagung. Nambah satu varian kue jenang jagung. Itu kita jadikan peluang. Jadi jangan asal ngomong, jangan “omdo” gitu kan.

Itu ya peluang. Seperti ketika aku sendiri mendirikan Kampung Kue, peluangnya apa, peluangnya banyak orang nggak kerja, ya gila ya. Banyak orang bekerja kok peluang, ya peluang. Karena apa, ketika kita ajak bikin kue, la peluangnya diterima dengan baik. Terus lagi, banyak renternir datang ke sini. Itu kan peluang menurut aku. Terus lagi itu kan masalahnya juga kadang kita tidak mencukupi target produksi gitu kan. Ya tidak mau karena orang-orang tidak meng-hire tenaga kerja, misalnya kayak gitu-gitu. Terus lagi orang-orang yang nggak punya keahlian bikin kue, nggak punya keahlian bikin handicraft, hanya momong di rumah, itu kita ajak juga dia bungkusi, bagian bungkus. Kerjanya malam-malam hari jam 2 pagi sampai jam 5 pagi, misalnya kayak gitu. Kan lumayan juga. Itu juga peluang yang nyata. Terus lagi peluangnya yang kita pasti itu gini, di Kampung Kue itu sudah menjadi bukan rahasia lagi ya, di Kampung Kue itu sudah umum ya apapun yang dijual di Kampung Kue itu laku. Jajan kayak apa aja laku. Bukan rahasia lagi itu. Dan bahkan kalo kita cari tempat tinggal di Kampung Kue ya sampai sepatu aus ya nggak bakalan ada tempat tinggal. Karena di sini wilayah yang potensial secara geografis. Satu, mau ke tempatnya bandara, manggil taksi, Selatan sudah bandara. Mau ke tempatnya Wonokromo, Utara Wonokromo. Mau ke tempatnya Bratang, lin RT sudah sampai ke Bratang. Ini mau sakit, pilih rumah sakit, di SIER ada, di tempatnya klinik-klinik bersalin banyak, di tempatnya Manyar ada. Deket semua di sini. Dan wilayah yang tidak terlalu mahal. Kalo di dalam kota ya pasti lah dekat mana-mana, karena juga mahal, rumah mahal, makanan mahal. Kalo di sini enggak, dekat mana-mana tapi masih terjangkau. Senengnya itu.

Faktor kognitif (pengaruh perubahan)

N : Soalnya ini kan kalo bisnis kue itu dulu kita masih bisa ngomong 50% bisa kita dapatkan, sekarang nggak bisa. Karena kan harga bahan itu kan sudah naik. Kalo ada orang yang nawari ngasih tips gitu ya kita ambil. Kenapa tidak.

P : Tapi meskipun harga bahan naik, tetep harga kuenya?

N : Iya, tetep bisa bersaing. Kapan itu kan nggak naik, terus kita sepakat minimal seribu itu kenaikan. Awalnya masih 800 rupiah.

P : Kalo usaha Ibu ini terpengaruh nggak dengan yang sedang ramai dibicarakan, misalnya kayak dolar naik, atau bensin naik gitu?

N : Kalo dengan bensin naik kemarin enggak. Bensin naik, enggak biasa-biasa aja. Ya tapi ya tetep ada kenaikan harga. Tapi kalo dolar naik, pokoknya kalo kita terpengaruh terhadap ekonomi secara global itu pasti terpengaruh. Misalnya kalo gejolak hanya di Indonesia aja enggak. Tapi ketika ini berpengaruh terhadap ekonomi global ya mempengaruhi. Misalnya dengan dolar, pasti memengaruhi produkku. Karena apa, almond-nya itu kan punyaku almond impor. Yang semula hanya 200ribu, kapan itu dapat 250ribu, sekarang dapat 210ribu sekilo. Tapi bagi ibu-ibu yang lain endak, ndak ada pengaruh, tetep biasa. Aku aja yang mengalami.

(12)

81

Faktor kognitif (pemecahan masalah) P : Suka dukanya berbisnis kue, Bu?

N : Suka dukanya... Sukanya ya ini makanan, kalo nggak laku ya dimakan sendiri. Nggak ada namanya kamu kelaparan itu nggak ada. Tiap hari ngitung duit, enaknya itu. Selagi orang lain sebulan sekali, selagi orang yang jualan handicraft itu mungkin nunggu pameran, Kampung Kue itu tiap hari. Kampung Kue itu minimal 20ribu kue keluar dari Kampung Kue. Omsetnya 20juta lo sehari orang-orang semua.

P : Per hari?

N : Iya, gede ya.

P : Nah kalo dukanya, Bu?

N : Dukanya apa? Dukanya itu kalo, ini karakternya masyarakat perkotaan ya. Secara geografis juga, kalo di sini dulu itu kan tanahnya tanah rawa, kemudian diuruk, kemudian jadi pemukiman. Dukanya ya dimana pun berada kalo namanya secara geografis masyarakat perkotaan itu pasti ngalami banjir. Dukanya ketika banjir. Ketika musim penghujan, pasti air masuk dalam rumah. Kadang ya di luar-luar. Sedangkan orang-orang sendiri kalo air lagi menggenang di luar, sedangkan orang-orang rata-rata rumahnya kan segini ya. Satu petak. Itu sudah gimana, ya bekerja juga nggak bisa. Apalagi kalo sudah sore hari hujan, padahal kita kan hidupnya malam hari, ya mau bikin kue gitu juga sudah terganggu. Terus dukanya lagi kalo bahan-bahan lagi naik misalnya, barang-barang itu naik misalnya kayak gitu. Itu kita duka sekali. Misalnya kalo sampai telor kayak gitu, sampai telor 24 ribu, ayam 26 ribu, 30ribu sudah rasanya kayak nggak dapet apa-apa. Kayak kerja bakti. Terus lagi dukanya juga kadang kita kan, ya namanya rejeki ya, rejeki itu kadang-kadang ya menghampiri, kadang- kadang menjauh dari kita. Ya nggak tau ya tiba-tiba ya di mana pun ternyata, “Piye, rame?”

“Sepi.” Ya sama ternyata. Ya tiba-tiba nggak banyak orang yang makan kue. Nggak tau makan apa. Mungkin karena nggak punya duit atau apa nggak tau.

P : Kalo dari konsumennya sendiri, pernah nggak ada komplain gitu? Misalkan, ini kuenya kok kurang manis.

N : Oh ya sering. Pasti ada komplain. Kurang manis, kurang ini. Ya tetep kita sepakati. “O, iya ta?” Tapi kadang-kadang kita juga harus membedakan, ini komplain kalo, “Mbak kok keasinan?” Kita harus bisa membedakan, konsumen secara umum atau apa. Kalo kita melayani minta ini minta manis, yang lain minta ini, kan repot. Kita kan nggak melayani satu orang. Ya kita general aja. Ya kita juga ngomong ke orang-orang itu misalnya bikin kue ya, bikin kue itu ada juga yang dibelajari sulit, tiap bikin makanan selalu anyep. Jadi nggak keluar gurihnya, nggak keluar manisnya, sudah anyep pokoknya. Aku bilang ke dia,

“Sampeyan kalo buat kacang ijo anyep, buat sayuran, buat sop anyep, buat jajan anyep.

Nggak keluar gurihnya, orang nggak banyak yang seneng.” “Lo aku ini memang nggak seneng asin.” “La yang beli jajan itu sampeyan atau orang-orang?” Iya kalo nggak gitu, harus digitukan orang-orang itu. Tetep, komplain-komplain itu selalu ada. “Mbak, sampeyan itu sebenernya itu jual lemper apa jual ketan?” “Kenapa, mas?” “Lemper kok nggak ada ayamnya?” Makanya kalo pesen di aku pesen yang 1500-an itu lo, ayamnya banyak.

Akhirnya tetep kita sikapi dengan positif. Ada juga sampai kemudian, misalnya pernah juga menurut dia kok kayak basi, gitu ya, ya pernah. Pernah memang. Ya nggak tau ya, biasa atau enggak, tapi menurut konsumen, “Kok kayak bau?” “Iya ta?” Ya kalo prinsipnya orang-orang kalo itu tidak dialami oleh semua orang ya ndak kita gunakan. Bisa saja dia beli sekarang dimakannya besok ya pasti basi. Karena apa, kuenya ibu-ibu jam 11 gini, kita itu sudah masa- masa kritis. Sudah jam 11 aja sudah diobral seolah-olah itu barang sudah nggak laku. Padahal sampai nanti sore kadang-kadang masih bisa dipake. Katanya kurang manis, tapi kita usahakan di sini, insyallah, semua nggak ada yang pake pemanis buatan, karena itu bagian dari pendidikan kita.

P : Untuk mengatasi kegagalan, Bu. Kan pasti harus ada antisipasi kegagalan-kegagalan yang ada itu gimana caranya?

N : Kalo mengantisipasi kegagalan, satu, intinya anak-anak itu harus kompak. Setiap ada persoalan harus diselesaikan bersama-sama. Jadi mereka ya ngomong terbuka dengan kita, ya kita gimana memberi solusi. Terus kalo kegagalannya itu di, misalnya buat kue nggak pernah jadi apik gitu ya, berartikan kita juga ngasih pelatihan, ngasih-ngasih resep kayak gitu. Atau kalo sudah mentok gimana kalo coba produksi yang lain aja. Kalo kegagalan misalnya sampe

(13)

82

Lampiran 2: Transkrip Wawancara Choirul Mahpuduah (sambungan)

nggak laku ya, kuenya nggak laku, di tempat kita ada orang yang khusus kerjanya ngobral kue itu di pasar. Jam segini kalo kue sudah nggak laku itu ada. Pasti ada. Pasar Soponyono.

Ya bukan kue yang busuk atau apa, enggak. Orang yang jualan kue itu sudah mau pulang, mau tutup tokonya. Kuenya kan harus dikeluarkan. Itu 3 dijual 2500.

Faktor kognitif (berinovasi)

P : Nah, kalo kemampuan berinovasi. Kok membuat kuenya Ibu bisa berbeda dengan yang lain?

N : Jadi kan masing-masing orang mempunyai ciri khas sendiri-sendiri. Kita ajarkan ke mereka.

Dia punya lemper tapi lempernya dia bukan lemper yang daun ijo. Tapi lemper yang dalamnya abon dibungkus lagi, beda kan. Kayak gitu-gitu yang kita ajari.

Faktor kognitif (tujuan masa depan) P : Untuk rencana ke depannya, Bu?

N : Kalo rencana ke depan ya jelas ya. Nanti ini kan MEA gitu kan, Masyarakat Ekonomi Asean.

Paling enggak kan nanti banyak kue-kue yang masuk ke Kampung Kue. Ya mungkin nanti bagaimana kita meningkatkan kualitas produknya, karena konsumen itu kan tidak hanya lidahnya orang Jawa saja to, pasti ada orang-orang Thailand, orang Malaysia dan lain sebagainya. Ya bagaimana nanti kita juga bisa memenuhi kebutuhan kue yang seperti itu.

Siapa tau tiba-tiba sushi aja diproduksi oleh orang-orang Kampung Kue. Terus kemudian, karena ini masyarakatnya nanti masyarakat global, ya kita tetep harus mempersiapkan itu.

Misalnya di sini ada klubnya Bahasa Inggris punyaannya ibu-ibu, yang ngomongin soal kue.

Bahasa Inggrisnya kue, harganya, kalo tawar menawar seperti apa, proses produksinya seperti apa, minimal itu kita ajarkan ke ibu-ibu. Biar lebih maju lagi. Selalu kita berpikir, setiap kali ada liputan itu selalu ada progress yang ditampilkan. Kalo dulu misalnya tahun 2010 itu diliput oleh National Geographic, aku bilang jumlah orangnya 30 atau berapa. Terus sekarang sudah 65 orang. Terus sekarang juga kita lagi gencar-gencarnya mengajak ibu-ibu untuk menemukan produk unggulannya mereka. Misal kayak aku Pawon Kue itu produk unggulan kita adalah Almond Crispy, yang menurut Bu Risma sendiri itu di-claim sebagai produk unggulannya UMKM di kota Surabaya. Terus lagi ya, selain kita mengajak ibu-ibu untuk menentukan produk unggulan ya target market-nya mungkin akan dinaikkan, segmennya. Ya karena ini nanti masyarakat secara global otomatis ya menengah ke atas.

Terus lagi ya kita sudah belajar-belajar tentang bagaimana untuk pangsa pasar ekspor, kayak gitu sudah kita mulai, mulai dipelajari. Kayak Almond Crispy ini memungkinkan ndak. Kalo karakter kuenya terlalu tipis gitu kan. Ya sudah sih beberapa orang ngirim dibawa ke Hongkong, dibawa ke Malaysia, dibawa ke, terakhir kemarin Australi, kemudian dibawa ke Amerika. Terus sekalian juga ini lagi di Jakarta ada meeting-nya orang-orang Jepang, ada temen yang bawa.

P : Jadi sekalian promosi juga.

N : Iya siapa tau kita belajar. Mumpung ya, situasi global ini juga kita sikapi dengan harapan yang besar juga. Oke kalo mereka bisa masuk ke sini, banyak orang juga masuk ke sini. Ya tentunya sebaliknya, kita juga bisa mudah ke sana. Logikanya kan begitu.

P : Ibu punya cita-cita apa, Bu dari Kampung Kue, atau dari Pawon Kuenya sendiri?

N : Kalo Kampung Kue ya harapanku ya kalo bisa jangan ada orang di Kampung Kue ini yang menganggur. Terus yang kedua ya Kampung Kue makin maju, sehingga kualitas hidupnya anggota itu juga makin meningkat, makin sejahtera, punya rumah sendiri-sendiri, tidak lagi kost, tidak lagi kontrak, bisa menyekolahkan anaknya. Kalo kita ngomong kesejahteraan itu kan ukurannya tidak hanya ekonomi saja to. Ya mereka bisa punya waktu untuk belajar, kapasitas dirinya itu ditingkatkan. Kalo aku sendiri Pawon Kue ya tetep, ya bagaimana Pawon Kue ya makin maju, sehingga banyak melibatkan orang-orang yang butuh bekerja, ya bisa kerja. Bisa mengangkat nama Surabaya juga melalui kue-kue yang kita pasarkan, misalnya. Misalnya ini lo UKM ya punya produk unggulan lo. Ada Almond Crispy yang dibikin oleh UKM.

Faktor kognitif (berpikir analitis)

P : Kalo misalkan mau menilai usaha, maksudnya menilai itu kayak, usaha ini menghasilkan atau enggak, terus produk yang mana yang paling unggul, terus produk mana yang paling

(14)

83

menghasilkan, yang paling laris yang mana, itu berapa lama sekali? Sebulan sekali atau gimana?

N : Ya nggak ada patokan waktu seperti itu, enggak. Jadi misalnya gini, kemarin kan dari harga 800 kemudian mau dinaikkan menjadi 1000. Aku kan harus mendekati tengkulak-tengkulak, kira-kira kalo dinaikkan menjadi 1000 gimana? “Berat, Bu,” dia bilang gitu. Sekarang pertanyaanku yang berat itu jajannya siapa. Dia nyebut ini, ini, ini. Terus kemudian kita keliling, ngomong, “Piye jajannya? Kalo jajannya nggak isa ditingkatkan, dilepas aja kenapa?” Nyari jajan lainnya. Pilih jajan yang lain gitu untuk diproduksi. Buat apa bikin kue tapi kemudian gara-gara harganya murah rasanya nggak enak. Lebih baik bikin kue tapi masih tetep dapat untung, gimana caranya. Mungkin pilihannya ya bahannya tidak terlalu mahal. Kayak Almond Crispy ini aja banyak ya yang kepingin mau pingin bikin gitu. Pingin diajari kayak gitu. Ya ada. Cuma begitu mereka tanya bahannya apa saja, harganya berapa, kayak gitu, dia sudah mundur. Jadi kalo ada patokan sih enggak, tapi tetep itu kita jadikan alat juga untuk mengembangkan produknya ibu-ibu.

Faktor kognitif (mengatur strategi)

P : Usahanya untuk mencapai cita-citanya itu gimana?

N : Pasti lah kita harus konsisten terhadap program yang sudah kita rumuskan. Kampung Kue kan ada paguyubannya. Paguyubannya ya namanya Kampung Kue. Tapi kita ada organisasinya juga. Namanya Serikat Perempuan Pekerja Rumahan, SPPRI. Ketuanya aku.

Organisasinya ini di kecamatan-kecamatan yang, kita kan punya fasilitator lapangan, ada di Jambangan, Genteng, Wonokromo, Sukolilo, Rungkut, Wonocolo. 6 ya, ada 6 fasilitator.

Paling enggak mereka punya anggota di masing-masing kecamatan. Tapi sebagian besar masih proses. Yang sudah berhasil kan anggap aja ya Rungkut ini. Fasilitatornya aku fasilitatori sendiri. Sekaligus ketuanya mengorganisir di sini. Contoh keberhasilannya kan ini, sampai membentuk Kampung Kue. Mungkin nanti di tempat-tempat lain akan terbentuk kampung-kampung yang lain dengan desain pengorganisasian yang berbeda.

Faktor kognitif (pengambilan resiko)

P : Ibu cenderung lebih berani mengambil resiko tinggi ya, Bu?

N : Oh, iya. Aku habis duit piro bangun usaha itu. Nggak terima. Aku pernah ya, nyewa di tempatnya Alfamart, gitu itu bisa temen-temennya belum ada yang berani buka counter, aku sudah buka counter. Nggak ada jalan duitnya tapi kan aku sudah ngerti oh gini to. Buka di Carrefour pernah juga. Carrefour BG Junction sana. Habis duit brapa aja. Ada pameran- pameran kayak gitu-gitu ikut. Jajannya lakunya nggak seberapa, makannya rutin. Kalo di pameran kan nyemil terus kan. Taksinya, loh, loh, loh Ya Allah. Pamerannya nggak dapet duit, taksinya 2 hari aja, PP sudah brapa ratus itu. Iya sungguan. Coba-coba usaha yang lain kayak gitu. Ngeceh-ngeceh duit istilahnya.

P : Padahal belum tau gimana nantinya.

N : Iya, kalo nuruti aku dulu, duit juta-jutaan itu paling sudah nggak sampai 1 hari 2 hari. Dibuat nyoba ini, nyoba ini.

Faktor kognitif (kebebasan)

P : Tapi Ibu kalo dibandingkan sama yang kerja di pabrik kan enak sekarang, Bu.

N : Iya.

P : Bisa lebih bebas gitu ya, Bu ya.

N : Iya, mau kemana-mana.

P : Terus untuk membuat keputusan juga lebih enak bebas.

N : Kalo aku itu ya hidup harus selalu punya progress lah. Jangan sekarang sama kayak kemarin aja. Monoton ya, bosen.

(15)

84

Lampiran 2: Transkrip Wawancara Choirul Mahpuduah (sambungan)

Faktor regulatif (legalitas usaha)

N : Terus namanya tadi modal 150ribu itu kan namanya dulu Unit Usaha Simpan Pinjam untuk memenuhi kebutuhan permodalan teman-teman. Kenapa? Karena mereka kan tidak dipercaya oleh lembaga perbankan. Masa 300ribu mau pinjam di bank. Terus kalo aku butuh yang lebih gede misalnya sampai 2 juta, 5 juta gitu ndak dipercaya karena apa, masyarakat di sini sebagian besar adalah masyarakat pendatang yang KTP-nya KTP desa. Kemudian ya kita, ya namanya Unit Usaha Simpan Pinjam itu kemudian kita tingkatkan menjadi koperasi sekarang. Koperasi Pekerja Rumahan. Punya legalitas, punya akte notaris. Terus lagi ibu-ibu yang semula hanya bikin misalnya lemper, dia sekarang punya usaha namanya UD Kreasi Fitri. Aku punya UD Pawon Kue. Ada lagi UD Misscrip. Jadi punya badan usaha. Legalitas usahanya ada sekarang.

P : Kalo menurut Ibu, kemudahan-kemudahan apa yang diberikan pemerintah untuk memulai bisnis?

N : Kemudahan-kemudahan, ya perijinan. Perijinan harus dipermudah. Tapi kalo modal kan tidak semuanya butuh modal gede. Kalo di sini modal 100 ribu kalo mau betul-betul usaha lo bisa. Bikin gorengan, bikin apa bisa. Ya apa pun mudah di sini. Memang pemerintah nggak ada. Atau karena kita sudah dianggap mandiri kan juga bisa.

P : Kalo untuk pengajuan peminjaman, kan ada di sini sendiri ya, Bu ya?

N : Iya, kan dulu ada ya. Terus kemudian dalam perkembangannya waktu itu menjelang lebaran kita kehabisan dana. Terus kemudian ada Bank Jatim dateng. Selama ini kalo kita nggak punya anggunan kan ditolak pasti kalo kita mengajukan. Nah itu kan yang ke sini kan Bank Jatim sendiri. Ya mengajukan permohonan agar memberi bantuan pada orang-orang kan Bank Jatim. Jadi waktu itu kita ya nggak punya anggunan tapi dia bilang, “Bu Irul ini gambarnya Bu Irul?” “Iya.” “Boleh saya diantar ke orang-orang ini?” “Boleh.” Akhirnya,

“Bu Irul seminggu lagi ke Bank Jatim ya.” Terus dikasi pinjaman 40 juta. Itu ya kan atas nama Kampung Kue, kelompok, dan namaku selaku ketua dan Bu Pri bendahara, serta Ningsih sebagai sekertaris. Baru kemudian tahun-tahun berikutnya pemerintah mulai ngasih pengurusan legalitas usaha, ijin usaha itu. Difasilitasi oleh mereka gratis. Itu aja. Mau lomba ngikutkan.

Faktor regulatif (peran paguyuban)

N : Terus lagi kemajuannya juga, orang yang nggak bisa bikin kue, tetapi kita kasi pelatihan terus-menerus ya tetap nggak bisa bikin, “Pinginmu itu gimana?” Karena kita kan nggak pilih-pilih. Aku senengku bikin handicraft buat sandal, buat apa, ya sudah lanjutkan aja.

Tetap kita kasi pelatihan-pelatihan juga itu. Kalo ada pelatihan dimana, ya kita ikutkan. Tapi bukan kita yang ngasih. Orang yang ngasih. Kita kan punya jaringan.

N : Makanya kue kering ini adalah bentuk proteksi, kita ngajari kue-kue kering itu bentuk proteksi terhadap keberlangsungan usahanya ibu-ibu. Karena kalo satu bulan padahal itu menjelang lebaran, kalo produksi kue basah. Kalo produksi siapa yang makan, orang pada puasa. Makanya ibu-ibu itu bikinnya kalo ada pesenan aja, bikin waktu puasa-puasa itu.

Terus kemudian kita ajari bikin kue kering. Gimana biar tetep usahanya tetep jalan. Lagi pula kalo ada beberapa yang bikin kue kering, ibu-ibu yang tidak memproduksi sama sekali kan bisa ikutan jualan, menjualkan produknya. Bisa bawa Almond Crsipy, bisa bawa nastar, dan lainnya. Itu salah satu bentuk proteksinya. Terus kemudian bentuk proteksi lain yang dilakukan adalah soal keseragaman harga. Kalo di sini sekarang minimal seribu harganya kue. Minimal seribuan. Ndak boleh dijual di bawah itu. Itu soal proteksi juga. Permodalan kita sediakan, itu juga bagian dari proteksi. Terus kemudian promosi-promosi rutin. Kita selalu bikin program gitu. Misalnya tahun 2015 minimal ada dua media yang meliput, mem- publish di Kampung Kue. Kalau medianya apa? Tahun ini sudah lebih dari 2 media. Kemarin sudah ada di Global FM, kita talk show di situ. Terus kita diliput juga di iNews TV, Jakarta.

Kita diliput juga oleh DBS TV. Sudah 3 televisi tahun ini.

N : Ini kan macemnya kue itu ya kira-kira lebih dari 70-an item kue di sini itu. Satu orang bisa bikin 2 macam kue, ada yang bisa bikin 3 macam kue, atau tergantung pesenan. Saya kalo misalnya risoles mayo, sosis solo, lumpia, yang brownies, yang pastel tutup, kayak gitu bisa.

Artinya apa satu orang tidak hanya satu kue. Karena yang dikerjakan orang-orang itu ada berbagai macam kue, tapi biasanya yang dijual ke tengkulak-tengkulak itu paling dia ngambil

(16)

85

2, ngambil 1, rata-rata. Secara otomatis karena banyak keahlian, lemper itu kan tidak hanya satu orang yang bikin. Aku bisa bikin lemper, Mak Sar bikin lemper, Bu Sih lemper, Bu Muji lemper, Mira lemper, Sukinah lemper, ada Bu Pri lemper. Ada berbagai macam lemper yang bisa dilakukan oleh ibu-ibu. Tapi caranya gimana, secara otomatis kalo sudah ada lemper di Pak ini, janganlah kamu menaruh lemper di situ.

P : Nanti tambah bersaing, nggak enak.

N : Kalo ngomong bersaing, bersainglah, tapi persaingan yang sportif, yang positif.

N : Karena banyak renternir, kita bikin sendiri, orang-orang banyak pinjem modal kita sendiri.

Yang nanti bunganya ya balik lagi ke mereka. Dari, oleh, dan untuk mereka sendiri semuanya.

P : Katanya Bu Risma di sini, saya search di Google sih, Bu Risma bikin Taman Bacaan Masyarakat.

N : Taman Bacaan Masyarakat aku yang bikin itu. Tahun 2009.

P : Kayak perpustakaan gitu ya, Bu ya?

N : Tahun 2009 itu aku mendirikan itu kerja sama dengan HM Sampoerna. Temanku itu bilang, temenku itu kerja punya lembaga namanya Yayasan Pengembangan Perpustakaan Indonesia.

Waktu aku ketemu sama dia, kenalan gitu, aku tanya ke dia, “Mbak kegiatannya apa YPPI?”

aku bilang gitu. “Aku kerja sama dengan Sampoerna bikin perpustakaan keliling, Mbak,” dia bilang. Aku langsung spontan bilang ke dia, “Bisa nggak perpustakaan kelilingnya itu dilewatkan tempatku?” Biar mobilnya lewat, maksudnya. “Ya coba nanti ya. Aku agendakan dulu.” Ternyata bener, jadi Yayasan Pengembangan Perpustakaan Indonesia atau YPPI itu adalah sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat, LSM yang bekerja melaksanakan program CSR-nya Sampoerna. Sampoerna kan punya CSR, namanya apa Program Pustaka Sampoerna.

Lewat perpustakaan-perpustakaan, buku-buku, kayak gitu. Terus waktu itu programnya adalah mobil perpustakaan keliling. Nah melalui dia akhirnya Sampoerna bilang bahwa di Rungkut Lor layak mendapat mobil perpustakaan keliling. Nah bukan tidak ada maksud aku ngomong di sini ada perpustakaan keliling. Ini kan aku punya cita-cita nih, mendirikan Kampung Kue. Ya aku sendiri secara capacity mungkin aku terbatas juga, ya nggak mungkin lah aku ngasih pelatihan terus ke orang-orang. Gimana usahaku terusan? Akhirnya melalui mobil perpustakaan keliling itu aku ditanya sama teman, “Seandainya buku, mau ditambah buku apa Bu Irul?” “Ya buku tentang masak, resep, yang njalur.” Akhirnya buku-bukunya tentang ini.

P : Jadi ibu-ibu sini juga bisa baca.

N : Bisa diaplikasikan. Datangnya di sini. Setiap hari Selasa dulu. Terus kemudian Sampoerna itu menilai hubungan antara saya selaku koordinator dan Sampoerna itu enak. Jadi misalnya antusiasmenya masyarakat terhadap bahan-bahan bacaan itu kok juga tinggi, dari jumlah kunjungannya. Akhirnya aku ditawari, “Mbak kalo ditingkatkan jadi TBM gitu berani apa enggak ngajukan?” “Berani.” Terus aku mengajukan ke Sampoerna. “Konsepnya gimana, Bu Irul?” Begini, begini, begini, begini, tempatnya di mana, terus nanti siapa yang jaga, itu aku kayak bikin proposal gitu. Akhirnya disepakati oleh Sampoerna. Ada Taman Baca Masyarakat itu kantor RT itu di-branding. Jadi taman belajar, bukan taman baca konsepnya.

Taman Belajar Masyarakat. Dibantu 600 buku sama 2 rak buku sama Sampoerna. Tempat itu sangat kecil sekali tapi sangat potensial. Karena apa, setiap tanggal 10 dipake untuk rapat PKK ibu-ibu. Setiap tanggal 16 untuk posyandu. Terus untuk kegiatan ke-RT-an, ngurus surat, dan sebagainya. Setiap hari anak pinjam buku, baca-baca buku. Tempatnya kecil tetapi sangat potensial. Terus gitu tahun 2009 akhir, 2010 Sampoerna bilang ke saya, “Bu Irul sudah mandiri sudah nggak perlu dibantu. Sudah pokoknya dikasi buku-buku itu.” Akhirnya kita diterima oleh Badan Arsip Perpustakaan Surabaya, punyanya Bu Risma, dinasnya Bu Risma, Badan Arsip kantor dinasnya. La terus karena sudah Sampoerna dilepas, kan waktu itu aku juga jaga. Jam kerjanya 3 kali dalam seminggu. Giliran aku, ibu siapa, dijadwal.

Terus akhirnya dibantu oleh Badan Arsip Perpustakaan kota Surabaya. Dibantu satu orang tenaga kerja untuk jaga buku itu sampai sekarang. Nah itulah dianggap ini punya TBM disini.

Kalo segi promosi ya nggak papa. Akhirnya Bu Risma juga bantu namanya internet masuk kampung itu lo. Nah ini lagi-lagi kan kita ngomong kebutuhan strategis ini. Kalo ada internet gratis, WiFi gratis gitu kan ibu-ibu kan bisa browsing resep-resep. Aku aja resep-resep juga browsing, kalo ada resep-resep baru itu.

(17)

86

Lampiran 2: Transkrip Wawancara Choirul Mahpuduah (sambungan)

Faktor regulatif (fasilitias pemerintah)

P : Sekarang masuk ke faktor institusional. Apa ada bantuan dan peranan pemerintah dalam usaha Ibu ini?

N : Kalo awalnya nggak ada sama sekali. Baru setelah terkenal, mereka baru masuk. Ya 2013-an lah mulai masuk.

P : Ada pelatihan-pelatihan gitu, Bu?

N : Ada pelatihan, kita ikutkan. Sampe sekarang pun kalo bantuan modal dari pemerintah, bantuan alat, nggak pernah ada. Kita punya sendiri, sudah murni punyanya Kampung Kue sendiri.

P : Ada nggak perlindungan usaha untuk usahawan, Bu?

N : Nggak ada, ya itu aja. Diikutkan pameran-pameran. Terus dia memberi legalitas tentang koperasi, ngurus halal gratis, ngurus PIRT gratis, kayak gitu.

P : Bagaimana menurut Ibu keadilan peraturan mengenai ketenagakerjaan?

N : Ketenagakerjaan, upah kayak gitu-gitu ya?

P : Iya.

N : Ya apa ya? Ya nggak papa. Artinya harusnya kita juga mematuhi aturan itu. Mematuhi aturan ketenagakerjaan. Ya nanti pasti lah kalo kita sudah besar pasti. Dan bahkan mengikutkan karyawan ke dalam asuransi misalnya kayak gitu-gitu. Ya kalo aku sih prinsipnya hukum pun dibuat untuk mengatur semua orang agar kehidupan ini lebih adil.

P : Apa harapan Ibu untuk pemerintah dalam mendukung usaha?

N : Pemerintah ya lebih mengoptimalkan perhatiannya pada UMKM. Kalo usaha-usaha yang gede kan sudah bisa jalan sendiri. Kalo ini kan soal promosinya itu harus didampingi.

Mungkin promosi kalo promosi lokal bisa kita lakukan sendiri, saya lakukan sendiri, tapi promosi-promosi yang sifatnya instansi pemerintah. Selain itu kan kalo harapanku sih, ya pemerintah itu kalo beli jajan ya jajannya ke UMKM, jangan jajannya San, Loritta, kayak gitu. Coba kalo satu Surabaya itu semua memakai jajannya Kampung Kue, kan kaya orang- orang. Sayang to, mereka masing-masing instansi itu punya kebijakan sendiri-sendiri.

Lain-lain

N : Cantik ya, kemasannya (menunjukkan kemasan produk pesaing Almond Crispy) P : Tapi lebih lucu yang punya Ibu, karena dusnya bisa dibuka lebih unik.

N : Ini lebih unik? Karena ada buka ke bawahnya.

P : Terus di dalamnya itu ada toplesnya. Kalo itu kan cuma toplesnya aja, nggak ada kardusnya.

N : Gitu ya, kayak kaleng apa gitu ya. Gimana Mbak Retno, selalu ada masukan-masukan. Kita kepinging gini, ternyata orang pingin yang lain. Makanya sawang sinawang (saling memandang orang lain) akhirnya. Menurut dia bagus, menurut saya kok gini. Ini yang garap kardusnya Tata Rupa Jakarta sama Asosiasi Desian Grafis itu. Petra harusnya siapa ya kemarin yang bikin? Kan ini 5 UMKM makanan 5 UMKM yang dikerahkan itu difasilitasi oleh Bu Risma. Terus aku ini dapat anak STIKOM. Kartu nama, jadi hanya logonya aja punya dia. Terus kayak gini ini, aku minta font, “Sudah font-nya sama dengan ini, tapi designer-nya beda. Ini anak kuliah di Malang, sekarang di IAIN Jember dia. Jadi desainnya yang di kardus yang punya anak STIKOM. Terus gambarnya ini, terus sama font-nya ini diaplikasikan di tempatnya kartu nama ini. itu designer-nya beda lagi. Ini masih art paper, pake digital printing. Jadi ini aku motongi sendiri-sendiri, satu-satu.

P : Kan ada alatnya untuk motong itu?

N : Pake cutter aku. Tinggal gunting-gunting. Ya agak ribet sih. Makanya ada pesenan 100 kotak itu. Anaknya pinter. Kemarin umpama ada kontesnya mungkin dia yang pemenangnya di antara sekian banyak kardus. 10 designer. Petra, STIKOM, banyak. Ada yang biasanya itu kontes ke Jepang, dia itu. Ya kayak kemarin itu logonya namanya Surabaya itu kan juga dikonteskan. Yang menang anak Bandung. Juara satu anak Bandung, juara dua Jogja, juara tiga anak Bandung. Surabaya malah nggak ada. Maskotnya Surabaya. Kan ini untuk menghadapi MEA itu kan Bu Risma bikin maskot lagi. Ini banyak yang muji ini. Dulu aja juga prosesnya ribet. Ada sebelum dicetak itu sudah dibawa sini dulu. Masih di-print. Ini awalnya dulu (menunjukkan packaging lama yang dulu pernah diajukan oleh designer), karena dia nggak ada art paper yang seluas itu di percetakannya dia. Dulu desainnya dia gini, aku bilang, “Jelek.” “Ganti gini, Bu?” “Nggak mau.” “Gini, Bu?” “Nggak mau.” Terus

Gambar

Lampiran 9: Tabel Triangulasi Faktor Institusional di Kampung Kue (sambungan)
Lampiran 9: Tabel Triangulasi Faktor Institusional di Kampung Kue (sambungan)
Lampiran 9: Tabel Triangulasi Faktor Institusional di Kampung Kue (sambungan)
Lampiran 9: Tabel Triangulasi Faktor Institusional di Kampung Kue (sambungan)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Jadi kalau misalnya, orang yang mau kita chat itu nggak ada di media lain, kayak Line dan segala macam baru aku nyari dia temenan sama aku nggak di

moral positif yang ada di Instagram gue, gue cuma gak mau itu diliat sama followers gue doang, jadi gue mau tuh juga orang tau gitu maksudnya kayak orang lain juga bisa liat

N: Kalau di bidang otomotif itu saya sangat suka sama trio Top Gear itu, karena menurut saya penampilan mereka juga nggak ganteng, mereka bukan kayak selebritis,

Pemilik : ya pernah ada yang tawar tapi ya jarang sekali soalnya kalau buat harga dengan kualitas dan layanan yang kami berikan sudah sesuai terus profitabilitas dari konsumen

Ketika saya nggak dapet minuman gimana saya harus dapet nggak sampai kayak gitu mbak, ya paling pas lagi ada uang terus temen-temen lagi pada pengenya minum, kalo

Tapi nggak lah, ngga gitu juga, kami ( BPP ) pribadi lebih senang kalau hubungan antar penyuluh sama petani itu kayak teman mbak, kayak tetangga, kayak saudara lah,

A: jam 8 pagi sampai jam 5 sore, tapi kalau mau pesan untuk dibawa ke luar kota biasanya telpon dulu paling nggak sehari sebelumnya supaya bisa dibuatkan dulu Q:

C : Emm merasa terbantu dalam bentuk pencarian informasine sih, apalagi buat yang baru mau daftar UMKM gitu… kalo kayak misal dalam bentuk bantuan dana yang dikasih kemaren itu gak sama