• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENERAPAN APPRAISAL RIGHT TERHADAP PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PIHAK YANG LEMAH DALAM PENGGABUNGAN PERUSAHAAN (MERGER).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PENERAPAN APPRAISAL RIGHT TERHADAP PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PIHAK YANG LEMAH DALAM PENGGABUNGAN PERUSAHAAN (MERGER)."

Copied!
52
0
0

Teks penuh

(1)

i

PENERAPAN

APPRAISAL RIGHT

TERHADAP

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PIHAK YANG

LEMAH DALAM PENGGABUNGAN

PERUSAHAAN

(

MERGER

)

I WAYAN ERI ABADI PUTRA NIM: 1016051050

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

(2)

ii SKRIPSI

PENERAPAN

APPRAISAL RIGHT

TERHADAP

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PIHAK YANG

LEMAH DALAM PENGGABUNGAN

PERUSAHAAN

(

MERGER

)

Skripsi ini dibuat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Udayana

I WAYAN ERI ABADI PUTRA NIM: 1016051050

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA

(3)
(4)
(5)
(6)

vi

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, karena atas rahmat-Nya skripsi penulis yang berjudul “PENERAPAN APPRAISAL RIGHT TERHADAP PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PIHAK YANG LEMAH DALAM PENGGABUNGAN PERUSAHAAN (MARGER)” dapat diselesaikan dengan baik.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa hasil karya ini masih terdapat banyak kekurangan baik dalam isi maupun teknik penulisannya, karena terbatasnya kemampuan dan pengalaman yang penulis miliki. Sekalipun demikian besar harapan penulis semoga skripsi ini memenuhi kriteria sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Udayana.

Dalam penyusunan skripsi ini penulis banyak mendapat bantuan, nasehat, dan bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini dengan segala kerendahan hati penulis menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat :

1. Bapak Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, SH.,MH, Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana.

2. Bapak I Ketut Sudiartha, SH., MH, Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Udayana.

3. Bapak Wayan Bela Siki Layang, SH., MH, Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Udayana.

(7)

vii

5. Bapak Dr. I Wayan Wiryawan, SH.,MH, Ketua Bagian Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Udayana.

6. Dr. I Wayan Wiryawan, SH.,MH, Dosen Pembimbing I yang telah dengan sabar dan meluangkan waktunya memberikan bimbingan hingga terselesaikannya skripsi ini.

7. Dr. I Made Udiana, SH.,MH, Dosen Pembimbing II yang dengan sabar dan tidak henti-hentinya memberikan arahan dan masukan, serta mencurahkan ilmunya hingga terselesaikannya skripsi ini.

8. Bapak I Gusti Nyoman Agung, SH,MH Dosen Pembimbing Akademis yang dengan sabar dan penuh tanggung jawab membimbing peneliti dalam menempuh perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Udayana.

9. Bapak/Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Udayana yang telah banyak memberikan pengetahuan kepada penulis selama menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Udayana.

10.Pimpinan dan Staf Administrasi dan Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Udayana yang telah memberikan bantuan administrasi fasilitas dan pelayanan selama mengikuti pendidikan.

11.Seluruh keluarga yang telah memberikan dukungan moril dan materiil dalam menyelesaikan perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Udayana.

(8)

viii

partisipasinya, dan doa yang selalu menyertai hingga skripsi ini dapat terselesaikan. Skripsi ini tentu masih banyak kekurangannya, mohon mendapat koreksi, kritik, atau saran, untuk menjadikan skripsi ini lebih baik dan dapat bermanfaat.

Denpasar, April 2016

(9)

ix DAFTAR ISI

Halaman

SAMPUL LUAR ... i

SAMPUL DALAM ... ii

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

LEMBAR PENGUJIAN ... iv

SURAT PERNYATAAN KEASLIAN... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... ix

ABSTRAK ... xii

ABSTRACT ... xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 7

1.3 Ruang Lingkup ... 8

1.4 Orisinalitas ... 8

1.5 Tujuan Penelitian ... 10

1.5.1 Tujuan Umum ... 10

1.5.2 Tujuan Khusus ... 10

1.6 Manfaat Penelitian ... 10

1.6.1 Manfaat Teoritis... 10

1.6.2 Manfaat Praktis ... 11

1.7 Landasan Teoritis ... 11

1.8 Metode Penelitian ... 18

(10)

x

1.8.2 Jenis Pendekatan ... 19

1.8.3 Sumber Bahan Hukum ... 19

1.8.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ... 20

1.8.5 Analisis Bahan Hukum ... 20

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM DAN PERSEROAN TERBATAS (PT) ... 21

2.1 Prinsip Dasar Perlindungan Hukum ... 21

2.2 Bentuk-Bentuk Perlindungan Hukum ... 25

2.3. Pengertian Dan Dasar Hukum Perseroan Terbatas (PT) 31 2.4 Perseroan Terbatas (PT) Sebagai Badan Hukum Serta Struktur Permodalan PT ... 36

BAB III PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PIHAK YANG LEMAH DALAM PENGGABUNGAN PERUSAHAAN (MERGER) DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 ... 40

3.1 Pengertian Dan Pengaturan Penggabungan Perusahaan (Merger) ... 40

3.2. Perkembangan Doktrin Penggabungan Perusahaan (Merger) ... 46

3.3 Perlindungan Hukum Terhadap Pihak Yang Lemah Dalam Penggabungan Perusahaan (Merger) Ditinjau Dari Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007 ... 51

BAB IV PENERAPAN APPRAISAL RIGHT TERHADAP PIHAK YANG LEMAH DALAM PENGGABUNGAN PERUSAHAAN (MERGER) …… ... 58

(11)

xi

4.2Penerapan Appraisal Right Terhadap Pihak yang Lemah

Dalam Penggabungan Perusahaan (Merger) ... 62

BAB V PENUTUP………. ... 65

5.1 Simpulan……… ... 65

5.2 Saran……… ... 65 DAFTAR PUSTAKA

(12)

xii

ABSTRAK

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007 (UUPT) telah memberikan perlindungan kepada pihak yang lemah, begitu juga dalam peraturan pelaksanaannya, yang dapat dibedakan ke dalam perlindungan secara struktural, perlindungan secara finansial dengan sistem silent majority dan super majority, serta perlindungan dengan sistem lokalisasi.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007 (UUPT) juga telah menerapkan prinsip appraisal rights, sebagai salah satu bentuk perlindungan kepada pihak yang lemah dalam merger, yang diatur dalam Pasal 102 juncto Pasal 125 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007.

Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah penelitian normatif, dimana sistem norma sebagai obyek kajian adalah seluruh unsur-unsur dan norma yang berisi nilai-nilai tentang bagaimana seharusnya manusia bertingkah laku. Disini dikaji Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku, sumber bahan hukum baik bahan hukum primer, sekunder, maupun tersier. Tehnik pengumpulan bahan hukum dengan mengadakan pencatatan dokumen yang berkaitan dengan permasalahan serta bahan hukum.

(13)

xiii ABSTRACT

The Indonesia Constitution, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007 (UUPT) has provided protection to the weak parties, and so are at the performance that can be differed structurally; financial protection with silent majority system and super majority, and protection with localization system.

The Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007 (UUPT) has also applied appraisal rights as one of the protection forms for the weak parties in merger stipulated in pasal 102 juncto Pasal 125 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007.

The method used in this research is normative method at which norm system as the object is all elements and norms containing values on how people must behave. Here studies on regulations, primary, secondary, and tertiary legal source are analyzed. The technique of collecting the legal material were made by note taking the documents related to the problems and the legal material.

(14)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Hukum positif di Indonesia pada pokoknya mengenal bentuk-bentuk perusahaan seperti Firma (Fa), Commanditair Vennootschap (CV), Perseroan Terbatas (PT) dan Koperasi. Akan tetapi dari bentuk-bentuk yang ada itu, selain koperasi yang memang didorong perkembangannya, maka yang banyak didirikan adalah Perseroan Terbatas (PT). Dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir ini frekuensi pendirian PT mengalami peningkatan yang signifikan. Hal ini dapat disimak dari pandangan bahwa dari berbagai bentuk perusahaan yang ada di Indonesia, seperti firma, persekutuan komanditer, koperasi dan lain sebagainya, maka bentuk perusahaan Perseroan Terbatas (PT) merupakan bentuk yang paling lazim, bahkan sering dikatakan bahwa Perseroan Terbatas merupakan bentuk perusahaan yang dominan.1

Banyaknya pendirian perusahaan Perseroan Terbatas baik yang dilakukan oleh Warga Negara Indonesia maupun Warga Negara Asing terutama dalam rangka kegiatan penanaman modal, lebih banyak dilatarbelakangi pertimbangan sehubungan dengan status badan hukum yang melekat pada perusahaan Perseroan Terbatas, di samping itu juga karena sifat perusahaan Perseroan Terbatas sebagai suatu asosiasi.

1

(15)

Sifat sebagai asosiasi menempatkan perusahaan Perseroan Terbatas itu dalam bidang yang luas karena istilah tersebut dapat mengandung pengertian bahwa pada satu sisi perusahaan Perseroan Terbatas merupakan asosiasi modal dan pada sisi lain perusahaan Perseroan Terbatas adalah asosiasi orang. Sebagai asosiasi modal berarti terdapat pengumpulan modal dari berbagai pihak dalam perusahaan Perseroan Terbatas, dan asosiasi orang mencerminkan perusahaan Perseroan Terbatas merupakan wadah berkumpulnya banyak pihak yang bekerjasama untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah dituangkan dalam anggaran dasar.

Dari sifat-sifat baik sebagai asosiasi modal maupun orang, keduanya mencerminkan satu pemahaman bahwa keberadaan perusahaan Perseroan Terbatas dapat memberikan kesempatan untuk ikut berpartisipasi bagi angkatan kerja atau juga menciptakan peluang-peluang usaha bagi banyak pihak yang nantinya merupakan mitra bisnis.

Ditinjau dari aspek hukum perjanjian perbuatan mendirikan, memiliki dan mengelola perusahaan Perseroan Terbatas tidaklah merupakan perbuatan tunggal, melainkan sejak bentuk badan hukum perusahaan dikenal sudah menjadi perbuatan yang melibatkan lebih dari satu orang, bahkan banyak orang. Di dalam perusahaan Perseroan Terbatas terdapat berbagai hubungan hukum yaitu antara pemegang saham yang satu dengan yang lain, antara perseroan dengan direksi, komisaris, pegawai, dan antara perseroan dengan pihak ketiga.

(16)

mulai dari perancangan pendiriannya, tahap operasional sampai dengan berakhirnya jangka waktu untuk mana perusahaan Perseroan Terbatas itu didirikan sebenarnya penuh dengan berbagai perjanjian. Oleh karena itu dikemukakan bahwa perusahaan Perseroan Terbatas merupakan perwujudan dari perjanjian-perjanjian. Bertumpu pada uraian singkat tersebut semakin jelaslah di dalam suatu perusahaan Perseroan Terbatas terdapat suatu proses yang didukung oleh berbagai perjanjian. Keberadaan perjanjian-perjanjian itu bersifat menghidupkan, memelihara kelangsungan hidup perusahaan Perseroan Terbatas yang bersangkutan, bahkan dapat juga mengantarkan menuju pada proses yang mengakhiri eksistensi perusahaan Perseroan Terbatas itu sendiri. Perjanjian diantara para pemegang saham pada pokoknya bersifat menghidupkan dan sebaliknya mengakhiri, sedangkan perjanjian dengan direksi, stake holder terutama karyawan serta pihak ketiga mengandung sifat yang bertujuan memelihara kelangsungan hidup perusahaan Perseroan Terbatas.

(17)

porsinya masing-masing dalam rangka memajukan dan meningkatkan perkembangan perusahaan. Oleh karena itu agar tercipta suatu keseimbangan, maka dipandang perlu untuk memberikan perhatian mengenai aspek perlindungan hukumnya.

Sehubungan dengan pandangan bahwa perusahaan perseroan terbatas merupakan suatu bentuk yang paling dikenal, banyak digunakan sebagai bentuk dominan dari perusahaan, maka perkembangan pemanfaatan perusahaan perseroan terbatas yang pesat ini memperoleh perhatian secara yuridis. Hal ini dapat dilihat dengan adanya pengaturan perusahaan perseroan terbatas yang berkembang dengan pesat pula. Pengaturan yang pada awalnya dituangkan dalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang (Pasal 26 s/d Pasal 56 KUHD) diganti dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas yang kemudian diganti dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 106) atau yang disingkat dengan Undang-Undang Perseroan Terbatas (UUPT).

(18)

Berkaitan dengan penyelenggaraan perusahaan perseroan terbatas, undang-undang memberikan kewenangan yang sangat luas kepada Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Hal ini dapat dilihat antara lain dalam Pasal 75 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 tahun 2007 yang menentukan :

“Rapat Umum Pemegang saham (RUPS) mempunyai segala wewenang yang tidak diberikan kepada Direksi atau Komisaris, dalam batas yang ditentukan dalam Undang-Undang ini dan / atau Anggaran Dasar”. Disamping itu juga hak-hak lain seperti hak untuk memperoleh segala keterangan yang berkaitan dengan kepentingan perseroan dari Direksi dan atau Komisaris.

Sedangkan yang berkaitan dengan pengurusan perseroan, Pasal 92 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007 menentukan :

Direksi menjalankan pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan. Penjelasan pasal tersebut menyatakan, bahwa ketentuan tadi menugaskan Direksi untuk mengurus Perseroan yang antara lain meliputi pengurusan sehari-hari dari Perseroan. Bertumpu pada ketentuan yang tertuang dalam Pasal 92 ayat 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007 sebenarnya Direksi sudah dibatasi wewenangnya dimana Direksi dalam menjalankan pengurusan Perseroan harus tetap berpedoman dan tidak boleh bertentangan dengan maksud serta tujuan Perseroan sebagaimana tercantum dalam Anggaran Dasar Perseroan.

(19)

Apabila Direksi menyimpang dari prinsip ini terutama terhadap yang ketiga, maka Direksi secara tidak langsung telah menempatkan perseroan dalam posisi melakukan tindakan yang melampaui kewenangan yang telah diberikan.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas adalah pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas (UUPT lama) yang merupakan tonggak sejarah tentang hukum merger. Walaupun sebelumnya pengaturan tentang penggabungan perusahaan merger sudah ada, namun hal tersebut masih bersifat sektoral dan level pengaturannya pun masih di bawah tingkat undang-undang. Sejarah hukum tentang merger dari perusahaan-perusahaan di Indonesia dibagi dalam dua periode sebagai berikut:2

1. Periode Pra Undang-Undang Republik Indonesia nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

Sejarah hukum di Indonesia masih terbilang baru. Dalam tingkat undang-undang, pengaturan tentang merger di Indonesia baru dimulai sejak berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas (UUPT lama) Tentang Perseroan, namun demikian tidak berarti bahwa sebelum adanya undang-undang tersebut merger tidak dilakukan di Indonesia karena dalam kenyataannya praktek merger di Indonesia sudah dimulai sejak lama.

2. Periode Pasca Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas Undang-Undang Perseroan Terbatas mengatur

2

(20)

tentang merger lebih komprehensif di banding Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas (UUPT lama).

Salah satu andalan dari Undang-Undang Perseroan terbatas yang tidak dimiliki oleh pasal-pasal tentang perseroan terbatas dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) adalah diaturnya mengenai penggabungan (Merger), peleburan (Konsolidasi) dan pengambilalihan perusahaan (Akuisisi).

Penggabungan dua buah atau lebih perusahaan menjadi satu, sering kali menimbulkan berbagai titik kelemahan apabila salah satu pihak yang bergabung atau lebih berada pada posisi yang tidak seimbang sehingga perlu diberikan perlindungan hukum, khususnya bagi pihak yang lemah dalam penggabungan perusahaan (Merger) terutama dalam penerapan prinsip appraisal right.

Memperhatikan latar belakang masalah tersebut di atas, maka penulis mencoba menuangkan dalam bentuk karya ilmiah dengan Judul Skripsi

Penerapan Appraisal right Terhadap Perlindungan Hukum Bagi Pihak Yang Lemah dalam Penggabungan Perusahaan (Marger)”.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah seperti tersebut di atas, maka permasalahan dapat dirumuskan sebagai berikut :

1. Bagaimana perlindungan hukum terhadap pihak yang lemah dalam penggabungan perusahaan (Merger) ditinjau dari Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007?

(21)

1.3 Ruang Lingkup Masalah

Untuk permasalahan pertama tentang perlindungan hukum terhadap pihak yang lemah dalam penggabungan perusahaan (Merger) ditinjau dari Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007, dengan ruang lingkup Pengertian dan dasar hukum penggabungan perusahaan (Merger), perkembangan doktrin penggabungan perusahaan (Merger), prinsip dasar perlindungan hukum terhadap pihak yang lemah dalam penggabungan perusahaan (Merger) ditinjau dari Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007, untuk permasalahan yang kedua tentang penerapan appraisal right terhadap perlindungan hukum bagi pihak yang lemah dalam penggabungan perusahaan (Merger),dengan ruang lingkup sisten pertanggungjawaban penggabungan perusahaan (Merger) dan penerapan appraisal right terhadap pihak yang lemah dalam penggabungan perusahaan (Merger).

1.4Orisinalitas

No Skripsi Judul Rumusan Masalah

(22)
(23)

1.5Tujuan Penelitian

1.5.1 Tujuan Umum

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penerapan appraisal right terhadap perlindungan hukum bagi pihak yang lemah dalam penggabungan perusahaan (Merger). Di samping itu, juga bertujuan

memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar sarjana Strata 1 (S-1) dalam Jurusan Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas

Udayana. 1.5.2 Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap pihak yang lemah dalam penggabungan perusahaan (Merger) ditinjau dari Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007.

2. Untuk mengetahui penerapan appraisal right terhadap perlindungan hukum bagi pihak yang lemah dalam penggabungan perusahaan (Merger).

1.6 Manfaat Penelitian

1.6.1Manfaat Teoritis 1. Bagi Mahasiswa

(24)

b) Sebagai salah satu persyaratan dalam memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Udayana. 2. Bagi Fakultas/Universitas

Hasil penelitian ini merupakan salah satu cara untuk mengevaluasi kemampuan para mahasiswa dalam menganalisis serta memecahkan permasalahan secara ilmiah dalam rangka menerapkan ilmu di bangku kuliah serta sebagai bahan bacaan tambahan dalam perpustakaan.

1.6.2 Manfaat Praktis

Untuk memberikan sumbangan pemikiran khususnya dalam penerapan appraisal right terhadap perlindungan hukum bagi pihak yang lemah dalam penggabungan perusahaan (merger).

1.7 Landasan Teoritis

Peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia memberikan pengertian atau definisi merger dengan rumusan kalimat yang hampir seragam. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas menggunakan istilah “Penggabungan” sebagai pengganti terminologi

Merger”. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 40 tahun 2007

(25)

menerima penggabungan dan selanjutnya status badan hukum Perseroan yang menggabungkan diri berakhir karena hukum.

Pengertian penggabungan tersebut kemudian secara khusus disebutkan dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 1998 Tanggal 24 Pebruari 1998 mengenai Penggabungan, Peleburan, dan Pengambilalihan Perseroan Terbatas, yang bunyi lengkapnya dikutip sebagai berikut:

“Penggabungan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu perseroan

atau lebih untuk menggabungkan diri dengan perseroan lain yang telah ada dan selanjutnya perseroan yang menggabungkan diri menjadi bubar.”3

Khusus bagi perseroan terbatas yang bergerak dalam lapangan usaha perbankan, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 tentang Merger, Konsolidasi, dan Akuisisi Bank, istilah yang digunakan adalah merger, dengan pengertian sebagai berikut:

Merger adalah penggabungan dari dua bank atau lebih, dengan cara tetap

mempertahankan berdirinya salah satu bank dan membubarkan bank-bank lainnya tanpa melikuidasi terlebih dahulu”.4

Penggabungan pasar modal sendiri memakai istilah penggabungan usaha, dimana peraturan tentang penggabungan usaha atau peleburan usaha perusahaan publik atau emiten yang termaktub dalam keputusan Bapepam Nomor Kep-52/PM/1997 tanggal 26 Desember 1997 memberikan pengertian penggabungan sebagai berikut:

3

Himpunan Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas (UUPT lama), 1998, CV. Eko Jaya, Cetakan ke-1, Jakarta, hal.381.

4

(26)

Penggabungan usaha adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu perseroan atau lebih untuk menggabungkan diri dengan perseroan lain yang telah ada dan selanjutnya perseroan yang menggabungkan diri menjadi bubar. Berdasarkan beberapa definisi tersebut di atas maka dapat disimpulkan tentang elemen/unsur dalam merger:

1. Adanya perbuatan hukum; 2. Adanya dua perseroan atau lebih;

3. Adanya tujuan yang sama, yaitu salah satu perseroan akan menggabungkan diri kedalam perseroan yang menerima penggabungan; dan

4. Adanya keputusan yang sama, yaitu perseroan yang menggabungkan diri akan bubar.

Dalam konsep appraisal right diberikan suatu pemahaman oleh Munir Fuady, adalah hak dari pemegang saham minoritas yang tidak setuju dengan penggabungan perusahaan (Merger) atau tindakan koporat lainnya, untuk menjual saham yang dipegangnya itu kepada perusahaan yang bersangkutan, mana pihak perusahaan yang mengisukan saham tersebut wajib membeli kembali saham-sahamnya dengan harga yang pantas. Dan pelaksanaan appraisal right ini merupakan salah satu keistimewaan yang diberikan oleh hukum kepada transaksi merger.5

Peningkatan pendirian perusahaan Perseroan Terbatas dapat ditandai terjadinya hampir berbarengan dengan mulai meningkatnya aktivitas perekonomian Indonesia setelah pertengahan dasawarsa 1960-an. Disusul dengan

5

(27)

mengalirnya investasi asing yang masuk Indonesia dan juga bangkitnya gairah para pemilik modal nasional untuk menanamkan modalnya baik secara mandiri maupun berpatungan dengan investor asing. Peningkatan ini berdampak positif terhadap perkembangan pendirian Perseroan Terbatas. Di samping itu turut pula memacu peningkatan pendirian Perseroan Terbatas di tanah air adalah semakin berkembangnya aspek yuridis berupa penyempurnaan pengaturan terhadap bentuk perusahaan ini yang dimulai dengan diundangkannya Undang-Undang Republik Indonsia Nomor 4 Tahun 1971 tentang Perubahan dan Penambahan atas Ketentuan Pasal 54 Kitab Undang-Undang Hukum dagang (KUHD). Dilanjutkan dengan diundangkannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas yang menggantikan Pasal 21 sampai dengan Pasal 56 KUHD. Terakhir undang-undang ini diganti dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

Perkembangan pengaturan itu secara tidak langsung menunjukan perkembangan pemahaman mengenai perusahaan Perseroan Terbatas sehingga mengakibatkan banyak yang memilih bentuk perusahaan ini. Apabila ditinjau lebih jauh, terpilihnya Perseroan Terbatas sebagai bentuk perusahaan berbadan hukum yang paling diminati saat ini tidaklah terlepas dari elemen-elemen yang terkandung secara integral dalam Perseroan Terbatas itu sendiri.

(28)

Secara garis besarnya organ-organ perusahaan Perseroan Terbatas menurut fungsi yang dijalankan, pada pokoknya dibedakan menjadi dua, yaitu fungsi pendanaan dan fungsi pengelolaan. Fungsi pertama tentang pendanaan mencakup keberadaan pemegang saham dan yang kedua tentang fungsi pengelolaan mencakup direksi serta komisaris.

Dari elemen-elemen tersebut maka yang sangat perlu dicermati khususnya karena menyangkut topik penelitian yang sedang digarap ini adalah elemen yang pertama, yaitu perjanjian yang menurut Subekti6 merupakan suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal. Sedangkan menurut Wirjono Projodjodikoro7 perjanjian itu adalah suatu perhubungan hukum mengenai harta benda antara dua pihak, dalam mana suatu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan sesuatu hal dan untuk tidak melakukan sesuatu hal, sedang pihak lain berhak atas pelaksanaan janji itu. Apabila dicermati dalam kegiatan-kegiatan mendirikan, memiliki dan mengurus perusahaan Perseroan Terbatas ternyata terdapat perjanjian-perjanjian. Pada saat para pendiri mengadakan kesepakatan mendirikan perusahaan Perseroan Terbatas terdapat perjanjian yang kemudian dituangkan dalam akta pendirian dan anggaran dasar. Sehubungan pemilikan saham yang sebenarnya berarti pemilikan perusahaan Perseroan Terbatas juga dijumpai adanya perjanjian, misalnya perjanjian jual-beli saham. Pengurusan perusahaan Perseroan Terbatas yang dilakukan Direksi pada

6

R. Subekti, 1995, Aneka Perjanjian, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 7

7

(29)

pokoknya merupakan pula pelaksanaan dari perjanjian bahwa Direksi akan melaksanakan tugasnya sesuai anggaran dasar. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa perusahaan Perseroan Terbatas sebagai badan hukum sebenarnya merupakan implementasi atau perwujudan dari berbagai perjanjian baik yang terjadi diantara sesama pendiri, sesama pemegang saham, antara pemegang saham dengan pengurus atau direksi, dan antara perseroan melalui direksi dengan berbagai komponen stake holder.

Berdasarkan asas Pacta Sun Servanda yang berarti perjanjian harus ditaati para pihak yang melakukan perjanjian8 seperti terkandung dalam Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, sepanjang perjanjian itu tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum tercermin, maka perjanjian itu berlaku seperti undang-undang atau mengikat para pihak sehingga karena itu harus ditaati.

Di samping asas Pacta Sun Servanda, maka perlu juga memperhatikan asas Itikad Baik yang menurut M.L. Wry seperti dikutip oleh Setia DTH9 merupakan perbuatan tanpa tipu daya, tanpa tipu muslihat, tanpa cilat-cilat, akal-akal, tanpa mengganggu pihak lain, tidak dengan melihat kepentingan sendiri saja, tetapi juga dengan melihat kepentingan orang lain.

Di samping asas itikad baik, asas kepastian hukum yang menunjuk kepada pemberlakuan hukum yang jelas, tetap, konsisten dan konsekuen, mengajarkan

8

Budiono Kusumohamidjojo, 1986, Pacta Sun Servanda, PT. Bina Cipta, Bandung, hal. 1

9

(30)

agar memberikan perlindungan terhadap hak-hak pihak yang lemah yang sangat berperan dalam menunjang perkembangan perseroan. Tanpa ada pihak yang lemah sebenarnya suatu perseroan tidak akan berkembang.

Berdasarkan uraian-uraian di atas dapatlah dikemukakan, makna-makna yang terkandung dalam The Nexus of Contract Theory yang dikaitkan dengan Asas Pacta Sun Servanda dan Asas Itikad Baik serta asas kepastian hukum merupakan landasan teoritis untuk memformulasikan dasar hukum yang sangat dibutuhkan untuk memberikan perlindungan hukum bagi para pihak dalam hal ini terutama pihak yang lemah .

Perlindungan hukum terhadap pihak yang lemah perlu mendapat perhatian sehubungan dengan alasan karena pihak yang lemah dapat mengalami kerugian yang diakibatkan oleh perseroan dan perseroan itu sendiri menderita kerugian antara lain karena tindakan-tindakan yang dilakukan oleh Direksi sebagai wakil perseroan. Tindakan-tindakan yang dimaksudkan itu diantaranya adalah tindakan yang bersifat menyimpang dari ruang lingkup fungsinya dalam mewakili perseroan atau tindakan yang merupakan pelanggaran terhadap anggaran dasar.

(31)

jatah menurut jasanya,10 dengan ini dapat dikemukakan bahwa pihak ketiga merupakan pihak yang berjasa dalam hal ini sebesar nilai transaksi. Sehingga berdasarkan teori ini harus diberikan keadilan, dalam pengertian hak-haknya dapat dipulihkan. Dari uraian-uraian yang telah disajikan pada intinya doktrin, dan pandangan-pandangan yang telah dikemukakan itu mengarah pada satu hal yang sangat penting bahwa pihak perusahaan Perseroan Terbatas tetap bertanggung jawab terhadap kerugian-kerugian yang dialami oleh pihak ketiga, dan kendati pun masih mengandung beberapa kekaburan pada berbagai aspeknya, akan tetapi doktrin dan pandangan itu dapat digali lebih dalam lagi untuk menemukan penjelasan atas permasalahan yang diangkat melalui skripsi ini.

1.8 Metode Penelitian

Menurut Kartini Kartono, metode penelitian adalah cara-cara berpikir dan berbuat, yang dipersiapkan dengan baik untuk mengadakan penelitian dan guna mencapai tujuan.11 Dari uraian tersebut di atas dapat dipahami, bahwa penelitian pada dasarnya adalah suatu kegiatan yang terencana dilakukan dengan metode ilmiah bertujuan untuk mendapatkan data baru guna mendapatkan kebenaran ataupun ketidakbenaran dari suatu gejala yang ada.

10

L.J. Van Apeldoorn, 1978, Pengantar Ilmu Hukum, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, hal. 23

11

(32)

1.8.1 Jenis Penelitian

Penelitian yang penulis gunakan adalah penelitian normatif12 yaitu dengan mengkaji peraturan perundang-undangan yang berlaku seperti : Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 tentang Merger, konsolidasi, dan Akuisisi serta Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 1998 tentang penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan Perseroan Terbatas.

1.8.2 Jenis Pendekatan

Pendekatan masalah yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan pendekatan konseptual dan pendekatan perundang-undangan yang artinya bahwa disini penulis melihat aturan-aturan hukum yang berlaku khususnya terhadap penerapan Appraisal right terhadap perlindungan hukum bagi pihak yang lemah dalam penggabungan perusahaan (Merger).

1.8.3 Sumber Bahan Hukum

Untuk menunjang pembahasan terhadap permasalahan yang diajukan sumber bahan hukum diperoleh dari :

1) Sumber Bahan Hukum Primer

Dalam penulisan skripsi ini bahan hukum primer diperoleh dari peraturan perundang-undangan yang berlaku seperti: Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 tentang Merger,

12

(33)

Konsolidasi, Akuisisi, serta Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 1998 tentang Penggabungan, Peleburan dan Pengambilalihan Perseroran Terbatas.

2) Sumber bahan hukum sekunder

Sumber bahan hukum sekunder yaitu diperoleh dari literatur, buku-buku, jurnal, artikel dll, yang relevan dengan permasalahan yang diangkat.

1.8.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Dalam teknik pengumpulan bahan hukum primer dan sekunder dilakukan dengan pengumpulan bahan hukum melalui studi pencatatan dokumen yang berkaitan dengan permasalahan dan bahan hukum dengan menginterpretasikan dengan menafsirkan dan mengkaji peraturan perundang-undangan kemudian dituangkan dalam karya ilmiah dengan mengkaitkan permasalahan yang dibahas.

1.8.5 Teknik Analisis Bahan Hukum

(34)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM DAN

PERSEROAN TERBATAS (PT)

1.1 Prinsip Dasar Perlindungan Hukum

Sebelum menguraikan mengenai dasar perlindungan hukum terhadap pihak ketiga yang dirugikan akibat peristiwa yang dibuat karena penggabungan perusahaan (Merger), maka terlebih dahulu diuraikan dasar penerimaan doktrin tersebut dalam sistem hukum Indonesia.

Penerimaan yang dimaksud dapat dilihat dari aspek pengaturannya dalam hukum perseroan. Sebagaimana telah dikemukakan, Doktrin Merger itu berasal dari sistem Common Law yang pada awalnya berkembang di Inggris. Namun demikian secara bertahap doktrin tersebut pada akhirnya diterima dan diterapkan di berbagai negara seperti Prancis dan negara-negara Eropa lainnya, Amerika Serikat, Australia, dll. Bagaimana halnya dengan Indonesia yang sampai saat ini sudah memperbarui sistem hukum perseroannya secara berturut-turut dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1995 dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

Untuk mengetahui apakah di Indonesia juga berlaku atau diterapkan Doktrin Merger yang berasal dari sistem common law itu, maka terlebih dahulu haruslah diketahui apakah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT) mengatur dalam pengertian menerima doktrin tersebut.

(35)

Berdasarkan penelusuran terhadap Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007(UUPT) yang merupakan hukum perseroan positif di Indonesia, ternyata dalam undang-undang tersebut tidak dijumpai satu ketentuan pun yang mengatur secara tegas mengenai Merger terutama dari segi konsep atau peristilahannya. Namun demikian hal tersebut tidaklah mengandung pengertian bahwa Indonesia tidak menerima Doktrin Merger, semata-mata karena tidak dijumpai adanya aturan atau norma dalam sistem hukumnya yang menentukannya secara tegas.

Suatu sistem hukum pada dasarnya tidaklah hanya terdiri dari komponen aturan atau norma hukum berupa pasal-pasal yang bersifat eksplisit saja. Dalam kaitan ini dimana sistem hukum perseroan juga terdiri dari perjanjian yang tertuang dalam anggaran dasar dan pendapat-pendapat hukum yang relevan.

Munir Fuady dalam bukunya yang berjudul Doktrin-Doktrin Modern Dalam Corporate law & Eksistensinya Dalam Hukum Indonesia, yang masih mendasarkan pendapatnya pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1995 mengemukakan bahwa secara prinsip, Doktrin Ultra Vires berlaku di Indonesia dengan pertimbangan pada pokoknya sebagai berikut:

1. Bahwa prinsip Merger ini sudah merupakan doktrin yang berlaku universal. Bahkan di negeri Belanda sendiri, yang merupakan negara dari mana hukum Indonesia berasal, juga memberlakukan Doktrin Merger ini.

(36)

Konsekuensi logisnya adalah bahwa pelanggaran terhadap maksud dan tujuan tersebut dapat menjadi masalah yang serius.1 Kendatipun masih mendasarkan pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1995 yang sudah diganti dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007, pendapat tersebut pada pokoknya merupakan pendapat yang relevan dan dapat diterima. Hal ini disebabkan karena kedua undang-undang itu sama-sama memandang bahwa mengenai maksud dan tujuan perseroan merupakan aspek yang sangat penting sebagai penentu arah bagi jenis dan jumlah kegiatan perseroan yang harus ditentukan secara tegas dalam undang-undang dan dituangkan dalam anggaran dasar secara tegas pula.

Secara ringkas dapat dikemukakan, secara implisit UUPT mengakui dan menerima Doktrin Merger. Pengakuan dan penerimaan ini tercermin dari adanya ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan maksud dan tujuan serta kegiatan usaha perseroan. Sehubungan dengan ini dalam UUPT terdapat sekitar 3 (tiga) kelompok ketentuan yang mengatur atau berkaitan dengan maksud dan tujuan serta kegiatan usaha perseroan sebagai berikut:

1. Pasal 2 tentang keharusan memiliki maksud dan tujuan serta kegiatan usaha, 2. Pasal 15 ayat (1) yang mewajibkan untuk menyatakan secara tegas maksud

dan tujuan serta kegiatan usaha perseroan dalam anggaran dasarnya,

3. Pasal 9, 10, 11, 19 sampai dengan Pasal 28 yang mencerminkan ketatnya prosedur yang harus ditempuh apabila melakukan perubahan maksud dan tujuan serta kegiatan usaha perseroan.

1

(37)

Di samping beberapa pengertian mengenai Merger yang telah mengisyaratkan keterkaitan antara tindakan yang dilakukan oleh perseroan melalui Direksinya dengan anggaran dasar (memorandum of association), terdapat pula pandangan, bahwa bilamana suatu perusahaan telah berbadan hukum, perusahaan itu membutuhkan suatu konstitusi (memorandum of association) yang secara mendasar mencatat maksud-maksud untuk mana perusahaan itu didirikan, dan yang mengatur pendistribusian wewenang dalam perusahaan dan yang persoalan-persoalan prosedur internal.2

Dari pengertian dan pandangan tersebut dapat diketahui fungsi-fungsi anggaran dasar. Di samping merupakan suatu wadah yang mengakomodasikan berbagai ketentuan mendasar mengenai perseroan seperti nama, tempat kedudukan, jangka waktu berdiri dan maksud serta tujuan pendiri, dalam hubungan ini anggaran dasar berfungsi pula sebagai pedoman umum untuk mengukur terjadi atau tidaknya tindakan penggabungan perusahaan (merger). Oleh karena itu adanya ketentuan mengenai maksud dan tujuan serta kegiatan usaha perseroan sudah cukup membuktikan bahwa UUPT menerima Doktrin Merger, dan dengan demikian terdapat pula dasar hukum untuk menerapkan doktrin tersebut dalam kasus-kasus yang relevan.

Dicantumkannya tujuan perseroan di dalam anggaran dasar terutama adalah untuk melindungi investor atau para pemegang saham. Sehubungan dengan adanya tindakan Merger yang berdampak merugikan pihak yang lemah yang

2

(38)

mengadakan perjanjian dengan perseroan, maka sudah semestinya terdapat pula perlindungan hukum terhadap pihak yang lemah.

Kendati pun perjanjian pihak yang lemah dengan perseroan yang bersifat merger itu batal (null and void) dan tidak dapat diratifikasi, hal ini tidaklah merupakan dasar untuk mengabaikan perlindungan hukum terhadap pihak yang lemah yang pada hakekatnya juga telah memberikan kontribusi yang tidak kecil bagi kelangsungan usaha perseroan.

Dalam hubungan ini terdapat beberapa dasar yang dapat dipergunakan sebagai alasan untuk memberikan perlindungan terhadap pihak yang lemah. Dasar-dasar tersebut adalah sebagai berikut:

a. Asas Itikad Baik

b. Asas Pacta Sun Servanda c. Doktrin Merger Modern.

1.2 Bentuk-Bentuk Perlindungan Hukum

Istilah perlindungan hukum atau rechtsbescherming (Belanda) atau legal protection (Inggris) untuk kepentingan uraian ini dipergunakan sebagai suatu konsep untuk menggambarkan hal-hal yang dapat dan patut diberikan oleh hukum agar tidak sampai timbul kerugian pada satu sisi, serta hal-hal yang dapat dan wajib dilakukan untuk menanggulangi kerugian yang timbul.

(39)

bertujuan untuk menanggulangi atau menyediakan sarana-sarana hukum dalam melakukan penanggulangan terhadap akibat-akibat hukum yang timbul dari suatu peristiwa atau hubungan hukum.

Dalam kaitannya dengan merger, perlindungan hukum preventif dalam pengertian upaya-upaya menghindarkan atau mencegah agar perjanjian-perjanjian yang merger tidak terwujud dan pihak ketiga tidak terjerumus membuat perjanjian seperti itu (enter into contract) serta mengalami kerugian pada pokoknya terdiri dari:

a. Meningkatkan konsistensi direksi terhadap anggaran dasar b. Meningkatkan client awareness.

Ad.a. Meningkatkan konsistensi direksi terhadap anggaran dasar

Dalam hubungan ini perlu dikemukakan kembali bahwa anggaran dasar memegang peranan yang sangat penting. Bagi perseroan eksistensi anggaran dasar merupakan konstitusi dimana ketentuan-ketentuan terutama yang berkenaan dengan pendirian dan beberapa aspek dalam pengoperasian perseroan dituangkan.

Hal tersebut dapat disimak dari ketentuan Pasal 15 ayat (1) UUPT yang pada pokoknya menentukan anggaran dasar memuat sekurang-kurangnya:

a. Nama dan tempat kedudukan Perseroan;

b. Maksud dan tujuan serta kegiatan usaha Perseroan; c. Jangka waktu berdirinya Perseroan;

d. Besarnya jumlah modal dasar, modal ditempatkan, dan modal disetor; e. Jumlah saham, klasifikasi saham apabila ada berikut jumlah saham

(40)

f. Nama jabatan dan jumlah anggota Direksi dan Dewan Komisaris; g. Penetapan tempat dan tata cara penyelenggaraan Rapat Umum

Pemegang Saham (RUPS);

h. Tata cara pengangkatan, penggantian, pemberhentian anggota Direksi dan Dewan Komisaris.

i. Tata cara penggunaan laba dan pembagian dividen.

Sebagai landasan konstitusional perseroan, maka anggaran dasar tersebut dapat dikatakan merupakan norma dasar dan menjadi pedoman dalam perseroan. Dengan demikian sudah semestinya tindakan Direksi yang mewakili perseroan harus mematuhi dan sesuai dengan anggaran dasar. Tindakan merger perseroan melalui Direksi itu terjadi karena ketidaksesuaian tindakan tersebut dengan anggaran dasar. Jadi Direksi harus bersikap konsisten terhadap ketentuan-ketentuan dalam anggaran dasar terutama yang mengatur mengenai maksud dan tujuan serta kegiatan usaha perseroan. Disamping melindungi investor dalam perseroan yaitu pemegang saham sendiri, ketentuan tersebut juga mengandung tujuan melindungi khalayak ramai baik yang berkedudukan sebagai kreditor maupun konstituen lain bagi perseroan seperti pemasok dan pelanggan.

(41)

Dalam hukum perseroan dengan sistem common law, perjanjian atau transaksi-transaksi seperti disebut dengan Gratuitous Transactions yang pada pokoknya merupakan tindakan atau transaksi-transaksi yang tidak berdasar. Dalam kaitan ini Andrew Hicks dan SH. Goo mengemukakan, perseroan tidak memiliki kompetensi mengadakan penggabungan perusahaan dalam perjanjian seperti itu dan seluruh transaksi yang tidak berdasar itu bersifat merger. (company did not have the capacity to enter into wholly gratuitous transactions which were

thus ultra vires).3

Ditambahkan pula, untuk mengukur apakah suatu perseroan melakukan gratuitous transactions atau tidak, terdapat beberapa tes yang relevan. Tes-tes tersebut pada pokoknya diformulasikan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:

1. Apakah transaksi tersebut dilakukan secara insidental ? 2. Apakah transaksi tersebut dapat dipercaya (bonafide) ?

3. Apakah transaksi tersebut menguntungkan dan dapat memajukan kesejahteraan perseroan.4

Tes tersebut pada dasarnya dapat bersifat subyektif karena dapat pula mendorong Direksi untuk berspekulasi dan melakukan interpretasi sendiri terhadap anggaran dasar, sehingga akurasinya dalam menentukan apakah suatu transaksi merupakan Gratuitous Transactions atau sebaliknya dapat mengundang keragu-raguan.

3

Andrew Hicks dan SH. Goo, 2001, Op.cit, hal. 184.

4

(42)

Oleh karena itu pencegahan terhadap tindakan merger dan kerugian pada pihak yang lemah masih lebih efektif apabila dilakukan dengan mempergunakan secara langsung ketentuan-ketentuan dalam anggaran dasar sebagai ukuran yang dicocokan dengan perilaku nyata Direksi. Dengan demikian dalam rangka perlindungan hukum preventif terhadap pihak ketiga maka terhadap Direksi tetap dituntut bersikap konsisten atau taat asas terhadap anggaran dasar.

Ad.b. Meningkatkan client awareness

Client awareness pada dasarnya merupakan salah satu sikap yang direkomendasikan oleh Robert A. Feldman dan Raymond T. Nimmer sehubungan dengan perancangan kontrak yang efektif.5 Penulis itu sendiri tidak memberikan definisi mengenai istilah tersebut. Namun demikian istilah tersebut dapat diuraikan dapat diuraikan secara kata demi kata.

Istilah client pada umumnya dipergunakan untuk menyebut antara lain orang yang dibela oleh pengacara dan orang-orang yang dilayani oleh notaris. Akan tetapi secara gramatikal berarti langganan atau nasabah. Oleh karena itu pihak ketiga baik kreditor maupun pemasok dan pelanggan yang berhubungan dengan perseroan dapat pula disebut client perseroan. Sementara itu awareness berarti sadar atau mengetahui. Dengan demikian client awareness mengandung makna, bahwa pihak yang lemah dalam menjalin hubungan kontraktual dengan perseroan harus menyadari dan mengetahui kondisi perseroan, apakah perseroan memiliki kompetensi membuat perjanjian yang dimaksud dengan pihak ketiga.

5

(43)

Untuk menunjang pelaksanaan client awareness tersebut pihak yang lemah berhak memperoleh informasi mengenai kompetensi perseroan sesuai anggaran dasar dan Direksi wajib memberikan informasi tersebut. Di Indonesia hal ini menjadi sangat relevan sehubungan dengan adanya kewajiban untuk mengumumkan anggaran dasar perseroan dalam Berita Negara Republik Indonesia (BNRI) dan Tambahan Berita Negara Republik Indonesia(TBNRI) dengan tujuan agar khalayak mengetahuinya.

Dengan demikian terlihat dengan jelas client awareness yang menekankan perlunya kesadaran dan kewajiban pihak yang lemah untuk mengetahui kompetensi perseroan itu pada dasarnya bertujuan mencegah terjadinya penggabungan perusahaan (merger) dan kerugian pada pihak yang lemah, karena apabila pihak yang lemah mengetahui atau menyadarinya sudah tentu pihak yang lemah dapat mengambil keputusan untuk tidak melanjutkan perjanjian dengan perseroan yang merger.

(44)

1.3 Pengertian Dan Dasar Hukum Perseroan Terbatas (PT)

Perseroan Terbatas adalah, yang selanjutnya disebut perseroan, adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undang – undang ini serta peraturan pelaksanaannya. (Bab I Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007)

Bilamana seseorang akan mendirikan perseroan terbatas, maka para pendiri, yang biasanya terdiri dari 2 orang atau lebih, melakukan perbuatan hukum sebagai yang tersebut di bawah ini:

a. Pertama, para pendiri datang di kantor Notaris untuk diminta dibuatkan akta pendirian PT. Yang disebut akta pendirian itu termasuk di dalamnya anggaran dasar dari PT yang bersangkutan. Anggaran dasar ini sendiri dibuat oleh para pendiri, sebagai hasil musyawarah mereka. Kalau para pendiri merasa tidak sanggup untuk membuat anggaran dasar tersebut, maka hal itu dapat diserahkan pelaksanaannya kepada Notaris yang bersangkutan.

(45)

Menteri Kehakiman mengeluarkan surat keputusan pengesahan akta pendirian PT yang bersangkutan. Kalau ada hal- hal yang harus diubah, maka perubahan itu harus ditetapkan lagi dengan akta notaris sebagai tambahan akta notaris yang dahulu. Tambahan akta notaris ini harus mnedapat pengesahan dari Departemen Kehakiman. Begitulah sampai ada surat keputusan terakhir dari Departemen Kehakiman tentang akta pendirian PT yang bersangkutan.

c. Ketiga, para pendiri atau salah seorang atau kuasanya, membawa akta pendirian yang sudah mendapat pengesahan dari Departemen Kehakiman beserta surat keputusan pengesahan dari Departemen Kehakiman tersebut ke kantor Kepaniteraan Pengadilan Negeri yang mewilayahi domisili PT untuk didaftarkan. Panitera yang berwenang mengenai hal ini mengenai surat hal ini mengeluarkan surat pemberitahuan kepada notaris yang bersangkutan bahwa akta pendirian PT sudah didaftar pada buku register PT.

d. Keempat, para pendiri membawa akta pendirian PT beserta surat keputusan tentang pengesahan dari Departemen Kehakiman, serta pula surat dari Panitera Pengadilan negeri tentang telah didaftarnya akta pendirian PT tersebut ke kantor Percetakan Negara, yang menerbitkan Tambahan Berita Negara RI. Sesudah akta pendirian PT tersebut diumumkan dalam Tambahan Berita Negara RI, maka PT yang bersangkutan sudah sah menjadi badan hukum.

(46)

a. Modal perseroan atau modal dasar, yaitu jumlah maksimum modal yang disebut dalam akta pendirian. Ketentuan modal dasar diatur pada Pasal 31-32 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007. Modal dasar perseroan terdiri atas seluruh nilai nominal saham. (Pasal 31 (1)). Modal dasar paling sedikit Rp.50.000.000,00 (Pasal 32 (1)).

b. Modal yang disanggupkan atau ditempatkan diatur pada Pasal 33 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007. Paling sedikit 25% dari modal dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 harus ditempatkan dan disetor penuh (Pasal 33 (1)).

c. Modal yang disetor, yakni modal yang benar-benar telah disetor oleh para pemegang saham pada kas perseroan. Diatur pada Pasal 34 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 tahun 2007. Penyetoran atas modal saham dapat dilakukan dalam bentuk uang dan/atau dalam bentuk lainnya (Pasal 34 (1)). Penyetoran atas modal saham selanjutnya diatur pada Pasal 34 ayat 2 dan ayat 3.

Perubahan atas besarnya jumlah modal perseroan harus mendapat pengesahan dari Menteri Kehakiman, sesudah mana harus didaftarkan dan diumumkan seperti biasa.

Pasal 53 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 tahun 2007 tentang perseroan terbatas, mengatur mengenai klasifikasi saham pada perseroan terbatas.

Pasal 53

Ayat (1) Anggaran dasar menetapkan 1 (satu) klasifikasi saham atau lebih. Ayat (2) Setiap saham dalam klasifikasinya yang sama memberikan kepada

(47)

Ayat (3) Dalam hal terdapat lebih dari 1(satu) klasifikasi saham, anggaran dasar menetapkan salah satu diantaranya sebagai saham biasa.

Ayat (4) Klasifikasi saham sebagaimana dimaksud pada ayat (3) antara lain: a. saham dengan hak suara atau tanpa hak suara;

b. saham dengan hak khusus untuk mencalonkan anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris;

c. saham yang setelah jangka waktu tertentu ditarik kembali atau ditukar dengan klasifikasi saham lain;

d. saham yang memberikan hak kepada pemegangnya untuk menerima dividen lebih dahulu dari pemegang saham klasifikasi lain atas pembagian dividen secara kumulatif atau nonkumulatif;

e. saham yang memberikan hak kepada pemegangnya untuk menerima lebih dahulu dari pemegang saham klasifikasi lain atas pembagian sisa kekayaan Perseroan dalam likuidasi.

Adapun alat perlengkapan tersebut ialah:

a. Rapat umum pemegang saham (Bab 1 Pasal 1 angka 4 UUPT)

Rapat umum pemegang saham adalah yang selanjutnya disebut RUPS, adalah organ perseroan yang mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada direksi atau dewan komisaris dalam batas yang ditentukan undang – undang ini dan/atau anggaran dasar.

b. Dewan Direksi (Bab 1 Pasal 1 angka 5 UUPT)

Dewan Direksi adalah organ perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan, baik didalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan dasar.

c. Dewan Komisaris (Bab 1 Pasal 1 angka 6 UUPT)

Dewan Komisaris adalah organ perseroan yang bertugas melakukan pengawasan secara umum dan/atau khusus sesuai dengan anggaran dasar serta memberi nasehat kepada direksi

Ketentuan Pasal 51-52 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007, mengatur mengenai hak pemegang saham yang berbunyi:

(48)

Pasal 52

(1) Saham memberikan hak kepada pemiliknya untuk: a. menghadiri dan mengeluarkan suara dalam RUPS;

b. menerima pembayaran dividen dan sisa kekayaan hasil likuidasi; c. menjalankan hak lainnya berdasarkan undang- undang ini.

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku setelah saham dicatat dalam daftar pemegang saham atas nama pemiliknya.

a. Setiap pemegang saham berhak mengajukan gugatan terhadap Perseroan ke pengadilan negeri apabila dirugikan karena tindakan Perseroan yang dianggap tidak adil dan tanpa alasan wajar sebagai akibat keputusan RUPS, Direksi, dan/atau Dewan Komisaris. (Pasal 61(1).

b. Setiap pemegang saham berhak meminta kepada Perseroan agar sahamnya dibeli dengan harga yang wajar apabila yang bersangkutan tidak menyetujui tindakan Perseroan yang merugikan pemegang saham atau Perseroan (Pasal 62(1).

c. Dalam hal anggaran dasar mengharuskan pemegang saham penjual menawarkan terlebih dahulu sahamnya kepada pemegang saham klasifikasi tertentu atau pemegang saham lain, dan dalam jangka waktu 30 (tiga puluh hari) terhitung sejak tanggal penawaran dilakukan ternyata pemegang saham tersebut tidak membeli, pemegang saham penjual dapat menawarkan dan menjual sahamnya kepada pihak ketiga

Sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Adapun alasan – alasan sebuah perseroan itu dibubarkan diatur pada Pasal 142 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 tahun 2007. Pembubaran Perseroan terjadi:

a. berdasarkan keputusan RUPS;

b. karena jangka waktu berdirinya yang ditetapkan dalam anggaran dasar telah berakhir;

c. berdasarkan penetapan pengadilan;

(49)

e. karena harta pailit Perseroan yang telah dinyatakan pailit berada dalam keadaan insolvensi sebagaimana diatur dalam undang-undang tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang; atau

f. karena dicabutnya izin usaha Perseroan sehingga mewajibkan Perseroan melakukan likuidasi sesuai dengan peraturan perundang – undangan.

1.4 Perseroan Terbatas (PT) Sebagai Badan Hukum Serta Struktur

Permodalan Perseroan Terbatas (PT)

Menurut Subekti pengertian badan hukum yaitu suatu badan atau perkumpulan yang dapat memiliki hak-hak dan melakukan perbuatan seperti menerima serta memiliki kekayaan sendiri, dapat digugat, dan menggugat di muka hakim.6

Menurut Teori Fiksi yang dipelopori oleh Sarjana Von Savigny, bahwa hanya manusia saja yang mempunyai kehendak. Menurut alam manusia selalu subjek hukum, tetapi orang menciptakan dalam bayangannya badan hukum selalu subjek hukum diperhitungkan sama dengan manusia, jadi orang bersikap seolah-olah ada subjek hukum yang lain, tetapi wujud yang tidak riil itu tidak dapat melakukan perbuatan-perbuatan sehingga yang melakukan adalah manusia sebagai wakilnya. Selanjutnya dikemukakan bahwa badan hukum adalah suatu abstraksi, bukan merupakan suatu hal yang kongkrit, jadi karena suatu abstraksi maka tidak mungkin menjadi suatu subjek dari hubungan hukum sebab hukum memberi hak-hak kepada yang bersangkutan suatu kekuasaan dan menimbulkan

6

(50)

kehendak berkuasa. Badan hukum semata-mata hanya buatan pemerintah atau negara. Kecuali negara badan hukum itu fiksi yakni suatu yang sebenarnya tidak ada tetapi orang menghidupkannya dalam bayangan untuk menerangkan sesuatu hal.

Menurut Scholten, Perseroan Terbatas (PT) adalah badan hukum yang mempunyai harta kekayaan sendiri yang berasal dari suatu perbuatan pemisahan, mempunyai tujuan tertentu dan mempunyai organ Perseroan Terbatas (PT).7 Menurutnya Perseroan Terbatas adalah badan hukum yang memenuhi unsur-unsur:

1) Mempunyai harta kekayaan sendiri, yang berasal dari suatu perbuatan hukum pemisahan.

2) Mempunyai tujuan sendiri (tertentu)

3) Mempunyai alat perlengkapan (organisasi).

Dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung sebagaimana termaktub dalam Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia tanggal 27 Juni 1973 Nomor 124/Sip/1973.8

Berdasarkan keputusan Mahkamah Agung ini maka kedudukan Perseroan Terbatas (PT) sebagai badan hukum telah mempunyai kepastian hukum dalam hukum di Indonesia.

7

Ibid.

8

(51)

Sebelum Yurisprudensi Mahkamah Agung tersebut, status badan hukum Perseroan Terbatas (PT) tidak memberikan kepastian hukum apakah Perseroan terbatas tersebut merupakan badan hukum atau bukan badan hukum sehingga dalam masyarakat terdapat penafsiran bahwa Perseroan Terbatas merupakan badan hukum atau penafsiran Perseroan Terbatas bukan badan hukum. berdasarkan Yurisprudensi tersebut di atas sudah jelas bahwa Perseroan Terbatas merupakan badan hukum, tetapi yang belum jelas adalah bagaimana tata cara menurut hukum yang harus dipenuhi oleh Perseroan Terbatas untuk mendirikan Perseroan Terbatas dan bagaimana cara memperoleh status badan hukum tersebut.

Kebiasaan selama ini Perseroan Terbatas yang didirikan oleh swasta atau perorangan biasanya dilakukan dengan akta notaris. Kekayaan yang dipisahkan dari milik para pendiri atau pengurus Perseroan Terbatas yang bersangkutan. Kebiasaan yang terjadi akta notaris tersebut tidak didaftarkan atau didaftarkan di Kantor Pengadilan Negeri setempat.

Untuk mendapatkan status badan hukum Perseroan Terbatas maka memerlukan suatu proses yaitu diperolehnya pengesahan dari Menteri Hukum dan Hak Azasi Manusia (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007) dan diumumkan dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia. Dengan dilaksanakan pengesahan dari Menteri Hukum dan Hak Azasi Manusia maka resmilah yayasan sebagai Badan Hukum karena ini merupakan syarat mutlak Perseroan Terbatas untuk diakui sebagai badan hukum.

(52)

ada, kebebasan isi akta pendirian termasuk permodalan, hal ini dimaksudkan agar tidak ada penipuan.

Referensi

Dokumen terkait

Melalui analisis laporan keuangan yang telah dilakukan dengan berbagai rasio keuangan tersebut kemudian perusahaan akan dapat mencermati dan mengevaluasi hasil laporan

Permasalahan yang akan diteliti adalah bagaimana perancangan dan pembuatan program aplikasi simpan pinjam koperasi yang dapat membantu dalam pengolahan

Nilai peduli lingkungan melalui kegiatan bersih lingkungan, pembagian pokja dan pembelajaran Pendidikan Lingkungan Hidup (3) Dampak dari strategi sekolah dalam membentuk

When the number L of levels of quantization is high, the optimum partition and the quantization error power can be obtained as a function of the probability density function p X( x

Tugas Akhir Mahasiswa ini disusun untuk memenuhi syarat meraih gelar Ahli Madya Program Studi Diploma Tiga Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Pertanian Universitas

By using wavelet transformation, the initial difference image obtained by logarithm ratio is fused into the entropic salient difference image computed by frequency-tuned

Aristoteles menegoisasikan eksistensi dengan materi yang berforma yaitu substansi, sambil menegoisasikan esensi dengan forma dan menggunakan unsur definisi yang benar. Berkaitan

Sebaliknya perjanjian pokok (perjanjian kredit) tidak serta merta menjadi hapus, dan berjalan terus. Dalam hal ini mengakibatkan pihak kreditor berada pada posisi