ABSTRAK
Efektivitas Bermain Aktif (Cooperative Play) dan Pasif dalam Menumbuhkan ikap Sosial yang Positif pada Anak Usia Sekolah
S
O
anak usia sekolah, terdiri dari tiga komponen objek sikap, yaitu
alisis data penelitian dilakukan dengan anakova. leh: Euriska S. Wiyanto
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas bermain aktif dan pasif dalam menumbuhkan sikap sosial yang positif pada anak usia sekolah. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui kategori bermain manakah di antara bermain aktif dan pasif yang lebih efektif dalam menumbuhkan sikap sosial tersebut. Bermain mengajarkan banyak hal pada anak, termasuk bagaimana anak harus bersikap dalam situasi sosial tertentu. Sikap sosial, khususnya pada
keluarga, teman sebaya, dan orang asing lainnya.
Penelitian ini menggunakan desain eksperimen kuasi dengan bermain aktif dan pasif sebagai variabel bebas, sikap sosial sebagai variabel tergantung, dan pre-test serta frekuensi bermain anak di luar jam eksperimen sebagai variabel ekstra di SD Tarakanita Bumijo dengan sampel subjek kelas IIA2 sebagai kelompok eksperimen bermain pasif, IIA3 sebagai kelompok eksperimen bermain aktif, dan IIB3 sebagai kelompok kontrol. Tiap kelompok diberi pre-test dan post-test dengan skala sikap sosial, sedangkan kedua kelompok eksperimen masing-masing diberi empat perlakuan. Skala sikap sosial yang digunakan dalam penelitian ini merupakan skala model Thurstone dan terdiri dari 20 item. Angka reliabilitas skala ini adalah 0,7159. Namun, setelah penelitian, skala ini diketahui memiliki cacat dalam pemilihan item sehingga mengalami ralat. Setelah ralat, skala ini terdiri dari 9 item. An
Uji hipotesis baik pada skala dengan 20 item maupun 9 item, menunjukkan bahwa bermain aktif dan pasif tidak efektif dalam menumbuhkan sikap sosial yang positif pada anak usia sekolah (20 item: Sig. = 0,71; 9 item: Sig. = 0,228). Hal ini antara lain mungkin dipengaruhi oleh skala yang kurang baik, resistensi sikap sosial terhadap perubahan, dan kejadian-kejadian khusus selama penelitian yang tidak dapat dikontrol oleh peneliti.
Kata kunci: anak usia sekolah, sikap sosial, bermain aktif, bermain pasif
ABSTRACT
The Effectiveness of Active (Cooperative Play) and Passive Play in Fostering Positive Social Attitude ed Children
By: Euriska S. Wiyanto
onents, namely family, peers, and
sed as the passive play experiment group, class IIA3 as the active t group, and class IIB3 as the control group. Each group is given a trea
mo
afte to have a mistake in the
usin
her
acti
ol-is p eno exp Key
in School-ag
The goal of this research is to know the effectiveness of active and passive play in fostering positive social attitude in school-aged children. This research is also meant to know which of the two category of play is more effective in fostering social attitude as mentioned above. Play can teach children many things, including how to behave in certain social situations. Social attitude, especially in school-aged children, has three object comp
other strangers.
This research uses the quasi experiment design with active and passive play as independent variable, social attitude as dependent variable, and play frequency outside the experiment hours as extraneous variable in Tarakanita Bumijo elementary school with class IIA2, IIA3, and IIB3 as the subject samples. Class IIA2 is u
play experimen
pre-test and post-test, while the two experiment groups each receive four tments. The social attitude scale used in this research uses the Thurstone del and consists of 20 items. The reliability score of this scale is 0,7159. But
r the research has been done, this scale is known
process of selecting the items so that this scale has to be corrected. After the correction, this scale only has 9 items left. The data in this research are analyzed
g analysis of covariance.
Results using both the 20 items scale and 9 items scale show that neit ve nor passive play is effective in fostering positive social attitude in scho aged children (20 items scale: Sig. = 0,71; 9 items scale: Sig. = 0,228). This result
erhaps influenced by a number of things, for example the scale that is not good ugh, the resistance of social attitude to change, and certain incidents during the eriment that could not be controlled by the experimenter.
words: school-aged children, social attitude, active play, passive play
EFEKTIVITAS BERMAIN AKTIF (COOPERATIVE PLAY) DAN PASIF DALAM MENUMBUHKAN SIKAP SOSIAL YANG POSITIF
PADA ANAK USIA SEKOLAH
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Oleh:
Euriska Sulistyaningtyas Wiyanto
NIM: 02 9114 079
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
2006
SKRIPSI
EFEKTIVITAS BERMAIN AKTIF (COOPERATIVE PLAY) DAN PASIF DALAM MENUMBUHKAN SIKAP SOSIAL YANG POSITIF
PADA ANAK USIA SEKOLAH
Oleh:
Euriska Sulistyaningtyas Wiyanto
NIM: 02 9114 079
Telah disetujui oleh:
Pembimbing
V. Didik Suryo Hartoko, S. Psi tanggal ...
SKRIPSI
EFEKTIVITAS BERMAIN AKTIF (COOPERATIVE PLAY) DAN PASIF DALAM MENUMBUHKAN SIKAP SOSIAL YANG POSITIF
PADA ANAK USIA SEKOLAH
Dipersiapkan dan ditulis oleh
Euriska Sulistyaningtyas Wiyanto NIM: 02 9114 079
Telah dipertahankan di depan Panitia Penguji pada tanggal 19 Januari 2007
dan dinyatakan memenuhi syarat
Susunan Panitia Penguji
Nama Lengkap Tanda Tangan
Ketua V. Didik Suryo Hartoko, S. Psi
Sekretaris Dr. A. Supratiknya Anggota Y. Agung Santoso, S. Psi
Yogyakarta, ... Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma
Dekan,
P. Eddy Suhartanto, S. Psi, M. Si
Skripsi ini aku persembahkan untuk …
Mama dan Papa yang senantiasa memberikan
dukungan, perhatian, dan cinta yang tidak
terbatas
Emak yang selalu mendoakan cucu-cucunya dengan
sepenuh hati
PERNYATA AN KARYA
Saya menyatakan dengan s i yang saya tulis ini tidak emua
Penulis AN KEASLI
esungguhnya bahwa skrips
m t karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, 18 Desember 2006
Euriska Sulistyaningtyas Wiyanto
ABSTRAK
Efektivitas Bermain Aktif (Cooperative Play) dan Pasif dalam Menumbuhkan ikap Sosial yang Positif pada Anak Usia Sekolah
S
O
anak usia sekolah, terdiri dari tiga komponen objek sikap, yaitu
alisis data penelitian dilakukan dengan anakova. leh: Euriska S. Wiyanto
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas bermain aktif dan pasif dalam menumbuhkan sikap sosial yang positif pada anak usia sekolah. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui kategori bermain manakah di antara bermain aktif dan pasif yang lebih efektif dalam menumbuhkan sikap sosial tersebut. Bermain mengajarkan banyak hal pada anak, termasuk bagaimana anak harus bersikap dalam situasi sosial tertentu. Sikap sosial, khususnya pada
keluarga, teman sebaya, dan orang asing lainnya.
Penelitian ini menggunakan desain eksperimen kuasi dengan bermain aktif dan pasif sebagai variabel bebas, sikap sosial sebagai variabel tergantung, dan
pre-test serta frekuensi bermain anak di luar jam eksperimen sebagai variabel ekstra di SD Tarakanita Bumijo dengan sampel subjek kelas IIA2 sebagai kelompok eksperimen bermain pasif, IIA3 sebagai kelompok eksperimen bermain aktif, dan IIB3 sebagai kelompok kontrol. Tiap kelompok diberi pre-test dan post-test dengan skala sikap sosial, sedangkan kedua kelompok eksperimen masing-masing diberi empat perlakuan. Skala sikap sosial yang digunakan dalam penelitian ini merupakan skala model Thurstone dan terdiri dari 20 item. Angka reliabilitas skala ini adalah 0,7159. Namun, setelah penelitian, skala ini diketahui memiliki cacat dalam pemilihan item sehingga mengalami ralat. Setelah ralat, skala ini terdiri dari 9 item. An
Uji hipotesis baik pada skala dengan 20 item maupun 9 item, menunjukkan bahwa bermain aktif dan pasif tidak efektif dalam menumbuhkan sikap sosial yang positif pada anak usia sekolah (20 item: Sig. = 0,71; 9 item: Sig. = 0,228). Hal ini antara lain mungkin dipengaruhi oleh skala yang kurang baik, resistensi sikap sosial terhadap perubahan, dan kejadian-kejadian khusus selama penelitian yang tidak dapat dikontrol oleh peneliti.
Kata kunci: anak usia sekolah, sikap sosial, bermain aktif, bermain pasif
ABSTRACT
The Effectiveness of Active (Cooperative Play) and Passive Play in Fostering Positive Social Attitude ed Children
By: Euriska S. Wiyanto
onents, namely family, peers, and
sed as the passive play experiment group, class IIA3 as the active t group, and class IIB3 as the control group. Each group is given a trea
mo
afte to have a mistake in the
usin
her
acti
ol-is p eno exp Key
in School-ag
The goal of this research is to know the effectiveness of active and passive play in fostering positive social attitude in school-aged children. This research is also meant to know which of the two category of play is more effective in fostering social attitude as mentioned above. Play can teach children many things, including how to behave in certain social situations. Social attitude, especially in school-aged children, has three object comp
other strangers.
This research uses the quasi experiment design with active and passive play as independent variable, social attitude as dependent variable, and play frequency outside the experiment hours as extraneous variable in Tarakanita Bumijo elementary school with class IIA2, IIA3, and IIB3 as the subject samples. Class IIA2 is u
play experimen
pre-test and post-test, while the two experiment groups each receive four tments. The social attitude scale used in this research uses the Thurstone del and consists of 20 items. The reliability score of this scale is 0,7159. But
r the research has been done, this scale is known
process of selecting the items so that this scale has to be corrected. After the correction, this scale only has 9 items left. The data in this research are analyzed
g analysis of covariance.
Results using both the 20 items scale and 9 items scale show that neit ve nor passive play is effective in fostering positive social attitude in scho aged children (20 items scale: Sig. = 0,71; 9 items scale: Sig. = 0,228). This result
erhaps influenced by a number of things, for example the scale that is not good ugh, the resistance of social attitude to change, and certain incidents during the eriment that could not be controlled by the experimenter.
words: school-aged children, social attitude, active play, passive play
Kata Pengantar
Puji syukur pada Tuhan karena akhirnya penulis dapat menyelesaikan
me
ket t menyumbangkan
pada berbagai pihak yang telah membantu penulis selama proses penyusunan
pih 1.
r pertama dalam penyusunan skripsi ini. Terima kasih atas semua
2.
atas semua pertimbangan
3.
luangkan banyak
4.
. Terima kasih pula pada Ibu Sylvia C. M. Y. M, M. Si, Ibu M. L. Anantasari, M.
inator TK-SD Tarakanita Bumijo, Dra. Asteria Rinawati selaku Wakil Kepala Sekolah bagian Kurikulum SD Tarakanita Bumijo, Ibu R. Sri Sihmani selaku wali kelas IIA2, Ibu E
skripsi ini dengan baik. Skripsi ini penulis susun sebagai salah satu syarat untuk mperoleh gelar sarjana psikologi di Universitas Sanata Dharma. Dalam segala erbatasan skripsi ini, penulis berharap bahwa skripsi ini dapa
pengetahuan yang berguna bagi pembacanya.
Dalam menyusun skripsi ini, tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih
skripsi ini. Secara khusus, penulis ingin mengucapkan terima kasih pada beberapa ak berikut.
Ibu Ratri Sunar Astuti, S.Psi, M. Si, yang telah membimbing penulis selama dua semeste
masukan dan pertimbangan yang telah Ibu berikan.
Bapak V. Didik Suryo Hartoko, S.Psi, yang telah membimbing penulis selama semester ketiga penulisan skripsi ini. Terima kasih
serta kesabaran yang telah Bapak berikan pada penulis selama bimbingan. Bapak Y. Agung Santoso, S. Psi, selaku (mantan) dosen pembimbing akademik sekaligus dosen penguji, yang telah bersedia me
waktu untuk menjawab berbagai pertanyaan penulis. Terima kasih atas semua pertimbangan dan jawaban atas kebingungan penulis yang telah Bapak berikan pada penulis selama penulis berkuliah.
Bapak Dr. A. Supratiknya, selaku dosen penguji. Terima kasih atas semua masukan yang telah Bapak berikan pada penulis.
5
Si, serta dosen-dosen lain yang juga telah memberikan pertimbangan dan masukan pada penulis.
6. Drs. Y Agus Purnama selaku Koord
m. Wiji
Lestari selaku wali kelas IIA3, Ib selaku wali kelas IIB3, serta karyawan TU SD Tarakanita Bumijo. a kasih atas segala bantuan, kemudahan, dan izin yang telah diberika elaksanakan
. s
h i
11. C ,
y ,
k
12. T )
yang p
kali b e .
i se
P kelem diberikan
u Lusia Wiratni Terim
n sehingga penulis bisa m uji coba serta penelitian di SD Tarakanita Bumijo.
7. Bapak Purwantana, S. Pd selaku kepala sekolah SD BOPKRI Gondolayu Terima kasih karena telah memberikan izin dan kemudahan sehingga penuli bisa melakukan uji coba skala di SD BOPKRI Gondolayu.
8. Ibu Milka Then dan guru-guru Sekolah Minggu GKI Ngupasan. Terima kasi atas izin yang telah diberikan sehingga penulis bisa melakukan uji coba d GKI Ngupasan.
9. Tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh karyawan fakultas psikologi yang telah membantu dan mempermudah penulis dalam berbagai hal selama penulis berkuliah, khsususnya selama penulis menyusun skripsi ini.
10. Mama, Papa, Emak, dan seluruh keluarga penulis yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu. Terima kasih atas semua dukungan, doa, dan bantuan dalam berbagai hal yang kalian berikan selama ini.
hacha, Tina, Sisil, Cahya, Laora, Iput, Ohaq, Ina, Mita, Fika, Mei, dan Elvin ang telah membantu penulis dalam melakukan penelitian. Terima kasih, ya arena telah meluangkan waktu kalian yang berharga itu ☺.
eman-teman lain (termasuk Meme, yang minta namanya ditulis di sini ☺ dengan sabar bertanya “Gimana skripsinya?” atau “Kapan lulus?” setia ert mu dengan penulis. Sungguh, terima kasih karena sudah bertanya Terkadang pertanyaan dan perhatian sesederhana itu berarti banyak bag
mangat yang sedang turun dan pikiran yang sedang tertekan ☺.
enulis sadar bahwa skripsi ini memiliki banyak kekurangan dan ahan. Untuk itu, penulis terbuka terhadap segala kritik dan saran yang
oleh para pembaca skripsi ini.
Penulis
DAFTAR ISI
HALAM HALAM HALAM HALAM HAL PERNYA ABSTRA . ABSTRA KAT
DAF DAF DAF BAB
B. C. D.
BAB II T J
AN JUDUL... i
AN PERSETUJUAN PEMBIMBING... ii
AN PENGESAHAN...iii
AN PERSEMBAHAN... iv
AMAN MOTTO... v
TAAN KEASLIAN KARYA... vi
K. ... vii
CT... viii
A PENGANTAR... ix
DAFTAR ISI... xi
TAR BAGAN... xiv
TAR TABEL... xv
TAR LAMPIRAN... xvi
I PENDAHULUAN... 1
A. Latar belakang... 1
Rumusan Masalah... 7
Tujuan... 7
Manfaat Penelitian... 7
1. Manfaat Praktis... 7
2. Manfaat Teoretis... 8
IN AUAN PUSTAKA... 9
A. Anak Usia Sekolah... 9
1. Tugas Perkembangan Anak Usia Sekolah... 9
2. Perkembangan Sosial Anak Usia Sekolah... 11
B. Sikap Sosial... 13
1. Definisi Sikap Sosial... 13
2. Komponen Sikap Sosial dan Komponen Objek Sikap Sosial... 15
3. Pembentukan Sikap Sosial... 17
4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Sikap Sosial pada Anak... 21
C. Bermain... 24
1. Definisi Bermain... 24
2. Fungsi Bermain... 24
3. Kategori Bermain... 27
4. Hierarki Pola Bermain... 31
5. Jenis Bermain yang Sesuai untuk Anak Usia Sekolah... 33
D. BAB 1. Isi Skala... 48
2. Penyekoran Item... 49
3. Uji Coba I... 53
4. Uji Coba II... 54
5. Uji Coba III... 56
6. Reliabilitas dan Validitas Skala Penelitian... 59
F. Materi Eksperimen... 61
1. Bermain Aktif (di Kelas IIA3)... 61
2. Bermain Pasif (di Kelas IIA2)... 66
G. Prosedur Perlakuan dan Pengambilan Data... 69
1. Bermain Aktif (di Kelas IIA3)... 71
2. Bermain Pasif (di Kelas IIA2)... 79
H. Metode Analisis Data... 89
Hubungan Antara Sikap Sosial dengan Bermain Aktif dan Pasif... 34
1. Bermain dan Sikap Sosial... 34
2. Permainan... 37
3. Membaca Buku dan Menonton Film... 38
E. Hipotesis... 41
III METODE PENELITIAN... 42
A. Jenis Penelitian... 42
B. Identifikasi Variabel... 44
C. Definisi Operasional... 45
D. Subjek Penelitian... 47
E. Alat Ukur... 48
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN... 90
A. Hasil Observasi Penelitian... 90
B. Analisis Data Statistik I... 98
... 98
C. Analisis Data Statistik II... 106
1. Ralat terhadap Skala... 106
2. Data Deskriptif... 108
3. Uji Asumsi... 109
4. Uji Hipotesis... 112
D. Pembahasan...113
E. Keterbatasan Penelitian... 119
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 126
A. Kesimpulan... 126
B. Saran... 127
DAFTAR PUSTAKA... 130
LAMPIRAN... 134
1. Data Deskriptif... 2. Uji Asumsi... 99
3. Uji Hipotesis... 103
DAFTAR BAGAN
Bagan 1. Hubungan antara permainan serta membaca buku
dan menonton film dengan sikap sosial positif... 40 Bagan 2. Rangkaian kegiatan di ketiga kelompok penelitian... 88
DAFTAR TABEL
Tabel 8. Susunan 20 item skala sikap sosial untuk penelitian... 59
Tabel 9. Susunan 9 item skala sikap sosial setelah ralat... 107
Tabel 1. Pengaruh dan pengontrolan variabel ekstra... 44
Tabel 2. Blue-print skala sikap sosial... 48
Tabel 3. Susunan 60 item skala sikap sosial untuk panelis... 50
Tabel 4. Nilai S dan Q item-item skala sikap sosial... 52
Tabel 5. Susunan 40 item skala sikap sosial untuk uji coba I... 53
Tabel 6. Susunan 10 item skala sikap sosial untuk uji coba II... 55
Tabel 7. Susunan 60 item skala sikap sosial untuk uji coba III... 57
DAFTAR LAMPIRAN
ap sosial, wawancara, dan angket... 134
ampiran II. Nilai S dan Q berdasarkan penilaian panelis... 142
Lampir Lampiran IV. Reliabilitas skala sikap sosial...163
Lampiran I. Skala sik L an III. Analisis data untuk seleksi item... 151
Lampiran V. Analisis data I (20 item)... 167
Lampiran VI. Analisis data II (9 item)... 176
Lampiran VII. Surat keterangan uji coba dan penelitian... 185
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setiap individu memiliki tugas-tugas perkembangan yang harus dipenuhinya agar dapat berkembang menjadi pribadi yang matang, baik di bidang sosial, kognitif, fisik, dan lain sebagainya. Tugas-tugas perkembangan ini berbeda pada tiap rentang usia, yaitu sesuai dengan tingkat perkembangan yang harus dicapai pada rentang usia tertentu. Bagi anak usia sekolah, khususnya, salah satu tugas perkembangan yang perlu dikuasainya terkait erat dengan perkembangan sosialn
mpok-kelompok sosial, dan aktivita
ya, yaitu mengembangkan sikap sosial yang positif (Hurlock, 1972; Hurlock, 1980). Artinya, anak harus mengembangkan pikiran, perasaan, serta perilaku yang positif terhadap orang lain, kelo
s-aktivitas sosial yang dijalaninya.
pada m
u anak yang negatif
asa kanak-kanak akan sangat mempengaruhi perkembangan perilakunya sampai pada masa dewasa (Social Skills Enhancement). Jadi, sikap sosial yang positif merupakan unsur penting yang harus ditumbuhkan sejak masa kanak-kanak.
Sikap sosial anak dapat tercermin melalui perilaku sosialnya, yaitu perilakunya terhadap orang lain. Perilaku memang merupakan salah satu komponen sikap. Perilaku juga merupakan satu-satunya petunjuk mengenai sikap anak yang dapat dilihat secara nyata. Komponen kognitif dan afektif dari perilaku tidak akan dapat kita lihat secara nyata bila tidak ditampakkan melalui perilaku
overt.
Berikut ini terdapat beberapa pendapat dan penelitian mengenai perilaku sosial anak yang negatif dan dapat menjadi petunjuk mengenai pentingnya menumbuhkan sikap sosial yang positif pada anak.
Bali Post (Menghadapi berbagai karakter, 2002) mengingatkan para orang tua untuk mengawasi anak-anaknya yang sering berperilaku negatif di sekolah dan terhadap teman-temannya. Hal yang serupa diungkapkan oleh Soejanto (dalam
Membangun Karakter, 2006). Ia mengungkapkan bahwa guru-guru Sekolah Dasar saat ini sering mengeluhkan perilaku anak yang kurang baik di sekolah. Anak-anak SD ini antara lain sering bersikap kurang sopan di kelas, suka mengganggu dan menggertak teman, serta suka berkelahi dengan teman. Perilak
Sebuah studi di Amerika menunjukkan bahwa sekitar 3 dari 10 anak dideteksi sebagai pengganggu (bully), korban, atau keduanya (Flynt dan Morton, 2004). Penelitian yang dilakukan oleh Dill dan kawan-kawan (2004) mengungkapkan akibat negatif dari perilaku mengganggu (bullying) ini. Mereka mengungkapkan bahwa anak-anak yang cenderung selalu menjadi korban agresivitas teman-temannya, baik itu yang tampak secara nyata (dipukul, diejek) maupun yang lebih terkait dengan relasi (tidak diacuhkan oleh teman-teman bermain), akan cenderung ditolak oleh teman sebayanya. Penolakan ini akan menyebabkan anak menarik diri dari pergaulannya, dan pada gilirannya hal ini akan semakin menjadikan anak sebagai target dari agresivitas teman-temannya. Penelitian Philip Brown (dalam Braverman, 2003) semakin mempertegas akibat negatif dari perilaku mengganggu ini. Brown mengungkapkan bahwa para korban dari perilaku mengganggu ini akan cenderung terganggu dalam perkembangan sosial mereka. Ketika sudah dewasa, lebih banyak dari mereka yang cenderung gagal dalam membangun relasi sosial yang baik. Selain akibat negatif terhadap para korban, perilaku agresif dan mengganggu juga berakibat negatif terhadap para pelaku. Hal ini diungkapkan oleh penelitian yang dilakukan oleh Keane dan Calkins (2004). Penelitian ini mengungkapkan bahwa anak-anak yang memiliki masalah dalam perilakunya dan cenderung berperilaku negatif, seperti agresif dan tidak menurut, akan cenderung ditolak oleh teman-teman sebayanya.
perilaku sosial anak dalam sebuah pelatihan perilaku sosial bagi anak-anak yang dianggap berpotensi mengembangkan perilaku agresif. Penelitian ini membuktikan bahwa perilaku teman sekelompok memiliki pengaruh yang signifikan bagi perilaku anak. Anak yang berada dalam kelompok yang lebih mengembangkan perilaku prososial juga akan lebih cenderung mengembangkan perilaku prososial. Sebaliknya, bila teman-teman dalam kelompoknya cenderung lebih
l ini tentu berbeda bila dibandingkan dengan ketika ia hanya diminta berperilaku positif tanpa memperhatikan apa yang akan ia pikirkan dan rasakan terhadap orang lain. Maka, jelaslah bahwa usaha untuk
agresif dan memberikan penguatan terhadap perilaku agresif dan memberontak, anak juga akan lebih cenderung berperilaku negatif. Karena pengaruh teman sebaya yang cukup besar ini, anak-anak harus dibekali dengan perilaku dan sikap sosial yang positif. Dengan demikian, anak-anak akan saling memberikan pengaruh yang positif, sedangkan pengaruh yang negatif dapat diminimalisasi.
menum
anak-anak, interak
ermain dapat digunakan sebagai sarana untuk menumbuhkan sikap sosial yang positif dalam diri anak.
buhkan sikap sosial―bukan sekadar perilaku―yang positif ini perlu dilakukan agar anak mempunyai dasar atau bekal yang kuat dalam perkembangan sosialnya di masa-masa yang akan datang. Bila anak mampu menumbuhkan sikap sosial yang positif sejak dini, berbagai hal yang memiliki efek negatif terhadap perkembangan sosialnya, yang mungkin ditemuinya di kemudian hari, dapat diminimalisasi akibatnya.
Sikap sosial terbentuk dalam diri seseorang melalui interaksi sosialnya dengan lingkungan sekitarnya (Azwar, 2005). Interaksi sosial ini antara lain memungkinkan seseorang untuk mengalami kontak dan pengalaman langsung dengan orang lain serta meniru atau meneladan sikap orang lain, khususnya yang dianggap penting, misalnya teman sebaya atau orang tua. Pada
Secara luas, ada dua kategori dalam bermain, yaitu bermain aktif dan ermain pasif (Hurlock, 1972; Hurlock, 1980; Santrock, 1997; Tedjasaputra,
akt atu kegiatan yang menyenangkan baginya.
tub umpet
an bermain dengan balok. Sebaliknya, pada bermain pasif, yang juga disebut an (amusement), anak lebih cenderung menerima dan menikmati apa ang telah tersedia, bukan yang dihasilkan dari kegiatannya sendiri. Jenis bermain ini me
apat terjadi melalui kedua kategori bermain ini. Sebagai contoh, ketika bermain petak umpet, anak berinteraksi secara langsung dengan jar mengembangkan perilaku-perilaku yang diharapkan leh teman-temannya tersebut. Di lain pihak, ketika menonton film, anak
okoh-tokoh yang ada di film tersebut, dan anak dapat mengim
b
2001). Pada dasarnya, bermain aktif adalah jenis bermain yang melibatkan usaha if anak untuk menghasilkan su
Meskipun tidak selalu, bermain aktif umumnya melibatkan relatif banyak gerakan uh dan tenaga anak. Contoh dari bermain aktif adalah permainan petak-d
dengan hibur y
rupakan jenis bermain yang tidak membutuhkan banyak tenaga untuk bergerak. Contohnya adalah menonton televisi dan membaca komik.
Interaksi sosial d
teman-temannya dan bela o
berinteraksi dengan t
B. Rumusan Masalah
2. Antara bermain aktif dan pasif, pola bermain manakah yang lebih efektif dalam menumbuhkan sikap sosial yang positif pada anak usia sekolah?
C. Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui dan membandingkan efektivitas bermain aktif dan pasif dalam menumbuhkan sikap sosial yang positif pada anak usia sekolah.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Praktis
Manfaat praktis dari penelitian ini adalah mengetahui pola bermain yang dapat diterapkan oleh para pendidik maupun orang tua untuk menumbuhkan sikap sosial yang positif pada anak usia sekolah. Dengan demikian, anak juga akan memiliki peluang yang lebih besar untuk membangun relasi yang baik dengan orang lain. Berbagai hal yang dapat berakibat negatif terhadap perkembangan sosialnya juga lebih dapat diantisipasi.
2. Manfaat Teoretis
Manfaat teoretis dari penelitian ini adalah memberikan sumbangan ain aktif dan pasif dalam menumbuhkan ikap sosial yang positif pada anak usia sekolah.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Anak Usia Sekolah A.
(Hu
sek Dasar. Jadi,
1.
usia sekolah
ters b.
permainan anak yang melibatkan gerakan tubuh,
c.
h. Anak harus memiliki evaluasi dan pandangan yang positif Anak-anak usia sekolah termasuk dalam periode masa akhir kanak-kanak rlock, 1980; Santrock, 1997). Periode ini berlangsung ketika anak berusia itar tujuh sampai sebelas tahun, yaitu selama masa-masa Sekolah
anak usia sekolah adalah anak yang berusia sekitar tujuh sampai sebelas tahun.
Tugas Perkembangan Anak Usia Sekolah
Tugas perkembangan yang harus dipenuhi oleh anak-anak
dikemukakan oleh Havighurst (Hurlock, 1980). Tugas-tugas perkembangan ebut adalah sebagai berikut.
Mempelajari keterampilan fisik yang diperlukan untuk permainan-permainan umum. Ada berbagai
sehingga untuk dapat terlibat di dalamnya, anak harus memiliki keterampilan fisik yang memadai.
Membangun sikap yang sehat mengenai diri sendiri sebagai makhluk yang sedang tumbu
d. Belajar menyesuaikan diri dengan teman-teman seusianya. Anak-anak pada usia ini paling banyak berinteraksi dengan teman-teman sebayanya. Karena itu, anak harus mampu menyesuaikan diri dengan teman-temannya tersebut bila ingin diterima oleh mereka.
Mulai mengembangkan peran sosial pria atau wanita yang tepat. Anak harus belajar memahami dan mengembangkan peran-peran sosial yang sesuai dengan jenis kelamin mereka, sesuai dengan harapan masyarakat.
Mengembangkan keterampilan-keterampilan dasar untuk membaca, menulis, dan berhitung. Anak
e.
f.
usia sekolah mulai mempelajari berbagai hal dalam dunia pen
hati nurani, pengertian moral, dan tata dan tingkatan nilai. Tugas untuk mengembangkan hati nurani ini sudah dimulai sejak usia
moralitas anak ini harus semakin ber
didikan formal. Membaca, menulis, dan berhitung merupakan beberapa hal pokok yang harus dipelajari anak selama masa sekolah dasar ini.
g. Mengembangkan pengertian-pengertian yang diperlukan untuk kehidupan sehari-hari. Agar dapat berperilaku dengan benar di lingkungannya, anak terlebih dulu harus memahami berbagai pengertian yang berlaku dalam kehidupan sehari-hari.
h. Mengembangkan
prasekolah. Di usia sekolah, pengembangan kembang.
j. Mengembangkan sikap terhadap kelompok-kelompok sosial dan lembaga-lembaga. Anak harus memiliki sikap yang positif terhadap orang lain dan kel
pada periode ini (Hurlock, 1991). Hurlock juga menyebut
ber
berbagai aspek, seperti aspek fisik, kognitif, serta aspek sosial. Tugas
sos seb den
2.
den dih mas
men bagaimana interaksi anak dengan orang-orang di sekitarnya. ompok-kelompok sosial di sekitarnya agar dapat berinteraksi dengan baik dengan lingkungan sosialnya tersebut, dan kemampuan untuk bersosialisasi ini adalah salah satu tugas perkembangan paling penting yang perlu dikembangkan anak
sikap ini sebagai sikap sosial, yang merupakan bagian dari perkembangan sosial anak (Hurlock, 1972). Hal ini akan dibahas secara lebih khusus pada sub bab berikutnya.
Dari hal-hal di atas dapat disimpulkan bahwa anak usia sekolah memiliki bagai tugas perkembangan yang harus dipenuhinya. Tugas-tugas ini meliputi
perkembangan yang menyangkut aspek sosial, khususnya mengembangkan sikap ial yang positif, merupakan salah satu tugas yang paling penting bagi anak, ab perkembangan sikap sosial ini akan sangat mempengaruhi interaksi anak
gan orang lain.
Perkembangan Sosial Anak Usia Sekolah
Perkembangan sosial adalah proses belajar anak untuk berperilaku sesuai gan yang diharapkan oleh masyarakat (Hurlock, 1972). Perilaku yang arapkan ini dapat berbeda pada setiap kelompok masyarakat, sebab tiap yarakat mempunyai normanya sendiri-sendiri. Perkembangan sosial ini akan
Perkem
sosial kemudian berperilaku sesuai peranannya tersebut. Misalnya, dalam hubungan orang tua-anak, anak
tuk menurut pada perkataan orang tuanya.
. Mengembangkan sikap sosial yang positif. Anak harus mengembangkan sikap rang lain maupun aktivitas-aktivitas sosial. Anak harus men
bangan sosial anak juga dapat dilihat dari perkembangan bermainnya. Hal ini akan dibahas lebih lanjut dalam sub bab tersendiri tentang permainan.
Dalam perkembangan sosial, ada tiga proses yang perlu diperhatikan. Ketiga proses ini memang berbeda satu sama lain, namun tetap saling terkait erat. Semakin ketiga proses ini dipenuhi, maka semakin baik pula perkembangan sosial anak (Hurlock, 1972):
a. Mengembangkan perilaku yang disetujui oleh kelompok sosial. Pada proses pertama ini, anak harus mengetahui standar-standar atau norma-norma yang ditetapkan oleh kelompok sosialnya. Anak kemudian harus mampu mengembangkan perilaku-perilaku yang sesuai standar atau norma tersebut. Misalnya, anak diharapkan untuk tidak berbicara dengan bahasa yang kasar atau mengumpat.
b. Memainkan peranan sesuai aturan sosial. Pada proses ini, anak harus mengetahui peranannya dalam kelompok
diharapkan un c
yang positif terhadap o
Jadi, dapat disimpulkan bahwa perkembangan sosial anak terdiri dari tiga proses pokok, yaitu mengembangkan perilaku yang disetujui kelompok sosial, memainkan peranan sesuai aturan sosial, serta mengembangkan sikap sosial yang positif. Ketiga proses itu harus dipenuhi agar anak dapat diterima oleh lingkungan sosialnya. Dua proses pertama lebih terfokus pada perilaku tampak (overt) yang harus dilakukan anak, sedangkan proses yang ketiga lebih terfokus pada perilaku tidak tampak (covert) yang dikembangkan anak dalam dirinya, meskipun tetap dapat termanifestasi dalam perilaku nyata anak. Perkembangan sikap sosial yang positif ini menjadi sangat penting karena merupakan sesuatu yang benar-benar tertanam dalam diri anak, dan bukan sekedar perilaku tampak yang bisa saja dibuat-buat oleh anak. Mengembangkan sikap sosial yang positif dan benar-benar berasal
apat berupa orang, kejadian, situasi, dan lain sebagainya. Worchel dan Cooper (1979) mendefinisikan sikap sebagai intensitas perasaan positif atau negatif yang dirasakan seseorang terhadap objek dari dalam diri anak sendiri tentu lebih penting dan mendasar dibandingkan dengan sekadar mengembangkan perilaku sebagai suatu rutinitas yang kurang bermakna bagi diri anak sendiri.
B. Sikap Sosial
1. Definisi Sikap Sosial
sikap tertentu. Sikap tersebut sering dipandang sebagai kombinasi antara nilai dan keyakin
n sebagai kecenderungan pikiran, perasaan, serta perilaku seseorang
pikiran, perasaa
an yang dimiliki seseorang. Secara lebih khusus, sikap juga dapat didefinisikan sebagai pikiran, perasaan, serta kecenderungan perilaku seseorang terhadap objek sikap tertentu yang diperoleh melalui proses pembelajaran (Huffman, Vernoy, & Vernoy, 1997; Pettijohn, 1992). Apa yang dipikirkan dan dirasakan seseorang terhadap suatu objek sikap, serta bagaimana kecenderungan perilakunya terhadap objek sikap tersebut secara keseluruhan mencerminkan sikap seseorang terhadap objek sikap tersebut. Jadi, bila disimpulkan, sikap dapat didefinisika
terhadap suatu objek sikap, dan kecenderungan tersebut mencerminkan evaluasi orang tersebut terhadap objek sikap tersebut.
Istilah “sosial” menunjuk pada hubungan atau relasi antara dua atau lebih individu (Chaplin, 1995). Sikap sosial berarti sikap seseorang terkait dengan relasinya dengan orang lain. Lebih jelasnya, sikap sosial dapat diartikan sebagai sikap seseorang terhadap lingkungan sosialnya, yaitu orang lain di sekitarnya dan aktivitas bersama orang-orang tersebut (Hurlock, 1991; Chaplin, 1995). Jadi, orang lain dan aktivitas bersama orang lain ini menjadi suatu objek sikap. Dengan demikian, sikap sosial dapat didefinisikan sebagai kecenderungan
2. Komponen Sikap Sosial dan Komponen Objek Sikap Sosial
Sikap, termasuk sikap sosial, terdiri dari tiga komponen (Aronson, 2005; w man, Vernoy & Vernoy, 1997; Pettijohn, 1992; Zanden, 1984), yaitu kom
kom ten rea men sos
terh ber
per hal ini, terjadi
antara afeksi dan perilaku anak. Namun, meskipun terkadang seseorang t
hal pos net
dip obj ber
Az ar, 2005; Huff
ponen kognitif, afektif, dan konatif. Terkait dengan sikap sosial, ponen kognitif menunjukkan apa yang dipikirkan atau diyakini seseorang tang lingkungan sosialnya. Komponen afektif menunjukkan perasaan atau ksi emosi seseorang terhadap lingkungan sosial tersebut. Komponen perilaku
unjukkan bagaimana seseorang cenderung berperilaku terhadap lingkungan ialnya.
Meskipun pada umumnya pikiran, perasaan, serta perilaku seseorang adap suatu objek sikap cenderung konsisten, terkadang ketiga hal ini juga tentangan. Anak yang tidak menyukai gurunya bisa saja tetap menuruti kataan gurunya tersebut karena sekadar merasa takut. Dalam
pertentangan
idak konsisten dalam pikiran, perasaan, dan perilakunya terhadap suatu , hampir semua orang pasti memiliki suatu kecenderungan sikap, baik itu
itif maupun negatif. Sangat jarang seseorang memiliki sikap yang benar-benar ral terhadap objek sikap tertentu (Azwar, 2005; Baron & Byrne, 1997).
sik p sosial yang perlu diperhatikaa n, yaitu teman sebaya, keluarga, dan orang asing lainn
a.
k ini berkembang terutama dengan tem
keluarga dan orang tua makin sedikit. Berk (2006) bahkan mengungkapkan bahwa interaksi ecara dramatis selama usia sekolah. Namun, mes
ya. Ketiga komponen objek sikap ini akan dijelaskan di bawah ini. Teman sebaya
Masa-masa sekolah sering disebut sebagai usia berkelompok, sebab pada masa-masa sekolah inilah anak mulai membentuk kelompok-kelompok dengan teman-teman sebayanya (Hurlock, 1972; Hurlock, 1980; Santrock, 1995). Karena itu, dibanding dengan masa-masa sebelumnya, pada usia sekolah ini peran teman sebaya menjadi makin penting bagi anak (Bee, 1997). Anak usia sekolah memang mulai mengembangkan relasinya dengan orang lain di luar keluarganya (Kartono, 1982), lebih daripada ketika masa prasekolah dulu, dan relasi sosial ana
an-teman sebayanya. Sebagian besar waktunya di luar sekolah akan dihabiskan anak bersama teman-teman sebayanya (Bee, 1997).
b. Keluarga
Seiring dengan makin banyaknya waktu yang dihabiskan bersama teman-teman sebayanya, waktu yang dihabiskan anak bersama
dengan keluarga menurun s
c. Orang asing (Friendly stranger)
interaksi dengan orang dewasa di luar keluarga umumnya anak dalam bidang yang lebih formal (Santrock,
obj cuk tem
teta angan interaksi sosial anak.
3.
mer inte
Byr ) mengemukakan bahwa proses pembelajaran
ini secara umum terjadi melalui beberapa cara sebagai berikut.
Orang asing yang dimaksud di sini bukanlah orang yang benar-benar asing bagi anak, melainkan orang dewasa di luar keluarga yang masih memiliki relasi tertentu dengan anak, yaitu antara lain guru atau teman dari orang tuanya. Interaksi dengan orang dewasa di luar keluarga ini juga sama pentingnya bagi anak, sebab orang tua dan orang dewasa di luar keluarga mengajarkan hal yang berbeda pada anak. Berbeda dengan interaksi dengan orang tua,
menyangkut kemampuan
1995). Guru, misalnya, berbeda dengan orang tua, lebih banyak mengajarkan hal-hal yang terkait pendidikan formal.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa pada usia sekolah, terdapat tiga komponen ek sikap yang utama, sesuai dengan perkembangan interaksi sosial anak yang up luas dengan orang-orang di sekitarnya. Interaksi ini terutama terjadi dengan an-teman sebayanya, meskipun orang tua dan beberapa orang dewasa lain p mempunyai peran dalam perkemb
Pembentukan Sikap Sosial
a. Cla
setiap kali bermain dengan teman-temannya mungkin akan terhadap teman-temannya tersebut,
b.
tau hukuman
c.
t sehingga iapun mengembangkan sikap yang relatif positif terhadap gurunya.
ssical conditioning
Pada classical conditioning, sikap terbentuk melalui asosiasi suatu objek sikap dengan suatu hal yang positif atau negatif. Sebagai contoh, seorang anak yang mendapat es sirup
mengembangkan sikap yang relatif positif
belum tentu karena ia sejak awal suka bermain dengan teman-temannya, tetapi karena adanya asosiasi antara teman-temannya dengan es sirup yang disukainya.
Instrumental conditioning
Pada cara ini, sikap terbentuk karena adanya penguatan a
terhadap perilaku tertentu. Dalam membentuk perilaku, khususnya, pemberian penguatan lebih disarankan daripada hukuman karena dinilai lebih efektif. Sebagai contoh, seorang anak akan diberi hadiah bila tidak bertengkar dengan adiknya selama kurun waktu tertentu. Anak tersebut akan termotivasi untuk tidak bertengkar dengan adiknya sehingga sikap anak tersebut terhadap adiknya pun menjadi lebih positif.
Modeling
Secara lebih khusus, pembelajaran sikap melalui interaksi sosial dapat terw
car atas a.
bersama teman sebayanya.
ang lain secara langsung maupun tidak langsung
pada anak untuk selalu berhati-hati pada mengembangkan sikap yang cenderung negatif ujud melalui cara-cara sebagai berikut (Azwar, 2005; Pettijohn, 1992). Cara-a ini merupCara-akCara-an semCara-acCara-am konteks di mCara-anCara-a ketigCara-a cCara-arCara-a yCara-ang telCara-ah disebutkCara-an di
dapat terwujud.
Kontak langsung atau pengalaman pribadi
Sikap terhadap suatu hal dapat terbentuk melalui pengalaman langsung dengan hal tersebut. Anak yang selalu merasa senang ketika bermain dengan teman-temannya mungkin akan mengembangkan sikap yang positif terhadap aktivitas
b. Belajar dari or
Di sini, sikap terbentuk karena adanya pengaruh dari orang lain, biasanya yang dianggap penting. Pembelajaran secara langsung terjadi ketika, misalnya, orang tua secara sengaja mengembangkan sikap tertentu dalam diri anak. Orang tua mungkin mengajarkan
orang lain sehingga anak
c. Sek
Terkadang emosi seseorang dapat mempengaruhi sikapnya terhadap orang n ketegangan atau
if yang cenderung tidak didasari pemikiran eorang anak mungkin tidak mau berteman dengan salah seorang olah, lembaga agama, dan teman sebaya
Sekolah dan teman sebaya berperan dalam pembentukan sikap karena anak banyak belajar melalui observasi serta interaksi dengan guru maupun teman. Melihat temannya yang cenderung bersikap bersahabat pada semua orang, seorang anak mungkin mengembangkan sikap yang sama dengan temannya tersebut. Selain itu, sekolah pada umumnya memang menanamkan nilai-nilai dan konsep-konsep tertentu dalam diri anak dengan berbagai cara, secara langsung maupun tidak langsung. Hal yang sama juga dilakukan oleh lembaga agama.
d. Media massa
Bila anak sering menonton film-film tertentu yang menayangkan kekerasan, misalnya, sangat mungkin anak kemudian mempunyai sikap yang cenderung positif terhadap kekerasan. Sikap ini terbentuk karena identifikasi atau imitasi anak terhadap film-film tersebut.
e. Pengaruh faktor emosional
lain. Umumnya emosi ini muncul sebagai suatu bentuk penyalura
mekanisme pertahanan ego. Contoh dari pengaruh faktor emosional ini adalah prasangka, yaitu sikap negat
rasional. S
Seperti yang telah kita ketahui, sikap sosial terbentuk melalui belajaran sosial yang terjadi ketika anak berinteraksi dengan orang lain. Bagi k usia sekolah, sebagian besar waktu di luar sekolah dihabiskannya dengan main bersama orang lain sehingga interaksi sosialnya pun sebagian besar adi melalui kegiatan bermain. Karena itu, sangat mungkin sebagian besar sikap pem
ana ber terj
sosial anak terbentuk melalui kegiatan bermainnya. Sebagai contoh, ketika sedang alam kelompok, anak menilai bahwa seorang temannya yang lemah men
men ini yan Nam
i ketika anak sedang bermain dengan orang lain. Jadi, jela
men
4.
me a.
menimbulkan cara berpikir yang berbeda pula. Karena cara berpikir seseorang akan mempengaruhi sikapnya, maka pekerjaan yang bermain d
yebabkan kelompoknya kalah dari kelompok lawan sehingga ia gembangkan sikap yang cenderung negatif terhadap temannya tersebut. Sikap muncul karena adanya pembelajaran sosial, yaitu instrumental conditioning, g terjadi melalui kontak atau pengalaman langsung anak dengan temannya.
un, tidak hanya instrumental conditioning, classical conditioning dan
modeling juga bisa terjad
s bahwa bermain merupakan salah satu sarana yang bisa digunakan untuk umbuhkan sikap sosial pada anak.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Sikap Sosial pada Anak
Ahmadi, dkk (1991) menyebutkan beberapa faktor yang dapat mpengaruhi sikap seseorang, yaitu:
Pekerjaan
berbeda akan menimbulkan sikap yang berbeda pula. Sebagai contoh,
b.
emiliki norma atau nilainya sendiri-sendiri yang sering kali ber
berada di kelas sosial ekonomi menengah ke bawah menganggap orang lain sebagai orang yang “harus” menolongnya.
pengusaha dan rohaniwan pasti memiliki sikap yang berbeda terhadap orang lain. Pengusaha mungkin memandang orang lain sebagai “sarana” untuk mencapai keuntungan, sedangkan rohaniwan mungkin lebih memandang orang lain sebagai seseorang yang perlu senantiasa diperhatikan dan dibina imannya.
Etnis
Tiap etnis m
beda satu sama lain. Karena itu, sikap yang dimiliki tiap etnis juga berbeda. Etnis yang satu mungkin menganggap hubungan sosial dengan orang lain sebagai sesuatu yang sangat penting, sedangkan etnis lain mungkin lebih bersifat individual sehingga kurang mementingkan hubungan sosial yang baik. c. Kelas sosial ekonomi
d. Sejarah
Sikap terhadap suatu hal, termasuk sikap sosial, cenderung selalu berubah an zaman. Orang-orang yang berasal dari zaman atau era ber
orang tuanya di dalam keluarga (Ahma
pada diri anak ebagai seorang individu. Di lain pihak, pekerjaan tidak termasuk di antaranya nak-anak belum memiliki pekerjaan sehingga bukan merupa
dalam tiap perubah
beda akan mempunyai sikap sosial yang berbeda pula. Misalnya saja sikap terhadap perempuan. Dulu yang dianggap menarik adalah perempuan yang agak gemuk, kemudian perempuan yang sangat kuruslah yang dianggap menarik, dan sekarang perempuan yang menarik adalah mereka yang bertubuh langsing.
Jadi, tiap orang dapat memiliki sikap sosial yang berbeda-beda, tergantung pada pekerjaan, etnis, kelas sosial ekonomi, serta sejarah atau zaman di mana ia hidup. Pada anak-anak khususnya, yang lebih berpengaruh adalah pekerjaan, etnis, kelas sosial ekonomi, serta sejarah orang tuanya, bukan pekerjaan, etnis, kelas sosial ekonomi, serta sejarahnya sendiri, sebab sikap sosial anak tumbuh terutama berdasarkan apa yang diajarkan oleh
di, dkk, 1991). Meskipun demikian, beberapa di antara faktor-faktor di atas, yaitu etnis, kelas sosial ekonomi, serta sejarah, dapat dikatakan memiliki pengaruh terhadap diri anak, sebab faktor-faktor tersebut melekat
s
karena umumnya a
C. Bermain
1. Definisi Bermain
Selama masa sekolah, anak memiliki kegiatan dan minat yang luas dalam
yan kegiatan itu sendiri, tanpa memperhatikan hasil
bah
itu n atau maksud lain selain bermain
men men ber pen
kep
pen ya bagi anak-anak.
2.
adalah kegiatan yang penting bagi anak-anak. Hurlock (1991) mengatakan bahwa
sam
bermain (Hurlock, 1980). Bermain didefinisikan sebagai kegiatan menyenangkan g dilakukan demi kepentingan
akhirnya (Hurlock, 1991; Santrock, 1997; Tedjasaputra, 2001). Maksudnya adalah wa bermain dilakukan dengan tujuan bermain serta memperoleh kesenangan sendiri, tanpa memperhatikan adanya tujua
dan memperoleh kesenangan tersebut. Sedangkan Arnold (Arnold, 1975) yatakan bahwa bermain adalah suatu pekerjaan bagi anak. Pernyataan ini ekankan betapa pentingnya bermain bagi anak-anak. Menurut Arnold, main merupakan dasar bagi anak untuk memperoleh pengetahuan dan
galaman yang berguna bagi masa depannya.
Jadi, bermain adalah kegiatan menyenangkan yang dilakukan demi entingan kegiatan itu sendiri, dan kegiatan tersebut dapat memberikan galaman dan pengetahuan tertentu, khususn
Fungsi Bermain
Seperti yang sudah kita ketahui, banyak ahli berpendapat bahwa bermain
men
per ya. Secara
ada a.
b.
rmain bersama orang lain, sehingga mau tidak mau anak pasti akan
c.
ain, anak dapat mengalami serta menghayati berbagai
ng dihadapinya.
dalam berbagai kegiatan bermain.
e.
berikan pengetahuan pada anak. Piaget (dalam Santrock, ingkatkan interaksi sosial anak dengan orang lain serta berguna bagi kembangan pribadi anak sendiri, misalnya perkembangan kognitifn
lebih spesifik, beberapa pengaruh atau fungsi permainan bagi perkembangan anak lah sebagai berikut (Hurlock, 1991, Kartono, 1982):
Perkembangan fisik. Bermain aktif dapat merangsang dan melatih otot-otot serta keseluruhan tubuh anak.
Dorongan berkomunikasi. Anak harus dapat berkomunikasi dengan baik ketika ia be
belajar untuk berkomunikasi dengan baik.
Penghayatan terhadap berbagai emosi serta penyaluran energi emosional yang terpendam. Ketika berm
emosi, misalnya senang ketika menang, sedih atau kecewa ketika kalah, dan sebagainya. Selain itu, bermain juga dapat menyalurkan ketegangan anak ketika lingkungan membatasinya untuk mengekspresikan emosinya. Hal ini juga diungkapkan oleh Freud dan Erikson (dalam Santrock, 1995), yaitu bahwa dengan bermain, anak dapat melakukan penyesuaian diri dan mengatasi konflik atau kecemasan ya
d. Penyaluran kebutuhan dan keinginan. Keinginan yang tidak dapat diraih anak dalam kehidupan nyata dapat diwujudkan
Keinginan menjadi ibu, misalnya, disalurkan dengan bermain ibu-anak dengan bonekanya.
1995) mengatakan bahwa bermain cara yang menyenangkan bagi anak untuk mempelajari serta menerapkan kemampuan serta keterampilannya.
Rangsangan bag
f. i kreativitas. Dalam bermain, anak dapat mencoba atau mer
ndiri dengan membandingkannya dengan kemampuan anak lain.
at. Anak belajar berhubungan dengan orang lain ketika ber
bermain dapat meningkatkan afiliasi anak mannya.
i. Standa
j.
ancang berbagai hal baru sehingga ia menjadi kreatif. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Vygotsky (dalam Santrock, 1995), yaitu bahwa bermain, terutama bermain pura-pura atau imajiner, dapat merangsang kreativitas anak. Selain itu, dalam bermain anak juga dapat mengembangkan fantasi serta bakatnya.
g. Perkembangan wawasan diri. Bila bermain dengan anak lain, anak dapat mengetahui kemampuannya se
h. Belajar bermasyarak
main dengan orang lain, sebab bermain bersama orang lain pasti membutuhkan interaksi antara anak dengan orang lain tersebut. Interaksi inilah yang memungkinkan anak belajar bersosialisasi dengan baik. Santrock (1995) juga mengatakan bahwa
dengan teman-te
r moral. Dalam kelompok bermain, anak mempelajari berbagai peraturan atau standar yang harus diikuti.
k. ain bersama ora
ole
bagi an bermai
belajar ,
menunj mengem perkem
3. Ka
yaitu bermai
bermai Santroc
a. Ber
banyak aktivitas tubuh. Pada bermain aktif, anak memiliki insiatif untuk ya gerakan tubuh atau bangunan tert
den ada
Perkembangan ciri kepribadian yang diinginkan. Dengan berm
ng lain, anak mengetahui bagaimana harus berperilaku supaya diterima h kelompok.
Jadi, bermain memiliki peranan atau fungsi yang cukup banyak dan positif ak, yaitu antara lain meliputi aspek fisik, kognitif, serta sosial anak. Fungsi n bagi perkembangan aspek sosial anak, khususnya, misalnya fungsi dalam bermasyarakat dan perkembangan ciri kepribadian yang diinginkan
ukkan bahwa bermain pun dapat digunakan sebagai sarana untuk bangkan sikap sosial yang positif dalam diri anak sebagai bagian dari bangan sosial anak tersebut.
tegori Bermain
Secara luas, bermain dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori, n aktif dan pasif. Dalam masing-masing kategori, terdapat beberapa pola n yang populer di kalangan anak-anak (Hurlock, 1972; Hurlock, 1980;
k, 1997; Tedjasaputra, 2001).
main aktif
Bermain aktif menunjuk pada kegiatan bermain yang membutuhkan
secara aktif menghasilkan sesuatu (misaln
1)
an dan bebas, tanpa terikat aturan-aturan tertentu. Bermain umumnya dilakukan selama masa bayi, adalah
ihan, yang tidak hanya terjadi pada masa bayi, engulang perilaku-perilaku tertentu, terutama ketika
e/simbolic/dramatic play)
rti bermain khayalan anak (seperti berpura-pura menjadi
3) tif (constructive play)
rmain ini terjadi ketika anak mengkreasikan atau mengkonstruksi Bermain sensorimotor/ latihan (sensorimotor/practice play)
Pola bermain ini umumnya berupa kegiatan bermain yang dilakukan anak secara spont
sensorimotor, yang
kegiatan bermain yang bermanfaat bagi perkembangan sensorimotor anak. Contohnya adalah ketika anak menjelajahi lingkungan sekitarnya atau ketika ia bermain dengan mainan-mainan yang bisa mengeluarkan suara. Sedangkan bermain lat
dilakukan dengan m
anak baru mempelajari keterampilan-keterampilan fisik baru. Bermain sensorimotor terkadang juga melibatkan bermain latihan ini. Contoh dari pola bermain ini adalah melompat-lompat atau melempar bola.
2) Bermain khayal/ simbolis/ drama (pretens
Pola ini, misalnya pura-pura memasak dengan ember kecil dan pasir, adalah pola bermain yang dilakukan anak ketika ia mentransformasikan lingkungan fisiknya ke dalam simbol-simbol tertentu. Hal-hal yang ditranformasikan bisa berasal dari kehidupan nyata (sepe
dokter-dokteran) maupun manusia super).
Bermain konstruk Pola be
dengan gagasan-gagasan simbolis yang muncul dalam bermain simbolis. Contohnya adalah kegiatan menggambar atau membangun sesuatu dari
4) Me
rtukar ksi mereka.
5)
6)
tu bentuk permainan mental. Pola bermain ini
lam permainan konstruktif. an
8)
secara aktif menghasilkan musik. Anak-anak suka menyanyi, meskipun mereka belum balok kayu.
ngoleksi barang
Pola bermain ini dikategorikan sebagai bermain aktif karena inisiatifnya. Anak-anak suka mengoleksi berbagai barang yang menarik perhatiannya, misalnya kelereng atau stiker. Terkadang mereka juga suka saling be barang kole
Permainan (games)
Permainan adalah kegiatan bermain yang melibatkan aturan dan terkadang juga kompetisi dengan orang lain. Permainan ini juga bisa berbentuk suatu kegiatan olahraga. Pola bermain ini terkait erat dengan bermain sosial. Melamun atau berkhayal (daydreaming)
Kegiatan ini merupakan sua
dapat dilakukan anak dalam berbagai kegiatan bermain lainnya. Ia dapat berkhayal menjadi tokoh super dalam permainan drama. Ia juga bisa berkhayal membangun gedung da
7) Bermain dengan main
Pola bermain ini dilakukan anak dengan berbagai benda yang dianggapnya sebagai mainan.
Musik
tentu berbakat dalam bidang musik. Mereka juga suka memainkan
b. Ber
Seorang anak dikatakan bermain pasif ketika ia tidak secara aktif tentu. Dalam bermain pasif, anak lebih banyak men
a surat kabar. dan televisi
da lm atau acara televisi.
nak-anak suka mendengarkan berbagai siaran radio, meskipun terkadang m mengerti maknanya. Yang mereka sukai biasanya adalah berbagai alat musik.
main pasif
melakukan kegiatan ter
erima atau “mengkonsumsi” sesuatu seperti buku atau film. Bermain pasif membutuhkan relatif lebih sedikit energi fisik dibanding bermain aktif.
1) Membaca
Membaca biasanya dilakukan anak bila mereka sudah lelah atau sedang sendiri atau sakit. Terkadang mereka mengidentifikasikan diri dengan tokoh yang ada di dalam buku cerita. Mereka juga suka melihat gambar-gambar yang ada di dalam buku. Selain buku, anak-anak juga menyukai komik, majalah, dan terkadang jug
2) Menonton film
Anak-anak sangat suka melihat film-film maupun berbagai acara televisi. Mereka sering kali mengidentifikasikan diri dengan tokoh-tokoh yang a di dalam fi
3) Mendengarkan radio A
mereka belu
4) Mendengarkan musik
Selain menghasilkan musik secara aktif, anak-anak juga suka kan lagu dan musik lainnya.
4.
gorikan berdasarkan tingkat keaktifan anak, bermain juga dap
Per engan orang lain
aya) ini disebut sebagai bermain sosial (social play)
(Sa 200
ber ini tersusun secara hierarkis serta dapat
menunj
mendengar
Hierarki Pola Bermain
Selain dikate
at dibedakan berdasarkan interaksi sosial anak dengan orang atau anak lain. ilaku bermain yang melibatkan interaksi sosial anak d
(biasanya teman seb
ntrock, 1995). Parten (dalam Hurlock, 1980; Santrock, 1997; Tedjasaputra, 1) mengungkapkan beberapa kategori atau pola bermain yang termasuk main sosial. Pola-pola bermain
ukkan perkembangan sosial anak.
a. Unoccupied play
Pada pola bermain ini, anak tidak terlibat dengan anak-anak lain, tetapi hanya melihat sekitar atau melakukan gerakan-gerakan yang seakan tanpa tujuan.
b. Solitary play
Pola permainan ini terjadi ketika anak bermain sendiri tanpa melibatkan orang lain.
c. Onlooker play
unoccupied play, di sini anak menunjukkan minat terhadap permainan teman-temannya.
d. arallel play
an-temannya, anak cen
m kelompok dan dalam berbagai situasi
P
Pada pola ini, meskipun bermain terpisah dari tem
derung meniru dan melakukan permainan yang sama dengan mereka.
e. Associative play
Pola bermain ini melibatkan interaksi sosial dengan sedikit atau tanpa organisasi (belum memiliki aturan dan struktur yang jelas).
f. Cooperative play
Pola ini menunjuk pada kegiatan bermain yang melibatkan interaksi sosial serta sudah terorganisasi. Di sini kelompok bermain tersebut sudah memiliki rasa identitas sebagai kelompok.
Pada awalnya, anak hanya melakukan unoccupied play. Setelah itu, kegiatannya meningkat menjadi solitary play. Demikian seterusnya sehingga pada akhirnya, setelah kontak sosial anak meningkat, anak akan terlibat dalam
cooperative play. Namun, menurut Hurlock (1980), meskipun sudah mulai terlibat dalam cooperative play, terkadang anak juga masih sekadar melakukan onlooker play. Bagaimanapun, ketika sekadar mengamati (menonton) anak lain pun, anak dapat belajar bagaimana harus berperilaku dala
bertambahnya usia anak, sebab hubungan sosial mereka dengan orang lain juga senantiasa bertambah (Hurlock, 1991).
5. Jenis Bermain yang Sesuai untuk Anak Usia Sekolah
Setelah mengetahui berbagai jenis bermain serta hierarki pola bermain anak, kita dapat mengetahui jenis bermain yang sesuai untuk anak usia sekolah. Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya, pola bermain kooperatif
(cooperative play) merupakan pola bermain yang paling sesuai untuk anak usia sekolah (Santrock, 1995; Vasta, Haith, dan Miller, 1995), sebab di usia ini anak meman
ah. Selain itu, anak usia elapan sampai sembilan tahun memang menyukai permainan yang sudah
Pertimbangan bahwa cooperative play merupakan jenis bermain yang sekolah memang menunjukkan bahwa bermain aktiflah ya
ket
g mulai mengembangkan hubungan sosialnya dengan orang lain, terutama teman sebayanya (Bee, 1997; Hurlock, 1980; Hurlock, 1991; Kartono, 1982; Santrock, 1995). Bermain kooperatif merupakan pola bermain yang sudah memiliki aturan dan struktur yang cukup jelas. Permainan (games) adalah jenis bermain yang melibatkan orang lain dan memiliki aturan tertentu yang harus dipatuhi para pemainnya. Karena itu, berbagai jenis permainan yang memiliki aturan-aturan yang sederhana dan dimainkan bersama orang lain merupakan salah satu jenis bermain yang sesuai untuk anak usia sekol
d
melibatkan aturan (Vasta, Haith, Miller, 1995).
paling sesuai untuk anak usia
ana prib (Hu satu ana atau
mengatakan bahwa di usia sekolah, perhatian anak pada televisi juga makin meningkat
cuk
sek pal me dan kep me satu
D. Hubun
1. B
sikap sosial yang positif. Yang dimaksud dengan sikap sosial yang positif k. Seperti halnya bermain aktif, bermain pasif juga penting bagi penyesuaian
adi dan sosial anak, dan keseimbangan di antara keduanya patut dijaga rlock, 1995). Di antara berbagai jenis bermain pasif, televisi merupakan salah jenis bermain pasif yang memberikan pengaruh paling besar bagi anak, sebab k-anak sekarang menghabiskan cukup banyak waktu untuk menonton film
televisi (Hurlock, 1991; Santrock, 1995; Tedjasaputra, 2001). Bee (1997)
. Jenis bermain pasif ini telah menjadi salah satu jenis bermain yang up dominan dan penting bagi anak.
Jenis bermain pasif lainnya yang dinilai cukup penting bagi anak usia olah adalah membaca. Jenis bermain ini dinilai sebagai jenis bermain yang ing sehat secara psikologis (Hurlock, 1991; Tedjasaputra, 2001) karena miliki banyak akibat positif bagi anak, misalnya meningkatkan kreativitas anak
menyediakan tokoh cerita yang mampu diidentifikasi anak dalam membentuk ribadiannya sendiri. Anak-anak paling suka membaca buku dibanding mbaca majalah atau koran. Karena itu, membaca buku juga bisa menjadi salah
bermain pasif yang sesuai untuk anak usia sekolah.
gan antara Sikap Sosial dengan Bermain Aktif dan Pasif
ermain dan Sikap Sosial
ialah bahwa anak memiliki pikiran, perasaan, serta perilaku yang positif terhadap orang lain dan aktivitas-aktivitas sosial. Dengan kata lain, sikap yang positif menunjukkan bahwa anak menerima kehadiran orang lain dan aktivitas-aktivitas sosialnya. Sikap ini terbentuk sejak dini dalam diri anak, dan karena pada usia sekolah anak mengembangkan interaksi sosial yang luas dengan orang lain, maka pembentukan sikap sosial yang positif selama masa sekolah
lui bermain ini dapat berupa interaksi yang positif maupun negatif. Interaksi yang menimbulkan perasaan atau reaksi negatif pada anak oleh anak tentu akan mendorong terbentuknya sikap anak yang relatif negatif pula. Sebagai contoh, anak yang selama bermain bersama temannya sering diejek atau dipukul tentu akan cenderung membentuk sikap
ini menjadi hal yang penting.
Sikap sosial terbentuk terutama melalui proses belajar sosial, dan proses ini dapat terjadi bila ada interaksi sosial antara anak dengan lingkungan di sekitarnya. Interaksi sosial ini terwujud dalam berbagai kegiatan. Pada anak usia sekolah khususnya, bermain merupakan salah satunya, sebab ketika bermain, anak dapat bertemu dan berhubungan dengan orang lain yang diajaknya bermain, apalagi bermain memang merupakan salah satu kegiatan yang sangat penting dan cukup dominan bagi anak. Selain itu, bermain memang merupakan kegiatan yang dapat mengajarkan pada anak bagaimana harus bersosialisasi dengan orang-orang di sekitarnya. Oleh karena itu, sikap sosial, sebagai salah satu aspek sosial dalam diri anak, juga dapat ditumbuhkan melalui bermain.
yang negatif terhadap temannya tersebut. Karena itu, untuk mengantisipasi terbent
ol dan mengarahkan anak-anak da
uknya sikap sosial yang negatif ini, bimbingan dari orang yang lebih dewasa dibutuhkan ketika akan menggunakan bermain sebagai sarana untuk menumbuhkan sikap sosial yang positif. Bimbingan ini akan lebih memfasilitasi terjadinya interaksi yang lebih positif sehingga mengarahkan anak untuk membentuk sikap sosial yang lebih positif pula.
Ada dua kategori luas bermain, yaitu bermain aktif dan pasif. Kedua kategori bermain ini dapat diterapkan sesuai dengan cara-cara atau faktor-faktor yang secara khusus mempengaruhi pembentukan sikap. Misalnya, menonton film (bermain pasif) dapat diterapkan mengingat bahwa sikap dapat terbentuk karena pengaruh media massa. Begitu pula dengan pola-pola bermain lainnya. Selanjutnya, dalam penelitian ini, mengingat jenis-jenis bermain yang sesuai bagi anak usia sekolah, bermain aktif akan dibatasi pada permainan (games), sedangkan bermain pasif dibatasi pada menonton film (melalui televisi) dan membaca buku. Karena penelitian akan dilakukan dalam kelompok atau klasikal, yang dimaksud membaca buku di sini adalah bahwa anak akan dibacakan buku oleh orang lain, bukan membacanya sendiri. Hal ini dimaksudkan agar peneliti lebih dapat mengontr
2. P
ng diajaknya bermain. Karena sering kali membutuhkan kerja sama dengan orang lain,
a permainan ini juga cukup intens.
ental
conditi
bahwa dalam
ermainan
Permainan (games) merupakan jenis bermain yang melibatkan aturan-aturan dan terkadang kompetisi dengan orang lain. Dalam permainan ini, anak akan terlibat interaksi secara langsung dengan orang lain ya
interaksi sosial yang berlangsung selam
Interaksi yang intens ini akan memfasilitasi pembentukan sikap tertentu dalam diri anak. Anak akan belajar bahwa agar dapat diterima dalam kelompok bermain dan dapat terus ikut bermain, anak harus mematuhi aturan-aturan tertentu sesuai dengan permainan yang sedang berlangsung. Anak belajar bahwa ia tidak boleh bermain sekehendaknya tanpa mempedulikan aturan-aturan yang berlangsung. Anak juga dapat belajar mengenai sikap dan perilaku sosial mana yang ditolak dan mana yang diterima dalam kelompok. Pembelajaran ini dapat terjadi melalui classical condtioning, instrum
oning maupun modeling terhadap teman bermain dengan adanya umpan balik yang diberikan kelompok bermain terhadap anak. Dengan demikian, anak belajar untuk mengembangkan sikap dan perilaku sosial yang sesuai dengan norma kelompok bermain tersebut.
situasi sosial yang nyata, dan bukan hanya dalam permainan, anak juga perlu men
yang berlangsung ada
dapat mengajarkan sikap sosial tertentu pada anak. Dengan menyimak cerita yang disajikan, anak akan dapat memahami isi cerita dan situasi sosial yang digambarkan dalam cerita. Anak dapat belajar bahwa terdapat sikap-sikap sosial tertentu yang disukai dan diharapkan oleh orang lain. Dibantu dengan adanya bimbingan dari orang dewasa, anak kemudian diharapkan dapat melakukan modeling terhadap sikap sosial positif dan menolak sikap negatif yang ditunjukkan oleh tokoh-tokoh dalam cerita serta menerapkannya dalam kehidupan nyatanya.
aati “aturan-aturan” tertentu serta mengembangkan sikap-sikap sosial tertentu yang sesuai dengan norma masyarakat. Dengan demikian, anak dapat mengembangkan sikap sosial yang positif di tengah masyarakat.
3. Membaca Buku dan Menonton Film
Membaca buku dan menonton film merupakan kegiatan bermain yang dilakukan secara relatif lebih individual dibandingkan permainan. Meskipun dilakukan secara berkelompok, membaca buku dan menonton film membutuhkan perhatian khusus anak terhadap cerita yang disajikan. Dengan kata lain, membaca buku dan menonton film menyedot seluruh perhatian anak sehingga hampir tidak memungkinkan terjadinya interaksi, terutama yang intens, dengan orang lain. Dengan demikian, interaksi
lah antara anak dengan cerita, bukan anak dengan orang lain.
enjelasan mengenai permainan
P serta membaca buku dan menonton film
di atas dapat memberikan asumsi bahwa di antara kedua kelompok bermain tersebut, permainan (bermain aktif) akan lebih efektif dalam menumbuhkan sikap sosial yang positif pada anak usia sekolah. Asumsi ini didasarkan pertimbangan bahwa, seperti yang telah diungkapkan sebelumnya, bermain aktif merupakan jenis bermain yang dinilai lebih sesuai dan bagi anak usia sekolah, dan dengan demikian mungkin lebih berpengaruh dan efektif bagi anak dalam menumbuhkan sikap sosialnya. Selain itu, bermain aktif juga cenderung lebih banyak melibatkan interaksi dengan orang lain, sedangkan membaca buku dan menonton film (bermain pasif) lebih banyak bersifat individual (Hurlock, 1980). Tingkat interaksi yang lebih tinggi ini menyebabkan bermain aktif cenderung lebih efektif bagi anak usia sekolah dalam menumbuhkan sikap sosialnya.
ngan antara permainan serta membaca buku cerita dan menonton film dengan sikap sosial positif
Bagan 1. Hubu
Permainan (+ bimbingan)
Interaksi sosial langsung dan intens dengan teman bermain
Pembelajaran dan pemahaman terhadap
aturan bersama (melalui classical dan
instrumental condtioning maupun modeling terhadap teman bermain) Keterlibatan dan pengalaman langsung dalam lingkungan sosial nyata
Sikap sosial positif Pemahaman baik
karena adanya pengalaman langsung
Penerapan pemahaman terhadap lingkungan dan situasi
sosial
Membaca buku cerita dan menonton film
(+ bimbingan)
Pemahaman terhadap cerita dan situasi
sosial
Modeling terhadap tokoh cerita Tanpa interaksi sosial
secara intens dengan orang lain
Pemahaman terhadap situasi sosial nyata kurang baik karena tidak ada pengalaman
langsung
Sikap sosial positif (tetapi kurang positif dibandingkan dengan metode permainan) Tidak ada keterlibatan
dan pengalaman langsung dalam lingkungan sosial
E. Hipotesis
1. Bermain aktif dan pasif efektif dalam menumbuhkan sikap sosial yang positif olah.
. Bermain aktif lebih efektif dalam menumbuhkan sikap sosial yang positif pada ana
pada anak usia sek 2
BAB III METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini akan menggunakan jenis penelitian eksperimen kuasi, yaitu penelitian eksperimen yang tidak menggunakan sistem random dalam pemilihan subjeknya. Dalam penelitian eksperimen, peneliti secara sengaja melakukan manipulasi atau memberi perlakuan tertentu pada sejumlah subjek untuk mengetahui pengaruh perlakuan tersebut terhadap perilaku subjek (Latipun, 2004). Manipulasi atau perlakuan yang diberikan disebut variabel bebas, sedangkan perilaku subjek disebut variabel tergantung. Jadi, penelitian eksperimen adalah penelitian yang bertujuan mengetahui pengaruh suatu variabel bebas terhadap variabel tergantung. Penelitian ini juga melakukan kontrol terhada
maupu at
terhada validitas internal
enelitian yang memadai, yaitu bahwa perubahan yang dialami variabel mang disebabkan oleh variabel bebas, bukan oleh variabel ekstra.
rtujuan mengetahui efektivitas bermain aktif dan pasif m menum ositif pada anak usia sekolah. Seperti elitian ini akan menggunakan desain n eksperimen ini tidak menggunakan sistem random p variabel-variabel ekstra, yaitu variabel-variabel di luar variabel bebas n variabel tergantung yang dap mempengaruhi hasil penelitian. Kontrol
p variabel ekstra perlu dilakukan agar diperoleh p
tergantung me
Penelitian ini be
dalam menentukan subjek yang akan masuk kelompok eksperimen ataupun elompok kontrol, namun tetap menggunakan kelompok kontrol (Latipun, 2004).
Dalam en maupun
l mengikuti e
dengan tujuan meminimalisas erlakuan yang mungkin bjek berasal dari sekolah yang sama.
rimen maupun elompok kontrol. Kemudian kedua kelompok eksperimen diberi perlakuan
h itu semua kelompok diberi
po an