• Tidak ada hasil yang ditemukan

APN YANG DIMAKSUD DENGAN TR,4NSIATIONA L RESEARCH?

Dalam dokumen Buku Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis (Halaman 133-140)

Secara

klasik

tr anslational r esear ch

didefinisikan

sebagai " ...ffictia e

translation of the new knowledge, mechanisms, and techniques generated

by

adaances

in

basic science

into

new approaches

for

preaention, diagnosis, and treatment of disease which are essential

for

improaing

health.." (Fontanerosa).

Lebih jauh lagi

beberapa

pakar

membagi translational research

menjadi dua blok, yaitu T1 dan

T2 sebagai

suatu

translational continuum

atat

clinical research enterprise.

Istilah T1 sering dianggap bersinonim atau merujuk

kepada

"bench to bedside",

yaitu

"the bench-to-bedside enterprise of harnessing knowldege

from

basic sciences to produce new drugs, deaices, and treatment optings

for

patients". The

Institute

of Medicine's Clinical

Research Roundtable mendefinisikan TL sebagai

berikut:

"the transfer of nezn understanding of disease mechanisms gained

in

the laboratory into the deaelopment of new methods for diagnosis, therapy, and preuention and their

first

testing

in

humans."

Artinya

area riset

ini

merupakan pertemuan antara

ilmu

dasar dengan kedokteran

klinis;

target atau endpointyang dituju adalah produksi terapi atau obatbaru yang dapat digunakan secara

klinis

atau

diproduksi

secara komersial. Definisi T1

ini hampir mirip

dengan

definisi

translational research secara

umum

yang dikemukakan oleh Fontanerosa.

Apa yang dimaksud dengan

T2?

Riset T2 dapat dikatakan

merupakan translasi hasil penelitian

klinis

ke dalam

praktik untuk

memastikan bahwa. obat

atau

pendekatan

diagnostik yang baru

ditemukan

benar-benar

menjangkau

pasien

atau populasi

yang

dimaksud. Untuk itu, produksi obat/pendekatan terapi

atau

126 Desainpenelitian

diagnostik yang merupakan luaran

fase bench-to-bedside menjadi

titik awal T2. Ringkasnya T2 menerjemahkan temuan dalam penelitian klinis ke dalam praktik sehari-hari

serta pembuatan

kebijakan

kesehatan.

Berdasarkan pemahaman

di

atas,

tampak bahwa T1 dan

T2 merupakan continuum. Riset T1 memerlukan penguasaan

biologi

molekular, genetik, dan

ilmu

dasar lain serta

klinikus

terlatih yang bekerja

di laboratorium lengkap

dengan

teknologi

canggih serta

infrastruktur yang mendukung. Sebaliknya, laboratorium

T2 adalah komunitas dan pelayanan rawat jalan, yaitu tempat intervensi berbasis

populasi, tempat riset

berbasis

praktis

membawa

hasil penelitian

T1

ke ruang publik. Oleh karena ltu,

T2 memerlukan keterampilan riset berbeda,

yaitu

penguasaan

ilmu

implementasi lapangan

dan

evaluasi

intervensi di lingkungan

nyata, termasuk

epidemiologi klinis, teori komunikasi, ilmu perilaku,

kebijakan

publik,

keuangan, teori organisasi, desain sistem,

informatika,

dan

kombinasi riset metodologi/kualitatif.

Penelirian T1 dan T2 menghadapi tantangan yang berbeda. T1

berjuang dengan misteri biologi atau teknologi, rekrutmen uji

klinis, dan pengontrolan lingkungan. Adapun riset

T2lebihbanyak menghadapi tantangan perilaku manusia, masalah

organisasi, hambatan

infrastruktur

dan sumber daya, dengan segala tantangan

yang

ada.

Mengingat rumitnya

proses

translasi hasil penelitian untuk memiliki dampak bagi

kesehatan

masyarakat,

beberapa

kelompok

membuat

model

dengan T1'-T2-T3-T4 yang merupakan

kontinuum riset

biomedis.

o

T1 adalah translasi dari

ilmu

dasar ke studi penelitian

klinis

(dengan subyek manusia),

o

T2 menerapkan hasil penelitian

klinis

ke pasiery

.

T3 adalah riset berbasis

praktik,

dan

. T4 merupakan

outcome research

yang mengacu pada komunitas

dan kebijakan kesehatan.

Apa pun

modelnya,

inti

konsep penelitian translasional adalah memastikan

bahwa

apa yang

ditemukan dalam penelitian

dasar diteruskan ke penelitian pada manusai dan komunitas.

Huseinalatas dkk 127

RnvcxaseN

Secara

tradisional, riset

dalam

bidang

kedokteran

dan

kesehatan seringkali

dikelompokkan

menjadi dua kategori,

yaitu

riset dasar (disebut juga riset fundamental atau riset

murni)

dan riset terapan.

Riset dasar bersifat

lebih spekulatif

dan memerlukan

waktu

lama

(seringkali dalam hitungan

dasawarsa)

untuk diterapkan

dalam

konteks praktis namun kadang mampu menghasilkan

temuan

fenomenal yang menyebabkan

pergeseran

paradigma praktis.

Sebaliknya

riset terapan memiliki implikasi langsung

terhadap

praktik

tetapi seringkali hanya menghasilkan perbaikan bertahap dan

bukan

suatu terobosan radikal.

Dikotomi

riset dasar dan terapan

ini menyulitkan

pembentukan

tim multidisiplin yang diperlukan untuk

keberhasilan penelitian translasional. Riset translasional berusaha membebaskan

diri dari domain

dasar

dan

terapan

ini

sehingga

dapat diterapkan

secara lebih umum. Pada riset translasional interaksi antara riset akademis

dan praktik pelayanan kesehatan/industri ditingkatkan.

Para

praktisi dapat membantu pembentukan agenda riset

dengan

memberi informasi mengenai masalah apa yang

sebenarnya

dihadapi

dan memerlukan pendekatan dengan riset translasional.

Seperti telah disebut, pendekatan riset terapan hanya menghasilan perbaikan masalah kesehatan yang sedikit.

Dnrrnn PUSTAKA

Abramowics M, Barnett Hl, Edelmann CMIR. Controlled trial of azathioprine in children with nephrotic syndrome. The report of The Intemational Study of Kidney Diseases in Children. Lancet. 1970;2:959-61,.

Azwar A, Prihartono, J. Metodologi penelitian kedokteran dan kesehatan masyarakat. Jakarta: Binarupa Aksar4 1987.

Campbell

Dl

Stanley jC. Experimental and quasiexperimental designs for research. Boston: Houghton Mifflin Co.;L963.

Doll R,

Hill

AB. Mortality in relation to smoking: Ten-year observation of British doctors. BMI L964; 1399-450.

Dougherty D, Conway PH. The "3T's" road map to transform US health care: the "how" of high-quality care, JAMA. 2008;299:23191321.

4

5

128 Desainpenelitian

6

Egger M, Smith GD, Philips AN. Meta-analysis: principles and procedures.

BMI 1997;31.5:1533-7.

7

Fletcher R, Fetcher S, Wagner EH. Clinical epidemiology

-

the essentials.

Edisi ke-3. Philadelphia: Williams & Wilkins; 1996.

Fontanarosa PB, C.D, DeAngelis CD. Basic science and translational research:

call for papers/ IAMA. 20OI;285:2246.

Hulley SB, Cummings SR" Browner WS, Grady D, Newman TB, penyunting.

Designing clinical research-An epidemiologic approach. Edisi ke-3.

Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2007.

Katz DL. Clinical epidemiology & evidence-based medicine. Thousand Oaks:

Sage Publications; 2001.

Pratiknya AW: Dasar-dasar metodologi penelitian kedokteran dan

kesehatan. Jakarta: Rajawali; 1986.

Sackett DL, Wenberg JE. Choosing the best research design for each question. BMI 1997 ;135:1636.

Zerhouni EA. US biomedical research: basic, translational, and clinical sciences. IAMA. 2005;294:1352-58.

10

11

t2 13

Husein alatas dlck 129

MwweM

Desoin penelition merupokon rencono penelition sebogoi sorono bogi peneliti untuk memperoleh jowobon otos perfonyoon penelition otou menguji voliditos hipotesis.

Klosif ikosi sederhono yang bermonfoat odoloh pembagion menjodi studi eksperimentol don observosional. Podo studi eksperimentol, peneliti melakukon olokosi subyek untuk diberi intervensi, don mengukur hosil (efek) intervensi. Podo studi observos ionol penel iti honyo melokukon pengamoton terhodop subyek penelition don mengonolisis hosil pengomotan.

Desoin penelition seringkoli soling menunjong satu dengon loinnyo. Bentuk'penelition' yong poling sederhono pun, yoitu laporon kosus, kodong dopot membuohkon Penamuon penyokit yong penting don berbohoyo di kemudion hori.

Tiop jenis desoin mempunyoi keunggulon dan kekurangon.

Desoin untuk mencori hubungon kousol yong terkuot odoloh stud i eksperimentol. 5t udi o bs ervas i o nal memi I i ki kopos itos hubungon sebob-okibot yong lebih lemoh, tetopi lebih banyok digunokon koreno

ralotif

muroh don mudoh.

Tidok odo desoin terboik untuk semua jenis penelition. Untuk menjowab pertonyoon penelition yong somo,

teoritis

dapot dipergunokan pelbogoi desoin penelition. Desain terbaik odolah yong dopot manjowob partonyoon penelition secoro okurat, sohih, ef ektif , don ef isien.

Dikotomi penelifian dosor don teropon okhir-okhir ini menjodi bohon diskusidon horus lebih diintegrosikon dalam konsep penelition tronsklosionol, yang menerjamohkan hasil studi dosor ke penelition klinis, komunitos, don okhinryo ke kebijokon kesehoton.

Bab 7 -Sildi cross-sectional

Muhamad Vinci Ghazali, Suharyono Sastomihardio*, Sri Rochani Soediarwo, Titi Soelaryo, Hariarti

S

Pramulyo

alam penelitian kedokteran dan

kesehatan,

studi

cross pectional

merupakan

suatu

bentuk studi

observasional

(non-eksperimental) yang paling sering dilakukan. Kira-

kira

sepertiga

artikel orisinal

dalam

jurnal

kedokteran merupakan laporan studi cross-sectional Dalam arti kata luas,

studi

uoss-sectional mencakup semua jenis penelitian yang pengukuran variabel-variabelnya dilakukan hanya satu kali, pada satu saat. Studi seperti

ini

dapat hanya bersifat deskriptif, misalnya penentuan

nilai

normal

(nilainilai

antropometrik bayi baru lahir, kadar

imunoglobin

pasien asma). Ia juga dapat merupakan studi analitik, misalnya studi perbandingan antara

kadar

asam

urat

pada manula yang normal dan yang gemuk, atau studi korelasi antara skor kebugaran tertenfu dengan kadar kolesterol. Dengan perkataan

lain, penelitian

yang

pengukurannya dilakukan hanya satu kali, disebut studi

crlss- sectional. Berikut

ini

akan dibahas studi cross- sectional analitik

untuk

mempelajari

etiologi

atau

faktor risiko

suatu penyakit.

Dalam studi

cross-sectional,

variabel independen atau faktor risiko

dan tergantung (efek)

dinilai

secara simultan pada satu saat;

jadi tidak

ada

follow-up

pada

studi

cross-sectional, Dengan

studi

cross-sectional

diperoleh

prevalens

penyakit

dalam

populasi

pada suatu saat; oleh karena

itu

studi cross-sectional disebut pula sebagai

studi

prevalens (preaalence study).

Dari

data yang diperoletr" dapat

Muhamad Vnci Ghazali dkk. 131

dibandingkan

prevalens

penyakit

pada

kelompok

dengan

faktor

risiko, dengan prevalens penyakit pada kelompok tanpa faktor risiko.

Studi prevalens tidak hanya digunakan untuk

Perencanaan kesehatan, akan tetapi juga dapat digunakan sebagai studi etiologi.

Yang dibicarakan dalam bab

ini lebih untuk

mengenal fungsinya sebagai

suatu penelitian etiologi.

Pembahasan

diawali

dengan tinjauan ringkas tentang pengertian dasar, dan

dilanjutkan

dengan langkah-langkah dalam melaksanakan studi cross-sectional. Contoh

studi analitlk

cross-sectional

dikemukakan,

sebelum pembicaraan mengenai

studi

cross-sectionnl

yang menilai lebih dari

satu

faktor

risiko.

Akhirnya

dibahas pula beberapa kelebihan dan kekurangan desain cross-sectional.

PENcBnUAN DASAR sruDl cRoss- SECTTaNAL

Telah dikemukakan bahwa dalam penelitian cross-sectional

peneliti mencari hubungan

antara

variabel

bebas

(faktor risiko)

dengan variabel tergantung (efek) dengan melakukan pengukuran sesaat.

Tentunya

tidak

semua subyek harus diperiksa pada

hari

ataupun saat yang sam4 namun baik varibel risiko serta efek tersebut

diukur

menurut keadaan atau statusnya pada

waktu

observasi,

jadi

pada desain cross sectional

tidak

ada prosedur

tindak lanjut

atau follow- up. Selain

ltu

temporal relationship (hubungan

waktu)

antara

faktor risiko

dan efek

tidak

selalu tergambar

dari

data yang

terkumpul.

Hasil

pengamata

n

cr oss-s ectional

untuk

mengidentifikasi faktor risiko ini kemudian disusun dalam tabel2x 2. Untuk desain seperti

ini

biasanya yang

dihitung

adalah rasio prevalens, yakni perbandingan antara prevalens suatu

penyakit

atau efek pada subyek kelompok yang mempunyai faktor risiko, dengan prevalens penyakit atau efek pada subyek yang

tidak

mempunyai faktor risiko. Rasio prevalens menunjukkan peran faktor

risiko

dalam terjadinya efek pada

studi

cross-sectional

Llhatlah

susunan tabel 2

x 2

pada Gambar 7-1.

Studi

cross-sectional merupakan salah satu

studi

observasional

untuk

menentukan

hubungan

antara

faktor risiko dan

penyakit.

Studi

cross-sectional

untuk mempelajari etiologi suatu penyakit

132 Studi cross-sectional

digunakan terutama untuk mempelajari faktor risiko penyakit yang

mempunyai

onset yang lama (slow onset) dan lama

sakit

(duration

of

illness)

yang

panjang, sehingga biasanya pasien

tidak

mencari

pertolongan

sampai

penyakitnya relatif telah lanjut.

Contohnya adalah osteoartritis,

bronkitis kronik,

dan sebagian besar

penyakit

kejiwaan. Studi kohort kurang tepat digunakan pada penyakit-

penyakit

tersebut karena

diperlukan

sampel yang besar, follow-up

yang

sangat lama,

dan sulit

mengetahui saat

mulainya penyakit

(sulit

untuk

menentukan insidens). Sebaliknya jenis penyakit yang mempunyai masa sakit yang pendek tidak tepat dikaji dengan

studi

Dalam dokumen Buku Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis (Halaman 133-140)