vidu sesama manusia dengan berbagai ragam kondisi dan latar belakang kehidupannya.
“Dalam prakteknya, sebaiknya pendidikan Inklusif dapat diterapkan di seluruh Sekolah dan Pendidikan Tinggi tanpa harus saling menunggu.
Terlebih menunggu tersedianya infrastruktur, pem- biayaan, pela han guru dan lainnya itu. Walaupun sampai hari ini pemerintah menetapkan bahwa kabupaten/kota harus menyediakan se daknya satu sekolah penyelenggara pendidilan inklusif pada se ap kecamatan dan satu guru pembimbing khusus beserta
peralatan dan perlengkapan yang diperlukan untuk mengakomodasi kebutuhan anak-anak berkebutuh- an khusus.” Sela Pak Suwita.
Karena itu pendidikan inklusif inilah pen- didikan yang ber-Bhinneka Tunggal Ika yang harus kita perjuangkan keberadaan dan penyelenggara- annya dengan jiwa Merah Pu h”, gumam Sumardi dengan wajah serius dengan sorot mata tajam yang menunjukkan tekadnya.
“Iya mas, saya senang jika ada guru-guru yang bersemangat ingin mengetahui akar pendidikan Inklusif. Ini demi kebaikan kita semua.” Jawab Dr.
Landung sambil memesan Es Jahe dan camilan.
“Begini Pak, saya sudah baca ar kel yang Bapak kirimkan itu. Saya masih penasaran soal pen- didikan segregasi, integrasi dan inklusi. Mohon penjelasannya.”
“Oh, baik.”
“Pendidikan segregasi, mainstreaming, inte- grasi dan inklusi adalah layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus. Pendidikan segregasi adalah layanan pendidikan yang memisahkan anak berke- butuhan khusus dengan anak umum dalam layanan dalam bidang pendidikan, sehingga anak berke- butuhan khusus berada disekolah khusus.”
“Sedangkan pendidikan mainstreaming, inte- grasi dan juga inklusi adalah layanan pendidikan yang menyatukan anak berkebutuhan khusus dengan anak umumnya dalam bidang pendidikan yang ditempat- kan dalam satu sekolah umum.”
“Meskipun sama tetapi mainstreaming, inte- grasi dan inklusi mempunyai perbedaan dalam segi pelayanan, jika mainstreaming dan integrasi peserta didik menyesuaikan segala kegiatan yang ada di- sekolah, jika inklusi sekolah yang menyesuaikan kebu- tuhan peserta didik.”
“Meskipun mainstreaming sering diis lahkan dengan integrasi akan tetapi is lah ini berbeda, mainstreaming adalah model layanan khusus yang didalamnya terdapat konsep integrasi.”
“Menurut pemerintah, pendidikan inklusif merupakan perkembangan baru dari pendidikan terpadu. Pada pendidikan inklusif se ap anak sesuai dengan kebutuhan khususnya, semua diusahakan dapat dilayani secara op mal dengan melakukan berbagai modifikasi dan/atau penyesuaian, mulai dari kurikulum, sarana prasarana, tenaga pendidik dan kependidikan, sistem pembelajaran sampai pada sistem penilaiannya.”
“Dengan kata lain pendidikan inklusif men- syaratkan pihak sekolah yang harus menyesuaikan dengan tuntutan kebutuhan individu peserta didik, bukan peserta didik yang menyesuaikan dengan sistem persekolahan. Keuntungan dari pendidikan inklusif anak berkebutuhan khusus maupun anak biasa dapat saling berinteraksi secara wajar sesuai dengan tuntutan kehidupan sehari-hari di masyarak- at, dan kebutuhan pendidikannya dapat terpenuhi sesuai potensinya masing-masing.”
“Konsekuensi penyelenggaraan pendidikan inklusif adalah pihak sekolah dituntut melakukaan berbagai perubahan, mulai cara pandang, sikap, sampai pada proses pendidikan yang berorientasi pada kebutuhan individual tanpa diskriminasi (Direktorat PLB, 2007: 4-6).” Jelas Dr. Landung.
Pendidikan inklusif mensyaratkan pihak sekolah yang harus menyesuaikan dengan tuntutan kebutuhan individu peserta didik,
bukan peserta didik yang menyesuaikan dengan sistem
persekolahan.
“
“Tapi pada in nya begini Bapak/Ibu”
“Se ap anak mempunyai hak memperoleh pendidikan yang komprehensif menyangkut hakikat kodratnya sebagai manusia. Mengacu pada pan- dangan Notonagoro, yaitu manusia monopluralis, maknanya manusia yang berdimensi plural, tetapi merupakan satu kesatuan utuh sebagai manusia.
Susunan kodrat manusia: jiwa (akal, rasa, karsa); raga (fisik, tumbuhan, binatang). Sifat kodrat makhluk individu dan sosial.”
“Kedudukan kodrat makhluk otonom dan makhluk Tuhan. Hakikat kodrat manusia ini semes - nya dapat dikembangkan secara op mal melalui pendidikan. Driyarkara (2006: 369) mengatakan, pendidikan pada hakikatnya adalah proses hominisasi dan humanisasi. Hominisasi diambil dari perbuatan manusia yang actus hominb, yaitu perilaku manusia yang juga dilakukan oleh binatang, misalnya makan, minum, bergerak, bermain, dan lain-lain.”
“Pendidikan juga mempersiapkan dan meng- embangkan potensi-potensi manusia secara op mal, sehingga anak juga dapat melakukan ndakan-
ndakan sebagaimana ndakan dilakukan oleh bina- tang. Akan tetapi pendidikan dak hanya berhen pada hominisasi, tetapi sampai pada proses huma-
nisasi, yaitu memanusiakan manusia. Tindakan- ndakan hominis harus diangkat ke tataran lebih nggi, yaitu ke arah harkat kemanusiaannya (human- isasi).”
“Harkat kemanusiaannya terkait dengan pe- ngembangan aspek akal, rasa, karsa, kemandirian dan kepada dimensi ketuhanan. Pendidikan pada hakikat- nya adalah proses pembudayaan manusia. Pembu- dayaan yang terkait dengan Tuhan, sesama, dan alamnya.”
“Hominisasi merupakan ngkat minimum, sedangkan humanisasi adalah ngkat yang lebih nggi. Akan tetapi batas keduanya dak ada karena sesungguhnya dak ada hominisasi tanpa huma- nisasi, demikian pula sebaliknya, humanisasi dak dapat dilakukan tanpa hominisasi.” Jelas Dr. Landung.
“Pada akhirnya, apa yang sedang kita diskusi- kan sampai pada pemahaman Pendidikan Inklusif itu suatu filosofi pendidikan dan sosial. Pendidikan inklusif merupakan pendekatan yang memerha kan cara mentransformasikan sistem pendidikan, se- hingga dapat merespon keanekaragaman peserta didik yang memungkinkan guru dan peserta didik merasa nyaman dengan keanekaragaman tersebut, serta melihatnya lebih sebagai suatu tantangan dan
pengayaan dalam lingkungan belajar dari pada melihatnya sebagai suatu problem. Disinilah pe- mahaman mul kultur menjadi pen ng”
Pak Sumardi dan kawan-kawan semakin antusias, 2 jam sudah mereka menyerap ilmu dari Dr.
Landung.
“Tadi saya sudah sampaikan, konsekuensi membuat sekolah harus banyak melakukan peruba- han. Ditekankan adanya restrukturisasi sekolah, sehingga menjadi komunitas yang mendukung pe-
menuhan kebutuhan khusus se ap peserta didik.
Ar nya, dalam pendidikan inklusif tersedia sumber belajar yang kaya dan mendapat dukungan dari semua pihak, yaitu: peserta didik, guru, orang tua, dan masyarakat sekitarnya.” Jelas Dr. Landung melan- jutkan.”
Dalam Rencana Strategis Kemdikbudristek tahun 2020-2024, sebenarnya Pemerintah sudah menetapkan tujuan yang serius terkait pendidikan inklusif.
Perluasan akses pendidikan bermutu bagi peserta didik yang
berkeadilan dan inklusif,
01
Penguatan mutu dan relevansi pendidikan yang berpusat pada perkembangan peserta didik,
02
Pengembangan potensi peserta didik yang berkarakter,
03
Pelestarian dan pemajuan budaya, bahasa dan sastra serta pengarusutamaannya dalam pendidikan,
04
Penguatan sistem tata kelola pendidikan dan kebudayaan
yang par sipa f, transparan, dan akuntabel.
05
TUJUAN PENDIDIKAN INKLUSIF
Dalam rangka mengukur ngkat ketercapaian tujuan pembangunan pendidikan dan kebudayaan, diperlukan sejumlah sasaran strategis yang akan dicapai pada tahun 2024. Sasaran yang ingin dicapai berkaitan dengan tujuan pertama perluasan akses pendidikan bermutu bagi peserta didik yang ber- keadilan dan inklusif adalah meningkatnya pemerata- an layanan pendidikan bermutu di seluruh jenjang.
Sekolah penyelenggara pendidikan inklusif cenderung terkonsentrasi di pemerintah daerah yang memiliki kapasitas pelaksanaan dan pendanaan yang rela f kuat sebagian besar berada di Pulau Jawa. Di banyak pemerintah daerah, dak ada jaminan bahwa kabupaten/kota memiliki satu sekolah penyelenggara pendidikan inklusif di ngkat Pendidikan Dasar dan Menengah.
Menurut data dari Direktorat PMPK, terdapat 60 kabupaten/kota dak memiliki sekolah luar biasa.
Hal ini akan mempengaruhi akses pendidikan dan jaminan kualitas pengajaran dan pembelajaran anak berkebutuhan khusus. Pengembangan guru, kuri- kulum dan pedagogi belum dikembangkan sesuai dengan kebijakan pendidikan inklusif.
Pertemuan dengan Dr. Landung membawa banyak berkah bagi SD Ja harjo II. Pak Sumardi dan
kawan-kawan banyak mendapatkan masukan dan cara pandang baru. Ini adalah bekal bagi mereka untuk mempersiapkan penyelenggaraan pendidikan inklusif di sekolahnya.
Pendidikan inklusif itu suatu filosofi pendidikan dan sosial.
Dimana guru dan peserta didik/siswa merasa nyaman
dalam keanekaragaman.
“
Tanpa lelah Tim Persiapan Sekolah Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif SD Ja harjo II diskusi dan mencari informasi baik langsung melalui narasumber terpilih ataupun melalui buku-buku bacaan yang terakses.
Pendalaman selanjutnya dari agenda Tim adalah soal membaca in sari dari Pendidikan Inklusif. Dari beberapa lembar informasi diperoleh gambaran bahwa Pendidikan sebagai hak semua anak telah diabadikan dalam sejumlah Deklarasi Internasional, mulai dari Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia tahun 1948.
Membaca Pendidikan Inklusif
Terutama melalui Konvensi Hak Anak (CRC) serta perjanjian perjanjian terfokus yang menyatakan kembali hak pendidikan bagi anak-anak dengan disa- bilitas, anak perempuan, ras minoritas, dan pekerja migran.
Hak untuk mendapatkan pendidikan bersama- sama dalam sebuah sistem regular atau mainstream juga disorot dalam gerakan Educa on for All (EFA) atau Pendidikan untuk Semua, juga dalam Sustainable Development Goals (Tujuan Pembangunan Ber- kelanjutan).
Tidak hanya simpul-simpul yang sudah diikat oleh para ahli dari dalam maupun luar negeri. Tim tetap penasaran, bagaimana Pendidikan Inklusif dapat dipraktekan di Indonesia. Sumardi kian paham, Indonesia merupakan negara mul kultural terbesar di
dunia. Memiliki banyak kelompok suku, etnis, agama, dan budaya. Negara kepulauan yang memiliki 13.000 pulau, 300 suku bangsa, dan 200 bahasa.
Masyarakatnya menganut 6 agama (Islam, Hindu, Kristen, Katolik, Budha, dan Konghuchu) serta berbagai aliran kepercayaan. Keberagaman bangsa tersebut dapat menjadi potensi sekaligus resiko.
Potensi untuk kedaulatan diatas keberagaman, dan resiko konflik disebabkan keberagaman itu sendiri.
Keragaman masyarakat mul kultural sebagai asset kekayaan bangsa di satu sisi, dan kondisi sangat rawan konflik serta perpecahan di sisi lain (Lestari, 2015). Pengelolaan keberagaman tersebut menjadi sangat pen ng untuk mempertahankan kesatuan bangsa Indonesia dan memperjuangkan kemajuan- nya.
Masyarakat majemuk (plural society) sebagai iden tas bangsa Indonesia meniscayakan suatu kosep persatuan diatas keberagaman. Disanalah konsep mul kulturalisme diharapkan hadir. Mul kul- turalisme berpijak pada pengakuan tentang keaneka- ragaman dari suatu masyarakat yang heterogen.
Tim yang dipimpin Pak Sumardi juga seringkali berkorespondensi dengan para ahli pendidikan Inklusif. Dari merekalah dia mendapatkan pema- Pendidikan multikultural
dalam aktualisasinya harus membangun habituasi subyek
belajar yang mau menerima dan menghargai perbedaan.
“
haman mul kulturalisme, dimana mul kulturalisme sebagai ideologi dan sebuah alat untuk meningkatkan derajat manusia dan kemanusiaannya.
Melalui pendidikan mul kulturalisme ini di- harapkan akan dicapai suatu kehidupan masyarakat yang damai, harmonis, menjunjung nggi nilai-nilai kemanusiaan dan kebangsaan sebagaimana yang telah diamanatkan dalam undang-undang dasar.
Pendidikan mul kultural sebagai program persekolahan, dalam aktualisasinya harus diimple- mentasikan melalui pembelajaran mul kultur dalam lingkup mikro di kelas, sebagai condi oning mem- bangun habituasi subyek belajar yang mau menerima dan menghargai perbedaan.