“Kalau menurut Bu Landri apa yang perlu kita diskusikan sekarang?” Sumardi membuka pertanya- an.
”Menurut saya tentang bagaimana caranya membangun pemahaman dan kesadaran kepada guru, orang tua, dan masyarakat bahwa anak ber- kebutuhan khusus itu bukan orang cacat yang dak memiliki kemampuan.” Jawab Bu Landri.
Hal itu menjadi sangat pen ng karena akan menjadi dasar pembentukan perilaku posi f pada mereka dalam menjalankan tugasnya mendampingi proses belajar, proses tumbuh-kembang, maupun dalam penciptaan lingkungan fisik, sosial, maupun kejiwaan anak-anak tersebut.”
”Baiklah kalau begitu, saya akan memulai dengan masalah keberadaan anak-anak atau orang yang mendapat sebutan cacat,” jawab Sumardi sambil membuka-buka cacatan kecilnya.
Sumardi pun mulai bercerita dari hasil diskusi yang diiku nya di kabupaten, mengenai keberadaan orang-orang yang mendapat sebutan “CACAT”. Salah satu peman k diskusinya, Pak Purwanta menyampai- kan penjelasan bahwa segala sesuatu itu bisa menjadi ADA karena di-ADA-kan, karena itu pas ada yang meng-ADA-kan. Hanya satu yang ADA-nya dak di-
ADA-kan, yaitu ADA-nya Tuhan, karena Tuhan adalah sumber dari segala ADA.
Purwanta menyampaikan bahwa pada dasar- nya ada ga golongan masyarakat yang mempunyai pendapat yang berbeda. Kelompok pertama adalah kelompok masyarakat konserva f, yaitu mereka yang menggunakan sudut pandang dengan pendekatan kesadaran magis (Magical Conciousness Aproach).
Kelompok ini berpandangan bahwa CACAT itu ADA dan CACAT itu merupakan takdir, kutukan, gangguan roh halus, dan sebangsanya. Bahkan dari mereka ada yang berpendapat bahwa Tuhanlah yang berkehendak, sedang manusia hanya sekedar men- jalani. Upaya yang diberikan oleh kelompok ini antara lain berupa sedekah, doa, dan sejenisnya.
Sebutan yang dipakai oleh kelompok ini antara lain adalah PENYANDANG CACAT, Invalid,
Sementara untuk kesetaraan, pendidikan diartikan sebagai sebuah
proses pembelajaran tanpa adanya kesenjangan baik gender, status
sosial, maupun daerah.
“
Tidak Normal, Orang Yang Tidak Beruntung, dan sejenisnya. Dalam ilmu sosiologi, kelompok ini juga disebut sebagai kelompok yang menggunakan pendekatan Model Tradisional (Tradisional Model of Disability).
Berikutnya adalah kelompok liberal, yaitu kelompok masyarakat yang menggunakan cara pandang dengan pendekatan kesadaran naif (Naives Conciousness Approuch). Kelompok ini berpendapat bahwa CACAT itu ADA. CACAT itu adalah kondisi fisik dan atau mental yang dak normal yang meng- akibatkan ke dakmampuan pada sesorang. Sedang penyebabnya adalah penyakit, keturunan atau ba- waan, kecelakaan, dan penuaan.
Lain dengan Naif, ada juga kelompok yang menggunakan sudut pandang model Medikal (Medical Model of Disability). Menurut mereka hidup itu adalah persaingan dan siapa yang kuat itulah yang menang, karena itu upaya yang mereka lakukan adalah kegiatan rehabilitasi, pemberian pendidikan, pela han keterampilan dan sejenisnya, agar mereka yang CACAT itu bisa menjadi atau mendeka normal.
Dengan demikian mereka akan mampu me- ngiku persaingan dalam menjalani kehidupannya.
Kelompok ini menggunakan sebutan PENYANDANG CACAT atau PENYANDANG DISABILITAS.
Sedang kelompok terakhir adalah kelompok masyarakat yang menggunakan sudut pandang Pendekatan Kesadaran Kri s (Cri cal Conciousness Approach).
Kelompok ini dengan tegas berpendapat bahwa pada hakekatnya CACAT itu TIADA. CACAT itu menjadi ADA karena sengaja di-ADA-kan melalui proses PENCACATAN. Proses PENCACATAN itu dilaku- kan denngan cara membangun dan melanggengkan suatu konstruksi pikir yang diskrimina f di ma- syarakat luas hingga terbentuk konstruksi perilaku sosial yang diskrimina f pula yang berurat-berakar kuat di masyarakat.
Proses konstruksi sosial ini dilakukan secara terus-menerus melalui jalur struktural maupun kul- tural yang didukung oleh sistem kekuasaan hingga membentuk suatu kebenaran di masyarakat.
Proses konstruksi sosial ini dilakukan melalui labelisasi (memberi sebutan), marginalisasi (mem- posisikan), dan s gma sasi (mengkondisikan) deng- an sebutan, posisi, dan kondisi yang diskrimina f.
Sehingga orang-orang yang di-CACAT-kan ini dak mudah untuk mendapatkan penghormatan, per- lindungan, maupun pemenuhan atas hak asasinya.
Upaya yang dilakukan oleh kelompok ini
adalah melaksanakan proses dekonstruksi sosial untuk membongkar konstruksi sosial yang dis- krimina f yang telah terbentuk dan mengubahnya dengan konstruksi sosial baru yang non diskrimina f.
Upaya dekonstruksi sosial ini dilakukan dengan delabelisasi, demarginalisasi, dan des gma sasi, yaitu dengan membongkar sebutan, memposisikan, mengkondisikan yang diskrimina f dan mengubahnya menjadi non diskrimina f melalui berbagai bentuk pewacanaan dan ndakan nyata mendorong ter- wujudnya penghormatan, perlindungan, dan pe- menuhan hak-hak asasi mereka yang dicacatkan itu.
Kelompok ini menggunakan is lah DIFABEL untuk menyebut kelompok yang memiliki perbedaan
kondisi fisik, intelegensi, atau mental tersebut. Kata DIFABEL merupakan peng-Indonesia-an dari kata DIFFABLE yang merupakan akronim dari Differently Able People yang berar Orang-orang Yang Memiliki Kemampuan Berbeda. Secara sosiologis pendekatan yang dipakai oleh kelompok ini disebut juga sebagai Pendekatan Model Sosial (Social Model of Disability).
Jadi menurut kelompok ini orang-orang yang memiliki gangguan fungsi tertentu itu menjadi dak mampu bukan karena akibat dari gangguan fungsi- onal yang ada padanya, tetapi ke dakmampuan itu terjadi karena sifat dan perilaku sosial yang ada dalam lingkungannya.
Sebagai contoh, seorang dengan gangguan fungsi penglihatan itu menjadi miskin bukan karena ke dakmampuannya melihat, tetapi lebih disebab- kan karena lingkungan masyarakatnya dak mene- rimanya sekolah, dak disediakannya sarana yang dapat dipakainya untuk membaca dan menulis sehingga ia dak bisa mengakses pengetahuan.
Akibatnya mereka menjadi dak pintar yang kemudian ditambah dengan sarana mobilitas yang dak aksesibel, akibatnya mereka dak mudah mendapatkan pekerjaan layak, kalau ingin menuntut hak asasinya, mereka dak mendapatkan perlin- dungan hukum semes nya, kemudian mereka men-
jadi miskin. Kalau sudah miskin mereka pas hidup dak layak, mudah terkena sakit dan kelangsungan hidupnya pun terancam.
In dari perdebatan itu adalah bahwa para pendukung is lah penyandang disabilitas berpen- dapat, orang-orang yang mendapatkan sebutan pe- nyandang disabilitas itu mempunyai ke dakmampuan menurut ICF yang diterbitkan oleh World Health Organiza on (WHO) pada tahun 2000, yaitu orang yang mempunyai gangguan, kekurangan, kelainan, kerusakan, atau kehilangan fungsi organ tubuhnya dan yang mendapatkan hambatan dari lingkungan fisik dan sosialnya.
Kelompok ini berpendapat bahwa disabilitas itu adalah realita. Kecuali itu is lah itu juga merupa- kan terjemahan is lah yang telah digunakan secara internasional, yaitu Person With Disability.
Kelompok ini memandang yang menjadi rea- lita adanya proses penidakmampuan yang dilakukan melalui penyebutan dan ndakan diskrimina f yang mengiku : penyebutan tersebut. Realita itulah yang oleh kelompok ini harus dilawan. Is lah tersebut juga dimaksudkan untuk menabrak is lah disable yang juga merupakan suatu proses perlawanan atau kontra diskursus.
Sehingga ndakan yang diharapkan mbul dari penyebutan itu adalah memperkuat kemam- puan yang sebenarnya telah ada dan melawan
ndakan- ndakan yang melemahkan atau meng- hambat perkembangan kemampuan itu.
Hal inilah yang mendorong kelompok ini gencar mengumandangkan penggunaan is lah difabel ini melalui media masa, penulisan buku, peneli an-peneli an sosial, dan dalam percakapan sehari-hari. Dengan demikian is lah difabel ini sekarang telah banyak dipakai dalam kehidupan masyarakat umum.
Penggunaan sebutan difabel ini mengandung harapan bahwa masyarakat bersedia memandang orang yang menjadi korban pencacatan tersebut sebagai orang-orang yang mampu dan layak men- dapatkan hak asasinya untuk mengembangkan ke- mampuannya, sehingga menjadi makhluk sosial yang dapat hidup layak sebagai anggota masyarakat dan menjadi bagian yang bermakna dari suatu bangsa.
Bu Landri mengangguk-angguk, lalu berkata,
”Wah kalau begitu tugas kita ini tugas besar dan panjang ya Pak?”
”Ya Bu, pendidikan berkualitas dalam per- spek f SDGs misalnya, mempunyai arah untuk
pendidikan inklusif, kesetaraan, dan pendidikan seumur hidup bagi semua. Inklusif memiliki ar sebagai pendidikan yang berupaya menghilangkan hambatan yang dapat menghalangi seseorang mem- peroleh pendidikan. Hambatan-hambatan tersebut bisa terkait masalah fisik, gender, kemiskinan, sosial, etnis, dan lainnya.”
“Sementara untuk kesetaraan, pendidikan diar kan sebagai sebuah proses pembelajaran tanpa adanya kesenjangan baik gender, status sosial, ma- upun daerah. Sehingga seluruh masyarakat yang ada di dalam se ap negara bisa memperoleh pendidikan secara utuh dan menyeluruh. Sedangkan pendidikan seumur hidup diar kan sebagai proses di mana seseorang berhak memperoleh pendidikan sejak ia lahir hingga meninggal dunia. Proses tersebut bisa berlangsung di mana saja, seper dalam lingkungan masyarakat, lembaga non formal, maupun sekolah.”
Jawab Pak Sumardi.
“Pembangunan sosial yang inklusif (inklusi sosial) menuntut penanganan terhadap marjinalisasi dan diskriminasi yang sudah lama dialami perempu- an, penyandang disabilitas, penduduk asli, etnis dan pengguna bahasa minoritas, pengungsi dan pen- duduk yang terpaksa pergi dari tempat nggalnya,
sebagian dari kelompok yang rentan.”
“Untuk mengubah norma diskrimina f dan memberdayakan perempuan dan laki-laki, pendidik- an dan pengetahuan yang disampaikan melalui pen- didikan dapat di ngkatkan agar dapat mempe- ngaruhi nilai dan perilaku.”Terang Pak Sumardi di akhir diskusi.
Diskusi sampai senja antara Pak Sumardi, Bu Landri dan beberapa rekan guru kali ini terus berkutat pada persoalan-persoalan filosofis, agar landasan berpikir untuk ber ndak kedepan semakin men- dapatkan batu pinjakan kokoh.
Mereka menyadari ada arus baru yang se- dang bergulir, upaya kita sebagai manusia untuk lebih memanusiakan sesama, selain diperkuat oleh pe- mahaman-pemahaman teologis tetapi undakan batu ideologisnya juga harus mereka diskusikan. Inilah jalan pengayaan bersama, guru dituntut untuk maju mandiri dalam proses menambah pengetahuan.
Pembagi praktik baik
1
Pengambil inisiatif dan antusias
2
Menghargai pendapat orang lain
3
Pengakuan dan penghargaan terhadap keragaman individu anak
4
Mengajak orang lain berpikir
5
Pergaulan luas antar guru
6
Banyak membaca buku dan referensi penunjang
7
Rendah hati dan tidak diskriminatif aktif dalam diskusi
8
Kreatif (berpikir out of the box)
9
Penuh semangat dan menjadi support system Pendidikan Inklusif 10
Manajemen kelas yang positif 11
Fleksibilitas 12
Bereeksi dan kolaborasi 13
Menstimulasi iklim kelas untuk rasa aman bagi setiap anak 14
Membantu anak berkebutuhan khusus mengakses sarana prasarana
pembelajaran
15
Pengajaran inovatif 16
Guru bekerja dalam tim 17