Sampai di pondokannya Sumardi melihat motor Bu Landri diparkir di bawah pohon mangga dihalaman pondokannya tersebut. Sumardi langsung menuju ke belakang melalui longkangan sisi rumah. Ia masuk dari pintu samping dan langsung masuk ke kamarnya.
Setelah mencuci kaki dan tangannya di kamar mandi, ia pun ke peringgitan menemui Bu Landri yang telah menunggunya.
”Selamat siang Bu, sudah lama menunggu?”
tanya Sumardi.
”Selamat siang Pak, belum terlalu lama sih, baru kira-kira 20 menit yang lalu. Bagaimana pela h- annya?” tanya Bu Landri kemudian.
”Cukup menarik, nan kita bicarakan”, jawab Sumardi.
”Ada kabar apa Bu? Sehingga Ibu memerlukan mampir kemari,” tanya Sumardi kemudian.
”Ya, dak terlalu pen ng sih, tapi rasanya perlu segera saya sampaikan,” jawab Bu Landri.
Hampir dua jam mereka ngobrol dan diskusi.
Tak lain dari merencanakan bahan-bahan apa saja yang dapat mereka sampaikan pada Kepala Sekolah besok
pagi seper yang diminta Pak Suwita.
Esok paginya, sebelum jam belajar dimulai, Bu Landri dan Pak Sumardi menemui Pak Suwita untuk menyampaikan hal-hal yang perlu diketahui oleh para guru di sekolahnya tentang program pendidikan inklusif dan buku pegangan yang sedang dipersiapkan.
Pak Suwita menyambut baik, bahkan setelah is rahat pertama, para siswa pun diminta belajar mandiri di rumah, karena waktu belajar di sekolah hari itu akan digunakan untuk rapat guru, yaitu mendengarkan paparan Bu Landri.
Setelah menerangkan apa dan bagaimana program pendidikan inklusif itu dijalankan, Bu Landri pun menjelaskan tentang buku pegangan yang sedang dipersiapkannya bersama Pak Sumardi.
Pak Suwita mendapat laporan dari kedua guru tersebut dengan antusias dan merasa gembira.
Pak Suwita sebagai penanggungjawab sekolah menungu-nunggu kehadiran buku tersebut dengan harapan agar dapat membantu mereka dalam upaya mencari penyelesaian masalah yang mungkin akan mereka temui dalam melaksanakan rin san pelak-
sanaan pendidikan inklusif.
Pak Suwita pun berharap agar dak ada lagi kesalahpahaman di antara guru di sekolahnya ten- tang rencana penerapan program pendidikan inklusif.
Dia berjanji untuk segera menyusun Tim Persiapan Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif SD Ja harjo II.
Bu Rodiah, Bu Mursi , dan Bu Yatmi pun diam tak dapat berkata apa-apa. Dari wajah mereka pun tampak bahwa mereka benar-benar menyesal karena mereka telah melakukan upaya penolakan terhadap pelaksanaan program pendidikan inklusif di sekolah- nya.
Hal yang dak kalah menariknya adalah bahwa setelah pertemuan itu, ke ga guru tersebut menyatakan mendukung penyelenggaraan pendidik- an inklusif dan ingin belajar juga melalui buku pegangan yang sedang dipersiapkan itu.
Keesokan harinya, di hari Minggu yang me- reka sepaka , mereka bertemu di warung tempat mereka biasanya berdiskusi. Setelah memesan mi- numan dan camilan, Bu Landri pun membuka cacatan kecilnya dan mulai menjelaskan hal-hal yang me- nurutnya perlu dimuat di dalam buku pegangan mereka nan .
Setelah menguraikan bu r-bu r yang ada pada catatannya dan menjelaskan beberapa hal yang ditanyakan Sumardi, Bu Landri kemudian bertanya kepada Sumardi,
”Bagaimana Pak, masih adakah yang perlu dimuat dalam lingkup bahasan di buku pegangan kita nan ?”.
“Wah rasanya sudah lengkap sekali Bu”, jawab Sumardi.
“Lalu, kemudian langkah apa yang akan kita lakukan untuk pembuatan buku ini Pak?” tanya Bu Landri.
“Kita coba mulai petakan narasumber yang dapat kita akses Bu, sambil menunggu perkembang- an apakah ada Bimbingan Teknis, Workshop atau Pela han-pela han lain yang diselenggarakan oleh Dinas Kabupaten/Provinsi terkait pendidikan inklusif.
Saya yakin buku ini akan berhasil kita wujudkan.”
Jawab Pak Sumardi mantap berkeyakinan.
Semua pihak harus memahami strategi pelaksanaan pembelajaran
dalam setting pendidikan inklusif.
“
Siang itu sepulang dari sekolah, setelah menyelesaikan ibadah dan makan siang, Mas guru Sumardi duduk di kursi di depan meja kerjanya menghadap ke jendela yang dibukanya lebar-lebar sambil membuka-buka materi hasil pela han.
Tak lama kemudian ada sekelompok anak-anak melewa jalan di depan tempat nggalnya. Hal itu menarik perha annya, karena di antara anak-anak itu ada beberapa muridnya.
Diama nya anak-anak itu, dari percakapannya Sumardi menduga anak-anak itu akan pergi ke sungai yang tak jauh dari tempat nggal Sumardi.
Jalan Panjang Menuju Setara
Ke ka gerombolan anak itu sampai di depan rumah Pak Karto Semi, tampak Paidi sedang jongkok mengelus-elus ayam kesayangannya, maka seke ka anak-anak itu berteriak bersama-sama mengolok-olok Paidi, sebenarnya dia anak disabilitas netra (gangguan fungsi penglihatan).
”Ta, ta, Paidi buta, ta...ta, ta, Paidi buta, ta....”, begitu teriak gerombolan anak itu berulang-ulang mengolok-olok.
Baru setelah Pak Karto Semi bapak Paidi itu keluar dari rumahnya dan berteriak,
”Apa kata kalian?”
“Teruskan menghina anakku, akan kuhajar kalian!”.
“Kalau berani sekalian orang tuamu suruh kemari melawan aku,” teriaknya mengancam anak- anak itu.
Mendengar teriakan itu gerombolan anak- anak itu lari membubarkan diri menyelinap di tegalan di sela-sela rumah penduduk. Sumardi menghela nafas. Persoalan semacam itu bakal menjadi per- soalan yang akan dihadapinya di kemudian hari.
Sumardi sebenarnya geram dengan ngkah laku anak-anak itu, lalu dia panggil dan deka beberapa anak yang tadi mengolok-olok. Sumardi berkata, “Anak-anak, lain kali kalian jangan melaku- kan hal itu lagi ya!”
Ingat pesan agama Islam dalam dalam Q.S Al Hujurat (49):11:
“wahai orang-orang yang beriman janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain, boleh jadi mereka yang diperolok-olok lebih baik dari mereka, dan jangan pula perempuan mengolok-olok perempuan yang lain, boleh jadi perempuan yang diperolok-olok lebih baik dari perempuan yang mengolok-olok.
Janganlah kamu saling mencela suatu sama lain, dan janganlah memanggil dengan gelar- gelar yang buruk seburuk-buruk panggilan adalah panggilan yang buruk (pasik) setelah beriman. Dan barang siapa dak bertobat maka mereka itulah orang-orang yang zalim.”
“Kalian mau masuk dalam golongan zalim?!”
Guru Sumardi lalu menjelaskan, anak-anak itu mulai menunduk dan mengangguk-angguk. Guru Sumardi meneruskan petuahnya, sebagai guru dia merasa priha n dengan ndak-tanduk dan perilaku gerombolan anak tersebut.
“Nak, kita harus mensyukuri pemberian Allah kepada kita dan untuk menguji keimanan kita terhadap disekeliling kita termasuk kepada orang-orang pe- nyandang disabilitas.”
“Kita diciptakan sama oleh Yang Maha Kasih, manusia hanya penjalani lelaku hidup yang telah digariskan oleh pencipta. Tak ada yang bisa memilih, lahir dari siapa, suku apa, kebangsaan apa dan masih banyak perbedaan-perbedaan yang ada diantara kita.
Jadikan ini berkah, selalu ada hikmah yang harus kita pe k dari se ap perjalanan dan perbedaan hidup kita.”
Pak Sumardi terus memberikan petuahnya.
“Sekarang kalian semua minta maaf kepada Paidi, itu teman kalian yang harus disayang seper kita juga menyayangi saudara-saudara kita yang lain.” Dideka nya pula Paidi oleh Pak Sumardi.
“Nak Paidi, jangan berkecil ha karena kon- disi kamu ya!”
“Semua karunia yang di berikan Allah ke- padamu pas penuh hikmah, percayalah dibalik kekuranganmu pas ada kelebihanmu.” Kata Pak Sumardi sambil mengelus pundak Paidi.
Gerombolan anak-anak itu akhirnya men- dekat, berjabat tangan semua dan menyampaikan permintaan maafnya.
Setelah kejadian itu, anak-anak yang semula mengolok-olok Paidi justru menjadi sahabat karib.
Kemana dan dimanapun mereka bermain Paidi selalu ada, saling tolong-menolong dan membantu.
Sore setelah kejadian itu Pak Sumardi datang ke rumah Pak Karto Semi.
”Mari Mas Guru, silahkan masuk.”
“Wah tumben Mas Guru berkenan datang ke rumah kami. Ada kabar apa ya mas?” Sambut Pak Karto ramah sambil bertanya.
“Tidak ada apa-apak Pak Karto, saya hanya ingin silaturahmi dan berkenalan lebih dekat dengan Paidi,” jawab Sumardi.
“Wah Pak Guru ini, apa yang dapat diperbuat oleh anakku itu sehingga Mas Guru ingin berkenalan dengannya,” jawab Pak Karto.
Setelah saling mengabarkan kesehatan serta sedikit berbicara kesana-kemari Sumardi pun mulai bertanya,
”Pak Karto, apa yang kira-kira Pak Karto harap-
kan untuk masa depan Paidi yang kalau dak salah adalah satu-satunya putra bapak itu?.
Pak Karto agak terkejut dengan pertanyaan tentang Paidi itu.
“Apa maksud pertanyaan Mas Guru itu?”, tanyanya kemudian sambil mengerutkan dahi.
Sumardi tersenyum memandangi wajah Pak Karto Semi. Namun sebelum Sumardi menjawab, Mbok Karto Semi keluar sambil membawa dua cangkir kopi dan sepiring ketela rebus hangat.
”Mari Mas Guru, silahkan dinikma . Ini hasil kebun sendiri kok. Maaf hanya ala kadarnya”, kata Mbok Karto Semi mempersilahkan tamunya untuk merahapi suguhannya.
”Terimakasih mbok. Wah jadi merepotkan nih,” sahut Sumardi.
”Begini lho mbok, Mas Guru ini kemari untuk menanyakan apa harapan kita untuk masa depan anak kita Paidi yang keadaannya seper itu”, kata Pak Karto Semi kepada istrinya setelah duduk di sebelahnya bersama-sama menemui Sumadi.
Mendengarkan pertanyaan itu mata Mbok
Karto Semi berkaca-kaca. Kemudian sambil terisak Mbok Karto Semi menjawab bahwa mereka berdua sebagai orang tua sama sekali dak tahu apa yang harus mereka lakukan untuk memenuhi harapan dan masa depan anaknya itu. Bahkan anak itu sendiri dak pernah tahu akan menjadi apa dan bagaimana masa depannya.
Pak Karto Semi pun kemudian menceritakan perasaannya bahwa mereka berdua sudah putus asa dengan kondisi anaknya. Mereka telah kehilangan harapan, tanah pategalan yang hanya beberapa petak serta satu-satunya rumah yang ditempa nya itu nan nya akan kehilangan orang yang dapat melan- jutkan mengurusnya yang juga berar kelanjutan keberadaan keturunan Karto Semi akan selesai setelah keberadaan Paidi. Paidi adalah anak semata wayang Pak Karto Semi.
Sumardi dak mengira bahwa pertanyaannya tadi akan menjadi sebuah persoalan yang mendalam bagi keluarga Karto Semi,
”Maaf Pak, Mbok, bukan maksud saya me- ngungkap kepahitan Bapak dan Simbok, namun saya ingin tahu harapan Bapak dan Simbok yang mungkin dapat kita bicarakan bagaimana cara mencapai harapan itu,” kata Sumardi.
”Saya percaya bahwa Paidi itu pas mem- punyai harapan, mungkin saja karena ia belum tahu, maka ia belum dapat mengemukakannya”, lanjut Sumardi.
“Semoga kedepan Paidi bisa bersekolah di SD Ja harjo Pak, kebetulan tahun ajaran baru SD kita akan menerapkan sekolah inklusif. Sekolah yang menerima siswa berkebutuhan khusus.” Jelas Pak Sumardi
“Saya juga mohon doanya bagi kelancaran semua persiapannya Pak!”
”Baiklah, nan di kesempatan lain kita ber- sama-sama Paidi membicarakan apa yang diharap-
kannya dan hal-hal apa yang dapat dilakukannya untuk mencapai harapan hidupnya itu”, kata Sumardi yang disertai dengan mohon diri untuk pulang.
Pak Karto Semi dan istrinya pun mengantarnya sampai di pinggir jalan.
Sebelum Pulang Sumardi mampir ke Surau untuk melaksanakan ibadah Maghrib. Gambaran yang diperolah dari keluarga Karto Semi melengkapi alasan untuk menulis sebuah buku pegangan yang diper- lukannya.