• Tidak ada hasil yang ditemukan

HAK ATAS PENDIDIKAN

Produk legislasi nasional, seper UU Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia turut me- nekankan pen ngnya pemenuhan hak atas pen- didikan. Hal ini disebutkan pada pasal 12:

“Se ap orang berhak atas perlindungan bagi pengembangan pribadinya, untuk memperoleh pendidikan, mencerdaskan dirinya, dan meningkatkan kualitas hidupnya agar menjadi manusia yang beriman, bertaqwa, bertanggung jawab, berakhlak mulia, bahagia, dan sejahtera sesuai dengan hak asasi manusia”.

Hak atas pendidikan, termasuk berbagai aspek kebebasan pendidikan dan kebebasan akademik, merupakan bagian esensial dalam hukum Hak Asasi Manusia. Walaupun hak atas pendidikan secara umum dianggap sebagai hak kebudayaan, namun ia pun berkaitan dengan hak asasi manusia yang lain.

Dalam hal ini negara dan pemerintah ber- kewajiban dan bertanggung jawab menghorma dan menjamin hak asasi se ap anak tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya dan bahasa, status hukum anak, urutan kelahiran anak, dan kondisi fisik dan/atau mental.

Pendidikan merupakan salah satu hak anak.

Di dalam Undang-undang Nomor 39/1999

tentang Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa hak anak adalah hak asasi manusia yang diakui dan dilindungi oleh hukum. Pendidikan menjadi hak dasar yang melekat. Hak tersebut dak boleh diingkari, diabaikan, dan dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun. Pengikaran atau pengabaian terhadap hak atas pendidikan, berar pengingkaran atau pengabaian terhadap martabat kemanusian.

Hampir 30 persen anak penyandang disa- bilitas dak memiliki akses pendidikan. Di antara mereka yang memiliki akses ke pendidikan, proporsi anak perempuan disabilitas lebih rendah daripada anak laki-laki, yaitu 39 persen dari semua anak-anak disabilitas mengenyam pendidikan di sekolah.

Korelasi nega f antara peserta didik dis- abilitas dan ngkat kehadiran di Indonesia adalah salah satu yang ter nggi di antara negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah, kondisi disa- bilitas mengurangi ngkat kehadiran di sekolah sebesar 61 persen untuk anak laki-laki dan 59 persen untuk anak perempuan.

Rata-rata lama sekolah di kalangan anak-anak disabilitas hanya 4,7 tahun, sedangkan rata-rata nasional 8,8 tahun. Tingkat penyelesaian sekolah dasar adalah 54 persen untuk anak-anak disabilitas, dibandingkan dengan 95 persen untuk anak-anak

disabilitas berkebutuhan khusus. Kesenjangan ini lebih besar di ngkat sekolah menengah, me- nunjukkan anak-anak disabilitas menghadapi banyak hambatan saat ngkat pendidikannya semakin nggi.

Perlu kita pahami bahwa kebodohan adalah sumber penindasan bagi umat manusia, jika sampai dengan saat ini negara dak melaksanakan kewajiban- nya dalam memenuhi hak warga negaranya untuk memperoleh pendidikan dasar, maka negara telah melakukan pelanggaran terhadap hak asasi manusia dan pelanggaran kons tusi.

“Seper nya inilah tugas besarnya Bu Landi,”

Kata Pak Sumardi pada satu kesempatan diskusi ringan di ruang guru.

“Betul sekali Pak,” jawab Bu Landri.

“Pendidikan inklusif berpusat pada anak dan menempatkan tanggung jawab adaptasi pada sistem pendidikan, bukan pada masing-masing anak.

Bersama-sama sektor lain dan masyarakat yang lebih luas, ia bekerja secara ak f untuk memas kan bahwa se ap anak, apapun jenis kelamin, bahasa, kemampu- an, agama, kebangsaan, atau karakteris k lain yang dimilikinya, mendapat dukungan untuk berpar sipasi secara berar dan belajar bersama teman sebayanya, serta berkembang mewujudkan potensi mereka.

(Save the Children, 2014)

Pendidikan Inklusif menuntut usaha untuk mengubah kebijakan, sistem, prak k dan budaya di sekolah sehingga tanggap terhadap keberagaman peserta didik di wilayah mereka, serta mampu bekerja sama dengan komunitas dan masyarakat pada umumnya.

Oleh karena itu intervensi mungkin perlu dilakukan di ngkat yang berbeda secara bersamaan, mulai dari advokasi kebijakan nasional hingga pendidikan guru, dari menunjukkan good prac ces (prak k baik) hingga membangkitkan kesadaran masyarakat tentang hak dan tanggung jawab.” Jelas Sumardi.

Pak Suwita yang sedari tadi mendengarkan turut angkat bicara,

“Kalau kita kembalikan pada tujuan pendidik- an, ini merupakan masalah sentral dalam pendidikan, sebab tanpa perumusan yang jelas tentang tujuan pendidikan, maka kegiatan pendidikan menjadi tanpa arah bahkan dapat salah langkah, oleh karena itu perumusan tujuan pendidikan dengan jelas dan tegas sejak awal menjadi bagian yang sangat pen ng untuk dilakukan.” Kata Pak Suwita

“Dalam UUD 1945 dikatakan, “Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatau Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdas- kan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan keter ban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, per- damaian abadi dan keadilan sosial.”

“Kita garis bawahi kata kemerdekaan dan keadilan sosial. Disinilah letak pen ng pendidikan inklusif.”

“Mari kita buka buku Pendidikan karya Ki Hadjar Dewantara itu,” sambil menunjuk pada salah

satu buku tebal.

“Menurut Ki Hadjar Dewantara pendidikan sebagai tuntunan di dalam hidup tumbuhnya anak- anak, ar nya pendidikan menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang se nggi- ngginya. Pendidikan sebagai tuntunan dak hanya menjadikan seorang anak mendapat kecerdasan yang lebih nggi dan luas, tetapi juga menjauhkan dirinya dari perbuatan jahat.”

“Manusia merdeka merupakan tujuan pen- didikan Ki Hadjar Dewantara, merdeka baik secara fisik, mental, dan kerohanian. Kemerdekaan pribadi dibatasi oleh ter b damai kehidupan bersama, dan ini mendukung sikap-sikap seper keselarasan, keke- luargaan, musyawarah, toleransi, kebersamaan, demokrasi, tanggungjawab, dan disiplin.”

“Manusia merdeka adalah seseorang yang mampu berkembang secara utuh dan selaras dari segala aspek kemanusiaanya yang mampu meng- hargai dan menghorma kemanusiaan se ap orang.”

Jelas Pak Suwita.

“Betul sekali Pak, tujuan mulia pendidikan itu sebetulnya sudah inkusif sejak awal.” Kata Sumardi.

“Seper kita tahu, pendidikan inklusif mem- berikan peran kepada semua peserta didik dalam suatu iklim dan proses pembelajaran bersama tanpa membedakan latar belakang sosial, poli k, ekonomi, etnik, agama/kepercayaan, golongan, jenis kelamin, kondisi fisik maupun mental, sehingga sekolah me- rupakan miniatur masyarakat.” Jawab Sumardi.

Baik Pak Sumardi maupun Bu Landri kini paham, segala daya upaya dalam sistem pendidikan inklusif ini tujuan akhirnya adalah menemukan

kekuatan rakyat. Yang bagi Ki Hadjar Dewantara:

“Kekuatan rakyat itulah jumlah kekuatan ap- ap anggota dari rakyat. Segala daya upaya untuk men- junjung derajat bangsa tak akan berhasil, jika dak dimulai dari bawah. Sebaliknya rakyat yang sudah kuat, akan pandai melakukan segala usaha yang perlu atau berguna untuk kemakmuran negeri. Itulah pesan jelas bagi kita semua.” Kata Pak Sumardi.

hak atas pendidikan secara umum dianggap sebagai hak kebudayaan, namun ia pun berkaitan dengan hak asasi

manusia yang lain.