BAB I PENDAHULUAN
B. Kajian Teori
1) Evaluasi Model CIPP
Evaluasi merupakan suatu upaya untuk mengetahui berapa banyak hal-hal yang telah dimiliki oleh siswa dari hal-hal yang telah diajarkan oleh guru. Evaluasi pembelajaran mencakup evaluasi hasil belajar dan evaluasi proses pembelajaran. Evaluasi hasil belajar menekankan pada diperolehnya informasi tentang seberapakah perolehan siswa dalam mencapai tujuan pengajaran yang ditetapkan. Sedangkan evaluasi pembelajaran merupakan proses sistematis untuk memperoleh informasi tentang keefektifan proses pembelajaran dalam membantu siswa mencapai tujuan pengajaran secara optimal.
a) Evaluasi Konteks (Context Evaluation)
Banyak rumusan evaluasi konteks yang dinyatakan oleh para ahli evaluasi, di antaranya adalah. Ia menjelaskan bahwa evaluasi konteks adalah: Context evaluation is the delineation and specification of project’s environment, its unmet needs, the population and sample of individuals to be served, and the project objectives. Context evaluation provides a rationale for justifying aparticular type of program intervention.68 Inti dari kutipan di atas yaitu evaluasi konteks adalah kegiatan pengumpulan informasi untuk menentukan tujuan, mendefinisikan lingkungan yang relevan.
Sejalan dengan Stufflebeam lebih lanjut menjelaskan bahwa evaluasi konteks: To assess the objec’ts overall status, to identify its deficiencies, to identify the strengths at hand that could be used to remedy the deficiencies, to diagnose problems whose solution would improve the object’s well-being, and in general, to characterize the program’s environment. A context evaluation also is aimed at examining whether existing goals and priorities are attuned to the needs of whoever is supposed to be served.
Inti dari kutipan Stufflebeam & Shinkfield di atas dapat dipahami bahwa evaluasi konteks berusaha mengevaluasi status objek secara keseluruhan, mengidentifikasi kekurangan, kekuatan, mendiagnosa problem, dan memberikan solusinya, menguji apakah
68 Sax, G. Principles of educational and psychological measurement and evaluation, (2nd ed.).
California: Wandsworth Publishing Company 1980) 598
tujuan dan prioritas disesuaikan dengan kebutuhan yang akan dilaksanakan.
b) Evaluasi Masukan (Input Evaluation)
Orientasi utama evaluasi input adalah menentukan cara bagaimana tujuan program dicapai69. Evaluasi masukan dapat membantu mengatur keputusan, menentukan sumber-sumber yang ada, alternatif apa yang diambil, apa rencana dan strategi untuk mencapai tujuan, bagaimana prosedur kerja untuk mencapainya. Komponen evaluasi masukan meliputi: (a) sumber daya manusia (b) sarana dan peralatan pendukung, (c) dana/anggaran, dan (d) berbagai prosedur dan aturan yang diperlukan.
c) Evaluasi Proses (Process Evaluation)
Esensi dari evaluasi proses adalah: mengecek pelaksanaan suatu rencana/program70. Tujuannya adalah untuk memberikan feedback bagi manajer dan staf tentang seberapa aktivitas program yang berjalan sesuai dengan jadwal, dan menggunakan sumber-sumber yang tersedia secara efisien, memberikan bimbingan untuk memodifikasi rencana agar sesuai dengan yang dibutuhkan, mengevaluasi secara berkala seberapa besar yang terlibat dalam aktifitas program dapat menerima dan melaksanakan peran atau tugasnya. Senada dengan Stufflebeam menjelaskan bahwa evaluasi proses menekankan pada tiga tujuan (1) do detect or predict in procedural design or its implementation during
69 Stufflebeam, D.L., & Shinfield, A.J. Systematic evaluation. Boston: Kluwer Nijhof Publishing 1985) 173
70 Ibid (1985) 173
implementation stage, (2) to provide information for programmed decisions, and (3) to maintain a record of the procedure as it occurs.71
Evaluasi proses digunakan untuk mendeteksi atau memprediksi rancangan prosedur atau rancangan implementasi selama tahap implementasi, menyediakan informasi untuk keputusan program, dan sebagai rekaman atau arsip prosedur yang telah terjadi. Evaluasi proses meliputi koleksi data penilaian yang telah ditentukan dan diterapkan dalam praktik pelaksanaan program.
d) Evaluasi Hasil (Product Evaluation)
Tujuan dari Product Evaluation adalah untuk mengukur, menafsirkan, dan menetapkan pencapaian hasil dari suatu program, memastikan seberapa besar program telah memenuhi kebutuhan suatu kelompok program yang dilayani.72, fungsi evaluasi hasil adalah “To make decision regarding continuation, termination, or modification of program”73. Jadi, fungsi evaluasi hasil adalah membantu untuk membuat keputusan yang berkenaan dengan kelanjutan, akhir dan modifikasi program, apa hasil yang telah dicapai, serta apa yang dilakukan setelah program itu berjalan.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat diketahui bahwa evaluasi produk merupakan penilaian yang dilakukan untuk mengukur keberhasilan dalam pencapaian tujuan yang telah ditetapkan. Data yang
71 Stufflebeam, D.L., & Shinfield, A.J. Systematic evaluation. Boston: Kluwer Nijhof Publishing 1985) 137
72 Ibid( 1985) 176
73 Sax, G. Principles of educational and psychological measurement and evaluation, (2nd ed.).
California: Wandsworth Publishing Company 1980) 598
dihasilkan akan sangat menentukan apakah program diteruskan, dimodifikasi atau dihentikan. Model CIPP saat ini disempurnakan dengan satu komponen O, singkatan dari outcome, sehingga menjadi model CIPPO. Bila model CIPP berhenti pada mengukur output, sedangkan CIPPO sampai pada implementasi dari output.Dibandingkan dengan model-model evaluasi yang lain, model CIPP memiliki beberapa kelebihan antara lain: lebih komprehensif, karena objek evaluasi tidak hanya pada hasil semata tetapi juga mencakup konteks, masukan (input), proses, maupun hasil. Selain memiliki kelebihan, model CIPP juga memiliki keterbatasan, antara lain penerapan model ini dalam bidang program pembelajaran di kelas perlu disesuaikan atau modifikasi agar dapat terlaksana dengan baik. Sebab untuk mengukur konteks, masukan maupun hasil dalam arti yang luas banyak melibatkan pihak, membutuhkan dana yang banyak dan waktu yang lama.
f. Pembelajaran Tahfidzul Qur’an 1) Hukum Pendidikan Pesantren
UU Republik Indonesia No.18 Tahun2019 tentang Pesantren
Pondok Pesantren
Pendidikan Pendidikan Pesantren
Dirasah Islamiyah
Muadalah
Diniyah
Kurikulum khas pesantren
Dirosah islamiyah atau muallimin Pola pendidikan muallimin
Jalur pendidikan pesantren formal Pendidikan formal berbasis kitab
kuning berjenjang
Gambar 2.6 Payung Hukum Pendidikan Pesanntren
Berdasarkan fragmentasi skematis di atas, bahwa pesantren ini memiliki payung hukum sangat kuat dalam operasionalnya, sebagaimana skema yang dijelaskan dalam UU Republik Indonesia No. 18 tahun 2019.
Cakupan UU Republik Indonesia No. 18 tahun 2019 hanya pada tataran bentuk pesantren dan pelaksanannya, namun belum memfokuskan pada bentuk kurikulum dalam sebuah pesantren tersebut pesanntren74.
Dua implikasi pergeseran paradigma yang kami cermati tentang pergeseran paradigma pendidikan Islam di Indonesia. Pertama, pergeseran karena adanya tuntutan persepsi baru memahami pendidikan Islam, dan kedua, pergeseran karena terjadinya pemetaan baru institusi pendidikan Islam di Indonesia.
Pergeseran pertama, karena adanya tuntutan persepsi baru dalam memahami pendidikan Islam. Pendidikan Islam adalah pendidikan yang islami.
Karakteristik yang sangat menonjol dari pendidikan Islam adalah prinsip pokoknya: “prinsip tauhid”, yaitu prinsip dimana segalanya berasal dan berakhir. Prinsip ini telah memandu komitmen, teori dan praktik pendidikan Islam secara formal, informal, dan nonformal. Prinsip ini juga yang telah memandu persepsi umat, sehingga pendidikan Islam dipersepsi dengan pemahaman yang lebih mencakup, komprehensif. Artinya, sekarang, pendidikan Islam tidak memadai hanya dipersepsi sebagai materi, tetapi juga sebagai institusi (yang memiliki banyak varian), sebagai kultur dan aktivitas, dan sebagai sistem. Seperti inilah persepsi yang tercermin dalam UU Sisdiknas
74 Diadopsi dari Mohammad Asrori, Pengembangan Kurikulum Bahasa Arab di Pesantren, (Malang: UIN Maliki Press, 2013), 129
2003 dan UU Pesantren serta Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri Agama yang secara operasional mengatur pelaksanaan UU tersebut. Dengan demikian, maka penyebutan “Pendidikan Islam” mencakup: pendidikan Islam dalam pengertian materi; pendidikan Islam dalam pengertian institusi;
pendidikan Islam dalam pengertian kultur dan aktivitas, dan pendidikan Islam dalam pengertian pendidikan yang islami.
Pergeseran kedua, pergeseran karena terjadinya pemetaan baru institusi pendidikan Islam dalam sistem pendidikan nasional. Secara institusional, kajian pendidikan Islam tidak memadai lagi hanya merujuk pada UU Sisdiknas 2003 dengan peraturan pemerintah dan aturan peraturan operasional lainnya.
Mengkaji pendidikan Islam harus juga merujuk pada UU Pesantren dan Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 30 Tahun 2020 tentang Pendirian dan Penyelenggaraan Pesantrren (3 Desember 2020), PMA Nomor 31 Tahun 2020 tentang Pendidikan Pesantren (30 Nopember 2020) dan PMA Nomor 32 Tahun 2020 tentang Ma’had Aly (3 Desember 2020).
Sebagai bahan renungan, jika kita merujuk pada UU Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 dan UU Pesantren Nomor 18 Tahun 2019, dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia sebenarnya sudah berkembang tiga sistem pendidikan, yakni: sistem pendidikan sekolah umum, sistem pendidikan sekolah umum berciri khas agama Islam, dan sistem pendidikan pesantren.
Pemetaan baru berdasarkan dua undang-undang tersebut menjadi menarik dikaji karena akan berimplikasi terhadap persepsi dan inisiasi generasi bangsa tentang pendidikan Islam dalam sistem pendidikan nasional.
Kebijakan baru yang mendasar dan sistemik, pasti bereffect terhadap pergeseran paradigma, khususnya paradigma pendidikan Islam. Para era reformasi, seperti dibahas sebelumnya perubahan paradigma pendidikan Islam terjadi sejak amandemen IV UUD 1945 pasal 31 yang berefek terjadinya perubahan kebijakan secara mendasar dan sistemik. Kenapa demikian, karena UUD 1945 (yang penuh nuansa pendidikan Islam) adalah rujukan tertinggi dalam struktur perundang-undangan di Indonesia, semua aturan dibawahnya (undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan menteri, dan sebagainya) tidak boleh bertentangan. Contoh aktual adalah disahkannya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas 2003, 11 Juni 2003) setelah Amandemen IV UUD 1945 (10 Agustus 2002) selanjutnya diundangkannya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren (UU Pesantren, 16 Oktober 2019).75
Jika dianalisis kebijakan pendidikan islam tersebut melalui berbagai regulasi diatas, terjadi pergeseran karena terjadinya pemetaan baru institusi pendidikan Islam dalam sistem pendidikan nasional. Secara institusional, kajian pendidikan Islam tidak memadai lagi jika hanya merujuk pada UU Sisdiknas 2003 dan peraturan pemerintah dan aturan peraturan operasional lainnya. Mengkaji pendidikan Islam harus juga mendasarkan pada UU Pesantren dan Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 30 Tahun 2020 tentang Pendirian dan Penyelenggaraan Pesantrren (3 Desember 2020), PMA
75Abd. Halim Soebahar, diakses padahttps:// radarjember. jawapos. com/pendidikan/
pascasarjana_iain/ 28/01/2021/pergeseran-paradigma-pendidikan-islam/
Nomor 31 Tahun 2020 tentang Pendidikan Pesantren (30 Nopember 2020) dan PMA Nomor 32 Tahun 2020 tentang Ma’had Aly (3 Desember 2020)
Berkaitan dengan hal tersebut, UU No. 18 tahun 2019 ini peneliti jadikan sebagai dasar hukum untuk mengembangkan konseptualisasi terkait program pembelajaran pesantren yang dikhususkan pada manajemen perencanaan pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran, dan evaluasi pembelajaran.
Walaupun secara de jure pesantren cukup diakui, legitimasi de facto masyarakat luas terhadap eksistensi pesanntren masih perlu diperjuangkan.
Ikatan emosional masyarakat terhadap pesanntren semakin melemah seiring dengan menguatnya pertimbangan rasional masyarakat kita dalam menentukan preferensi pendidikan bagi anaknya. Kini anggapan lama yang selalu mengedepankan kuatnya ikatan emosional masyarakat terhadap pesanntren dapat dikatakan dihadapkan pada tantangan yang makin sulit dalam merebut simpati masyarakat luas, terlebih pada masyarakat perkotaan.76
Secara umum, kompetensi yang harus dicapai peserta didik di pesantren dapat dikelompokkan menjadi tiga dimensi, yaitu: (1) pengembangan kepribadian, (2) pengembangan kecerdasan dan keindahan, (3) pengembangan manusia sebagai individu mandiri. Pengembangan kepribadian antara lain dilakukan dengan memberikan pelajaran agama dan moral. Pendidikan agama dan moral diharapkan dapat memberikan pengaruh terhadap perilaku yang dapat meningkatkan produktivitas. Pengembangan kecerdasan dan rasa
76Rohmat Mulyana, Spektrum Pembangunan Madrasah, 40
keindahan dilakukan dengan mengembangkan potensi kecerdasan seni dengan cara memberikan mata pelajaran untuk mengembangkan logika, kemampuan berkomunikasi, dan rasa keindahan.
Berhasil atau tidaknya pembelajaran Tahfidz al qur’an yang telah direncanakan, kuncinya terletak pada kekompakan dari peran-peran strategis oleh kyai dan para asatid dalam memanajemen program tahfidz Al-qur’an di pesantren sebagai ujung tombak dalam mencapai sasaran. Oleh karena itu, proses perencanaan, terpola, dan terprogram secara baik dan sesuai dengan rambu-rambu yang ada dalam program tahfidz. Oleh sebab itu, setiap ustadz harus mempunyai kompetensi yang mumpuni sesuai bidangnya masing- masing.