Puasa Ritual vs Puasa Fungsional
www
Tahapan keberagamaan yang holistic tersebut dalam realitasnya seakan hampir-hampir tidak terjamah secara holistic pula. Kebanyakan umat Islam lebih asyik dengan ritual-ritual keagamaan yang bersifat rutin, seperti salat, puasa dan haji, tanpa berusaha untuk menghadirkan nilai-nilai sosial-kemanusiaan yang terdapat dalam ibadah-ibadah ritual tersebut. Dengan kata lain, kalau merujuk pada empat tahapan di atas, pola keberagamaan kita masih belum beranjak dari dimensi spiritual dan ritual menuju ke arah dimensi sosial dan kemanusiaan.
Padahal dua dimensi yang disebut terakhir merupakan ending bagi keberagamaan seseorang.
Puasa yang tengah kita jalani misalnya bisa menjadi gambaran nyata bagaimana pola keberagamaan mayoritas umat Islam. Puasa masih dominan dipahami secara ritual belaka yang ditandai dengan berbondong-bondongnya umat mendatangi masjid-masjid, musholla-musholla untuk melaksanakan ritual Salat Tarawih.
Masjid dan musholla juga ramai dan penuh dengan syi’ar taddarus al-Qur’an. Salat Subuh berjamaah di masjid atau musholla yang di bulan-bulan selain bulan puasa paling tidak diminati terlihat begitu ramai—meskipun biasanya berlangsung hanya di awal-awal puasa.
Karena pola keberagamaan yang ritualistik tersebut, maka selepas bulan puasa nyaris nilai-nilai ritualistik dari ibadah puasa tidak atau belum mampu mewarnai dalam kehidupan nyata di masyarakat. Dan akibat dari pola keberagamaan yang ritualistik itu pula, maka pesan-pesan dan tujuan puasa sebagaimana difirmankan Allah Swt. dalam QS. Al-Baqarah: 183 pun dimaknai secara ritual pula. Takwa sebagai tujuan akhir orang yang berpuasa dimaknai secara ritual. Padahal kalau kita mengkaji secara kritis QS. Al- Baqarah: 183, setidaknya dengan menggunakan pendekatan Tafsir al-Mishbah karya Prof. Dr. Quraish Shihab, maka begitu jelas bahwa yang dimaksud takwa dalam konteks puasa lebih berdimensi sosial dan kemanusiaan. Dalam QS. al-Baqarah: 183 misalnya dijelaskan tentang wajibnya puasa, tapi soal siapa yang mewajibkan, al-Qur’an tidak menyebutkannya secara eksplisit. Ini bisa disebut sebagai
bentuk penegasan akan pentingnya puasa. Sehingga andaikan raja atau presiden sekalipun yang memerintahkan puasa, maka warga atau umat pun wajib patuh untuk melaksanakannya.
Begitu pula penjelasan bahwa puasa merupakan ritual yang telah diwajibkan kepada umat sebelum umat Muhammad, semakin memperkuat akan pentingnya puasa. Letak pentingnya tentu bukan Sekadar pada makna ritual belaka, tapi lebih dari itu, penekanannya pada pemaknaan yang lebih berdimensi sosial dan kemanusiaan.
www
Karena mainstream puasa umat Islam masih sebatas ritual belaka, maka implikasinya pun nyaris tidak berdampak pada kehidupan nyata. Cermin tidak berdampaknya ibadah puasa dan tentu ibadah- ibadah mahdhah lainnya tergambar secara kasat mata dalam kehidupan nyata di masyarakat. Korupsi, kolusi dan kejahatan ekonomi lainnya masih merajalela dengan modus operasi yang semakin canggih, illegal logging, perusakan lingkungan dan kejahatan sosial dan kemanusiaan lainnya semakin tak terkendali. Begitu juga angka kemiskinan absolut yang terus meningkat, pengangguran yang terus bertambah dan daya beli masyarakat yang begitu rendah.
Kenapa ritualitas keberagamaan mesti menjadi kambing hitam atas semua kasus yang disebut di atas? Jawabnya tentu karena mayoritas bangsa kita beragama Islam. Begitu juga kalau ditilik dari ukuran-ukuran yang bersifat ritual-religius, umat kita sangat religius. Pejabat-pejabat kita dari mulai tingkat pusat sampai daerah mayoritas bergelar haji, bahkan ada yang berulang kali menunaikan ibadah haji. Kalau datang peringatan hari besar Islam kenegaraan para pejabat kita juga duduknya di barisan paling depan. Bagitu juga dalam hal ibadah yang bersifat privat lainnya seperti salat misalnya pejabat dan umat Islam secara ritual terbilang cukup rajin dan bahkan mereka melaksanakannya begitu demonstratif, tidak sebagaimana pada masa era-era 1970-1980-an.
Pada era 1970-1980-an para pejabat tidak mempunyai keberanian menampakkan keislamannya. Sekarang sebaliknya ramai-ramai
Puasa Ritual vs Puasa Fungsional
berusaha mendemontrasikan keislamannya. Tidak Sekadar pada hal-hal yang bersifat ritual, para pejabat kita pun tidak segan- segan dan bahkan tidak lagi merasa canggung untuk mengenakan simbol-simbol Islam dalam kegiatan-kegiatan politiknya. Perubahan ini tampaknya dominan disebabkan oleh perubahan politik yang terjadi di Indonesia selepas lengsernya kekuasaan Orde Baru. Iklim demokrasi langsung yang ditandai dengan pemilihan “serba langsung”
semakin mempercepat aktualisasi penggunaan simbol-simbol Islam.
Sebab kalau para pejabat terlebih mereka yang masih berharap menjabat lagi tentu tidak mau ditinggal pemilih atau pendukungnya yang sudah tentu mayoritas Islam. Untuk kepentingan politik itulah, maka mereka tidak Sekadar taat ibadah secara ritualistik, tapi juga pandai menggunakan simbol-simbol Islam. Perkara bahwa di saat bersamaan mereka juga melakukan korupsi, kolusi dan praktik culas lainnya seakan tidak jadi soal dan juga tidak dipersoalkan oleh umat.
Naif bukan?
Namun selama pola keberagamaan masih didominasi hal yang bersifat ritualistik, maka selama itu pula pola keberagamaan tersebut tidak akan berdampak pada dimensi sosial dan kemanusiaan.
Karenanya menjadi keharusan bagi kita umat Islam untuk mengubah atau lebih tepatnya mendekonstruksi pola keberagamaan yang bersifat ritualistik menuju ke arah yang lebih fungsional dan berdimensi sosial dan kemanusiaan. Sebab hanya dengan beragama secara fungsional, kehadiran Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin akan lebih dirasakan, utamanya bagi mereka (apa pun agamanya) yang selama ini secara fungsional belum atau bahkan tidak merasakan
“keberfungsian” agama (Islam) itu sendiri.
Kaum miskin (dzu’afa), kaum yang dimiskinkan (mustadz’afin) dan kelompok marjinal lainnya adalah mereka yang selama ini tidak merasakan “keberfungsian” agama. Mereka inilah korban dari keterpasungan agama yang oleh umatnya bahkan telah diibaratkan dan diposisikan seperti candu yang meninabobokan melalui ritualitas keagamaan yang mereka lakukan. Mereka inilah yang misalnya dalam konteks puasa sebenarnya secara fungsional “tidak diwajibkan” atau bahkan “diharamkan” untuk berpuasa.
Dengan paparan di atas sebenarnya menjadi sangat jelas bahwa parameter sukses tidaknya keberagamaan seseorang adalah manakala mereka yang masuk kategori dzu’afa, mustadz’afin dan kaum marjinal lainnya secara fungsional sudah “diwajibkan” untuk berpuasa.
Sebab selama mereka secara fungsional masih “diharamkan” untuk berpuasa, maka itu menjadi cermin kegagalan keberagamaan kita.
Wallahu’alam.