• Tidak ada hasil yang ditemukan

MEMPERKUAT POSISI ISLAM MODERAT

Dalam dokumen PDF repository.umj.ac.id (Halaman 52-57)

MEMPERKUAT POSISI ISLAM

akan mencoba menyeret Muhammadiyah atau pun NU dalam setiap

“agenda” keberagamaan mereka.

Perkuat Islam Moderat

Menarik hasil Konferensi Internasional Cendekiawan Islam (International Conference of Islamic Scholars-ICIS) II beberapa waktu lalu yang memutuskan untuk bekerja sama secara intensif dengan Organisasi Konferensi Islam (OKI) guna memperkuat gerakan Islam moderat di dunia, dengan berusaha mengembalikan posisi Islam pada yang sifat alamiahnya, sebagai agama yang memberi kebaikan bagi semesta alam (rahmatan lil alamin). Bahkan juga akan melakukan jalinan relasi dengan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) sehingga diharapkan bisa memperluas jangkauan gerakan moderasi Islam.

Bila merujuk pada tiga tipologi relasi Islam dan negara, yaitu tipologi yang berpandangan bahwa Islam merupakan agama yang bersifat holistic (serba mencakup); tipologi yang berpandangan bahwa Islam adalah agama sebagaimana di Barat yang bersifat sekularistik, di mana antara kehidupan keagamaan terpisah dengan kehidupan politik; dan tipologi yang berpandangan bahwa dalam Islam tidak ada sistem kenegaraan yang ada hanyalah nilai-nilai yang bersifat etis,24 maka kecenderungan Islam moderat adalah pada tipologi yang ketiga, di mana Islam dengan nilai-nilai yang dimilikinya berfungsi sebagai kontrol dan pendorong bagi terjadinya perubahan sosial, dan bukan formalisasi yang bersifat kaku.

Dengan posisinya yang bersifat “tengah” ini, maka Islam moderat merupakan satu-satunya kekuatan yang diyakini akan mampu meredam terjadinya ekstremitas keberagamaan yang terjadi saat ini dan di masa mendatang. Karenanya, keputusan untuk memperkuat posisi gerakan Islam moderat merupakan keputusan tepat dan menjadi suatu keharusan di tengah menguatnya bipolar-

24 Tentang tipologi ini, lihat misalnya dalam Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara:

Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1993, hal. 1-3.

Memperkuat Posisi Islam Moderat

ekstrem kehidupan keberagamaan di pelbagai belahan dunia, terlebih Indonesia.

Di Indonesia misalnya, kecenderungan bipolar-ekstrem terlihat dalam menyikapi pelbagai kebijakan pemerintah atau masalah- masalah kemasyarakatan yang mengandung unsur agama yang selalu memunculkan ekstremitas sikap dan saling vis a vis antara yang pro dan kontra. Posisi saling berhadapan ini misalnya tercermin dalam menyikapi munculnya “paket fatwa” Majelis Ulama Indonesia (MUI), di mana di internal umat Islam terjadi polarisasi secara ekstrem. Begitu juga ketika menyikapi seputar Jamaah Ahmadiyah. Ketika muncul polemik seputar RUU Anti-Pornografi dan Pornoaksi (APP) terjadi pula polarisasi ekstrem yang menguras begitu banyak energi.

Tentu saja sikap keberagamaan yang bipolar-ekstrem ini bagi muslim Indonesia merupakan paradoks. Sebab realitas historis, Islam moderat merupakan pandangan keagamaan dominan di bumi nusantara. Kenyataan ini misalnya tergambar dari semangat para pendakwah Islam di bumi nusantara kala itu, yang lebih mengedepankan cara-cara kultural ketimbang cara-cara politis dalam mengembangkan misi dakwah Islamnya. Kalaupun kemudian berubah menjadi Kerajaan Islam semangatnya bukan pemaksaan atau penaklukan, akan tetapi lebih karena impact dari gerakan kultural yang berujung pada relasi simbiosis-mutualisme Islam dan politik.

Realitas historis yang seperti ini berlanjut hingga kemerdekaan Indonesia. Kelapangdadaan dan keterbukaan untuk menerima Pancasila sebagai dasar bernegara dan berbangsa selain merupakan pencerminan politik yang paling moderat dari umat Islam Indonesia juga ada benang merah dengan sejarah awal masuknya Islam di Indonesia.

Dengan realitas historis tersebut, maka kehidupan keberagamaan yang bipolar-ektrem yang mencoba ditawarkan oleh kelompok

“Islam minoritas” di Indonesia menjadi ahistoris dan apabila dibiarkan pengembangbiakannya justru akan mencederai bangunan Islam Indonesia yang lekat dan identik dengan Islam moderat.

Perlunya Kampanye dan Dialog

Begitu penting dan strategisnya posisi Islam moderat sebagai penjaga harmoni kehidupan keberagamaan di Indonesia, maka menjadi tugas kita semua yang pro pada bangunan Islam moderat untuk memperkuat dominasinya. Sebab ada banyak tantangan dan ancaman yang akan menghadang bagi tetap kokoh dan dominannya Islam moderat. Selain, ekstremisme kehidupan keberagamaan yang marak saat ini, situasi global yang kian tidak menentu serta menampakkan hegemoni yang memungkinkan munculnya resistensi kultural yang bersifat radikal dan anarkis, serta tentu kebijakan politik nasional yang tidak memihak kaum lemah juga merupakan tantangan bagi tetap kokohnya Islam moderat di Indonesia.

Adapun cara yang mesti ditempuh untuk memperkuat posisi Islam moderat, pertama, kampanye Islam moderat yang intinya mengajak dan mempertegas posisi “Islam tengah”. Tentu saja dengan pembenaran-pembenaran teologi bahwa umat Islam sejatinya dihadirkan ke dunia sebagai umat yang tengah (ummatan wasathan), umat yang tidak berdiri pada posisi ekstrem, tapi menjadi umat penengah dan pengayom, sehingga kehadirannya lebih sebagai pemersatu ketimbang pemecah-belah.

Kerja-kerja inilah yang kurang mendapat porsi lebih dari kelompok “Islam mayoritas” yang moderat. Bandingkan dengan mereka yang berdiri pada posisi ekstrem, baik yang radikalis maupun liberalis. Mereka bisa dan bahkan berusaha untuk menggunakan space atau media apa pun untuk membangun opini agar eksistensi mereka diakui oleh publik. Bahkan untuk mendapat pengakuan publik, terkadang mereka melakukan tindakan-tindakan yang bersifat propaganda. Dan untuk hal ini, dalam banyak hal kedua kelompok ekstrem ini terbilang cukup berhasil.

Tentu saja bangunan opini yang mereka lakukan sah-sah saja.

Hanya saja, kecenderungan mereka untuk saling “berhadap-hadapan”

inilah yang sangat disayangkan. Di sinilah peran dan keberadaan Islam moderat sebagai “Islam penengah” menjadi dibutuhkan.

Sebagai kesinambungan poin yang pertama ini, maka poin kedua, yang mesti dilakukan adalah mendesak perlunya dilakukan dialog

Memperkuat Posisi Islam Moderat

yang tak kenal lelah dan bersifat menyeluruh dengan melibatkan semua kelompok Islam. Namun dialog yang dilakukan harus penuh komitmen (committed dialogue), bukan dialog yang penuh kepura- puraan dan bersifat penghujatan atau penghakiman atas kelompok yang lain. Dialog juga harus dilakukan dalam posisi yang sepadan.

Tak ada pihak yang dianggap superior maupun inferior. Baik kelompok radikalis maupun liberalis tidak boleh merasa dirinya paling kuat dan benar.

Dialog ini mungkin akan dinilai sebagai mubadzir dan dagelan belaka, lantaran keberadaan mereka yang terlanjur vis a vis secara ekstrem. Namun yakinlah, bila dialog tersebut dilakukan dalam kerangka di atas diyakini akan terjadi titik temu atau setidaknya ada kesepahaman di antara mereka mengenai apa yang selama ini menjadi titik-titik perbedaan. Sehingga ke depan perbedaan-perbedaan yang terjadi akan benar-benar menjadi rahmah, dan bukan caci maki, sumpah serapah dan atau saling mengafirkan, sebagaimana yang terjadi selama ini.

Keyakinan akan terjadinya titik temu atau kesepahaman juga lantaran di antara dua kelompok ekstrem ini masih ada kesamaan- kesamaan yang memungkinkan terjadinya titik temu atau kesepahaman. Keduanya misalnya, meskipun saling mengambil posisi ekstrem, tapi pedoman hidupnya sama: al-Qur’an dan Hadis.

Mereka sama-sama beragama Islam. Nabi mereka juga masih sama:

Muhammad Saw. Begitu pun mereka masih meyakini misi Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin. Yang menjadikan berbeda hanyalah pada persoalan tafsir atas Islam (al-Qur’an dan Hadis), dan metode atau manhaj yang mereka gunakan.

Selama ini yang terjadi dan muncul ke permukaan adalah penghujatan atau penghakiman satu kelompok atas kelompok lainnya. Sementara upaya untuk membangun berdialog nyaris tidak pernah mencoba mereka lakukan. Padahal hanya dengan jalan dialog—tentu dalam bingkai seperti di atas—inilah diyakini segala bentuk perbedaan akan bisa dicarikan titik temu atau setidaknya kesepahaman di antara mereka. Semoga.

Dalam dokumen PDF repository.umj.ac.id (Halaman 52-57)