• Tidak ada hasil yang ditemukan

YANG AMBIGU

Dalam dokumen PDF repository.umj.ac.id (Halaman 95-104)

D

alam perspektif klasik, politik dimengerti begitu luhur sebagai values, “apa yang seharusnya” (das sollen), yang bertujuan mewujudkan kebaikan bersama (public good, maslahat-i al-ammah).

Namun dalam praksisnya (das sein) yang kerap muncul dan menjadi mainstream justru pemaknaan politik “tanpa nilai” (non values), yang berbicara soal “apa yang senyatanya”, politik yang semata dimaknai secara pragmatis, politik yang an sich berorientasi kekuasaan, dan politik yang hanya dipahami sebagai “soal siapa mendapatkan apa, kapan, dan bagaimana”.

Mainstream politik non values ini tumbuh begitu subur, tidak saja di lingkup elit politik, tapi juga di masyarakat. Tidak saja menjelang perhelatan politik seperti pemilu atau pilkada, dalam keseharian pun begitu mudah mendapati praktik-praktik politik non values.

Dominasi politik non values ini membawa dampak ikutan yang begitu buruk. Realitas politik menjadi begitu pragmatis lantaran moralitas politik yang “mendua” (ambigu). Satu sisi elit berteriak soal moralitas, katakanlah dalam hal pemberantasan korupsi, namun di sisi lain, elit juga masuk dalam kubangan praktik korupsi tersebut.

Sistem politik yang bobrok dan korup pun dibiarkan—untuk tidak mengatakan sengaja diciptakan. Tidak ada niat serius untuk memperbaiki sistem politik tersebut.

Begitu pun masyarakat. Satu sisi begitu kencang berteriak soal pemberantasan korupsi, mengkritisi pejabat yang korup baik di lingkup eksekutif, legislatif, yudikatif maupun birokrasi, namun di saat bersamaan juga begitu menikmati perilaku korup para pejabat melalui proposal yang diajukan, permohonan bantuan, menerima

Moralitas Politik yang Ambigu

money politics dari kandidat atau kontestan pemilu—yang dalam prakteknya juga begitu memprihatinkan—atau pun hal lain yang potensial menyuburkan perilaku korup para pejabat. Dan perilaku atau moralitas politik yang ambigu ini akan semakin terasa ketika menjelang berlangsungnya perhelatan politik seperti pemilu, pilkada, pilgub maupun pilpres.

Tumbuh Subur

Moralitas politik yang ambigu ini begitu menjamur dan merambah semua sendi kehidupan. Di lingkup elit, pelakunya bukan saja mereka yang memang mempunyai karakter moral politik yang buruk, tapi juga mereka yang dikategorikan sebagai “orang baik”

yang mencoba melakukan perbaikan atas bangsa ini. Begitu juga di lingkup masyarakat, bukan hanya mereka yang memang bermental korup, tapi juga yang selama ini di(ber)labelkan sebagai “orang baik”.

Saat ini, elit yang secara moral politik buruk dan keterlibatannya dalam dunia politik pun diyakini hanya akan membawa kerusakan (mafsadat), cenderung mengambil jalan pintas dan instan. Dalam kapasitas sebagai calon legislatif atau kandidat di jabatan eksekutif misalnya mereka tidak mau menyambangi konstituennya. Mereka lebih memilih jalan pintas untuk menggapai kekuasaan lewat relasi kuasa dengan misalnya KPU, PPK, atau siapa pun yang dinilai bisa

“menggelembungkan” atau “mengamankan” suara. Tentu politik jalan pintas ini tidak murah, pasti membutuhkan biaya politik yang cukup mahal. Lalu apa yang bisa diharapkan dari politisi yang seperti ini? Sementara elit yang dikategorikan “baik”, yang selama ini telah mencoba menjalankan politik secara santun pun pada akhirnya tergoda untuk berbuat politik yang amoral.

Perseteruan Kubu Merah Putih (KMP) dan Kubu Indonesia Hebat (KIH) di parlemen sejak pembahasan RUU Pilkada, Pem- bahasan RUU MD3 sampai dengan pembentukan alat kelengkapan DPR, juga menggambarkan adanya moralitas politik yang ambigu.

Satu sisi mereka adalah wakil rakyat yang semestinya bertugas memperjuangkan kepentingan rakyat yang diwakilinya, namun

faktanya justru mereka saling “bertarung” untuk kepentingan yang jauh dari kehendak rakyat. Bahkan DPR kini benar-benar mengalami keterberlahan dengan munculnya “DPR tandingan”. Ini benar-benar praktik politik amoral yang dipertontonkan secara telanjang ke hadapan publik.

Di lingkup masyarakat, saat ini moral politik yang ambigu juga seperti sudah menjadi kelaziman. Satu sisi masyarakat begitu lantang mengkritisi perilaku korup para pejabat, tapi di sisi lain juga menikmati hasil korupsi pejabat, yang telah mengakibatkan atau mengharuskan elit berbuat korup. Masyarakat seperti sudah tidak merasa bersalah (berdosa) lagi untuk misalnya menerima atau meminta politik uang kepada kandidat atau kontestan politik yang akan dipilihnya. Pada beberapa hal mungkin masih bisa dipahami, karena mereka meminta imbalan atas suara yang diberikannya.

Ada semacam simbiosis mutualisme. Tapi saat ini, berkembang juga bentuk moralitas politik ambigu lainnya, yaitu “ambil uangnya jangan pilih orangnya.” Sepintas sikap ini baik karena bermaksud memberikan hukuman kepada elit politik pelaku money politics.

Namun dalam praktiknya, di saat yang bersamaan, masyarakat juga menerima pemberian money politics dari kandidat lain. Sikap politik seperti ini justru akan semakin melanggengkan politik yang amoral dan ambigu.

Mengapa Tumbuh Subur?

Mengapa moralitas politik yang ambigu begitu tumbuh subur?

Setidaknya ada tiga hal yang cukup mempengaruhi. Pertama, bobrok dan korupnya sistem politik yang ada saat ini, yang tergambar dari produk perundang-undangan dalam bidang politik. Ada banyak produk perundang-undangan, baik yang secara implisit maupun eksplisit mendukung tumbuh suburnya moralitas politik yang ambigu. Misalnya pemilihan serba langsung dari mulai pemilihan presiden sampai dengan ketua RT. Praktis yang tidak pemilihan langsung hanya walikota di DKI Jakarta, camat dan lurah seluruh Indonesia. Pemilihan serba langsung ini secara moralitas telah

Moralitas Politik yang Ambigu

mengubah mentalitas masyarakat menjadi sangat pragmatis.

Belum lagi persoalan suara terbanyak dalam pemilu legislatif juga telah secara masif ikut berperan atas rusaknya moralitas politik bangsa. Bayangkan, pemilu dengan suara terbanyak, maka siapa pun kandidatnya asal mempunyai cukup modal (capital) materi, maka diyakini akan dengan mudah menggapai kekuasaan politik.

Bandingkan dengan misalnya aktivis partai yang day to day mengurus partai dan meskipun ditempatkan di nomor 1, namun karena yang bersangkutan tidak mempunyai cukup modal materi, praktis nomor urut 1 yang dimilikinya tak akan terlalu berarti.

Kedua, politik hanya semata dimaknai sebagai perebutan kekuasaan. Kekuasaan politik dianggap segala-galanya. Karena segala-galanya, maka siapa pun dan dengan cara apa pun berusaha meraih kekuasaan tersebut. Dengan pemaknaan politik yang seperti ini, maka mereka tidak peduli lagi akan pentingnya moralitas dalam berpolitik.

Ketiga, minimnya keteladanan, yang tidak saja hinggap di kalangan para politisi, tapi juga kalangan agamawan. Saat ini rasanya sulit menemukan keteladanan di kalangan para politisi, seperti yang telah ditunjukkan oleh tokoh-tokoh seperti Muhammad Natsir (Masyumi), Soekarno, (PNI), Moh. Hatta, KH. Wahid Hasyim (NU), Kasman Singodimejo (Masyumi), Kasimo (Katholik), AA.

Maramis (PNI) yang telah memberikan banyak keteladanan politik.

Sulit juga sekarang menemukan tokoh-tokoh agama yang meskipun mempunyai pendirian keagamaan yang berbeda namun masih bisa saling “bertemu”. Kita merindu agamawan-agamawan seperti KH.

Ahmad Dahlan (Muhammadiyah), KH. Hasyim Asy’ari (NU), KH.

Ahmad Hassan (Persis), Ki Bagus Hadikusumo (Muhammadiyah), Soegijapranata (Katholik), KH. AR. Fachruddin (Muhammadiyah), KH. Ahmad Azhar Bashir (Muhammadiyah), KH. Achmad Siddiq (NU), KH. M. Ilyas Ruchiyat (NU), yang telah memberikan banyak keteladanan dalam beragama, keteladanan dalam hal moralitas maupun keteladanan dalam menjalin relasi dengan kekuasaan.

S

etiap jelang perhelatan politik seperti pemilihan presiden (pilpres), selalu saja mencuat isu-isu sektarian yang bersifat teologis terkait dengan sisi keagamaan para kandidat. Di era sosial media saat ini, isu-isu ini bergerak begitu masif dan atraktif dalam beragam model dan modusnya. Isu-isunya tidak saja dikemas dalam bentuk rangkaian tulisan dan link berita, tapi juga gambar-gambar yang sarat dengan isu-isu sektarian.

Mencuatnya isu-isu keagamaan ini harus diletakkan secara proporsional dalam konteks Indonesia yang masyarakatnya mayoritas muslim. Tentu sesuatu yang wajar ketika masyarakat muslim mendamba calon presiden (capres) dari seorang muslim dengan kualitas kesalehan individu yang mumpuni. Idealnya, kesalehan individu ini diikuti pula dengan kesalehan sosialnya. Karena pada konteks ini sesungguhnya pesan utama Islam: keseimbangan relasi vertikal dan horisontal (hablun minallah wa hablun minannas).

Jokowi dan Isu Keagamaan

Di antara dua kandidat capres, Joko Widodo (Jokowi) termasuk capres yang kerap dan masif mendapat serangan terkait isu-isu keagamaan. Dari mulai hal bersifat mempribadi (private) sampai hal yang bersifat publik. Status keislaman Jokowi sampai silsilah (genealogi) keluarganya dipertanyakan. Secara ritualistik, Jokowi dinilai tidak cukup Islam. Keislamannya Sekadar formalistik sebagai- mana kebanyakan kaum Abangan (meminjam istilah Clifford Geertz dalam The Religion of Java).

Jokowi dan Islam Indonesia

Isu-isu keagamaan yang bersifat publik juga dipertanyakan.

Satu isu yang cukup mengemuka adalah terkait dengan “kebiasaan”

Jokowi mengambil pasangannya dalam kontestansi politik yang selalu berasal dari non-Islam.

Ketika menjadi Walikota Surakarta, Jokowi memilih Hadi Rudyatmo yang Katholik sebagai pasangannya. Begitu juga saat mencalonkan sebagai Gubernur Jakarta, Jokowi lebih memilih berpasangan dengan Basuki Tjahaja Purnama yang Kristen. Jokowi dinilai sengaja mengambil wakil-wakilnya yang beragama non- Islam, sehingga ketika Jokowi melepas jabatannya, secara konstitusi jabatan tersebut akan jatuh ke tangan non-Islam. Ketika terpilih menjadi Gubernur DKI Jakarta, Jokowi menyerahkan jabatannya sebagai Walikota Surakarta kepada wakilnya yang non-Islam. Begitu juga ketika nantinya terpilih sebagai Presiden, Jokowi pun secara konstitusional harus menyerahkan jabatannya di “negeri Fatahillah”

ini kepada wakilnya yang beragama non-Islam.

Demikianlah argumen-argumen yang dibangun oleh mereka yang kerap mengkritisi dan mengangkat isu-isu keagamaan Jokowi.

Secara konstitusional, diangkatnya isu-isu tersebut tentu tidak berdasar. Namun bila menilik akar sejarah keagamaan di Indonesia, diangkatnya isu-isu tersebut tentu hal yang masih dalam batas kepatutan. Patut, karena Jokowi akan menjadi pejabat publik, di mana publik yang akan dipimpinnya mayoritas beragama Islam.

Andai Jokowi tidak akan masuk ranah pejabat publik, maka hampir pasti isu-isu sektarian seperti itu tidak akan diangkatnya.

Karenanya, diangkatnya isu-isu keagamaan seperti ini harus disikapi secara wajar. Negara yang begitu heterogen seperti Amerika Serikat (AS) pun masih menyoal identitas keagamaan John F. Kennedy yang kebetulan beragama Katholik, dan juga Barack Obama yang genealoginya berasal dari keluarga muslim. Dalam tradisi pilpres di AS, kebanyakan presiden terpilih berasal dari Kristen, sehingga wajar ketika orang seperti John F. Kennedy dan Barack Obama mencalonkan diri sebagai presiden, publik AS pun mempertanyakan.

Faktor PDI-P, bukan Jokowi

Kenapa Jokowi yang paling kerap mendapat serangan terkait isu-isu keagamaan ketimbang Prabowo Subianto? Jawabnya, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) menjadi faktor paling dominan, ketimbang faktor Jokowi itu sendiri.

Kalau mau fair, bicara soal sisi keagamaan Jokowi dan Prabowo, sebenarnya kualitas keduanya tak jauh berbeda. Bila menggunakan pendekatan Clifford Geertz, maka baik Jokowi maupun Prabowo sebenarnya masuk dalam kategori muslim Abangan. Nama diri keduanya juga memperkuat lebel sebagai muslim Abangan. Belum lagi ketika mengucapkan ungkapan-ungkapan yang lazim di kalangan umat Islam, seperti Allah subhanahu wata’ala, Rasulullah Shallallahu

‘alaihi wa sallam, Assalamu’alaikum, baik Jokowi maupun Prabowo juga tidak atau kurang menunjukkan kefasihannya. Artinya kualitas keagamaan Jokowi dan Prabowo itu selevel. Bahwa dalam praktiknya isu-isu keagamaan paling keras menerpa Jokowi, penyebabnya semata karena faktor PDIP.

Selama ini image PDIP, termasuk ketika masih bernama Partai Demokrasi Indonesia (PDI), di mata muslim Santri dipandang sebagai partai yang tidak “islami”, bahkan “anti Islam”. Partai yang dihuni oleh kumpulan muslim Abangan, non-Islam, Kejawen, dan kelompok lainnya yang jauh dari kesan “Islam” serta selalu menolak kepentingan-kepentingan umat Islam—atau bahkan yang bernuansa Islam sekalipun—di DPR.

Cara pandang yang seperti ini sebenarnya disadari betul oleh petinggi PDI/PDIP, tapi sifatnya Sekadar “pemanis bibir”. Semasa masih bernama PDI, Ketua Umum Suryadi sempat mendirikan Majelis Muslimin Indonesia (MMI) yang dimaksudkan untuk menampung kalangan muslim Santri. Begitu juga PDIP sampai membuat Baitul Muslimin Indonesia (BMI) dengan maksud sama.

Meski begitu upaya yang telah dilakukan oleh PDIP ini tidak atau belum mampu menghilangkan image PDI/PDIP.

Kesan sebagai partai kaum Abangan, menyebabkan minimnya muslim Santri di dalam tubuh PDI/PDIP. Sejak berdirinya 10 Januari 1973 sampai dengan Pemilu 1982, rasanya sulit sekali untuk

Jokowi dan Islam Indonesia

menemukan muslim Santri di tubuh PDI atau yang mau menjadi caleg dari PDI. Baru selepas asas tunggal, tepatnya ketika Pemilu 1987, mulai bermunculan muslim Santri yang masuk sebagai pengurus ataupun caleg PDI.

Kesan muslim Santri terhadap PDIP yang demikian tidak sepenuhnya salah, terlebih bila dikaitkan dengan sikap politik PDI/PDIP di DPR yang hampir selalu vis a vis kepentingan umat Islam. Sekadar contoh, semua RUU yang diajukan ke DPR dan berbau Islam, pasti ditolak PDIP. UU Sisdiknas PDIP walk out, UU Bank Syariah, UU Ekonomi Syariah, UU Pornografi juga mereka tidak setuju. Terhadap RUU Jaminan Produk Halal PDIP juga tidak setuju.

Sikap-sikap PDIP seperti ini menjadikan muslim Santri sulit menerima segala atribut yang berbau PDIP, termasuk terkait pencapresan Jokowi. “Penolakan” sebagian muslim Santri terhadap Jokowi bukan semata karena Jokowi, tapi justru dominan karena faktor PDIP. Andai kemunculan Jokowi sejak awal tidak didukung oleh PDIP, tapi didukung oleh partai-partai Islam atau sekuler, seperti Golkar atau Gerindra, yang sekarang mendukung Prabowo, pasti resistensinya akan kecil. Sebaliknya, andai saja Prabowo yang saat ini begitu dielu-elukan oleh kalangan muslim Santri diusung oleh PDIP, dipastikan akan mendapat perlakuan yang sama sebagaimana yang diterima Jokowi saat ini. Prabowo pasti akan menjadi pribadi yang resisten di mata muslim Santri.

“Muhasabah Politik” PDIP

Kalau PDIP mau melakukan koreksi diri, “Kasus Jokowi” ini bisa dijadikan sebagai media untuk melakukan koreksi politik (muhasabah politik), terlebih dalam relasinya dengan muslim Santri. PDIP harus mampu memahami realitas politik dan realitas kesejarahan Indonesia secara utuh. Kalau selama ini PDIP kerap

“jualan” Soekarno, juallah Soekarno secara kaffah, termasuk jualan bagaimana Soekarno memperlakukan muslim Santri. Wajah politik PDIP selama ini, utamanya dalam relasinya dengan Islam

menampakkan wajah yang “tidak paham” tentang Islam di Indonesia.

Indonesia itu bukan Eropa yang sekuleristik, tapi juga bukan negara teokratik, seperti Iran atau Arab Saudi. Indonesia adalah negara di mana agama menempati posisi yang sangat penting. Nah, dalam konteks ini, PDIP telah gagap memahami Indonesia. Karena gagap, maka PDIP kerap melakukan “perlawanan politik” secara berlebihan terhadap kepentingan politik Islam di DPR, sesuatu yang sebetulnya tak perlu dilakukan, bila PDIP paham tentang Islam di Indonesia.

URGENSI RADIKALISASI

Dalam dokumen PDF repository.umj.ac.id (Halaman 95-104)