penggagas lahirnya MIAI dan Masyumi. Pasca tumbangnya Orde Lama dan ketika tuntutan rehabilitasi Masyumi tidak dikabulkan oleh Orde Baru, Muhammadiyah juga menjadi penggagas lahirnya Parmusi. Bahkan untuk menopang keberlangsungan Parmusi, Muhammadiyah sampai mengeluarkan Khitah Ponorogo 1969.
Selepas Orde Baru tumbang, melalui rekomendasi Tanwir Semarang 1998, Muhammadiyah secara latah ikut membidani lahirnya Partai Amanat Nasional (PAN).6
Melalui Tanwir Mataram 2004, Muhammadiyah juga menge- luarkan rumusan politik yang memberikan semacam “lampu hijau”
kepada Angkatan Muda Muhammadiyah (AMM) untuk mengkaji kemungkinan berdirinya partai baru. Keputusan Tanwir tersebut kemudian disikapi dan ditafsiri secara kritis oleh eksponen AMM dengan mendirikan Partai Matahari Bangsa (PMB).
Berkaca pada rentetan sejarah di atas, tampak jelas bahwa relasi Muhammadiyah dengan politik adalah sesuatu yang tak akan pernah tuntas, meski Muhammadiyah kerapkali juga berusaha melakukan
“pertaubatan politik”, seperti yang tergambar dari rumusan Khitah Ujung Pandang 1971, Khitah Surabaya 1978, dan Khitah Denpasar 2002, yang secara substansi mencoba mendudukan Muhammadiyah pada posisinya yang “seharusnya” sebagai ormas keagamaan yang non-afiliatif dan nonpolitik (dalam arti kekuasaan).
Varian Politik Muhammadiyah
Menilik relasi Muhammadiyah dan politik yang tak pernah tuntas itulah, tidak heran bila dalam tubuh Muhammadiyah mun- cul beragam sikap politik. Kalau kita mengamati ke cen derungan kontemporer warga Muhammadiyah dalam relasinya dengan politik, maka setidaknya kita akan men dapati empat varian sikap politik yang barangkali bisa menggambarkan secara utuh wajah politik warga Muhammadiyah.7 Pertama, varian politik. Kelompok
6 Rekomendasi Tanwir Semarang secara eksplisit memang tidak menyebut nama Partai Amanat Nasional (PAN). Namun siapa pun yang mafhum politik, bahwa rekomendasi Tanwir Semarang adalah pintu masuk bagi pendirian PAN.
7 Varian warga Muhammadiyah dalam relasinya dengan politik ini didapat selama
Muhammadiyah dan Politik: Relasi Tak Pernah Tuntas
ini meng hendaki agar warga Muhammadiyah mempunyai wadah politik tersendiri. Kehendak membuat wadah politik ini tidak sampai pada upaya menyeret Muhammadiyah secara institusional. Dalam pandangan kelompok ini, warga Muham madiyah sudah saatnya mempunyai amal usaha politik tersendiri. Kepentingannya tentu saja bukan Sekadar “berebut kekuasaan”—sebagaimana lazimnya partai politik, tapi juga sebagai penopang dakwah Muhammadiyah.
Kedua, varian politis-organisatoris. Kelompok ini sebenarnya politis, namun wajah politisnya dikemas dalam bingkai organisasi.
Kelompok ini tidak menghendaki Muham madiyah diseret secara institusional ke wilayah politik praktis. Namun, karena menyadari pentingnya partai politik, kelompok ini mencoba secara aktif menjalin relasi dan kedekatan yang sama dengan semua partai politik. Ketiga, varian organisatoris. Kelompok ini menghendaki agar Muhammadiyah istiqomah sebagai ormas keagamaan dan tidak ikut cawe-cawe pada persoalan politik (dalam arti kekuasaan). Kelompok ini bahkan secara ekstrem menghendaki agar semua Pengurus Harian ortom juga tidak terlibat aktif di kepengurusan partai politik.
Keempat, varian organisatoris-politis. Dengan dalih Muham- madiyah sebagai ormas keagamaan, kelompok ini mencoba men- dudukan Muhammadiyah pada maqam-nya dan tidak mencoba menyeret pada kubangan politik praktis. Hanya saja karena kedekatan dan ikatan emosional kelompok ini dengan partai yang pernah dibelanya menjadikan mereka tidak sepenuhnya istiqamah. Artinya, mereka masih juga menampakkan wajah politisnya, meskipun tidak terlalu mencolok. Karena sikapnya yang demikian, kelompok ini cenderung alergi dengan partai politik lain di luar bekas partainya, termasuk partai politik baru seperti PMB.
penulis aktif membantu akselerasi pendirian Pimpinan Wilayah PMB dan Pimpinan Daerah PMB. Dalam muhibah politik inilah, penulis menemukan beberapa varian menarik yang kemudian dipetakan dalam empat varian sebagaimana di atas. Tentu varian ini tidak bersifat baku, karena bisa jadi akan ditemukan juga varian politik lainnya di lingkup warga Muhammadiyah.
PMB dan Dialektika Hegel
Sebagai relasi yang tak pernah tuntas, maka tampak bahwa varian pertama akan senantiasa mendominasi relasi Muhammadiyah dengan politik. Lahirnya PMB yang notabene dilahirkan oleh eksponen AMM yang geneologinya begitu jelas dengan Muhammadiyah menggambarkan realitas di atas, dan realitas ini tentu sah saja dalam sebuah negara yang tengah mengalami demokratisasi.
Bahkan seandainya konsep Hegel tentang dialektika8 dijadikan sebagai pisau analisis, kehadiran partai baru seperti PMB adalah hal yang lazim. Sebab bisa jadi kehadiran partai baru merupakan antitesis atau bahkan sintesis atas partai-partai politik yang ada yang dinilai tidak atau belum mampu menjalankan fungsi-fungsi politiknya dengan baik.
Nah, dengan kenyataan ini, PMB rasanya bisa dijadikan sebagai sintesis politik bagi warga Muhammadiyah. Hal ini setidaknya karena beberapa alasan. Pertama, PAN yang sebelumnya begitu digadang- gadang bisa menjadi artikulator dan agregasi kepentingan politik warga Muhammadiyah ternyata dalam praksisnya mengecewakan Muhammadiyah. Belum kelamin atau asas partai ini tidak sejalan dengan kehendak mainstream warga Muhammadiyah. Sehingga rasanya ke depan sulit diharapkan untuk bisa memperjuangkan kepentingan dakwah dan politik Muhammadiyah. Kedua, di sisi lain Partai Keadilan Sejahtera (PKS)—yang kelahirannya dibidani oleh komunitas kampus yang di dalamnya terdapat juga warga Muhammadiyah dan berasaskan Islam—yang diharapkan bisa menjadi pelabuhan kedua, juga tampil begitu mengecewakan bagi Muhammadiyah. Penyebabnya antara lain, selain memosisikan diri sebagai partai politik, PKS juga memosisikan sebagai organisasi dakwah, sehingga realitas di lapangan cenderung akan bertabrakan dengan Muhammadiyah—sebagaimana yang terjadi akhir-akhir ini. Ketiga, sementara PMB selain berasaskan Islam, juga didirikan oleh eksponen AMM yang secara geneologi dan irisan kekaderannya
8 Melalui konsep dialektikanya, Hegel sebenarnya ingin menyatakan bahwa kehidupan di dunia sebenarnya sebuah dialektika yang selalu berputar pada tesis, antitesis dan sintesis.
Muhammadiyah dan Politik: Relasi Tak Pernah Tuntas
sangat jelas. Sehingga sangat mungkin bisa menopang dan sejalan dengan kepentingan dakwah dan politik Muhammadiyah.
Berangkat dari realitas di atas, rasanya tidak berlebihan untuk menjadikan PMB sebagai sintesis politik bagi warga Muhammadiyah.
Namun bila di kemudian hari PMB juga tampil mengecewakan, maka ke depan tidak menutup-kemungkinan akan muncul tesis baru di kalangan warga Muhammadiyah dengan mendirikan partai politik baru. Itulah dialektika dan lazim di kala demokrasi masih terus berproses. Wallahu a’lam bishshawab.