• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEBERAGAMAAN DAN KEBANGSAAN

Dalam dokumen PDF repository.umj.ac.id (Halaman 115-121)

M

ulai hari ini tanggal 10 sampai 13 Juli 2006 Pemuda Muham- madiyah (PM) akan mengawali gawe perhelatan akbar empat tahunan: Muktamar PM XIII di Samarinda Kalimantan Timur. Sebagai forum tertinggi organisasi, Muktamar selain akan menetapkan Tim Formatur atau dalam bahasa politik Islam disebut sebagai ahl al-hall-i wa al-aqdl-i yang terdiri atas ketua umum yang dipilih tersendiri secara langsung dan 12 orang anggota formatur yang dipilih secara langsung dalam bentuk paket, juga akan membahas Garis Besar Program Organisasi (GBPO), perubahan Anggaran Dasar dan Anggaran Tumah Tangga, Khitah Perjuangan PM dan rekomendasi organisasi.

Sebagaimana lazimnya perhelatan Muktamar, peserta (muk- tamirin) biasanya akan fokus ketika sidang memasuki sesi pemilihan ketua umum (dan atau anggota formatur). Dan kelaziman ini sudah pasti akan terjadi juga pada Muktamar PM kali ini. Tentu ini hal yang wajar, namun muktamirin mestinya juga menyadari bahwa saat ini dan ke depan ada banyak tantangan dan problematik, baik dalam konteks keberagamaan maupun kebangsaan yang perlu mendapat perhatian dan penyikapan secara serius. Karenanya muktamirin juga semestinya serius menyikapi hal ini sebagaimana keseriusan mereka dalam menyikapi pemilihan ketua umum dan anggota formatur.

Mempertegas Komitmen Keberagamaan dan Kebangsaan

Problema Keberagamaan

Beberapa tahun terakhir ini eskalasi konflik di internal umat Islam mengalami peningkatan cukup signifikan dan inilah problematik keberagamaan kekinian yang cukup serius. Muara peningkatan konflik tersebut sebenarnya lebih karena persoalan dan perbedaan tafsir serta perbedaan mazhab keagamaan. Lebih memprihatinkan, eskalasi konflik berlangsung secara bipolar-ekstrem, di mana pihak-pihak yang terlibat konflik cenderung mengambil posisi secara ekstrem. Satu pihak mengambil posisi ekstrem-radikalis.

Sementara lainnya mengambil posisi ekstrem-liberalis. Sementara kelompok yang berada pada “posisi tengah” (moderate, tawashuth) yang sebenarnya merupakan “arus besar” (mainstream) Islam di Indonesia: Muhammadiyah dan NU sepertinya tidak mampu untuk tidak mengatakan gagal memainkan perannya secara signifikan dalam menyikapi polarisasi tersebut. Bahkan posisinya seakan terkalahkan oleh keberadaan kelompok atau institusi ekstrem tersebut yang sebenarnya hanya “arus kecil” dari Islam di Indonesia.

Lebih menyedihkan lagi, terkadang keberadaan Muhammadiyah dan NU dalam banyak hal tidak lebih Sekadar sebagai pemberi legitimasi atas tindakan atau agenda yang mereka usung. “Arus kecil” Islam di Indonesia ini senantiasa akan mencoba menyeret Muhammadiyah atau pun NU dalam setiap “agenda” mereka.

Dua contoh ektrem berikut setidaknya menggambarkan hal tersebut. Ketika keluar “paket fatwa” Majelis Ulama Indonesia (MUI) beberapa waktu yang lalu misalnya, tampak kalangan radikalis mencoba berlindung di balik institusi MUI yang keberadaannya

“diperhitungkan” karena di dalamnya terdapat dua institusi yang merupakan representasi umat Islam: Muhammadiyah dan NU.

Tanpa Muhammadiyah dan NU, keberadaan MUI tidak akan diperhitungkan. Sehingga ketika keluar “paket fatwa” tersebut, serta merta Muhammadiyah dan NU pun terseret-seret. Apalagi dua tokoh berpengaruh KH. Sahal Machfudz (Rais ‘Am Syuriah PBNU) dan Din Syamsuddin (Ketua Umum PP. Muhammadiyah) masing- masing duduk sebagai Ketua dan Wakil Ketua MUI.

Begitu juga kelompok liberalis, yang terepresentasikan oleh teman-teman di Jaringan Islam Liberal (JIL) dan Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM), mereka serapi mungkin mencoba menyeret Muhammadiyah dan NU. JIL misalnya, meski tidak secara terang-terangan menyebut NU, namun pribadi-pribadi yang terlibat di dalamnya sebagian besar adalah anak-anak muda yang secara geneologi “berdarah” NU.

Sementara JIMM bahkan dengan tidak percaya diri menyeret nama Muhammadiyah. Barangkali teman-teman JIMM berpikiran bahwa dengan tanpa menyebut nama Muhammadiyah, bisa jadi institusi yang baru dibentuknya akan kurang atau tidak diper- hitungkan banyak pihak. Begitu juga pribadi-pribadi yang selama ini kesengsem pada pemikiran liberal Islam kerapkali meng usung institusi Muhammadiyah dan NU atau idiom-idiom yang lekat dengan Muhammadiyah dan NU.

Problema Kebangsaan

Saat memperingati Hari Kelahiran Pancasila 1 Juni 2006 yang lalu ada pihak-pihak yang menyoroti soal mulai rapuhnya sendi- sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Menyikapi hal ini, ada yang mencoba bernostalgia dengan masa lalu dengan meminta agar Pancasila kembali dijadikan sebagai asas tunggal. Secara resmi, UU Keormasan tahun 1985 memang belum dicabut. Namun seiring dengan tumbangnya rezim Orde Baru, banyak ormas, OKP dan institusi kemasyarakatan lainnya yang sebelumnya telah mencantumkan Pancasila sebagai asas organisasi telah meng- ubahnya disesuaikan dengan asas yang berlaku sebelum penetapan UU tersebut. Dan perbincangan seputar UU Keormasan kembali mencuat ke permukaan seiring dengan munculnya berbagai perilaku dan tindakan anarkhis yang dilakukan sebagian ormas yang berlabelkan agama atau yang bersifat kedaerahan.

Sementara, lainnya mencoba menghidupkan polemik klasik seputar dikotomi Islam dan nasionalis. Dan ketika polemik ini dimunculkan selalu saja kelompok Islam yang tersudutkan. Kelom-

Mempertegas Komitmen Keberagamaan dan Kebangsaan

pok Islam dianggap belum secara total menerima Pancasila sebagai bentuk final dasar negara. Dan polemik ini seakan mendapat pem- benaran seiring dengan keluarnya perda-perda di beberapa daerah yang dinilai bernafaskan Islam.

Bila menilik sejarah perumusan dasar negara hingga perubahan

“tujuh kata” dalam Piagam Jakarta, maka adalah absurd dan ahistoris pandangan yang menyatakan bahwa kelompok Islam masih belum rela menerima Pancasila sebagai dasar negara. Piagam Jakarta sebagaimana dinyatakan Kasman Singodimedjo merupakan bentuk kompromi, bahkan tokoh Masyumi ini menyebutnya sebagai gentlement agreement, dan ketika Piagam Jakarta “dipaksa” berubah pada tanggal 18 Agustus 1945 pun yang mengusulkan perubahan

“tujuh kata” menjadi Ketuhanan Yang maha Esa adalah Ki Bagus Hadikusumo, Ketua Muhammadiyah yang juga merupakan repre- sentasi kubu Islam.

Problema kebangsaan lainnya menyangkut pragmatisme politik yang menyeruak ke hampir seluruh ormas, termasuk OKP.

Pragmatisme politik ini tercipta karena budaya patront-client yang hinggap di masyarakat kita. Dalam konsep patront-client ini, relasi yang terjadi layaknya “bapak dan anak buah”, di mana negara (elite berkuasa) memosisikan layaknya seorang “bapak”, sementara masyarakat atau dalam konteks tulisan ini adalah ormas atau OKP diposisikan seperti “anak buah”. Layaknya “anak buah”, maka ormas dan OKP akan senantiasa mencari tempat perlindungan atau patront bagi eksistensi kepentingan politik institusi atau elite institusi tersebut.

Komitmen PM

Menyikapi problem keberagamaan dan kebangsaan tersebut, PM perlu mempertegas sikap dan posisinya. Penegasan ini penting.

Apalagi PM merupakan bagian dari Muhammadiyah. Sementara posisi Muhammadiyah sangat jelas dan tegas. Dalam menyikapi problematik tersebut, Muhammadiyah selalu mencoba untuk

mengambil “posisi tengah” yang tidak “hitam putih”, tapi karena prinsip dan bukan Sekadar ingin mencari selamat.

Sebagai bagian dari Muhammadiyah, PM sudah selayaknya juga mengambil posisi serupa, termasuk dalam menyikapi sikap ekstrem yang ditunjukkan beberapa organisasi keagamaan. PM juga tidak boleh terseret oleh agenda-agenda pihak lain yang mencoba mencari legitimasi dukungan. Sebab sebagaimana Muhammadiyah, di kalangan ortom pendukungnya pun, ada upaya-upaya menyeret dalam agenda keberagamaan mereka. Kenyataan ini misalnya tergambar dari berbagai pertemuan yang sempat penulis ikuti dalam kapasitasnya sebagai wakil PM.

Bagi pihak-pihak ini, ketika OKP seperti PM sudah berada atau menjadi bagian dari kelompoknya, seakan mereka telah mendapat legitimasi Muhammadiyah. Dan upaya untuk menyeret OKP seperti PM senantiasa dilakukan baik oleh mereka yang berada pada posisi ekstrem-radikal maupun ekstrem-liberal.

Bukan Sekadar tampil pada “posisi tengah”, PM juga perlu membuat rumusan yang lebih aplikatif dalam menyikapi ekstremitas keberagamaan yang terjadi saat ini. Sehingga posisi dan kehadiran PM dalam pergumulan keormasan akan menjadi bagian dari solusi.

Sementara menyikapi problematik kebangsaan, sebagaimana Muhammadiyah, PM juga perlu mempertegas komitmennya terhadap Pancasila sebagai bentuk final dasar negara. Muhammadiyah sebagaimana kerap kali ditegaskan Ketua Umum Muhammadiyah Din Syamsuddin, termasuk ketika memberikan ceramah pada acara Pengukuhan Pengurus DPP IMM Periode 2006-2008 tanggal 28 Juni 2006, menegaskan bahwa Pancasila bagi Muhammadiyah merupakan bentuk final dasar negara.

Menyikapi pragmatisme politik, kepengurusan PM periode 2002-2006 telah mengambil sikap politik dengan membuat Surah edaran yang berisikan tentang netralitas politik PM. PM mengambil jarak yang sama dengan kekuatan-kekuatan politik yang ada. Dalam Surah edaran tersebut juga ditegaskan bahwa Ketua Umum dan Sekretaris Umum dihimbau untuk tidak aktif dalam kepengurusan partai politik mana pun. Sebab dua jabatan ini merupakan ikon dari

Mempertegas Komitmen Keberagamaan dan Kebangsaan

institusi PM. Sementara di luar dua jabatan tersebut, Pimpinan Pusat membebaskan anggotanya untuk aktif maupun tidak aktif dalam kepengurusan partai politik, selama tidak bertentangan dengan norma-norma politik yang digariskan Muhammadiyah dan PM sendiri.

Netralitas politik ini penting untuk menghindari praktik-praktik culas seperti “politik uang”. Keharusan Ketua Umum dan Sekretaris Umum netral secara politik, setidaknya bisa mengeliminir terjadinya politik uang dalam perhelatan seperti muktamar. Dengan netral politik, maka cost Muktamar akan menjadi “lebih murah”. Sebaliknya, bila tidak ada aturan yang tegas soal netralitas Ketua Umum dan Sekretaris Umum, maka cost muktamar akan menjadi sangat mahal, tidak ubahnya partai politik. Di sinilah pentingnya netralitas politik PM. Dengan posisi seperti ini, ada semacam kebanggaan tersendiri di tengah pragmatisme politik yang melanda di hampir semua OKP, yang ditunjukkan dengan kedekatan atau setidaknya berusaha mendekat dengan kekuatan partai politik yang ada.

Dalam dokumen PDF repository.umj.ac.id (Halaman 115-121)