M
embaca judul di atas tentu akan timbul pertanyaan: sejak kapan Muhammadiyah menjadi partai politik atau berpolitik sehingga perlu melakukan reposisi politik? Pertanyaan di atas tentu tidak salah, bila politik semata dimengerti sebagai segala kegiatan praktis politik yang bertalian langsung dengan kekuasaan belaka (non-valuational). Tapi bila politik dimengerti sebagai aktivitas, tindakan dan perilaku politik yang berusaha mempengaruhi kebijakan, tentu judul di atas menjadi relevan. Artinya, reposisi politik yang dimaksud di sini terkait dengan tindakan atau sikap politik yang selama ini dilakukan oleh Muhammadiyah.Nah, dalam konteks ini menurut hemat penulis, Muhammadiyah perlu melakukan reposisi politik. Sebab selama ini langgam dan perilaku politik Muhammadiyah lebih lekat dengan politik praktis yang semestinya hanya layak dilakukan oleh partai politik.
Bahasan ini menjadi menarik seiring dengan pelaksanaan Tanwir Muhammadiyah di Yogyakarta yang berlangsung tanggal 26-29 April 2007, yang salah satu materinya adalah Materi Kebangsaan dengan penekanan pada aktualisasi Khitah Ujung Pandang 1971 dan Khitah Denpasar 2002, yang intinya penegasan netralitas politik Muhammadiyah dalam relasinya dengan kekuatan atau partai politik yang ada.
Posisi Politik Muhammadiyah
Bila kita menggunakan pendekatan klasik ilmu politik yang melihat politik sebagai suatu asosiasi warga negara yang berfungsi
membicarakan dan menyelenggarakan hal ihwal yang menyangkut kebaikan bersama (public good), maka posisi politik Muhammadiyah adalah sebagaimana yang menjadi semangat dari kelahirannya, yaitu sebagai gerakan dakwah amar makruf nahi munkar. Dengan kata lain, kelahiran Muhammadiyah sama sekali tidak dimaksudnya sebagai gerakan politik yang bersinggungan langsung dengan kekuasaan.
Posisi politik Muhammadiyah lebih terkait pada persoalan moral (high politics).
Posisi politik ini misalnya termaktub dalam tujuan awal ber- dirinya Muhammadiyah, “Menyebarkan pengajaran Kanjeng Nabi Muhammad Saw. kepada penduduk bumi-putra, di dalam residensi Yogyakarta”, dan “Memajukan hal agama Islam kepada anggota- anggotanya”.
Tujuan di atas secara substantif hingga sekarang tidak mengalami perubahan. Kalaupun terjadi lebih pada perubahan redaksional.
Dan perubahan tersebut pun kerap kali terkait dengan perubahan politik yang terjadi, seperti ketika rezim Orde Baru mengharuskan penggunaan asas tunggal Pancasila yang berimbas pada perubahan tujuan dari yang semula “Menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya”
berubah menjadi “Menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat utama, adil dan makmur yang diridhai Allah subhanahu wa ta’ala”. Perubahan ini diputuskan pada Muktamar Surakarta 1985.
Rezim keberatan dengan penggunaan kata “Islam”, sehingga tujuan Muhammadiyah yang sebelumnya tertera kata “masyarakat Islam” diubah menjadi “masyarakat utama”. Pasca tumbangnya Orde Baru, melalui Muktamar ke-44 Jakarta, Muhammadiyah memutuskan kembali kepada tujuan semula sebelum pemberlakuan UU Keormasan Tahun 1985.
Posisi politik yang netral dan lebih berdimensi high politics ini tidak Sekadar terdapat pada rumusan tujuan Muhammadiyah.
Tapi juga diperkuat oleh berbagai keputusan Tanwir, seperti Tanwir Ujung Pandang 1971, Tanwir Surabaya 1978, Tanwir Denpasar 2002, Tanwir Mataram 2004 dan Muktamar Malang 2005, yang
Reposisi Politik Muhammadiyah
kesemuanya secara substansi berusaha mempertegas posisi netral politik Muhammadiyah.
Realitas Praksis
Sebagaimana tergambar dari tujuan di atas, Muhammadiyah merupakan ormas keagamaan yang nonpolitik dan nonafiliatif, namun dalam perjalanan sejarahnya Muhammadiyah justru lebih banyak bersinggungan dengan politik yang lekat dengan kekuasaan. Kenyataan ini misalnya terlihat begitu dominan ketika Muhammadiyah dikomandoi KH. Mas Manshur, yang pernah menjadi penggagas berdirinya Partai Islam Indonesia (PII), menjadi salah satu penggagas lahirnya Majlis Islam A’la Indonesia (MIAI) dan Masyumi. Ketika tuntutan rehabilitasi Masyumi tidak dikabulkan, Muhammadiyah juga menjadi penggagas lahirnya Parmusi. Bahkan untuk menopang keberlangsungan Parmusi Muhammadiyah sampai mengeluarkan Khitah Ponorogo 1969. Ketika Parmusi dirasa tidak lagi bisa dikontrol, Muhammadiyah pun masih sempat mengeluarkan Khitah Ujung Pandang 1971 yang selain memosisikan netral politik juga yang secara implisit masih memberikan dukungan pada Parmusi.
Baru ketika rezim Orde Baru secara ideologis tampil semakin hegemonik, melalui Khitah Surabaya 1978, Muhammadiyah menegaskan kembali posisi netral politiknya. Sikap ini diambil semata karena melihat realitas mulai dominannya peran dan kuasa negara serta kuatnya upaya depolitisasi partai politik. Selepas tumbangnya Orde Baru, melalui rekomendasi Tanwir Semarang 1998 Muhammadiyah secara latah ikut ”membidani” lahirnya Partai Amanat Nasional (PAN). Bahkan untuk suksesnya PAN, bukan hanya warga Muhammadiyah, Amal Usaha Muhammadiyah pun dijadikan sebagai basis dukungan politik. Namun ketika PAN dinilai tidak membawa maslahah bagi kepentingan dakwah politik Muhammadiyah melalui Khitah Denpasar 2002, Muhammadiyah kembali menegaskan sikap politik netralnya.
Berikutnya pada Tanwir Denpasar dan Tanwir Makasar 2003 meski tanpa menyebut nama dan terkesan malu-malu Muham- madiyah sudah berani mengajukan ”kader terbaiknya” sebagai calon presiden. Baru pada Sidang Pleno Februari 2004 yang dihadiri Pimpinan Pusat dan Pimpinan Wilayah Muhammadiyah memutuskan: ”memperjuangkan kelanjutan reformasi dan penye- lamatan bangsa dalam pemilihan presiden pada Pemilu 2004 dengan mencalonkan kader terbaiknya”.
Masih di tahun yang sama, melalui Tanwir Mataram 2004, Muhammadiyah mengeluarkan keputusan politik yang memberikan green ligh kepada Angkatan Muda Muhammadiyah (AMM) untuk mengkaji kemungkinan berdirinya partai baru. Keputusan Tanwir tersebut kemudian disikapi dan ditafsiri secara kritis oleh eksponen AMM dengan mendirikan Partai Matahari Bangsa (PMB).
Menengok kenyataan politik di atas rasanya tidak berlebihan bila indonesianis asal Jepang Mitsuo Nakamura menyebut Muham- madiyah sebagai gerakan serba wajah (dzu-wujuh).
Reposisi Politik
Paparan di atas menggambarkan, meski posisinya adalah ormas keagamaan, tapi Muhammadiyah juga mengambil peran- peran politik yang berbau kekuasaan yang semestinya hanya pantas dilakukan oleh partai politik. Bila ingin konsisten kembali ke Khitah 1912, maka Muhammadiyah perlu melakukan reposisi politik, yaitu dengan tidak masuk atau terjebak dan terseret pada permainan politik yang berbau kekuasaan. Reposisi politik dimaksud tidak saja pada tataran praksis politik, tapi juga melalui pembuatan keputusan.
Ke depan Muhammadiyah semestinya hanya membuat keputusan organisasi yang memperteguh moralitas politik Muhammadiyah.
Muhammadiyah tidak seharusnya membuat kebijakan organisasi yang partisan sebagaimana yang pernah dilakukan pada periode- periode sebelumnya yang tergambar dari keluarnya keputusan Khitah Ponorogo 1969, Tanwir Semarang 1998 dan Tanwir Makasar 2003 yang begitu partisan, termasuk Sidang Pleno 2004 yang mendukung
Reposisi Politik Muhammadiyah
”kader terbaik” (Amien Rais) sebagai calon presiden atau juga Surah keputusan seperti SK 149 tentang Kebijakan Mengenai Konsolidasi Organisasi dan Amal Usaha Muhammadiyah, yang beberapa poinnya cenderung tidak proporsional. Dalam SK tersebut misalnya sampai menyebut nama Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Meski penulis cukup bisa memahami konteks keluarnya SK tersebut, namun penyebutan nama PKS cenderung bertentangan dengan semangat Khitah Ujung Pandang dan Khitah Denpasar. Dalam SK tersebut juga ditegaskan kembali Keputusan Muktamar Malang 2005 yang, ”menolak upaya- upaya untuk mendirikan partai yang memakai atau menggunakan nama atau simbol-simbol Persyarikatan Muhammadiyah”.
Bila Muhammadiyah secara serius ingin melakukan ”pertaubatan politik” dengan tidak lagi menyeret Muhammadiyah pada wilayah politik praktis, maka segala sikap dan posisi politik Muhammadiyah harus sejalan dengan semangat Khitah 1912. Muhammadiyah tidak boleh berafiliasi atau mendukung kekuatan politik tertentu, apalagi sampai terjebak pada politik dukung-mendukung. Sebaliknya, Muhammadiyah harus menjaga kedekatan yang sama kekuatan politik yang ada. Semoga!