juga tidak menjamin, namun sebagai solusi rasanya perlu untuk ditawarkan.
Pengertian Korupsi
Banyak ragam definisi tentang korupsi. Dari beragam definisi tersebut, korupsi dalam tulisan ini setidaknya dimengerti sebagai upaya penyalahgunaan wewenang yang dimiliki, baik berupa informasi, keputusan, pengaruh, uang atau kekayaan untuk mem- perkaya atau kepentingan keuntungan dirinya.
Yves Meny sebagaimana dikutip Haryatmoko (2004) membagi korupsi dalam empat macam. Pertama, korupsi jalan pintas, dalam kasus menggelapkan uang negara, perantara ekonomi dan politik, sektor ekonomi membayar untuk keuntungan politik atau peraturan- peraturan yang menguntungkan usaha tertentu untuk tidak direvisi.
Money politics masuk dalam jenis korupsi ini, meski pertukarannya bukan langsung dari sektor ekonomi. Kedua, korupsi upeti, korupsi yang dimungkinkan karena jabatan strategis. Seseorang pejabat mendapatkan persentase dari berbagai kegiatan baik ekonomi, politik, budaya bahkan upeti dari bawahan, kegiatan-kegiatan lain atau jasa dalam suatu perkara. Termasuk di dalamnya adalah upaya mark-up. Ketiga, korupsi kontrak, korupsi ini tidak bisa dilePascan dari upaya mendapatkan proyek atau pasar. Masuk dalam kategori ini adalah usaha mendapatkan fasilitas pemerintah. Keempat, korupsi pemerasan, yang terkait dengan jaminan keamanan dan urusan-urusan gejolak intern maupun dari luar. Perekrutan perwira menengah militer atau polisi menjadi manajer human resources department atau pencantuman nama perwira tinggi dalam dewan komisaris perusahaan adalah contoh yang mencolok. Bahkan sering ada bentuk pemerasan langsung terhadap perusahaan dengan alasan keamanan. Masuk dalam kategori ini termasuk “pemberian”
saham kepada orang kuat tertentu untuk menghindarkan akuisisi perusahaan yang secara ekonomi tak beralasan.
Teologi Kritis Pemberantasan Korupsi
Teologi Kritis Pemberantasan Korupsi
Secara das sollen, agama mempunyai kekuatan untuk membentuk budaya masyarakat yang lekat dengan dimensi sosial. Sayangnya, sebagian besar umatnya yang memahami agama secara rigid dan tekstual meletakkan agama hanya sebatas sebagai kekuatan spiritual yang berdimensi ritual. Sementara doktrin-doktrin normatif yang berdimensi sosial kemanusiaan seakan disembunyikan atau bahkan diacuhkan.
Pola pikir keberagamaan yang demikian tentu perlu didekon- struksi. Agama-agama harus mengubah perangainya yang selama ini seakan membiarkan dan mengamini umatnya untuk larut dalam buaian spiritual yang bersifat ritual, sehingga lupa akan tanggung jawab sosialnya. Selama agama semata hanya dipelajari dalam dimensi ritualnya, maka selama itu pula agama tidak akan mampu menjadi faktor determinan bagi terjadinya perubahan sosial ke arah yang lebih baik.
Karl Marx yang kerap diposisikan sebagai atheis saja berani menyatakan dengan tegas bahwa “kelas” merupakan faktor deter- minan bagi perubahan sosial. Kenapa agama-agama, termasuk Islam sebagai agama yang dianut mayoritas masyarakat, tidak berani untuk menyatakan bahwa agama (Islam) pun bisa menjadi faktor determinan bagi terjadinya perubahan sosial. Padahal dari sisi perangkat normatif, Islam termasuk agama yang cukup detail mengurai dan memberikan solusi atas berbagai kejahatan sosial seperti korupsi. Namun perangkat normatif tersebut ternyata hingga saat ini belum mampu menjadi daya dobrak atas perubahan sosial di Indonesia.
Lantas apanya yang salah? Kesalahan sepertinya terletak pada tafsir normatif atas teks yang cenderung rigid dan seakan menjadi harga mati. Karenanya perlu ada teologi kritis dengan cara membongkar idiom-idiom teologi seperti iman, Islam, kafir, dan syirik, yang selama ini seakan dipandang baku, untuk selan- jutnya melakukan reinterpretasi, sehingga tafsirnya lebih bisa membebaskan.
Tafsir mapan yang ada selama ini, mengukur iman dan Islam seseorang diukur secara billafdhi, di mana siapa pun orangnya yang telah mengucapkan persaksian (syahadah) dipastikan masuk surga.
Selama tidak pernah “mencabut” syahadah-nya, selama itu pula berhak menyandang status keislamannya.
Begitu juga kafir, selama ini sering dimengerti sebagai “bukan Islam”. Padahal kalau mengkaji teks-teks al-Qur’an dan Hadis, kafir sebenarnya lebih dimengerti sebagai pengingkaran terhadap Allah.
Dengan kata lain, seseorang disebut kafir apabila yang bersangkutan mengingkari nilai-nilai Illahiyah, sehingga orang yang melakukan dosa, utamanya “dosa sosial” seperti korupsi bisa disebut sebagai kafir. Jadi pembatas kafir dan tidaknya bukan lagi bersifat tradisional, yang ditarik vertikal antaragama.
Selama ini syirik juga kerap dimengerti sebagai menyekutukan Allah dengan tuhan (memakai t kecil) lainnya. Padahal tuhan dalam pengertian syahadah semestinya dimengerti sebagai sifat semata, sehingga wujudnya bisa berupa jabatan, kekuasaan, dan lainnya.
Maka ketika seseorang memperoleh jabatan dan kekuasaan lewat cara yang bertentangan dengan Allah sebenarnya yang bersangkutan telah syirik.
Reinterpretasi atas idiom-idiom teologi ini penting dikam- panyekan. Dan kampanye pemberantasan korupsi akan lebih efektif jika disertai fatwa bahwa korupsi adalah syirik yang tidak terampuni.
Tanpa basis teologi seperti ini, maka dosa korupsi bisa saja diputihkan dengan sadaqah dan ibadah tertentu, apalagi jika dilakukan dalam situasi darurat. Bahkan korupsi bisa dipandang sebagai tindakan
“membela Islam” jika pelakunya bekerja di lembaga yang dipimpin orang-orang kafir.
Selama ini korupsi dipandang sebagai dosa kecil yang bisa diampuni. Apalagi jika sebagian hasil korupsinya disisihkan untuk ibadah atau sedekah bagi fakir miskin dan anak yatim. Nanti di akhirat timbangan pahala sedekah dari hasil korupsi bisa lebih berat dibanding sanksi dosanya. Jika demikian, para koruptor dan penjahat politik bisa memperoleh ampun dan masuk surga.
Teologi Kritis Pemberantasan Korupsi
Selama ini ada keyakinan dalam Islam bahwa semua tindak maksiat terbuka bagi ampunan Allah, kecuali syirik. Korupsi misalnya dipandang bukan syirik, dosanya pun dipahami sebatas besaran korupsi, apalagi jika didasari alasan terpaksa akibat sistem atau tekanan dari atasan. Para koruptor bisa menyatakan tindakannya dilakukan dalam situasi darurat atau jika ia tidak korupsi akan dikorupsi pejabat yang “memusuhi Islam” dan akan dipakai membiayai tindakan yang merugikan Islam. Di sini pentingnya fatwa bahwa korupsi tergolong syirik yang tak akan pernah terampuni.
Makna jihad juga perlu reinterpretasi ke arah yang lebih kritis.
Selama ini jihad sering dimengerti sebagai berjuang di jalan Allah, yang dalam wujudnya identik dengan perang suci melawan musuh Allah. Saat ini jihad semestinya ditafsirkan sebagai perang suci melawan segala bentuk kemungkaran, termasuk korupsi.
Catatan Penutup
Harus diakui, melawan korupsi tak ubahnya mencabut pohon dari ujung daun, karena korupsi sepertinya telah menjadi bagian intrinsik budaya, gaya hidup, dan bahkan kebanggaan identitas.
Memberantas korupsi terdengar bombastis ketika korupsi telah bermetamorfosis menjadi ideologi yang tertanam di banyak kepala manusia Indonesia, padahal bahaya korupsi jauh lebih laten, ketimbang komunisme sekalipun.
Karena korupsi sudah menjadi budaya, perlu penanganan lebih serius. Tidak cukup mengandalkan negara—yang terbukti gagal, tapi juga perlu melibatkan masyarakat, terutama agamawan—tentu dengan beragam kelemahannya juga. Pelibatan subyek sendiri tidak cukup, perlu ada telaah kritis atas doktrin-doktrin dominan yang selama ini membelenggu umat sebagai faktor determinan bagi perubahan sosial. Teologi yang selama ini dipahami sebagai hal yang bersifat private perlu mendapat pengkritisan, sehingga lebih berdampak sosial dan maslahah bagi masyarakat.
Karenanya teologi kritis menjadi keharusan. Tentu saja tak Sekadar di level perumusan tapi juga pemasyarakatannya. Semoga
ini bisa menjadi solusi final(?), karena solusi dalam bentuk lainnya terbukti tidak mampu membongkar dan mengurai akar korupsi di Indonesia. Bila solusi teologi kritis ini tidak juga mampu meminimalisir kualitas dan kuantitas korupsi di Indonesia, ya wallâhu a’lam bisshawâb.