VISI DAN MISI HKBP
3. Analisa Teologi Terhadap Visi dan Misi HKBP
3.1. Gambaran Gereja yang Inklusif berdasarkan Perjanjian Lama
Dalam Perjanjian Lama, para nabi Israel misalnya Elia dan Hosea di utara dan Yesaya dan Yeremia di selatan, menekankan ibadat eksklusif kepada Allah yang satu-satunya, yaitu יהזה (Yhwh).94 Pemberitaan mereka menekankan kasih Allah kepada umatNya pada masa lampau, keinginanNya yang khusus tentang berkat pada masa yang akan datang. Bangsa Israel sebaliknya harus mempertahankan kepercayaan yang murni dengan setia beribadat kepada satu Allah saja. Bahkan para nabi juga memperingatkan akan terjadinya hukuman yang dahsyat, termasuk hancurnya kerajaan tersebut bila Israel tidak setia dalam menjalankan ibadah mereka.95 Para nabi tidak mentolerir agama lain, khususnya ibadah kepada Baal dan Asyera, ilah-ilah kesuburan yang disembah bangsa- bangsa Kanaan. Peristiwa pembunuhan para imam Baal yang diceritakan secara hidup dan dramatik dalam 1 Raja-raja 18, mewakili pendirian semua kitab yang ditulis pada zaman kerajaan dan sesudahnya. Para nabi dan para penulis kitab- kitab tersebut tidak mau mentolerir dewa-dewa lain di Israel. Bagi mereka hanya Yhwh yang boleh disembah; setiap ibadah yang asing di Israel harus dikecam.
Orang diminta untuk berpaling dari ibadat dan pemujaan terhadap dea-dewa dan melawan politeisme rakyat. Namun, perlu diperhatikan bahwa dalam melawan agama-agama lain, para nabi biasanya berkhotbah atau menggunakan bentuk- bentuk propaganda yang bersifat simbolis, misalnya mujizat-mujizat yang dilakukan Elisa (2 Raj. 3-6) dan perkawinan Hosea (Hos. 1 dan 3). Mereka tidak
93 Darwin Lumbantobing, Teologi di Pasar Bebas, Op.cit, hlm. 276.
94 Nama tersebut dalam bahasa Ibrani terdiri dari empat konsonan (huruf mati). Vokalnya tidak diketahui lagi dengan apasti karena sejak zaman Perjanjian Lama, nama yang maha suci itu tidak diucapkan tetapi selalu diganti dalam pembacaan dengan kata אדני-adonay (Tuhan).
Bnd. Freedmann, “יהוה Yhwh”, dalam Theological Dictionary of The Old Testament Vol. V, disunting oleh G. Johannes Botterweck & Helmer Ringgren (Grand Rapids, Michigan: William B. Eerdmans Publishing, Co., 1986), hlm. 501.
95 Richard S. Hess, “Pluralisme Agama di Israel Kuno”, dalam Satu Allah Satu Tuhan-Tinjauan Alkitabiah Tentang Pluralisme Agama, disunting oleh Andrew D. Clarke & Bruce W.
menggunakan kekerasan dan paksaan, kecuali bila mereka dan orang-orang yang setia kepada Yhwh lebih dahullu diperlakukan secara bebas. Orang tidak diizinkan membunuh atau bertindak kejam dalam melawan penyembahan Baal dan agama-agama lain. Dengan demikian, Perjanjian Lama memberi kesan bahwa di tengah-tengah keanekaragaman agama, orang yang percaya kepada Yhwh sebagai Allah yang satu-satunya dan berpegang pads perjanjianNya tidak berkompromi dengan agama-agama lain. Dalam mempertahankan kepercayaan yang murni terhadap Allah, bangsa Israel harus mewujudkan keadilan serta belas kasihan, sehingga setiap orang menunjukkan sikap tersebut dengan penuh kemurahan hati kepada sesamanya tanpa memandang bulu.96
Dengan demikian, uraian Hess di atas pada akhirnya bermuara kepada seruan kepada suatu pelayanan terhadap orang lain. Orang percaya (gereja) harus mengasihi orang lain sebagai konsekuensi ibadah dan imannya kepada Allah (Yhwh). Hal ini jugalah yang mendorong HKBP dalam menetapkan visi dan misinya sebagai upaya untuk menciptakan kerukunan bersama dengan agama lain. Selanjutnya, John E. Goldingay dan Christopher J.H. Wright menjelaskan bahwa teks penciptaan dapat dijadikan sebagai dasar dari toleransi hidup beragam dalam konteks pluralitas.97 Mereka menjelaskan bahwa teks Kej. 1-11, secara tidak langsung memperlihatkan adanya kesadaran keagamaan pada manusia. Kesadaran itu terlihat dalam pemakaian nama Allah dengan Yhwh, yang pada masa prasejarah nama itu bukan nama Allah yang dipakai oleh manusia (bnd. Kel. 6), melainkan merupakan tafsiran teologis oleh penyunting pada kemudian hari. Walaupun belum mengenal dengan jelas nama Yhwh tersebut, namun mereka sungguh-sungguh menyembah Dia. Yhwh dikenal sebagai pencipta dunia, pemberi berkat, hakim dan pelindung, yang pada akhirnya direspons dalam bentuk persembahan, permohonan dan pemberitaan.
Hal ini menunjukkan bahwa Allah memerintah seluruh dunia dan campur tangan dalam perkara-perkaranya (bnd. Amos 9:7). Menurut Perjanjian Lama dijelaskan bahwa, hikmat Allah turut berperan dalam penciptaan dan tercermin dalam apa yang diciptakan (Imago Dei). Nafas Allah yang Mahakuasa berada di dalam manusia karena ia diciptakan. Hal ini merupakan alasan teologis untuk menganggap kebenaran Allah dicerminkan dalam pengalaman, kebudayaan, pemikiran dan budaya manusia. Dengan demikian, imam Israel kepada Yhwh mengambil alih hal-hal yang baik dari kebudayaan lain: nilai-nilainya diakui sambil dibersihkan dari unsur-unsur pemujaan berhala atau politeisme.98 Melalui pemahaman akan penciptaan tersebut, maka dalam setiap diri manusia tercermin gambar dan rupa Allah, yang mempunyai kesamaan satu dengan yang lain.
Dengan demikian, imam Perjanjian Lama menunjukkan bahwa umat Israel sebagai umat pilihan Allah, telah hidup dan berdampingan dengan bangsa-
96 Ibid, hlm. 18.
97 John E. Goldingay & Chistopher J.H. Wright, “Keesaan Allah Dalam Perjanjian Lama”, dalam Satu Allah Satu Tuhan-Tinjauan Alkitabiah Tentang Pluralisme Agama, Ibid, hlm. 33.
bangsa dan agama-agama dan kepercayaan lain. Pemilihan itu bukanlah atas dasar kemampuan yang dimiliki orang-orang Israel, melainkan berdasarkan kasih Allah semata (Ul. 7:7). Maksud pemilihan itu adalah untuk menunjukkan kepada bangsa dan kepercayaan lain bahwa Yhwh adalah Tuhan yang menciptakan, melindungi dan memelihara setiap ciptaanNya. Allah tetap mengasihi bangsa Israel sebagai umat pilihanNya dan sekaligus mengasihi seluruh dunia sebagai ciptaanNya. Oleh karena itulah, dalam konteks hidup beragama masa kini, orang percaya (gereja) harus bersikap terbuka dan tidak menutup diri. Walaupun sebenarnya dalam beberapa bagian dalam Perjanjian Lama, misalnya kitab Daniel yang bersifat sangat eksklusif dan menutup diri, namun dalam suasana demikian ia sangat kreatif. Konteks kehidupan Israel yang pluralistik menyediakan berapa contoh tentang cara berhubungan dengan agama-agama lain.99 Demikian halnya dengan konteks hidup beragama di Indonesia, HKBP melalui penetapan visi dan misinya merupakan salah satu contoh tentang cara berhubungan dengan agama-agama lain, bahkan dalam hal tanggungjawabnya di tengah-tengah perkembangan zaman tempat di mana ia berada. Sebagai umat Allah yang hidup berdampingan dengan bangsa, agama dan kepercayaan lain, maka HKBP telah sadar akan kasih Allah yang diberikan kepada seluruh dunia.
3.2. Gambaran Gereja yang Inklusif Berdasarkan Perjanjian Baru
Perjanjian Baru, menyaksikan bahwa Yesus semasa hidupNya, secara historis di dunia ini, menunjukkan sikap yang inklusif, dialogis dan terbuka (Yoh.
3:16). Dengan sikap demikian, Yesus telah menyelesaikan tugas pelayananNya secara sempurna di Bukit Golgota. Melalui penderitaan, kematian, dan kebangkitanNya, darahNya telah tercurah untuk menebus dosa-dosa manusia dan untuk pendamaian antara manusia dengan Allah, nyawaNya sebagai ganti kebinasaan seluruh dunia. Dalam diri Yesus Kristus, Allah mewujudkan visi dan misiNya kepada seluruh dunia, tidak terbatas pada individu atau kelompok tertentu. Jadi bukan untuk sebagian bumi atau bangsa, tetapi untuk tebusan banyak orang tanpa membedakan suku, bangsa, ras, dan agama. Dalam menyempurnakan tugas pelayananNya, Yesus merangkul semuanya tanpa mengucilkan pihak-pihak tertentu. Tuhan Allah telah memperlihatkan kepedulian, keterbukaan, dan dialog dengan manusia melalui para nabi dan rasulNya kepada dunia yang sering tidak menerima kasihNya itu. Penolakan akan kasih Allah itu nyata melalui sikap dan perbuatan yang ingin mengumpulkan kekuatan dan kekuasaan untuk dirinya sendiri, untuk kelompoknya sendiri, untuk suku atau bangsanya sendiri dengan mengorbankan kepentingan orang lain, kelompok alain, bangsa atau agama lain. Pada saat menjelang kenaikan Yesus ke sorga setelah bangkit dari kematian, Dia menyampaikan perintah kepada para murid agar pergi ke seluruh dunia untuk menjadikan semua bangsa muridNya, membaptiskan mereka serta mengajarkan semua yang diperintahkanNya (Mat.
28:18-20).100 Perintah yang universal inilah yang menjadi tugas utama orang
99 Ibid, hlm. 49.
100 Terdapat perbedaan penafsiran terhadap teks ini dalam hubungannya dengan tugas dan misi
percaya (gereja) sejak turunnya Roh Kudus. Dari tugas inilah dapat dilihat, betapa tugas gereja sejak semula mencerminkan warna inklusif, dialogis dan terbuka.
Imam Perjanjian Baru dalam teologi Paulus, juga menunjukkan sikap bagaimana orang Kristen harus hidup dalam dunia yang mengenal pluralisme.
Paulus dalam suratnya ke jemaat di Korintus, menjelaskan bahwa pertama-tama jemaat jangan menimbulkan keraguan dalam hati karena pluralisme agama itu.
Paulus mengecam orang yang mempengaruhi orang Kristen untuk mengikuti pesta-pesta kafir karena tindakan seperti itu adalah dosa terhadap Kristus (1 Kor.
8:12). Paulus telah mengambil keputusan untuk mencari penyesuaian dengan budaya-budaya lain, dengan tujuan mencari cara-cara baru untuk memberitakan Injil kepada golongan-golongan sosial dan etnis yang berbeda-beda (1 Kor. 9).
Dengan demikian, dalam hal ini Paulus mengharapkan bahwa orang-orang Kristen dalam dunia pluralisme agama tetap melakukan segala sesuatu demi kemuliaan Allah dengan cara menyenangkan hati semua orang dengan tidak mencari keuntungan sendiri; dan semuanya itu demi keselamatan orang lain oleh Yesus Kristus.101 Lebih jauh, Robert Jewett menjelaskan bahwa inti pendekatan Paulus tentang pluralisme ditemukan dalam suratnya ke jemaat Roma. Dalam surat tersebut, Paulus menawarkan suatu sumber yang meyakinkan sebagai formula doktrin tentang toleransi orang-orang Kristen. Surat Roma tersebut menunjukkan suatu hubungan antara sikap etis dalam misi dan hubungannya dengan pola hidup jemaat (Rom. 15:7).102 Beberapa teks Alkitab tersebut hanyalah sebagian kecil dari sekian banyak yang mengajarkan cara hidup praktis di tengah-tengah dunia pluralis. Namun demikian, melalui uraian tersebut, maka makna teologis dari visi dan misi HKBP tersebut dapat dipertanggungjawabkan secara biblika dalam dunia akademis.
3.3. Gambaran Gereja yang Inklusif Berdasarkan Ajaran Gereja
Pada awalnya, gereja dalam memandang agama sekitarnya sangatlah bersikap eksklusif. Sikap seperti ini dianut oleh gereja (Roma Katolik) pra-Konsili Vatikan II. Dalam memandang orang lain itu, gereja Roma Katolik tidak mengakui adanya keselamatan di luar gereja. Dengan kata lain, keselamatan hanya ada dalam ruang lingkup gereja Roma Katolik, tidak ditemukan dalam agama-agama lain. Dasarnya adalah bahwa Allah hendak menyelamatkan
sebagai suatu pemahaman orang Kristen mula-mula, atau yang lebih khususnya dapat dipahami sebaga konteks Injil Matius ketika jemaat (Yahudi) keluar dari sinagoge.
Pemahaman yang lain menyebutkan bahwa teks ini tidak asli sebagai ucapan Yesus, tetapi berasal dari proselitisme triumphalis jemaat abad pertama. Tetapi pada intinya bahwa interpretasi terhadap teks Mat. 28:18-20 merupakan salah satu contoh perbedaan pandangan di dalam umat Kristen. (Bnd. Martin Harun “Amanat Aguung dan Pluralitas Agama: Masalah Eksegetis dan Hermeneutis:, dalam DISKURSUS: Jurnal Filsafat dan Teologi: Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Vol. 5, No. 2, Oktober 2006, hlm. 181).
101 Bruce. W. Winter, “Orang Kristen Mula-mula dan Pluralisme Agama” dalam Andrew D. Clarke
& Bruce W. Winter (peny.), Op.cit, hlm. 95-97.
102 Robert Jewett, Christian Tolerance-Paul’s Message to The Modern Church (Philadelphia:
semua orang dengan perantaraan Kristus, Penyelamat satu-satunya (Yoh. 14:6;
1 Yoh. 5:11-12). Pemahaman ini dirumuskan dalam pernyataan: extra ecclesiam nulla salust (di luar gereja orang tidak mungkin diselamatkan).103 Sikap seperti ini sangat mempengaruhi metode-metode penginjilan sampai bertahun-tahun lamanya pada Abad Pertengahan. Tetapi sikap eksklusif ini bergeser menjadi sikap inklusif setelah dicetuskannya Konsil Vatikan II (1962-1965). Salah satu dokumen konsili itu adalah deklarasi “Nostra Aetate”, yaitu suatu pernyataan tentang hubungan gereja dengan agama yang bukan Kristen.104 Dalam pernyataan itu dikatakan bahwa gereja-gereja bukan Katolik dengan jelas diakui sebagai gereja Kristus, warna inklusif betapa dihargai. Mereka diakui dan dihormati dalam segala keaslian pengalaman religiusnya di luar wahyu kristiani.105
Dalam dokumen Konsili Vatikan II dijelaskan bahwa:
“Gereja Katolik tidak menolak apapun, yang dalam agama-agama itu serba benar dan suci. Dengan sikap hormat yang tulus, Gereja merenungkan cara-cara bertindak dan hidup kaidah-kaidah serta ajaran- ajaran, yang memang dalam banyak hal berbeda dari apa yang diyakini dan diajarkannya sendiri, tetapi tidak jarang toh memantulkan sinar Kebenaran, yang menerangi semua orang.”106
Pernyataan ini menunjukkan bahwa gereja Roma Katolik menerima ajaran orang lain yang memantulkan sinar kebenaran. Artinya, bukan hanya gereja Roma Katolik yang benar, tetapi juga agama-agama lain. Tetapi pada kepemimpinan Paus Johanes Paulus II, sikap inklusif ini bergeser ke arah eksklusifisme. Suatu kemunduran sikap Roma Katolik dalam menyikapi ajaran agama lain. Pada Bulla Paus ayang dikeluarkan pada tanggal 17 April 2003 berjudul: Encyclical Letter “Ecclesia de Eucharistia” of His Holiness Pope John Paul II to the Bishops, Priests and Deacons, Men and Women in the Consecrated Life, and all the Lay Faithful: On the Eucharist in Its Relationship to the Church (April 17, 2003), menyatakan bahwa di luar Roma Katolik, Pastor tidak bisa menjalankan Perjamuan Kudus (eucaristi). Dalam enklisik (Bulla Paulus) tersebut dinyatakan bahwa: “…..it is not possible to celebrate together the same Eucharistic liturgy until those bonds are fully re-established”.107 Semangat dalam menanggapi kemajemukan bangsa sudah sejak lama menggema dalam lingkungan HKBP. Dalam menyikapi pluralitas bangsa Indonesia, maka HKBP melalui pengakuannya (konfesi) sudah menunjukkan pergeseran dari sikap eksklusif ke arah keterbukaan yang kreatif-positif. Dalam
103 Adolf Heuken, Ensiklopedi Gereja Jilid 1 A-Gereja (Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 1991), hlm. 315-316.
104 Dokumen Konsili Vatikan II, diterjemahkan oleh R. Hardawiryana (Jakarta: Dokumentasi dan Penerangan KWI, Obor, 2002), hlm. 309-315.
105 Bnd. Tom Jacobs, Gereja Menurut Vatikan II (Yogyakarta: Kanisius, 1987), hlm. 27-28.
106 Dokumen Konsili Vatikan II, Op.cit, hlm. 311.
107 http: // www.Vatican.Encyclical Letter ecclesia de eucharistia, diakses tanggal 12
Konfesi HKBP tahun 1996 tidak dicantumkan lagi mengenai gereja dan aliran kepercayaan seperti Katolik, Advent, Pinkster dan lain-lain yang tadinya dipahami sebagai sumber ajaran sesat dan ancaman bagi HKBP sebagaimana dijelaskan dalam bagian Pendahuluan Konfesi HKBP tahun 1951.108
Berdasarkan Konfesi HKBP tahun 1996 tersebut, maka ada beberapa hal yang ditemukan secara eksplisit dan implisit yang berkaitan dengan kemajemukan agama, antara lain:
- Pasal 1 menyatakan, “hanya ada satu Allah yang memerintah seluruh umat manusia.” Pernyataan ini mengandung makna sebuah panggilan untuk melihat dan memperlakukan sesama manusia (tanpa membedakan latar belakang agama dan ras) dari sudut Allah.
- Pasal 4 berbunyi, “HKBP memahami keberadaannya yang hidup dalam konteks pluralitas agama”. Meski tidak diuraikan secara detail, namun pemahaman seperti itu menunjukkan kesadaran akan kebersamaan dengan penganut agama lain.
- Pasal 13 secara tegas mengakui fungsi Apncasila sebagai asas bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Memang wacana sekitar tinjauan teologis terhadap Pancasila terus berlangsung, akan tetapi pernyataan Konfesi tersebut menunjukkan kesediaan HKBP menerima kenyataan bahwa Pancasila dapat mempersatukan warga bangsa yang beraneka ragam latar belakang.109
Demikian juga panggilan dan usaha untuk melakukan pemahaman terhadap agama lain di dalam gereja oikumenis telah dikumandangkan oleh lembaga- lembaga gereja. Misalnya, Konferensi Pekabaran Injil sedunia di Edinburg atahun 1910, Yerusalem tahun 1928 dan di Tambaran 1938, telah bergumul keras untuk memahami makna dari kepercayaan-kepercayaan lain di dalam hubungannya dengan Injil. Usaha dan panggilan itu telah diwujudnyatakan dalam beberapa dialog multilateral (yang melibatkan orang-orang dari berbagai agama) di Ajaltoun (1970), Colombo (1974) dan Mauritus (1983).110
4. Analisa Teologi Terhadap Pandangan Jürgen Moltmann
5. Permasalahan Iman Dalam Hubungannya Dengan Keselamatan Universal 6. Tipe Kepemimpinan yang Inklusif, Dialogis serta Terbuka
7. Visi dan Misi HKBP Menjadikan Jemaat Missioner
108 HKBP, Konfesi HKBP 1955 dan Konfesi HKBP 1996 (Pematangsiantar,HKBP, ttp),hlm. 5-9.
109 Willem T.P. Simarmata, “Mewujudkan HKBP yang Terbuka dan Dialogis”, dalam Menggapai Gereja Inklusif; Bunga Rampai Penghargaan atas Pengabdian Pdt. Dr. J.R. Hutauruk, Op.cit, hlm. 328.
110 Iman Sesamaku dan Imanku, diterjemahkan oleh Eka Darmaputra (Jakarta: BPK-GM,