• Tidak ada hasil yang ditemukan

Silabus Sejarah Gereja Batak I

N/A
N/A
ice trisnawati samosir

Academic year: 2025

Membagikan "Silabus Sejarah Gereja Batak I"

Copied!
143
0
0

Teks penuh

(1)

Sylabus

SEJARAH GEREJA BATAK I Tujuan Instruksional Umum (TIU)

Mata Kuliah ini mengarahkan mahasiswa mampu memahami dan mengetahui tentang masuknya kekeristenan di tanah Batak, yang melaluinya orang Batak mengenal berita Injil keselamatan yang membawa orang Batak dari kegelapan kepada terang yang sesungguhnya.

II. Tujuan Intstruksional Khusus (TIK)

Sebagaimana tujuan intruksional umum di atas, focus pembahasan kuliah ini diarahkan ke pembahasan:

a. Keadaan masyarakat Batak sebelum masuknya kekristenan: topik ini termasuk membahas keadaan alam, struktur sosiologi, pemerintahan dan kepemimpinan tradisional serta antropologi orang Batak sebelum kekeristenan.

b. Masuknya kekristenan ke tanah Batak pertama sekali, pertumbuhan dan perkembangan gereja-gereja Batak serta gereja-gereja lainnya di Sumatera Utara (SUMUT).

c. Pembahasan poin a–b di atas tentunya menyangkut latarbelakang, proses kelahiran, pertumbuhan dan perkembangan, berbagai masalah dan tantangan yang dihadapi, perpecahan atau skisma gereja-gereja Batak, serta pergumulan intern gereja Batak (serta berbagai denominasi gereja Batak) Batak dari awalnya hingga masa sekarang.

III. Materi/Pokok Pembahasan Mata Kuliah ini.

- Pertemuan I

Penjelasan tentang Sylabus mata kuliah Sejarah Gereja Batak serta beberapa informasi (petunjuk-petunjuk dosen) mengikuti proses kuliah ini hingga ujian semester termasuk petunjuk mengenai system penilaian (evaluasi) terhadap mata kuliah ini.

- Pertemuan II

Pada pertemuan ini akan membicarakan atau mendiskusikan mengenai keadaan masyarakat Batak sebelum masuknya kekristenan.

Pembahasan tema ini menyangkut hal falsafah hidup, struktur masyarakat, budaya, pandangan tentang lingkungan dan diri sendiri orang Batak itu sendiri.

- Pertemuan III – VII

Pada pertemuan pertemuan ini (5 x pertemuan), akan difokuskan pembahasan dan diskusi pada tema mengenai masuknya kekristenan di Tanah Batak. Topik ini menyangkut: proses lahir, bertumbuh serta berkembangnya gereja-gereja di Tanah Batak. Sebagai pengembangan tema Bab ini, pembahasan akan dilanjutkan kepada keadaan awal datangnya kekristenan di tanah Batak melalui para pedagang Nesotrian

(2)

bentuk, usaha dan metode PI dilakukan demi menerapkan Injil kepada masyarakat Batak yang melaluinya terbentuk corak teologi, doktrin, liturgy, kesalehan, peraturan, dan system hukum jemaat dan lain sebagainya. Tentunya, pemahaman terhadap tema ini akan sangat berguna bagi mahasiswa kelak ketika mereka (anda) menjadi seorang pelayan guna melakukan pelayanan secara imajinatif di jemaat.

- Pertemuan VIII: Ujian MID Semester dan Pengumpulan Tugas MID (Bobot Nilai: 30/100 x hasil ujian MID)

Contoh: 30/100 x 80 = 24 - Pertemuan IX-XV

Pertemuan-pertemuan ini (7 pertemuan) membahas topik tentang perkembangan berikut (lanjutan) gereja-gereja Batak. Pembahasan Bab ini menyangkut berlangsungnya masalah-masalah (tantangan) dihadapi oleh gereja-gereja Batak. Walau realitas berbagai masalah ini menghasilkan perpecahan/skisma gereja-gereja Batak, nampak nyata bahwa semuanya seakan dilihat sebagai alat tersendiri di tangan Tuhan untuk semakin mengembangkan (menyebarluaskan) jemaatNya di tanah Batak, yang semuanya berguna bagi kemuliaan namaNya. Tidak dapat dipungkiri, adalah fakta bahwa gereja-gereja Batak selalu tidak dapat lepas dari berbagai persoalan (konflik) konflik intern. Namun adalah sebagai pelajaran berharga bagi mahasiswa dalam mengembangkan kesadaran dan dedikasi pelayanan kelak ketika mereka (anda) mengabdi sebagai hambawa Allah di jemaat nantinya.

- Pertemuan XVI/XVII : Ujian Semester (Bobot Nilai: 50/100 x hasil ujian Semester) Contoh: 50/100 x 85 = 42.5

IV. Tugas-Tugas

Sesuai dengan perkembangan tema dalam diskusi di kelas dan untuk menyempurnakan evaluasi dosen pengampu mata kuliah ini kepada kemampuan mahasiswa mengikuti perkuliahan, maka untuk pemberian nilai akhir kepada mahasiswa di samping hasil ujian MID Semester dan ujian akhir Semester, kepada mahasiswa masih diberikan tugas-tugas sebanyak minimal tiga pokok tema. Waktu pemberian tema, pengerjaan hingga pengumpulan tugas-tugas akan ditentukan dan diinformasikan kemudian kepada mahasiswa.

(Bobot Nilai : 20/100 x hasil refapitulasi tugas) Tugas I (75) ; tugas II (65) ; Tugas III (80) 75 + 65 + 80 = 220 (220 : 3 = 73)

Contoh: 20/100 x 73 = 14.6

Nilai akhir semester 30% hasil ujian MID = 24 50% hasil ujian Semt = 42.5 20% hasil tugas = 14.6 Total : 81.1 (A)

(3)

V. Buku-Buku Pokok Yang Harus Dimiliki:

1. J.R. Hutauruk (Koordinator), Tuhan Menyertai Umatnya, Sejarah 125 Tahun HKBP, Pearaja Tarutung, 1988

2. J.R. Hutauruk, Kemandirian Gereja, BPK, Jakarta, 1992

3. Walter Lempp, Bernih Yang Tumbuh XII, Suatu Survey Mengenai Sejarah Gereja di Sumatera Utara, LPS PGI, Jakarta

4. P.B. Pedersen, Darah Batak Dan Jiwa Protestan, Perkembangan Gereja- Gereja Batak di Sumatera Utara, BPK, Jakarta, 1975

5. Th. Muller Krueger, Sejarah Gereja di Indonesia, BPK, Jakarta, 1966

6. Th. Van Den End, Ragi Carita II, Sejarah Gereja di Indonesia 1960-an hingga sekarang, BPK, Jakarta, 1992

7. Andar M. Lumbantobing, Makna Wibawa Jabatan Dalam Gereja Batak, BPK, Jakarta, 1996

8. Lance Castle, Kehidupan Politik Suatu Keresidenan di Sumatera: TAPANULI (1915-1940), Gramedia, Jakarta, 2001

9. J.R. Hutauruk, Menata Gereja, BPK, Jakarta, 1986

10. Jans Aritonang, Sejarah Pendidikan di Tanah Batak, Jakarta: BPK, 1988 11. P.B. Pedersen, Darah Batak Dan Jiwa Protestan, Jakarta, BPK, 1975

12. Lothar Scheiner, Telah Ku Dengar Dari Ayahku, Perjumpaan Adat Dengan Iman Kristen di Tanah Batak, BPK, Jakarta, 1978

13. A.A. Sitompul (Peny), Perintis-perintis kekristenan di Sumatera Bagian Utara, BPK, Jakarta, 1986

14. Greenleaf, Robert K : Servant Leadership: A Journey Into The Nature Of Legitimate Power And Greatness (New York: Paulist Press, 1991 )

15. Hasselgren, Johan: Batak Toba di Medan: Perkembangan Identitas Etno- Religius Batak Toba di Medan, 1912-1965 (Medan: Penerbit Bina Media Perintis, 2008)

16. Nainggolan, Togar: Batak Toba di Jakarta: Kontuinitas dan Perubahan Identitas (Medan: Penerbit Bina Media, 2006)

17. Rajamarpodang,DJ. Gultom 1992: Dalihan Na Tolu Nilai Budaya Suku Batak (Medan: CV. Armada, 1992)

18. Siahaan, Bisuk: Batak Toba Kehidupan di Balik Tembok Bambu (Jakarta:

Kempala Foundation, 2005)

19. Simanjutak, Bungaran A: Struktur social dan Sistem Politik Batak Toba (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006)

20. Skidmore, William: Teoretical Thinking in Sociology (London: Cambridge University Press, 1975)

21. Suseno, Frans M: Etika Politik (Jakarta: Gramedia, 2000)

22. Tampubolon, I: Adat mendirikan Huta/Kampung (Medan: Percetakan Philemon Siregar, 1968)

23.Vergouwen, J. C: Masyarakat Dan Hukum Adat Batak Toba (Jakarta: Pusata Azet, 1985)

Catatan: Yang dianjurkan mengontrak mata kuliah ini adalah mahasiswa yang sudah lulus Mata Kuliah: Sejarah Agama Kristiani (SGU), Sejarah Gereja Asia (SGA), Sejarah Gereja di Indonesia (SGI).

(4)

MASYARAKAT DAN AGAMA BATAK SEBELUM KEKRISTENAN

Selayang Pandang

Pendahuluan

1. Secara umum, selama bertahun-tahun (sebelum abad 19) masyarakat suku Batak khususnya yang mendiami Provinsi Sumatera Utara (ada enam etnis suku mendiami wilayah ini yakni: Karo, Pakpak atau Dairi, Simalungun, Toba, Angkola dan Mandailing) hidup terpencil dari hubungannya dengan dunia luar karena letak geografisnya yang bergunung-gunung. Kendati pun demikian, namun dapat dikatakan bahwa orang Batak telah mengembangkan sistem- sistem kompleks kehidupannya sehari-hari di bidang social, hukum dan agama. Pokok inilah yang menjadi perhatian utama dalam pembahasan selanjutnya terhadap penelusuran metode kerja para misionaris menerapkan Injil ke dalam kehidupan orang Batak dalam sejarah misi. Artinya, para misionaris perlu menyesuaikan konsep-konsep kekristenan kepada perbendaharaan kata dan struktur social dari masyarakat Batak yang tradisionil. Dalam hubungan ini, nyata bahwa kebudayaan Batak telah membuktikan kekuatannya dengan menempatkan pengaruh-pengaruh asing masuk ke dalam kebudayaan Batak yang tradisionil masa selanjutnya. Ada indikasi bahwa ada pengaruh kebudayaan Hindu dan Buddha (thn 2000 seb.

Masehi – 1500 AD) masuk kepada sistem-sistem kehidupan orang Batak, namun sejauh pengaruh ini tidak menguasai keseluruhan masyarakat Batak.

Demikian dengan keislaman yang sudah sangat dinamis di daerah Utara- Aceh dan Selatan-Minangkabau (Islam masuk ke Indonesia, abad 13-14), unsur ini gagal menggantikan keperayaan Batak tradisionil. Secara umum para peneliti abad 19 tentang masyarakat Batak memberi kesimpulan bahwa streotip (ciri karakter) utama sebagai pengenalan kepada masyarakat Batak sebelum kekristenan disebut sebagai orang yang “keras sifatnya dan harus dihindari oleh semua orang”. Menurut Pedersen (Darah Batak…, hl. 16) William Marsden-lah yang secara positif pertama sekali menyimpulkan bahwa orang Batak: menurut penelitiaannya mengatakan sebagai : “masyarakat yang sudah memiliki peradaban yang telah berkembang tinggi dengan pengalaman duniawi di bidang social, hukum dan agama”. Penting ditekankan bahwa menurut sejarahnya, masyarakat Batak tidak pernah secara langsung berada di bawah pemerintahan asing sebagai jajahan yang tak bebas.

2. Kepercayaan Terhadap Agama Tradisionil. Sebelum uraian ini dilanjutkan dapat dikatakan bahwa: ketika misionaris-misionaris Kristen tiba di tengah kehidupan orang Batak, mereka telah menemukan hilmat bahwa orang-orang

(5)

Batak adalah satu suku bangsa yang sangat bergairah dan memiliki kesadaran yang hidup dan kekuatan agamaniah di dunia sekitar mereka (kesadaran tentang adanya kekuatan supra alamiah dunia sekitar). Pemujaan terhadap kekuatan supra alamiah inilah yang kemudian sangat dikutuk oleh para misionaris namun sifat kesalehan Batak terhadap kegiatan dinamis dari kuasa agamaniah ini tetap dipelihara dalam konteks Kristen. Kemudian para misionaris menganggap hal ini menyenangkan, malah esensil untuk menerangkan pemberitaan mereka dalam istilah tradisonil.

Tentang kepercayaan Batak terhadap agama tradisionil ini dapat dikatakan sebagai berikut:

a. Kosmologi Batak tradisionil membagi eksistensi kehidupan ke dalam tiga tingkat dunia (dunia) yakni: Dunia atas, sebagai kerajaan Dewata tertinggi yaitu: “Mula jadi Na Bolon dan roh nenek moyang yang sudah meninggal”.

Dunia tengah, sebagai gelanggang keseluruhan kegiatan manusia, dan Dunia Bawah sebagai tempat tinggal para hantu dan setan yang diperintah oleh Naga Padoha sang ular Naga. Orang Batak Toba mengalami seluruh ruang kosmis sebagai suatu totalitas dunia bawah, dunia atas dan dunia tengah, di mana ssetiap tingkat mempunyai suatu fungsi khusus dalam keselarasan kehidupan (eksistensi). Sebuah pohon kehidupan yang tingginya dari dunia bawah hingga ke dunia atas merupakan symbol Dewata Tertinggi dalam menyatukan segala kehidupan dan mewakili seluruh tata tertib kosmis. Nasib setiap orang tercatat pada pohon kehidupan ini, yang dari padanya seluruh kehidupan berasal.

b. Seluruh daya upaya orang Batak selama hidupnya harus tertuju pada pengembangan dan penyempurnaan “sahala” (kewibawaan, kemewahan, kemuliaan dan kekuasaan). Sahala ini mencakup kewibawaan, harta benda, keturunan (bibit), keberanian, kegagahan, kecerdasan, kecerdikan, kemahiran bicara, keluruhuran budi, rasa keadilan, kesaktian, ilmu gaib, pengetahuan yang luas, dan lain sebagainya. Sebelum kekristenan, orang yang sanggup membangun sebuah kampung baru, menang main judi, berperang, berperkara, dan lain sebagainya soal-soal yang sebenarnya tidak wajar dia menangkan (pintar bersoal jawab) adalah orang yang diakui telah memilik “sahala” lebih dari sesamanya. Oleh karena itu, hingga masa modern abad 21 ini, pengaruh paham ini sangat berpengaruh kepada orang orang Batak melalui usaha berbagai cara agar mendapatkan “sahala” termasuk himbauan orang tua kepada anaknya agar rajin sekolah.

3. Bentuk Kepemimpinan Tradisionil. Identitas bentuk kepemimpinan tradisionil masyarakat Batak, ini sangat menonjol pada peran Datu yang sekaligus berfungsi sebagai imam, raja dan sebagai kepala desa. Menurut penelitian para ahli (lih. Andar Lumbantobing, hl.36) peranan dan fungsi datu ini lebih sebagai pengaruh dari jaman Hindhu-Buddha di mana peranan ini merujuk pada suatu jabatan keimaman, kebangsawanan yang lebih tinggi, atau kepada suatu gelar yang mungkin dapat dipergunakan. Sebelum

(6)

kekristenan fungsi datu (hadatuon) ini bagi orang Batak adalah sebagai penghubung unsur-unsur magis dengan tugas-tugas yang bersifat medis- agamaniah secara asasi dan bersifat pengajaran. Sebelum kekristenan, untuk banyak urusan kehidupan sehari-hari seluruh masyarakat Batak sangat tergantung pada pengetahuan dan kemampuan datu, sebab datu diakui sebagai orang yang memiliki talenta khusus untuk menambah kekuatannya sendiri melawan kuasa kuasa kosmos. Kemampuan seorang datu menurut orang Batak adalah orang yang dapat mengalahkan kuasa roh jahat, mendamaikan roh yang tidak ramah, menyembuhkan segala macam penyakit, mengendalikan cuaca, dapat mempengaruhi hasil panen, dan menetukan masa depan. Datu juga berfungsi sebagai seorang dokter, dapat menyatakan perang, hari menikah, membangun rumah dan dapat membaca isi perut seekor anak ayam dan dapat menafsirkan satu peristiwa masa lalu demikian dengan peristiwa yang akan datang.

4. Organisasi Social. Kesempurnaan hidup orang Batak sejak awal hingga masa modern ini, sangat dipengaruhi oleh keikutsertaannya dalam urusan- urusan adat. Orang Batak meyakini bahwa pemeliharaan terhadap adat sangat berhubungan dengan pencegahan terhadap bencana, pemulihan, keselarasan, kesuburan, kesehatan, dan kesejahteraan golongan.

Berhubungan dengan keyakinan ini, kecelakaan, bencana dan gejala-gejala alam yang aneh yang mengancam kesejahteraan segolongan masyarakat Batak ini sangat dihubung-hubungkan dengan pemeliharaan dan pelanggaran terhadap adat. Melalui adat, orang Batak sangat menjunjung tinggi kecerdasan nenek moyang yang merumuskan peraturan-peraturan adat, sehingga masa setelah kekristenan sangat sulit merubah aspek-aspek yang fundamental dari adat. Dalam makna yang lebih luas, adat adalah sumber identitas bagi orang Batak sehingga melalui realitas ini sejak awalnya gereja sudah mengadopsi beberapa aspek adat masuk ke dalam struktur gereja.

5. Organisasi-Organisasi Agama Tradisional. Orang Batak (sebelum) kekristenan menganut agama-agama tradisonil, di mana agama-agama tardisionil orang Batak ini dapat diidentifikasi ke dalam beberapa kelompok (lih. Lance Castle, hl. 57-69 juga: P.B. Pedersen, hl. 41-44), sebagai berikut:

a. Kaum Parmalim. Kelompok agama tradisionil ini mulai muncul di kalangan orang Batak baru akhir tahun 1870-an . Latarbelakang munculnya kelompok ini, bersumber dari beberapa orang Batak yang berusaha melindungi unsur-unsur tradisionil Batak dari pengaruh-pengaruh yang dianggap merusak dari mulai masuknya agama Kristen, Islam, dan kolonialisme. Sekte ini, pertama sekali didirikan oleh Guru Somalaing Pardede (dari Balige) bersama dengan Raja Sisingamangaraja yang merekrut pengikut-pengikutnya dari daerah Toba (Uluan) dan Simalungun.

Nama Parmalim diadopsi dari istilah bahasa Batak: “Malim” yang berarti:

untuk menjadi merdeka”. Gagasan tentang agama tradisionil baru ini diperoleh Guru Somalaing dalam suatu perjalanannya bersama dengan

(7)

seorang ahli botani (ahli ilmu tumbuh-tumbuhan) Italia bernama: Elio Modigliani yang berkunjung ke tanah Batak melakukan penelitiannya ketika itu. Dalam perjalan mereka Somalaing mendapat informasi dari Elio tentang ajaran agama Katolik (Trinitatis) sebagai: Yehowa, Maria dan Yesus. Somalaing mengasosiakan pemahamannya kepada Sisingamangaraja yang setara dengan Raja Romawi, Raja Turki (Paus dan Sultan Turki secara berturut-turut) Raja Hatorusan, Raja Uti (tokoh mitologi Batak) Sideak Parujar dan Naga Padoha (dewa Batak). Pengikut kelompok ini menyebut diri sebagai Parsiakbagi

b. Kelompok Parhudamdam. Kelompok ini mulai popular tahun 1907 dan tahun 1920, munculnya kelompok agama tradisionil ini juga merupakan gerakan perlawanan terhadap pengaruh-pengaruh asing bagi unsur-unsur tradisionil Batak. Gerakan kelompok ini sangat diilhami oleh tewasnya Raja Singamangaraja XII yang kemudian diikuti oleh awal mulai berpengaruhnya kolonialisme Belanda di Tapanuli. Keadaan ini, bertindaklanjut pada beban masyarakat Batak oleh sistem pajak yang sangat berat oleh pemerintah kolonial kepada orang Batak. Pembebanan sistem pajak ini, kemudian diikuti dengan penyusunan kembali pola-pola tanah milik dan penyebaran pengaruh kekuasan Belanda ke seluruh wilayah Tapanuli. Intinya, munculnya “agama tradisionil baru” ini adalah melingkungi kenangan terhadap Sisingamangaraja dengan suatu mytologi yang mesianis dan Dewata tertinggi dengan suatu tema kebinasaan bagi orang-orang yang tidak mempercayainya. Awalnya gerakan kelompok ini direalisasikan dengan perjalanan keliling guru-guru Parhudamdam ke berbagai kampung orang Batak dengan tujuan menarik seluruh warga kampung masuk menjadi anggotanya. Namun tidak lama, gerakan ini hilang lenyap sebab mereka tidak sanggup mempersatukan golongan- gologan social, politik, dan orang-orang Batak yang bermacam kepentingannnya. Lenyapnya golongan ini sangat didukung oleh gencarnya perlawanan dilakukan oleh militer kolonial Belanda terhadap mereka, juga oleh anggapan kebanyak orang Batak menilai golongan ini ketinggalan zaman dari proses modernisasi yang dinamis.

c. Golongan Sirajabatak. Populernya kelompok ini berawal dari peristiwa tanggal 17 Juni 1942 dimana gerakan sirajabatak dari seluruh Indonesia diorganisir untuk memanggil orang-orang Batak kembali pada agama nenek moyangnya. Pada pertemuan ini, pemujaan terhadap Dewata tertinggi diproklamirkan, ritus pesta-pesta kurban di lakukan, demikian penghormatan terhadap nenek moyang suku bangsa dan pemujaan terhadap adat juga peraturan-peraturan memelihara tradisi kuno ditekankan. Awalnya, metode kerja kelompok ini dilakukan dengan merekrut orang-orang Kristen yang kena hukuman disiplin gereja, tetapi tidak pernah menarik jumlah pengikut yang besar. Dari indikasi ini, sirajabatak memasukkan banyak unsur kepercayaan kekristenan ke dalam agama tradisionil ini dan menekankan nasionalisme dalam ajarannya.

(8)

6. Komunikasi Antar Etnis Batak Sebelum Tahun 1861. Penting sebagai gambaran bahwa hingga tahun 1825 seluruh suku-suku Batak di wilayah Sumatera Utara tidaklah beragama Hindhu, Islam atau Kristen dan tidak tunduk kepada suatu penguasa jajahan. Bahkan boleh dikatakan bahwa sampai tahun 1861, oleh pengaruh keadaan alam, tidak memungkinkan adanya komunikasi yang lancar antar etnis Batak berlangsung, sehingga melaluinya hubungan satu sama lain sangat terisolasi dari pengaruh luar.

Namun melalui keadaan ini, gejala baru yang mengarah kepada perpisahan antar etnis Batak nampak semakin besar jurang pemisahnya. Sebab mulai dekade ini, umumnya daerah-daerah pesisir sudah menjadi daerah sultan yang mempunyai daya ekonomi dan tata pemerintahan yang lebih maju (Hutauruk, Kemandirian, hl. 10-12). Gencarnya gerakan islamisasi daerah pesisir Batak terjadi sekitar tahun 1825, di mana suku-suku daerah sekitar Batak yang beragama Islam (Aceh, Minangkabau dan Melayu Di Sumatera Timur) melalui perdagangan turut mempertebal jurang pemisah komunikasi ini. Demikian dengan kehadiran para pedagang asing yang menganut Agama Islam telah dimamfaatkan para pengusaha pribumi meningkatkan kehidupan jasmani maupun rohani mereka. Jarak pemisah ini kemudian semakin diperbesar oleh ekspedisi seorang ahli pertanian berkebangsaan Belanda di tanah Deli yaitu: Neuwenhijs yang tahun 1861 mulai merobah hutan-hutan Sumatera Utara menjadi daerah-daerah perkebunan milik bangsa Asing seperti kebun kelapa sawit, karet, teh, tembakau dan lain-lain (lih. J.R.

Hutauruk, 125 tahun HKBP, 15-16). Demikian dengan penemuan dan pembukaan sumber minyak di Pangkalan Brandan tahun 1885 juga ikut mempertebal jauhnya jarak komunikasi antara tanah Batak Pesisir dan orang Batak di bagian wilayah pedalaman Sumatera. Dengan indikasi ini, dapat dikatakan bahwa perkembangan di daerah Tenggara Sumatera Utara telah mempertebal jurang pemisah tanah Batak di pesisir dan di pedalaman.

Pedalaman (Tapanuli) tetap dalam eksistensinya yang lama tanpa pengaruh para sultan dan para penguasa asing serta pemerintah Belanda.

Perkembangan di daerah tetangga, sampai tahun 1861 telah memberikan indikasi bahwa agaknya pada saat yang tidak lama dan tanpa membutuhkan banyak tenaga, Belanda akan segera berhasil menduduki daerah tanah Batak (pedalaman) itu. Namun nyatanya ketika itu, Belanda tidak merasa penting baik secara eknomi maupun politik segera menduduki tanah Batak, sebab masih ada daerah yang lebih bersifat strategis untuk diduduki yakni tanah Eceh yang sangat luas.

7. Selayang Pandang Tentang Masuknya Keristenan di Indonesia. Dibawah ini dapat diuraikan tentang mulai masuk, bertumbuh dan berkembangnya kekristenan di Indonesia:

a. Bersamaan dengan penaklukan Albuquerque tahun 1551 kepada Malaka, Franciscus Xaverius rasul untuk Indiea itu tiba di Maluku dan mulai mengabarkan Injil di sana.

(9)

b. Tahun 1596, masuknya pertama sekali kapal-kapal dagang Belanda di Pulau Jawa, dan inilah permulaan zaman perdagangan besar antara Belanda dengan penduduk pulau Jawa.

c. Tahun 1602, kongsi perdagangan Belanda yang terkenal dengan VOC:

Vereenigde Oost Indische Compagnie didirkan di Belanda, oleh pemerintah Belanda diakui sebagai satu-satunya kongsi dagang Belanda yang mengadakan hubungan dagang dengan Indonesia. Lama kelamaan kongsi dagang ini ternyata tidak hanya mengurusi soal perdagangan, tetapi malah terfokus ke urusan militer yang menguasai seluruh Indonesia d. Hingga tahun 1820, pertama sekali gereja Baptis Inggris mengutus tiga

orang misionarisnya ke Bengkulu untuk menjumpai jenderal Militer Belanda bernama Rafless, ketiga orang inilah yang berhasil mencapai tanah Batak yang masih kafir.

8. Periodesasi Sejarah Gereja Batak. Untuk melanjutkan uraian kuliah ini secara lebih detail, maka penting ditekankan bahwa periode sejarah gereja Batak dapat dibuat sebagai berikut:

a. Periode I (Periode awal: 1820-1911): Periode ini ditandai dengan masuknya para misionaris pertama ke tanah Batak yang sekaligus melalui metode dan hasil kerja mereka pertumbuhan gereja dimulai di tanah Batak. Walau ‘umumnya’ gereja-gereja Batak adalah hasil misi badan Zending RMG: Rheinische Missionsgesellschaft, namun badan misi yang pertama sekali masuk ke tanah Batak (1824) adalah BMS: Baptist Missionary Society dari Inggris.

b. Periode II (Periode Pengembangan dan Pendewasaan: 1912-1961):

Periode ini ditandai dengan berlangsungnya perubahan-perubahan umum di wilayah Sumatera Utara di mana keadaan ini mempercepat lahirnya suatu dunia baru. “Dunia baru” inilah yang mempengaruhi keadaan perkembangan gereja-gereja pada umumnya di Sumatera Utara dan di tanah Batak khususnya.

c. Periode III (Periode persiapan memasuki Era Modern: 1962-sekarang):

Periode yang penuh harapan dan tantangan menyongsong era modern dan globalisasi.

(10)

PARADIGMA KEPEMIMPINAN BATAK TOBA TRADISIONAL

(Suatu Pendekatan dari Sudut Sejarah dan Antropologi Budaya Batak)

Pendahuluan

1. Melalui tema ini, hendak dijelaskan suatu hal mengenai: “Paradigma Kepemimpinan Menurut Pandangan Batak Toba Tradisionil” (suatu pendekatan dari sudut sejarah dan antropologi budaya Batak). Pada posisi ini, penting bagi mahasiswa memahami secara mendalam inti tekanan tema ini sebab mahasiswa dapat diharapkan mampu mengaktualisasikan diri di tengah pelayanan. Mengingat gereja dan orang Kristen sekarang sedang berada pada titik balik sejarah dunia (sejarah gereja) di mana banyak terjadi perubahan yang memang nyata sulit dibayangkan beberapa decade yang lalu. Gereja sedang menghadapi realitas dunia dengan fenomena baru yang bergerak cepat dan sering disebut sebagai “Globalisasi”. Pada decade terakhir ini, kecepatan globalisasi nyata sungguh luar biasa, kecepatan ini didukung oleh liberalisasi ekonomi dan teknologi informasi yang demikian canggih dan nyata sudah meruntuhkan banyak birokrasi dan batas-batas Negara dan wilayah. Nilai-nilai positif dan negatif, ancaman dan peluang datang silihberganti dan secara bersamaan dengan femomena dimaksud.

Sekarang tergantung kepada gereja (umat Kristen) umumnya, khususnya kepada mereka yang dipercayakan pemimpin diharapkan dapat mempergunakan keadaan ini untuk mendatangkan berkat dan kebaikan, atau justru membiarkan perubahan berjalan begitu saja dengan konsekwensi akan tergilas jaman.

2. Sejauh penelitian (dosen pengampu kuliah ini) dilakukan tentang teori-teori kepemimpinan (pemerintahan), dan menurut para ahli sangat banyak teori serta defenisi tentang pemimpin dan kepemimpinan. Hikmatnya, kalau ditanyakan kepada mereka yang ahli dalam bidang ini, semuanya mungkin menjawab melalui defenisi yang berbeda-beda. Contohnya Robert K.

Greenleaf,1 ia mengumpulkan pendapat para ahli dan mencoba mendefenisikan kepemimpinan mengatakan bahwa: “kepemimpinan adalah kapasitas dan kemauan mengarahkan orang untuk tujuan bersama dan karakter yang mengilhami keyakinan”. Ada yang mengatakan bahwa seorang pemimpin adalah “dia yang memahami dengan jelas apa yang dibutuhkan dan apa yang benar dan mengetahui bagaimana menggerakkan orang yang dipimpin dan sumber daya yang ada untuk mencapai tujuan berama”.

1 Robert K. Greenleaf, Servant Leadership: A Journey Into The Nature Of Legitimate Power

(11)

Selanjutnya dalam buku yang sama, Greenleaft mengutip pendapat Howard Gardner2 berkata: “seorang pemimpin adalah sebagai orang yang banyak mempengaruhi pemikiran, sikap dan perasaan orang lain tentang sesuatu”.

Dikatakan juga bahwa kepemimpinan adalah “suatu kemampuan untuk menggerakkan orang bekerjasama dengan entusiasme untuk mencapai tujuan bersama”. Dari banyaknya defenisi tentang kepemimpinan dapat dipahami bahwa seorang pemimpin harus memiliki kualitas-kualitas tersendiri atau kemampuan untuk mempergunakan sumber daya manusia dan sumber daya lainnya untuk mencapai tujuan-tujuan yang sudah ditentukan dalam sebuah organisasi khususnya dan lembaga masyarakat umumnya. Istilah entusiasme di sini menunjukkan bahwa seorang pemimpin harus memiliki kualitas khusus untuk mendorong atau memberi motifasi sehingga orang- orang yang dipimpin dapat dengan semangat melakukan yang terbaik demi tercapainya visi dan misi kepemimpinan. Pada akhirnya, dalam bukunya Greenleaft3 menyarankan suatu model dan konsep dalam kepemimpinan yang disebutnya sebagai: “Servant Leadership” (kepemimpinan hamba) mengatakan bahwa “pemimpin hamba pertama-tama ia harus bertindak sebagai hamba, itu dimulai dengan perasaan alamiah bahwa dia benar-benar ingin untuk melayani kemudian dengan pilihan secara sadar akan menuntun dia untuk ingin memimpin”.

3. Berhubung dengan uraian di atas, “bagaimana masyarakat Batak Tradisionil dulu (sebelum jaman Belanda dan kekristenan) menerapkan bentuk dan gaya kepemimpinan dan pemerintahan dalam masyarakatnya?” Inilah yang menjadi pertanyaan dasar dan kokoh melalui studi tema ini, tentu adalah tidak mudah menjawab dan menjelaskan ini. Mempertimbangkan pernyataan para ahli4 di mana hampir semua menyimpulkan bahwa berhubungan dengan system politik dan pemerintahan masyarakat Batak, bahwa: “orang Batak dahulu (pada jaman tradisionilnya yakni sebelum masuknya kekristenan dan sebelum berkuasanya kolonialisme Belanda) tidaklah mempunyai susunan pemerintahan yang teratur dan tegas bidang-bidang kerajaan di Jawa seperti Kediri, Singosari, Mataram, Mojopahit, dan lain sebagainya”. Hingga masa penelitiannya, B. A. Simanjuntak,5 tidak yakin bahwa ada satu kerajaan yang

2 Greenleaft., Ibid

3 Greenleaft, Ibid

4 Lih. Prof. Bungaran A Simanjutak, Struktur social dan Sistem Politik Batak Toba (Jakarta:

Yayasan Obor Indonesia, 2006) hl. 66. Buku ini awalnya merupakan sebuah Tesis B. A.

Simanjuntak untuk Instituut voor Culturele Atropologi di Leiden Belanda, yang bahan penelitian topicnya sebelumnya telah dilakukannya antara tahun 1975-1976 sebelum penulis kuliah di Post Graduate Anthropology Universitas Leiden Belanda (selesai 1978 ). Fokus perhatian penulis dalam buku ini adalah perkembangan social budaya yang sangat cepat dewasa ini telah menimbulkan banyak dampak terhadap pergaulan dan kehidupan social orang Batak Toba, terutama yang hidup di desa-desa dan kabupaten Tapanuli. Perkembangan itu sangat didasari sepenuhnya oleh pengaruh kemajuan pendidikan, hubungan masyarakat yang terbuka dan sangat cepat antar propinsi dan antar suku bangsa. Perubahan yang terjadi itu, pula sangat berpengaruh kepada sturktur dan system social masyarakat Batak Toba secara keseluruhan.

(12)

betul-betul seperti kerajaan-kerajaan di negeri Eropa pada abad pertengahan, terdapat di tanah Batak. Kalau pun ada kerajaan yang dipimpin oleh Sisingamangaraja, sifat dan bentuknya tidak seperti kerajaan-kerajaan di Eropa maupun di Jawa. Pemerintahan di tanah Batak sebelum pengaruh kekristenan dan Belanda, itu bercampurbaur antara organisasi formal dengan adat istiadat yang merupakan bagian dari kehidupan masyarakat, bahkan

“adat merupakan landasan pemerintahan”. Artinya bahwa bagi orang Batak tradisionil pemerintahan masyarakatnya, itu dijalankan sebagai manifestasi (sangat berhubungan integral) dari adat.6 Tekanan pokok yang hendak disampaikan melalui penjelasan ini adalah bahwa: “sampai saat kedatangan Belanda (juga sampai sebelum kedatangan kekristenan) ke Tanah Batak, kecuali untuk pembayaran upeti kepada colonial, tidaklah terdapat keterikatan orang Batak terhadap bangsa-bangsa tetangganya secara hierarkis”.7 Artinya, ke enam suku Batak, masing-masing tidaklah dipimpin oleh satu system pemerintahan dan kekuasaan yang menganyomi seluruh wilayahnya maupun social kemasyarakatannya. Kekuasaan politik seorang pemimpin bagi secara umum suku Batak, hanya berlaku dan terbatas pada marga dalam masing-masing (tidak kepada semua anggota kelompok satu suku) suku, termasuk: “raja-imam Batak Sisingamangaraja”. Pernyataan ini semakin jelas melalui pernyataan Lance Castle mengungkapkan bahwa:

“sebelum masa colonial Belanda, masyarakat Batak (Toba) hampir tidak mengenal Negara”.8 Penjelasan inilah yang mengilhami sangat kuat motivasi penulis melakukan studi ini sekaligus merumuskan judul seperti diuraikan di atas. Penulis sadar betul bahwa penelitian dan penjelasan tema ini masih belum representative menguraikan dan menjelaskan konsep kepemimpinan

6 Masyarakat Toba pra-kolonial, tidak memiliki (mengenal) konsep Negara dan organisasi politik dasarnya terdiri dari desa-desa kecil. Desa-desa kecil ini diperintah oleh masing-masing raja (pemimpin) yang sebenarnya merdeka, meski pun mereka merupakan bagian dari jaringan yang kompleks dengan desa-desa yang lain berdasarkan hubungan dan keanggotaan marga dalam komunitas-komunitas pemujaan yang lebih besar (bius). Lih. Johan Hasselgren, Batak Toba di Medan: Perkembangan Identitas Etno-Religius Batak toba di Medan, 1912-1965 (Medan: Penerbit Bina Media Perintis, 2008) hl. 68

7 J.R. Hutauruk, Kemandirian Gereja (Jakarta: BPK-GM, 1992) hl. 15. Dengan mengutip pendapat J. Tiedeman, mengakatakan bahwa: “kehadiran Raja na Opat tidak memberi/membawa perubahan yang nyata dalam tata tertib social suku bangsa Batak”.

Seperti: a). Untuk Simalungun disebut: “Raja na Opat”, yaitu keempat raja (di Silo, Pane, Siantar, dan Tanah Jawa). b). Di kalangan suku Batak Toba di daerah Toba dan Silindung terdapat lembaga “Raja na Opat”, di mana Raja na Opat memperoleh gelarnya dari seorang pembesar adat di Barus, yang beragama Islam dan yang konon adalah keturunan Minangkabau. Raja na Opat di Silindung menyandang gelar: Rangkae Tua (yakni di tengah marga Sitompul, Panggabean, Hutabarat dan Sisangkal), Baginda Hulana (di tengah marga Hutabarat Partali dan Hutabarat Parbaju), Raja Ilamuda (di tengah marga Hutauruk, Situmeang dan Simanungkalit) dan Bagot Sinta (di tengah marga Hutapea, Lumbantobing dan Hutagalung). Ke empat Raja na Opat di Silindung merupakan “Raja bawahan” dari raja-Imam Sisingamangaraja.

8 Lance Castle, Kehidupan Politik Suatu Keresidenan di Sumatera: Tapanuli, 1915-1940 (Jakarta, Kepustakaan Populer Gramedia: KPG, 2001) hl., 6. Penduduk tinggal di kampung- kampung yang disebut huta di mana huta dipimpin oleh yang disebut sebagai “raja ni huta

yang adalah pendiri kampung atau para keturunannya. Penghuni kampung tidak tunduk secara

(13)

Batak Toba secara detail seperti dijelaskan di atas. Tulisan ini hanya sebagai usaha dari seorang Pelayan (Pendeta) yang sedang studi dan berusaha belajar, bertanya dan menggumuli dan lain sebagainya tentang: “Paradigma Kepemimpinan Tradisionil Batak Toba”. Penulis berharap, akhirnya tulisan ini dapat menjadi representative sebagai bahan bacaan bila pembaca memberikan kritik (dukungan) dan kontribusi (sumbangan) pikiran yang tentu membangun wacana penulis tentang makna filosofi budaya Batak Toba tentang kepemimpinan. Sengaja sub judul tema ini dirumuskan dengan:

Sebuah pendekatan dari sudut sejarah dan antropologi budaya (Batak Toba)” di mana melalui pendekatan ini, penulis berharap dapat dengan mudah mensystematisasi sekaligus mengelompokkan identitas (pokok-pokok pikiran secara tematis) dan menekankan maksud uraian tema ini menurut tujuan yang hendak dicapai oleh penulis sendiri.

Selayang Pandang Tentang Batak Toba Tradisionil

4. Secara ginealogis-antropologis, ada enam (cabang) suku yang mendiami wilayah daratan bagian Utara dan Barat Laut Pulau Sumatera di mana ke enam suku itu disebut sebagai suku “Batak”. Ke enam suku itu yakni: “Karo, Pakfak/Dairi, Simalungun, Toba, Angkola dan Mandailing” yang masing- masing (cabang) suku ini memiliki dialek (bahasa) tersendiri. Hingga pertengahan abad 19 (sebelum tahun 1850-an), semuanya masih sangat sulit menerima pengaruh-pengaruh budaya dari luar baik secara antropologis maupun cultural9. Artinya, masing-masing suku masih sangat tertutup satu sama lainnya namun sifat tertutup ini mulai terbuka setelah berlangsungnya penyerbuan dan pendudukan Islam di bagian Selatan daerah Batak (pada tahun 1830-an) yang kemudian disusul dengan masuknya Reinse Zending (Rheinische Missionsgesellschaft: RMG) sebuah badan penginjilan dari Jerman. Jauh sebelumnya, Hindu telah berpengaruh kepada system struktur social dan hukum Batak. Untuk membuktikan pengaruh Hindu terhadap sturktur social dan hukum Batak, J. Tiedeman dan Harry Parkin masing- masing telah menulis buku berjudul “Pengaruh Hindu di Bagian Utara Tanah Batak/Hindoe Invloed in Noordelijk Batakland”, buku ini telah diterbitkan tahun 1936 di Amsterdam Belanda. Buku kedua ditulis Harry Parkin berjudul

“Pengaruh Hindu Kepada Kehidupan Batak/Batak Fruit of Hindu Thought”.

Menurut Bisuk Siahaan10, agaknya buku Harry Parkinlah yang lebih

9 Andar M. Lumbantobing, Makna Wibawa Jabatan Dalam Gereja (Jakarta: BPK-GM, 1996) hl., 1-2. Penjelasan ini didukung oleh J.R. Hutauruk, mengatakan: “suku-suku Batak yang temasuk rumpun Melayu-Purba, hingga sekitar tahun 1825 tidaklah beragama Hindu, Islam dan Kristen dan tidak tuntuk kepada suatu penguasa jajahan”. Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan social budaya yang mereka alami setelah 1825 sangat ditentukan oleh kehadiran bangsa-bangsa tetangganya yang beragama Islam (suku-suku Aceh di Sumatera Utara, suku Melayu dari Sumatera Timur dan Minangkabau dari Sumatera Barat).

Kemudian berlangsung pengaruh agama Kristen melalui ekspansi perekonomian dan pemerintahan Eropa. Lih. J.R. Hutauruk, Op.Cit., hl. 10-11

10 Lihat, Bisuk Siahaan, Batak Toba Kehidupan di Balik Tembok Bambu (Jakarta: Kempala Foundation, 2005) hl. 43-44. Kesimpulan yang dibuat oleh Bisuk Siahaan terhadap pengaruh Hindu kepada masyarakat Batak tradisionil adalah “pengaruh Hindu hanya terbatas pada

(14)

mendalam dari sudut penguraiannya sebab Parkin menjelaskan persamaan dan perbedaan antara kebudayaan dan kepercayaan Batak Toba dengan orang Tamil yang berasal dari India Selatan. Menurut Parkin,11 ada lima belas kemungkinan diperkirakan dapat mempengaruhi Budaya, cara hidup dan kepercayaan Batak, yakni: pengaruh pemukiman orang Tamil di Lobu Tua Barus; bahasa Sanskerta dalam perbedandaharaan kata Batak Toba;

Pustaha dan tulisan Batak; kalender dan astrologi; biara dan candi Budha- Hindu di Padang Lawas; kerajaan Hindu di tanah Jawa Simalungun; budaya megalit dan sarkofagus; agama dan kepercayaan; konsep Debata Mula Jadi Na Bolon; Debata Na Tolu; Roh alam; Desa Na Ualu; Bindu Matoga; Hariara Jambu Barus”.

J.R. Hutauruk mengatakan12: “berkenaan dengan masa hingga sebelum tahun 1825 tidak dapat disebutkan bahwa ada suku-suku Batak yang tunggal di mana keanekaragaman dialek Batak sangat mengisayaratkan keterasingan mereka satu dengan yang lain dan tidak terdapat sama sekali pengaruh Islam dan Barat di dalamnya”. Bila mulai abad ke-13, melalui perdagangan dan agama Islam telah “meraih” suku bangsa Aceh, Minangkabau dan Melayu, maka disebabkan oleh kepentingan ekonomis dan politis berhadapan dengan suku-suku tetangganya, kaum Batak, maka terjadilah hubungan yang mengakibatkan orientasi keagamaan dan politis yang baru bagi kaum suku Batak. Untuk suku Karo misalnya, bagi yang bermukim di Dusun lama:

kelamaan terpengaruh oleh kesultanan Islam-Melayu di Langkat, Deli dan Serdang, sedangkan yang bermukim di pegunungan tetap bebas dari pengaruh Islam. Hal serupa terjadi bagi suku Simalungun di daerah Simalungun Hilir, khususnya di Pematangsiantar dan Bandar terdapat beberapa orang Melayu Islam. Hingga 1902, beberapa pembesar suku sudah memeluk Islam sebelum permulaan penjajahan Belanda di Simalungun, misalnya raja Pematangsiantar. Untuk kalangan Batak Toba, yang menandai perubahan terjadi ialah penyesuaiannya dengan kebudayaan Melayu di Sumatera Timur (Asahan) sebagai akibat hubungan perniagaan dengan para saudagar dan dengan Sultan-sultan Melayu. Selanjutnya, pengaruh Islam dari Sumatera Barat tidak sebesar yang masuk dari daerah pantai Timur, hanya dapat dikatakan bahwa hingga tahun 1825 pelabuhan Sibolga sudah didominasi oleh orang Batak Toba. Namun tahun 1852, orang Batak Toba mulai mundur ke daratan tinggi walau Sibolga tetap merupakan pusat penting untuk perdagangan orang Batak Toba dengan Melayu Islam. Ke Selatan dari daerah pemukiman Batak Toba, terdapat pemukiman suku Batak Angkola dan Mandailing. Oleh kaum ilmuwan tidak diragukan bahwa mereka adalah keturunan suku Batak Toba. Karena hidup bertetangga dengan kaum Islam Minangkabau, sebelum tahun 1820 mereka juga terkena pengaruh agama Islam.

kepercayaan, falsapah, pandangan hidup Batak” tidak lebih jauh dipengaruhi oleh Hindu.

11 Ibid., hl. 45

(15)

Sistem Kepemimpinan dan Pemerintahan Batak Toba Tradisionil

5. Sebagaimana sudah dijelaskan di atas (pada poin dua 2), DJ. Gultom Rajamarpodang13 menekankan bahwa: “system pemerintahan Harajaon Batak Toba pada masa yang lalu, ini tidak boleh dibandingkan dengan system pemerintahan dengan bentuk sekarang di mana suatu Negara dipimpin oleh seorang Kepala Negara”. Namun untuk menjelaskan system pemerintahan Batak Toba Tradisionil, penting diingat bahwa menurut keyakinan Batak tradisionil: “Dalihan Na Tolu (Tungku Nan Tiga)14 adalah merupakan penerapan kuasa Mulajadi Na Bolon di bumi ini. Wujud pancaran kuasa Mulajadi Na Bolon ini nyata pada paham yang dianut sebagai:

pertama, Debata Na Tolu pada fungsi kebijakan. Kedua, Batara Guru pada fungsi kebenaran dan kesucian. Ketiga, Debatasori Sohaliapan/

Debatabalabulan pada fungsi kekuatan. Orang Batak yakin bahwa setiap pemimpin Batak Toba sejak dari Siraja Batak sampai dengan Sisingamangaraja XII semuanya merupakan titisan Mulajadi Na Bolon.

Keyakinan inilah yang membuat maka setiap pemimpin Harajaon Batak menjadi kepala pemerintahan, pemimpin ugamo sekaligus Raja Adat. Hal ini jelas kelihatan ketika Raja Sisingamangaraja XII memimpin Harajaon Batak.15 Inilah yang mempengaruhi raja-raja Batak sejak dahulu tidak mendirikan istananya karena istananya sendiri adalah rakyatnya sendiri.16 Sejak munculnya Siraja Batak (sebagai asal/nenek moyang semua orang Batak), ia terlebih dahulu mengkonsolidasikan pemerintahannya untuk melanjutkan kuasa kerajaan Batak dengan terlebih dahulu menanamkan kesadaran berbangsa dan bernegara dengan penanaman pandangan ideal Dalihan Na Tolu sesuai dengan pandangan kepercayaan Batak terhadap Mula Jadi Nabolon. Siraja Batak adalah kepala Negara sekaligus sebagai kepala pemerintahan, pemimpin keagamaan dan Raja Adat. Karena pemerintahan belum dapat dijalankan sesuai dengan kedudukannya sebagai kepala Negara

13 DJ. Gultom Rajamarpodang, Dalihan Na Tolu Nilai Budaya Suku Batak (Medan: CV.

Armada, 1992) hl. 422.

14 Lih. Gultom Rajamarpodang, Op.Cit., 52-53. Arti harafiah “Dalihan Na Tolu”: Tungku Yang Tiga Batu-nya (tungku yang disanggah oleh tiga batu). Tungku adalah alat memasak. Orang Batak melambangkan alat memasak makanan dalihan yang tiga batunya sebagai lambing struktur social masyarakatnya. Artinya ada tiga golongan penting dalam struktur social masyarakat Batak, yakni: hula-hula (kelompok marga pemberi isteri), boru (kelompok marga penerima isteri), dan dongan sabutuha/dongan tubu (kelompok marga yang satu asal perut/satu nenek moyang/satu marga). Lih. Juga: B. A. Simanjuntak, Op.cit., hl. 100

15 Op.Cit., 420. Orang Batak tradisionil yakin bahwa awalnya Siraja Batak berpusat di Pusuk Buhit yang kemudian pindah ke Bakkara pada Dynasti Raja Sisingamangaraja. Harajaon Batak tradisionil terbagi atas empat wilayah dan wilayah-wilayah inilah yang disebut sebagai Raja Maropat yang masing-masing wilayah meliputi: Raja Maropat Samosir dengan daerah Pulau Samosir dan sekitarnya. Raja Maropat Humbang dengan wilayah daerah Humbang hingga ke Samudera Hindia dan Aceh Selatan (Singkil). Raja Maropat Silindung dengan wilayah Silindung sekarang sampai Samudera Hindia dan perbatasan Pagaruyung. Raja maropat Toba dengan wilayah Toba sekarang hingga ke pantai Timur perbatasan dengan Riau (Kerajaan Johor).

16 Ibid., hl. 421. Jika pada uraian penelitian ini dibicarakan system pemerintahan Batak Toba, maksudnya adalah bahwa dalam system kemasayarakatan Batak Toba hal inilah yang terus

(16)

maka jalan satu-satunya yang ditempuh adalah dengan menyatukan masyarakatnya dengan keagamaan dengan adat istiadat. Keagamaan dan adat istiadat sudah dapat dijalankan dengan baik, tetapi dalam hal pemerintahan belum terlaksana dengan sempurna dalam pengertian yang sebenarnya menurut hukum ketatanegaraan. Sementara itu nyata bahwa sudah datang pula paham-paham baru yang mempengaruhi pandangan masyarakat Batak. Pada pemerintahan Raja Sisingamangaraja, paham- paham baru itu dihadapi dengan landasan keyakinan yang sudah menjadi hayat masyarakatnya. Dalam hal ini pemimpin-pemimpin Batak sudah berhasil, tetapi bagi perwujudan pemerintahan sesuai dengan ketatanegaraan masih jauh dari pada tujuan. Pada tahap ini juga masih ada yang mengatakan bahwa Sisingamangaraja bukanlah Raja Batak, tetapi adalah seorang pemimpin Batak yang dapat memimpin masyarakat Batak.

Oleh sebab itu, ciri pemerintahan yang dominan nampak pada pemerintahan Batak tradisionil adalah sebagai: “perpaduan antara pimpinan pemerintahan dengan pimpinan keagamaan dan pimpinan adat17”. Menegaskan hikmat pernyataan ini, Bisuk Siahaan18 mengatakan: “hampir di semua tempat di Toba dapat ditemukan mata rantai yang menghubungkan antara marga dan huta, antara kelompok suku dan daerah asalnya. Hubungan tersebut tidak selalu jelas terlihat dan tidak mempunyai tanda-tanda yang mudah dikenal.

Terdapat tiga factor utama yang mengikat penduduk sehingga bersedia tinggal di suatu tempat yaitu, kesilsilahan, kesamaan agama kepercayaan dan wilayah tempat tinggal yang sama”. Ikatan yang paling menonjol adalah kesamaan silsilah dan kedua agama. Daya pengikat yang dianggap lebih longgar dan tidak sekuat factor kekerabatan dan agama. Dalam tiga unsur identitas yang sangat berpadu inilah pokok penelitian ini diarahkan guna menjelaskan system pemerintahan (kepemimpinan) pada masyarakat tradisionil Batak Toba, di mana itu nampak pada apa yang di dalam system struktur masyarakat Batak Toba disebut sebagai Bius, Horja dan Huta.

Bius

6. Bius adalah struktur wilayah dari system pemerintahan Harajaon Batak dengan wilayah tertentu dan mempunyai rakyat serta pemerintahan. Bius adalah tingkatan pemerintahan yang lebih tinggi dalam masyarakat Batak Toba dan pemerintahan Bius sangat bersatu dengan ugamo dan adat.

Wilayah Bius terdiri dari beberapa Horja. Kepala dan pimpinan Bius disebut sebagai Raja Doli. Bius merupakan kesatuan pemujaan sombaon maksudnya banyaknya masalah yang tidak dapat ditangani oleh horja karena berada di luar kemampuannya (seperti musim kering yang sangat panjang, penyakit kolera yang mewabah, masa panceklik dan panen yang gagal dan lain sebagainya). Untuk memohon belas kasihan serta perlindungan maka penduduk membentuk kelompok yang beranggotakan semua marga yang tinggal diwilayah yang tertimpa bencana. Persekutuan inilah yang disebut sebagai Bius. Jelasnya, Bius merupakan gabungan beberapa horja yang

17 Gultom Rajamarpodang, Op.Cit., hl. 453

(17)

terdapat dalam satu kesatuan territorial yang memiliki identitas social tertentu.

Marga-marga yang menjadi anggota suatu Bius memiliki wilayah yang berbeda. Karena itu mereka merasa bahwa sombaon yang terdapat di wilayah mereka harus dipuja secara bersama-sama, supaya dewata dapat memberi beri berkat dan ketenteraman di antara mereka.19 Pusat kegiatan Bius disebut dengan Parbiusan (tempat persidangan raja-raja Bius). Raja-raja Bius adalah Partuho Mangajana yaitu rumpun keluarga sesuai dengan hikmat kebijaksanaan yang dimiliki berdasarkan kelahiran (partubu). Dalam mekanisme pengambilan keputusan rapat, apa yang menjadi keputusan raja- raja Bius adalah sah dan mutlak menjadi keputusan rumpun keluarga yang diwakilinya dan apa yang disetujui mereka adalah menjadi persetujuan dari rumpun keluarga. Untuk merencanakan dan menata pembangunan demi kesejahteraan rakyat Bius, Raja-raja Bius memilih Raja Na Opat Bius20 sesuai dengan keahliannya berfungsi merencanakan dan menata mengenai bidang kepercayaan rakyat Bius. Menurut fungsinya, Raja-raja Bius (dari sudut keberadaannya) berasal dari Raja Jolo-Raja Jolo marga dan dapat diwakili anak sibulang-bulangan marga. Raja Bius adalah wakil-wakil dari Horja. Raja- raja Bius inilah sering disebut Partuho Mangajana yaitu pemilik hikmat kebijaksanaan masyarakat umum sesuai dengan masing-masing marga.

Masing-masing Raja Bius memilih Uluan melalui masyarakat Horja. Uluan adalah pemimpin pelaksana dari satu-satu Horja dari kesatuan marga pada Lumban (beberapa Huta). System kemasyarakatan Lumban (Huta) adalah Dalihan Natolu. Fungsi kekerabatan Dalihan Na Tolu sangat berperan bagi setiap pelaksanaan kegiatan. Raja-raja Bius berfungsi sebagai wakil rakyat dan menjadi penyelenggara pemerintahan yang dipercayakan kepada Raja Na Opat Bius. Uluan sebagai pelaksana pada Horja menugasi para Parhobas sesuai dengan kemampuannya. Raja-raja Na Opat Bius membuat rencana rutin tahunan program kegiatan untuk dilaksanakan Uluan Horja tiap tahunnya. Kedudukan Ihutan adalah untuk mengayomi program. Raja-raja Bius di dalam kesepakatan pada Mangajana (sidang umum) menetapkan semua hal yang berkaitan dengan aspek kehidupan masyarakat Bius, misalnya untuk perburuan demikian dalam hal perikanan termasuk semua bentuk gotongroyong. Semua perintah dari Harajaon Batak disampaikan kepada Ihutan melalui Raja Maropat dan diteruskan ke Bius. Semua perintah itu dilaksanakan dengan konsekwen dan dirasakan oleh masyarakat apabila perintah (tona) tidak dilaksanakan akan mendatangkan bala. Rencana dan program dari Ihutan, terlebih dahulu mendapat persetujuan dari Raja-raja Bius, baru dapat dijalankan oleh Raja Na Opat Bius atas nama Raja-raja

19 B.A. Simanjuntak, Op.Cit., hal. 186

20 Keempat Raja Na Opat Bius ini dapat disebutkan yakni: Pertama, Raja Adat berfungsi merencanakan dan menata mengenai uhum/hukum dan adat. Kedua, Raja Parbaringin berfungsi merencanakan dan menata mengenai bidang social politik dan keamanan Bius.

Ketiga, Raja Bondar berfungsi merencanakan dan menata mengenai perekonomian Bius.

Keempat, Pimpinan Bius yang disebut “Ulu Bius” dipilih Raja-raja Bius. Ulu Bius ini pada mulanya disebut Ihutan karena fungsinya serupa dengan Primus Interpares yang dituakan sesama mereka dan kemudian berkembang menjadi raja adat, pimpinan keagamaan dan

(18)

Bius. Perihal rencana dan Program rutin yang disepekati raja-raja Bius, Ihutan dalam hal ini adalah untuk mengayomi. Yang menyangkut hukum, baik yang menyangkut perdata maupun pidana (termasuk adat) ada di tangan Raja-raja Bius setelah mendengar Panimbangi dan Ihutan. Kuasa menyetujui dan untuk melaksanakan suatu ketetapan berada di tangan Raja-raja Bius.

Ihutan juga mempunyai peranan karena ia dipandang pemilik hikmat kebijaksanaan karena kedudukannya. Bagi masyarakat Batak Toba ikatan yang paling mendasar bagi pengembanan aspek hukum, ini dilihat dari segi kerohanian dan dianggap ritual. Sulit bagi masyarakat Toba mengingkari perintah dari Ihutan termasuk perintah dari Raja-raja Bius, setiap perjanjian baik berbentuk tulisan maupun lisan, ini sangat kuat dan sulit dibedakan nilainya. Ungakapan Batak Toba mengatakan “Hori ihot ni doton, hata siingoton” artinya bahwa: “kata-kata sangat mahal harganya”. Kuasa Bius, ini didelegasikan kepada Raja Na Opat Bius yang meneruskan ke Uluan Horja dan seterusnya kepada Raja Jolo Lumban sampai Tunggane Huta dari Huta.

Dalam hal rapat ketua sidang Bius adalah seorang dari Raja Doli21, tetapi harus dari marga siahaan (marga yang tertua) dan yang terpilih menjadi ketua dan dinamakan sebagai raja bolon (raja besar, raja mulia). Salah satu bukti bahwa Bius tergolong organisasi wilayah yang menyangkut soal-soal pemerintahan yaitu bahwa setiap keputusan Bius tidak bisa dibantah maupun dibandingkan sebab tidak ada lagi organisasi yang lebih tinggi dari Bius.

Kalau seseorang tidak menerima keputusan rapat Bius, maka satu-satunya jalan adalah melakukan perang yang dinamakan manguji (mencoba) antara orang yang diadili di pengadilan Bius.

Horja

7. Pengertian Horja dalam masyarakat Batak Toba bermacam-macam. Ada yang memahami sebagai pesta yang dilakukan oleh salah satu cabang marga yang telah beratus tahun mendiami satu wilayah tertentu (pesta sahorja). Kalau dihubungkan dengan upacara yang berbau keagamaan kuno, maka sahorja horbo, berarti satu pesta memotong kerbau. Pengertian lain dari Horja adalah satu kelompok cabang marga yang didasarkan kesatuan memakan daging dari perkawinan boru (sahorja mangan tuhor ni boru- sepesta makan tuhor boru). Di daerah Humbang, Horja diartikan sebagai wilayah tertentu yang dihuni oleh satu marga saja. Di Tapanuli Selatan Horja diartikan sebagai Luat (wilayah, tempat). B.A. Simanjutak22 memberikan defenisi Horja sebagai yang menguasai hukum pertanahan adat yang dalam hal ini Horja sebagai wilayah marga atau territorial marga. Horja adalah

21 Bisuk Siahaan, Op.Cit., hl. 159. Seorang Raja Doli biasanya adalah seorang yang paling kaya, paling pintar dan paling berani,mampu bertindak dan bijaksana. Jabatan Raja Doli bisa diwariskan. Ada kalanya seseorang bisa mengangkat diri sebagai Raja Doli, dia bersama pengikutnya menentang Raja Doli yang ada, sehinggaterjadi percekcokan hingga akhirnya dapat menyulut perang saudara. Tugas utama Raja Doli adalah mendamaikan perselisihan yang timbul dalam Bius,menjalankan ketentuan dan peraturan untuk pepentingan umum, misalnyamemasang saluran air, melakukan pengamanan bersama bahkan memaklumkan perang.

(19)

struktur dan organisasi wilayah yang terdiri dari beberapa wilayah Huta, di mana kepala/pimpinan Horja dinamakan sebagai Raja Parjolo (raja terdepan) yang didampingi oleh beberapa Raja Partahi (raja perencana). Dalam masyarakat Batak, pesta horja hanya dilaksanakan oleh mereka yang semarga. Bisuk Siahaan23 mendefesnisikan horja sebagai sebuah federasi atau persekutuan bersama yang dibentuk oleh bebrapa kampung (huta) dan sifat persekutuan itu adalah otonom. Fererasi huta yang disebut sebagai horja hampir selalu memiliki kampung induk. Horja merupakan unit yang masing-masing terikat satu dengan yang lain secara kesilsilahan, meskipun di antaranya terselip maraga-marga lain yang sudah dianggap sebagai anggota keluarga. Horja berhak mengikat janji dengan horja lain, misalnya untuk kepentingan bersama antara lain pertahanan. Awalnya, federasi horja adalah masyarakat kurban, tetapi lama-kelamaan berubah menjadi masyarakat hukum, yang secara langsung mengurus kepentingan duniawi warganya.

Lebih jelas uraian Bisuk Siahaan24 mengenai Horja mengatakan bahwa menurut tugasnya, Raja Parjolo sebagai pimpinan Horja, ia berhak menyatakan perang dan mengatur pekerjaan pekerjaan besar yang ada kaitannya dengan kepentingan anggota. Dan juga mengatur persiapan horja rea25 (pesta persembahan besar) dan membawakan doa-doa ritual (martonggo) walau pemimpin upacara martonggo tetap ada pada parbaringin.26 Tugas dan wewenang parbaringin dalam ritual keagamaan adalah mempersembahkan kurban kepada “Debata Mula Jadi Na Bolon, sombaon dan roh leluhur”. Selama menjalankan tugasnya parbaringin harus menyisipkan ranting beringin di serbannya, inilah sebagai simbol mengapa ia disebut parbaringin (parsanggul beringin).

Huta

8. Wilayah huta bagi orang Batak secara umum berarti kampung. J.C.

Vergouwen27, mendefenisikan makna Huta (kampung) bagi orang Batak Toba sebagai: “ sebuah dunia kecil yang tertutup, satu kesatuan yang hidup dan terdiri dari sekelompok kecil orang yang terikat satu sama lain secara alami, dan sudah lama hidup di tempat ini, tempat anak-anak mereka lahir, tempat yang diharapkan menjadi kuburan mereka sendiri”. Ciri yang menonjol dari

23 Bisuk Siahaan., Op.Cit. hl. 154

24 Bisuk,., Ibid., 156-157

25 Biasanya pesta jenis ini dilakukan adalah untuk memohon kepada leluhur supaya panen diberkati, menangkal penyakit menular yang sedang melanda daerah horja atau memohon kepada leluhur atau dewata supaya mengaruniakan keturunan kepada pasangan yang sudah lama menantinya.

26 Parbaringin berasal dari garis tertua marga cabang, jabatan ini dapat diwariskan. Cara mewariskan jabatan parbaringin dilakukan sebagai berikut: Raja Parjolo, Raja Huta, pengetua masyarakat dan Raja Na Mora berkumpul bermusyawarah untuk menunjuk dan menetapkan seorang dari turunan parbaringin sebagai pewaris. Penunjukan ini diumumkan pada pesta pasampehon (menerima masuk ke dalam lingkungan parbaringin) yang dihadiri semua parbaringin. Pada acara tersebut parbaringin mengucapkan tonggo-tonggo kemudian melakukan tari wajib. Bisuk Siahaan, Op.cit., hl. 159

27 Lih. J.C. Vergouwen, Masyarakat Dan Hukum Adat Batak Toba (Jakarta: Pusata Azet,

(20)

umumnya huta (kampung) orang Batak, umumnya dikelilingi oleh parik (tembok yang terbuat dari tanah atau batu) yang tingginya sampai dua meter dan lebar satu meter. Keliling huta (tembok) biasanya selalu ditanami oleh pohon bambu duri yang gunanya sebagai benteng untuk melindungi huta dari serangan musuh.28 Huta merupakan tempat tinggal dari orang Batak yang berasal dari satu nenek moyang (satu ompu) dengan atau tanpa boru. Marga pendiri huta disebut marga raja (marga tano). Marga-marga lain yang tinggal di huta dinamakan marga boru, mereka ini tidak mempunyai hak atas tanah.

Huta didirikan oleh satu marga raja dan di dalam setiap huta Batak terdapat raja huta yaitu seorang dari pendiri huta. Raja huta didampingi oleh pandua (orang kedua, wakil) serta seorang dari boru yang ikut bersama dengan marga raja. Bila satu Huta sudah dianggap padat, orang mengatasinya dengan mendirikan huta baru yang kemudian disebut sosor/pagaran. Alasan lain mendirikan huta karena ada pertentangan atau perkelahian di antara penghuni sebelumnya. Demikian dengan keinginan untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik atau karena ingin mandiri (manjae) dan memiliki kerajaan sendiri bebas dari kekuasan huta induk.29 Menurut Tampubolon30 selanjutnya bahwa sejak penjajahan Belanda menguasai tanah Batak dan membawa struktur pemerintahan baru serta menerapkannya di kalangan masyarakat Batak, maka pembukaan huta-huta baru semakin besar sebab keinginan untuk memperoleh jabatan kepala kampung yang disebut Hampung (dibaca: happung). Soal kepemimpian huta sesuai penelitian ini dapat ditegaskan bahwa kepemimpinan huta diwariskan dari nenek moyang kepada anak cucu, artinya kepemimpinan huta harus tetap di tangan marga raja (pendiri kampung). Raja huta mengurus segala keperluan di huta secara musyawarah dengan saudara-saudaranya serta boru termasuk mengatur pendirian rumah di dalam huta juga menghukum orang yang membuat keonaran. Raja huta berhak penuh dan mutlak mengatur hutanya dan biasanya pola pemerintahan huta bagi orang Batak ini sangat otonom.31 9. Dalam system pemerintahan Harajaon Batak, system kepemimpinan

sebenarnya dimulai dari huta yang dipimpin oleh Raja32 Huta/Tunggane Huta (Tetua kampung) yang didukung oleh Suhi Ni Ampang Na Opat Keluarga berdasarkan kekerabatan Dalihan Na Tolu. Kemudian, ke tingkatan yang lebih atas adalah Lumban yang dipimpin oleh Raja Jolo Marga Lumban dan didukung oleh Suhi Ni Ampang Na Opat Marga Lumban berdasarkan

28 Lih. B. A. Simanjuntak, Op.Cit., hl. 165

29 I. Tampubolon, Adat mendirikan Huta/Kampung (Medan: Percetakan Philemon Siregar, 1968) hl. 7

30 Marmanuk ni ampang maksudnya: upacara magis, sesekor ayam dipotong dimasukkan ke dalam ampang kemudian dilihat ketak ayam mati tersebut di dalam denah peta magis yang sudah disediakan.

31 Ibid.

32 Penting juga ditekankan bahwa pengertian raja bagi orang Batak sejak lama sangat mendasar pada realisasi pengembanan tanggungjawab (bukan sebagai kepala

(21)

kekerabatan keluarga Dalihan Na Tolu. Vergouwen33 mengatakan: “hak memerintah di huta (harajaon) adalah hak bersama (hatopan) setiap keturunan patrilinear langsung sipendiri”. Walau menurut peraturan hukum hak itu dipangku oleh satu orang dan mungkin hanya terbatas pada cabangnya, keturunan lain pendiri mendapat manfaat juga dari padanya.

Mereka tidak boleh diusir dari kampung (pabilhon) dan mempunyai hak yang tidak boleh diganggu gugat untuk masuk dan bertempat tinggal di dalamnya jika mereka menghendaki demikian. Jadi harajaon adalah semata-mata hak istimewa galur keturunan raja, bukan hak dari galur yang lebih besar atau dari marga yang menjadi batang tubuhnya. Di masing-masing huta di wilayah harajaon Batak, sebutan untuk raja huta nampak berbeda. Di Samosir raja huta disebut sebagai tunggane huta (tetua kampung). Di tempat lain kadang- kadang dipanggil sebagai siboan bunti (pembawa persembahan). Sebagai siboan bunti dialah yang bertugas atas pengelolaan kampung dan penegakan hukum serta ketertiban dan displin. Dia merupakan keturunan patrilinear pendiri kampung yang menjadi raja huta pertama. Jabatan ini, jika mungkin diturunkan dari bapak ke anak atau kepada uaris (ahli waris). Jaman tradisionil Batak, dari kepala kampung dituntut satu kwalitas yang lebih banyak sebab pekerjaan kepala kampung sama aneka ragamnya dengan banyaknya aspek kehidupan kampung.

Tugas-tugas ini dapat diuraikan sebagai berikut34:

a). Bertanggungjawab atas pemeliharaan pelataran kampung dan temboknya, ia mengatur agar baris rumah-rumah lurus sambil menjalankan pengawasan atas tanah kampung.

b). Memutuskan apakah sebuah kebun kecil mesti ditiadakan untuk memberi tempat kepada rumah baru, ataukah tetap saja begitu, ia membimbing perilaku hukum warga dan membantunya jika ada tuntutan terhadap siapapun juga atau dalam hal sipeminjam uang membuat terlalu banyak kesulitan kepadanya.

33 Vergouwen, Op.Cit., hl. 126

34 Ibid. Di Silindung, galur besar atau cabang-cabang marga mengelompok di sekeliling raja jungjungan yang kuat. Wewenangnya adalah ia sebagai seorang kepala yang berhasil membuat dirinya dihormati oleh kelompok silsilah yang lebih besar yang ke dalamnya ia terbilang. Ia menangani terutama soal soal yang berkaitan dengan keamanan dan perang dan juga dengan urusan “dalam negeri wilayah”. Dalam hal mempertimbangkan sesuatu dia dibantu oleh raja partahi (penasehat) yang biasanya kepala cabang-cabang yang menjadi komponennya. Tetapi jika seseorang yang tadinya merupakan tokoh kuat kehilangan pengaruh dalam urusan wilayah, atau jika pertumbuhan cabang yang ke dalamnya dia termasuk lebih kecil dari pada yang lain di dalam kelompok yang lebiih besar maka persaingan orang antara sesama dan pertandingan sesama galur yang lebih kecil akan segera muncul ke permukaan dan wilayah yang tadinya menjadi unit yang perkasa bisa terpecah ke dalam sempalan-sempalan marga yang saling cekcok. Di sini, kejadian historis dan pribadi memainkan peranan penting walaupun efeknya bisa agak diredakan oleh keinginan untuk memihak kepada cabang marga tertua (haha ni partubu juga disebut haha ni harajaon). Hal seperti ini tidak hanya tedapat di Silindung melainkan juga di Humbang Tengah dan Timur, atau di Muara, mungkin pula di daerah Sipaettua dekat Laguboti yang

Referensi

Dokumen terkait

Mata kuliah ini membahas mengenai pencarian data-data sejarah melalui wawancara sejarah

Sejarah pemikiran adalah mata kuliah yang membahas berbagai konsep dan perkembangan pemikiran yang berkembang baik di dunia Islam maupun Barat.. Materi Sejarah

Dilihat dari hasil analisis dan olah data yang dilakukan, maka pembahasan yang dapat di simpulkan dari penelitian ini adalah Gereja Huria Kristen Batak Protestan

Halaman mulai quiz merupakan from yang menampilkan informasi Sejarah Kristen Protestan di Tanah Batak Toba yang telah di baca pada menu sejarah, total pertanyaan

Gereja HKBP yang di pilih yaitu Gereja Huria Kristen Batak Protestan Ressort Surabaya yang terdiri dari, Gereja HKBP Kedondong, Gereja HKBP Dukuh Kupang, Gereja

Dilihat dari hasil analisis dan olah data yang dilakukan, maka pembahasan yang dapat di simpulkan dari penelitian ini adalah Gereja Huria Kristen Batak Protestan

Judul Tesis :ADAPTASI DAN ANALISIS NYANYIAN JEMAAT GEREJA HKBP (HURIA KRISTEN BATAK PROTESTAN): STUDI KASUS PADA LAGU “LAS ROHANGKU

Silabus mata kuliah Hukum Internasional yang membahas pengertian, sejarah, subjek, sumber, dan hubungan HI dengan