1. Pendahuluan (1-2). Tema ini adalah suatu studi analisis historis praksis terhadap corak (model/gaya) kepemimpinan para Pendeta Batak dalam gereja HKBP selama periode 1940-2004 khususnya dalam mensikapi kekuasaan di dalam dan di luar dirinya. Artinya, tema ini adalah satu usaha yang mencoba untuk memahami secara historis beberapa peristiwa pernah terjadi di HKBP pada umumnya dan pada kepemimpinan para pendeta serta orang Kristen Batak khususnya di dalam gereja. Melalui tema ini akan ditekankan beberapa keadaan yang menyangkut kehidupan gereja HKBP sebagai sebuah lembaga historis, yang bersama dengan lembaga-lembaga historis lainnya (desa/adat, kota, suku bangsa, negara) hidup secara berdampingan. Dalam hidupnya sepanjang sejarah, sebagai sebuah lembaga HKBP harus mempertanggungjawabkan tugas dan panggilannya kepada Tuhan Allah Raja gereja, karena Dialah melalui Yesus Kristus dan Roh Kudus telah memanggil dan mengutus orang-orang percaya kepadaNya untuk memberitakan Injil kerajaanNya sampai ke Tapanuli di mana tugas ini masih dan sedang menuju kepada kesempurnaannya sampai kedatangan Tuhan Yesus Kristus keduakalinya. Orang Kristen Batak sebagai hasil pemberitaan Injil dari orang-orang yang telah dipilih, dipanggil dan diutus oleh Tuhan Allah melalui Yesus Kristus, mereka telah menghuni wilayah-wilayah yang lebih luas tidak hanya di wilayah negara Indonesia bahkan telah menghuni hingga belahan yang lebih luas dari bumi ini. Sudah merupakan hal yang pasti bahwa HKBP sebagai sebuah lembaga gereja, ia hidup bersama dengan lembaga-lembaga historis lainnya seperti lembaga desa, kota, negara dan lain-lain, bukan terisolasi atau terasing. Dengan demikian mau tidak mau, HKBP harus hidup berdampingan, berinteraksi, berselisih, bertengkar bahkan saling bermusuhan dalam merealisasikan kekuasaan yang masing-masing mereka menganggap, itu adalah milik dan wewenangnya.
2. Fokus perhatian tema ini saya mengarahkannya pada bentuk-bentuk hubungan gereja HKBP sebagai lembaga ketika ia berhadapan dengan lembaga negara dan lembaga masyarakat lainnya. Dalam hal ini, HKBP harus mempertanggungjawabkan kehadirannya, khususnya kepemimpinannya kepada Tuhan yang adalah kepala gereja itu: saat ia bertemu, saling berangkulan, kemudian saling bermusuhan dengan lembaga negara, adat, dan lembaga masyarakat lainnya yang berkuasa di dunia ini.
Dalam hal ini, ilmu sejarah gereja hendak menolong orang Kristen Batak umumnya dan warga HKBP khususnya untuk mempertanggungjawabkan masa lampau gereja melalui penelitian terhadap akar-akar imannya serta tradisi-tradisi yang terdapat di dalamnya. Oleh karena itu tema ini difokuskan pada perhatian: bagaimana gereja HKBP yang melalui kepemimpinan para pendeta dan orang Kristen Batak dapat menjalankan kepemimpinannya sepanjang sejarahnya saat ia bertemu dengan lembaga negara dan lembaga masyarakat lainnya di Tapanuli-Sumatera Utara khususnya serta di Indonesia umumnya. Mungkin focus diskusi kita akan dapat meliput: “kisah tentang pergumulan antara Injil dengan bentuk yang dipakai untuk mengungkapkan Injil itu” (Th. Van den End, 1986, hl.7). Artinya, kita akan akan memfokuskan diri terhadap bagaimana Gereja HKBP mampu menempatkan dirinya di tengah kehadiran dan tuntutan lembaga negara Indonesia sehingga HKBP dapat melakukan tugas pemberitaan firman Allah tanpa menolak kehadiran Tuhan Allah sebagai Raja, sebagai pemimpin dunia ini sebagaimana disaksikan oleh orang-orang percaya kepadaNya (misalnya kesaksian Paulus di Efesus Ef. 1:19-13).
3. Pengalaman Awal HKBP (3-4). Melalui uraian dua poin di atas, diskusi ini akan mengawali tugasnya dari periode tahun 1940. Penentuan sikap ini sangat didasarkan pada alasan bahwa sejak disyahkannya gereja Batak tahun 1930 memiliki badan hukum sendiri (lih. Paul B.Pedersen, 1975, hl.
78), keadaan ini sebenarnya telah mengindikasikan status Gereja Batak (HKBP) sebagai sebuah Gereja yang “mandiri”. Jika sampai tahun 940 gereja Batak masih dipimpin oleh J. Warneck, ada kesan nampaknya para misionaris Eropa (RMG) masih memperlambat realisasi kemandirian pendeta Batak (bumiputera) untuk memimpin Gereja hingga tahun 1940 (Andar Lumban Tobing, 1996, hl. 146-147). Berhubung dengan hikmat ini, dapat dikatakan bahwa masa periode tahun 1930-1940 merupakan periode yang sangat menentukan bagi para pendeta Batak untuk menegaskan sikapnya terhadap kepemimpinannya dalam Gereja. Akhirnya, ketika ketegangan politik dunia mengalami puncak krisisnya pada tanggal 10 Mei 1940, segera Gereja Batak sepenuhnya sudah diasuh (dipimpin) oleh para pendeta (pelayan-pelayan) Batak sendiri. Ada dua ketegangan politik dunia berlangsung dan sangat mewarnai/mempengaruhi kepemimpinan pendeta Batak dalam Gereja ketika itu. Dua keadaan itu adalah (J.R. Hutauruk, 1993, hl. 185): pertama, berlangsungnya pendudukan Jerman terhadap Belanda (Nederland) bulan Mei 1940 di mana pendudukan ini mempengaruhi berakhirnya pekerjaan RMG (Rheinischen Missions Gesellschaft- Jerman) di
Sumatera Utara sebab hingga tahun ini Belanda masih berkuasa di Indonesia. Kedua, berkuasanya Jepang (Maret 1942) di Indonesia menggantikan pendudukan Belanda. Pendudukan Jepang ini menandai berakhirnya kegiatan lembaga BNZ (Batak Nias Zending) yang sebelumnya dibentuk Belanda di Tapanuli menggantikan pekerjaan misi RMG. Di tengah keadaan ini, perselisihan sengit antara orang Kristen Batak dengan pemerintah kolonial Belanda berlangsung. Perselisihan ini secara langsung mempengaruhi orang Kristen Batak mendapatkan kesadaran teologis dan politisnya di dalam Gereja dan Negara. Bila di satu pihak pemerintah kolonial Belanda menangkap, mengusir serta mengungsikan semua orang Jerman dari Tapanuli (Indonesia) terutama para zendeling utusan RMG. Di pihak lain pengusiran ini memaksa sikap para pendeta dan orang Kristen Batak lainnya memikirkan masalah kesinambungan dan kepemimpinan HKBP. Artinya, pendeta Batak (orang Kristen lainnya) harus menduduki jabatan-jabatan tertinggi di dalam gereja dan di semua unit/bidang pelayanan lainnya (misalnya pendidikan dan kesehatan) dan pendeta Batak bersedia untuk menerima tanggungjawab itu. Untuk mengatasi masa transisi ini, awalnya pemerintah kolonial Belanda tidak bermaksud hendak memimpin dan mengurus kepemimpinan HKBP secara langsung, namun mereka hendak mengurus lembaga-lembaga yang didirikan atas nama RMG. Pertimbangan inilah yang mendorong pemerintah kolonial Belanda mendirikan BNZ bulan Mei 1940 sekaligus yang mempengaruhi berlangsungnya Sinode Godang HKBP (istimewa) tanggal 10-11 Juli 1940. Inti pokok persoalan yang sangat penting dijelaskan oleh pihak pemerintah kolonial Belanda kepada para utusan pendeta dan orang Kristen Batak lainnya melalui Sinode Godang itu:
“bagaimana hakekat menyeluruh hubungan BNZ dengan HKBP dengan segala untung ruginya bagi HKBP”. Melalui dasar tuntutan ini, sebenarnya nampak sikap kritis para pendeta Batak terhadap pemerintah kolonial Belanda, secara khusus terhadap masalah kepemimpinan dalam Gereja.
Para pendeta Batak terus memperjuangkan tuntutan: “untuk seterusnya kepemimpinan dan soal pengurusan HKBP di berbagai unit pelayanannya harus dipegang oleh orang-orang Batak”. Bagi para pendeta Batak, tuntutan inilah yang menjadi tujuan utama pelaksanaan pemilihan ketua HKBP dalam Sinode itu. Bila hingga berlangsungnya Sinode ini, kepemimpinan tertinggi di HKBP masih dipegang oleh H.F. de Kleine (seorang zendeling RMG berkebangsaan Belanda-dua orang lainnya dengan latarbelakang yang sama masih tinggal di HKBP yakni J. Karelse dan D. Rijkhoek), de Kleine setelah meletakkan jabatannya saat Sinode itu berlangsung, melalui proses rapat yang sangat alot akhirnya Pdt. K. Sirait kemudian terpilih menjadi Ephorus pertama dari pendeta Batak memimpin HKBP. Seperti dikatakan oleh J.R.
Hutauruk (Kemandirian Gereja, hl. 194), tahun 1940 merupakan saat menentukan bagi Gereja Batak merampungkan langkah pertama yang menuju kemandiriannya yang sepenuhnya. Sama halnya dengan pernyataan para utusan RMG ketika Sinode itu belangsung mengatakan: “biarlah HKBP puas, karena di Tanah Batak pekerjaan misi boleh dikatakan sudah seluruhnya berada di tangan putra-putra suku Batak”.
4. Setelah Pdt. K. Sirait terpilih menjadi Ephorus, hingga tahun 1942 agaknya para utusan zendeling Belanda (misalnya S.C. Van Randwicjk) masih berusaha menduduki jabatan tertinggi ini. Bersama pemerintah kolonial Belanda, utusan Zendeling ini masih mencari akal agar menjatuhkan
“kepemimpinan yang salah” oleh Pdt. K. Sirait dengan jalan merusak wibawa kepemimpinannya di lingkungan orang Kristen Batak. Boleh dikatakan bahwa usaha ini hampir berhasil, sebab tahun 1942 perpecahan hampir terjadi di tubuh HKBP. Pada masanya, utusan zendeling Belanda sangat memahami bahwa pola gerakan kemerdekaan gerejawi di kalangan orang Batak sangat kuat berlangsung melalui garis kesukuan dan bahasa. Hal ini sudah dibuktikan oleh Sinode Godang istimewa 1940, di mana oleh pengaruh/desakan para zendeling Belanda, Sinode sepakat akan membentuk distrik Simalungun dan menempatkan utusan zendeling Belanda bernama Muylwijk menjadi praeses di sana. Demikian kasusnya dengan orang Batak Angkola di Tapanuli Selatan, para utusan zending Belanda berhasil menghasut mereka agar menunut otonomi distrik gereja Angkola. Terlepas dari perkembangan gereja selanjutnya, melalui usaha-usaha ini para zendeling Belanda sebenarnya mengharapkan dapat menjalankan gagasan mereka sendiri mengenai struktur gereja melalui memegang jabatan tertinggi di HKBP. Untuk tujuan ini, para zendeling Belanda terus berupaya merebut puncak kekuasaan HKBP bahkan untuk tujuan ini mereka meminta bantuan pemerintahan kolonial. Terhadap hubungannya dengan masalah kepemimpinan ini di gereja HKBP dalam sejarah (J.R. Hutauruk, 1993. hl.
207) dapat disimpulkan bahwa ternyata: “baik adat Toba, Simalungun, juga Angkola ini tidak boleh menjadi kaidah mutlak terhadap masalah praksisnya kemimpinan gereja HKBP”. Pernyataan ini dipertegas lagi oleh Andar Lumban Tobing melalui penelitiannya (Andar Tobing, 1996) mengatakan bahwa unsur: “Dalihan Na Tolu” sangat tidak mengorientasikan makna kepemimpinan bagi gereja Batak. Unsur ini mengorientasikan kehidupan bersosialisasi, posisi dan fungsi, kewajiban serta hak orang Batak sebagai:
“hula-hula, dongan tubu dan boru”. Ternyata karakter ini mewaris hingga ke masa akhir pimpinan HKBP periode 1968-1974. Dikatakan demikian sebab melalui SG 1974, keadaan HKBP digambarkan sedang menghadapi angin puting beliung. Persoalan utama terletak pada laporan DKU (Dewan Keuangan Umum) HKBP terhadap penyaluran dana CORIA (Committee on Reconstruction Interchurch Aid of HKBP). Badan ini adalah badan kerjasama VEM (Verenigte Evangelische Mission) dengan LWF (Lutheran World Federation) yang menyalurkan dana bantuan untuk pembangunan HKBP baik fisik dan non fisik. Ephorus HKBP yang dianggap sebagai paling bertanggungjawab terhadap penyaluran bantuan ini, mosi tidak percaya akhirnya melahirkan berbagai kelompok yang dilatarbelakangi oleh emosi cultural (perpecahan di kalangan orang Batak berdasarkan enografi atau daerah marga-marga tertentu – luatisme) Batak.
5. Masa Pendudukan Jepang dan Gerakan Kemerdekaan Indonesia (5-6).
Setelah gereja sepenuhnya dipimpin para pendeta Batak, bulan Maret 1942 tahun ini merupakan babak baru terhadap warna sekaligus tantangan kepemimpinan pendeta Batak di HKBP. Sebab tahun ini merupakan saat datangnya orang Jepang yang sekaligus mengakhiri zaman zending Eropa di Indonesia. Untuk kebijakan-kebijakan pemerintah Jepang khusus di Tapanuli yang segera mengambil alih kekuasaan pemerintahan Belanda, secepatnya gereja diingatkan untuk tidak mencampuri urusan politik Jepang yang dianggap mengurangi kekuasaan mereka di Tapanuli. Untuk maksud ini Jepang menciptakan kerenggangan hubungan gereja dengan sekolah, rumah sakit, pemuda Kristen Batak, pendeta, dan penghasilan masyarakat dirampas. Paul. B. Pedersen (P.B. Pedersen, 1975, hl. 96) mengatakan bahwa, “sejak masuknya agama Kristen di Tapanuli orang-orang Kristen Batak telah mewarisi banyak tanggungjawab dalam soal kepemimpinan di tanah Batak”. Sesuai dengan pengamatannya, Pedersen menemukan hikmat bahwa sesuai dengan pengalaman para misionaris Eropa di gereja Batak, bagi mereka adalah seringkali merasakan lebih mudah melayani orang Batak daripada berbagi dengan mereka kekuasaannya membuat keputusan.
Adalah masa sulitnya bagi masyarakat dan gereja saat pendudukan Jepang berlangsung di Tapanuli. Namun di tengah keadaan itu, kepemimpinan Dr. J.
Sihombing merupakan contoh kepemimpinan yang berani dan modern. Dr. J.
Sihombing terpilih sebagai Voorzitter (Ephorus) di HKBP yang kepemimpinannya di HKBP selama 20 tahun (1942-1962) ia telah menunjukkan kepemimpinan yang khusus dalam menyelesaikan perselisihan-perselisihan antara golongan-golongan yang berlainan. Selama masa-masa sulit dilalui (masa perang dan revolusi) semua kebijaksanaan yang dibawakannya seakan merupakan dongeng bagi orang Kristen Batak sekarang. Pernyataan ini didukung oleh J.R. Hutauruk (Lih. Jubileum 125 Tahun HKBP, hl. 88) mengatakan: “dalam masa 50 tahun pelayanan Ephorus Dr. J. Sihombing sebagai Guru, Pendeta, Praeses, anggota Majelis Pusat dan Ephorus pelayanannya telah memberi corak kepemimpinan tertentu dalam sejarah HKBP”. Seterusnya menurut Hutauruk, dalam kepemimpinannya sebagai Ephorus, Pdt. Dr. J. Sihombing sadar akan pergantian jaman yang baginya sulit untuk memamfaatkannya buat pembangunan HKBP”. Implikasi dua penilaian ini (Pedersen dan Hutauruk) bagi corak kepemimpinan HKBP ke depan, tentunya gereja harus terus menerus mendapat kemajuan yang sangat menonjol lepas dari campur tangan kepemimpinan orang dan pihak asing (misionaris) dalam gereja.
6. Bila semakin dicermati lebih dalam sampai tahun 1950, nampaknya corak praksis kepemimpinan HKBP sangat dipengaruhi oleh berlangsungnya perubahan-perubahan (silih-bergantinya) keadaan politik dunia. Dari penguasaan Belanda ke Jepang, kemudian berlangsungnya revolusi sosial di Tapanuli hingga ke Simalungun selanjutnya oleh penguasaan militer Belanda (Agressi I-II, 1947-1949), semuanya memunculkan kesadaran khususnya bagi diri pimpinan HKBP untuk menyelamatkan warga/jemaatnya dari
kehancuran pelayanannya di berbagai bidang (pendidikan dan kesehatan) termasuk pelayanan bidang kerohanian (Hutauruk, Jubileum 125 tahun HKBP, hl. 47). Untuk keadaan ini, Hutauruk (Kemandirian Gereja, hl. 221) memberi penilaian bahwa bila kemerdekaan Indonesia di bidang politis sebagai syarat kemandirian ekonomis terhadap kuasa-kuasa kolonial, maka dapat dikatakan bahwa kemandirian HKBP secara organisatoris dapat dinilai sebagai syarat sekaligus sebagai tantangan bagi pimpinan HKBP untuk pembebasan orang Kristen Batak dan gerejanya, dari pada agama Kristen yang ditentukan oleh sikap Eropa sentris. Walau orang Kristen Batak tidak memahami makna sesungguhnya dari kesadaran ini, namun (nyatanya) pergantian-pergantian kekuasaan yang mempengaruhi HKBP, pergantian- pergantian itu tidak disertai dengan perubahan dalam hal paham orang Kristen Batak tentang diri mereka sendiri.
7. Masalah Kepemimpinan HKBP Terhadap Hubungannya Dengan Kesadaran Politik Dan Hubungan Oikumenis (7-8). Sebenarnya dapat dikatakan bahwa kemerdekaan gereja Batak adalah sebagai hasil dari gerakan pengembangan kesadaran politik yang menghendaki kebebasan nasional dari pengaruh dan kuasa orang lain. Ketika Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya (1945), partai-partai politik banyak bermunculan di mana-mana. Situasi ini merupakan fenomena yang berhubungan langsung dengan perkembangan dan kepemimpinan gereja.
Hubungannya fenomena ini nampak jelas pada menguatnya perjuangan jemaat terhadap dua hal di dalam gereja, yakni (Andar Lumbantobing, hl.
101): menguatnya perjuangan terhadap kepentingan lokal jemaat daripada memikirkan kepentingan gereja HKBP pada umumnya. Kedua, menguatnya pandangan sebagian besar orang Kristen Batak mempersamakan demokrasi di negara dengan asas presbyterial-synodal di gereja. Pada akhirnya, mungkin Tata Gereja 1950 dirumuskan karena pengaruh paham demokrasi ini menurut asas presbyterial synodal walau keputusan tertinggi di tingkat
“pimpinan pusat” didasarkan pada watak episkopal. Melalui TG 1950 inilah pertama sekali HKBP menggandengkan jabatan “Sekretaris Jenderal”
bersama dengan Ephorus menjadi ketua dan wakil ketua pada Synode Godang-nya sekaligus sebagai ketua dan wakil ketua pada majelis pimpinan pusat gereja. Bila tugas utama keduanya menurut TG 1950: “merekalah yang menetapkan cara kerja untuk semua pejabat HKBP dan memutuskan segala persoalan yang diajukan kepada pimpinan gereja setelah mendengar pendapat para praeses dan anggota-anggota majelis pusat”. Uraian tugas ini jelas memberi pengertian bahwa kepada Ephorus dan Sekretaris dipercayakan hak dan kekuasaan yang sangat besar soal-soal kepemimpinan. Bila pola ini dicermati dalam hubungannya terhadap TG 2002 yang menghasilkan bentuk kepemimpinan gereja hasil Sinode 2004, maka munculnya tiga jabatan lain yang setara kekuasaannya dengan Sekretaris Jenderal: maka hikmat yang dapat dipetik melalui TG 1950, TG ini jelas sebagai satu jalan keluar yang sangat baik terhadap peristiwa jaman yang mempengaruhi gereja. Alasannya adalah bahwa bahaya “demokratisme”
perlu dihambat/cegah agar tidak terlalu jauh berpengaruh memasuki peraturan gereja. Sama halnya terhadap konstitusi negara Indonesia (kelima sila Pancasila) khususnya sila pertama dari lima sila Pancasila itu. Uraian sila pertama ini telah membimbing kesadaran politik HKBP hinga ke masa selanjutnya. Artinya, bila Sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa disebut dalam konfessi HKBP 1951, sila ini ditafsirkan HKBP dalam makna bahwa kebebasan beragama di Indonesia dijamin. Ketika itu pimpinan HKBP sadar akan keadaan bahaya: “jika nasionalisme menjadi suatu agama, bagaimana pun juga gereja harus melakukan tugas kenabiannya”. Sampai tahun 1956 di bawah kepemimpinan Pdt. J. Sihombing, HKBP mengutuk komunisme dan kapitalisme sebagai: “anak-anak setan materialisme”. Dengan menolak bahaya komunisme, gereja menegaskan sikapnya bahwa tidak ada keselamatan kecuali hanya melalui Kristus.
8. Terhadap hubungannya dengan persekutuan Oikumenis Gereja sedunia dan nasional Indonesia, nampaknya kepemimpinan para pendeta Batak sangat menetapkan identitas teologisnya secara tegas. Sikap ini nampak pada dua peristiwa, yakni: pertama, munculnya ide awal akan pembentukan Dewan Gereja di Indonesia (DGI) tahun 1950. Kedua, persiapan masuknya HKBP menjadi anggota Lutheran World Federation (LWF) tahun 1952. Paul B.
Pedersen (Darah Batak Dan Jiwa Protestan, hl. 159) mengatakan bahwa terhadap kasus pertama, pengaruh HKBP nampak lebih besar sebagai anggota DGI daripada jika HKBP menjadi anggota dari suatu gereja yang disatukan. Artinya tanpa dukungan HKBP, rencana-rencana DGI untuk peleburan agaknya tidak berhasil. Terhadap kasus kedua, HKBP melalui Sinode Godang 1949 memutuskan: “satorang-torangna jala sabagas-bagas na do patedehon utusan ni rapot India i, dogma kultus (ruhut parduru) dohot organisasi ni HKBP tu LWF. Molo boi do masuk HKBP tu LWF di na songon i dogma, kultus dohot organisasi ni HKBP”. Artinya, HKBP ingin masuk menjadi anggota LWF namun keberadaan HKBP dengan segala ciri khasnya tidak boleh diganggu. Hal ini ditekankan sehubungan dengan persyaratan konfesional yang dituntut LWF. Dan untuk tujuan ini (memenuhi syarat LWF) HKBP melalui Sinode Godang 1950 membentuk team konfessi, dan dalam Sinode Godang 1951 hasil team ini disyahkan. Yang hendak ditekankan melalui pernyataan ini terhadap masalah kepemimpinan gereja bahwa terlepas dari keinginan HKBP menjadi anggota LWF juga usaha HKBP menjawab tantangan sekitar/jamannya, namun melalui Konfessi 1951, HKBP ingin: “memperkenalkan dirinya sebagaimana ia telah ditempa oleh penghayatannya akan firman Allah sejak firman itu diberitakan dan diterima oleh orang Kristen Batak” (Lih. Notulen SG, 1950-1951, hl. 39 + 6-7).
9. Penyakit perselisihan (9-11). Dr. Justin Sihombing (kotbah pengkuhkan Ephorus baru Ds. T.S. Sihombing tanggal 7 Oktober 1962 di Gereja HKBP Pearaja) telah membayangkan warna pasti kepemimpinan HKBP berlangsung masa awal (penulis: bahkan hingga pertengahan) abad ke-2 sejarah HKBP. Untuk itu, Dr. Justin Sihombing mengharapkan: “setiap
pelayanan dan kepemimpinan Ephorus hendaknya menerima dari Tuhan roh keberanian, roh kasih dan roh pengendalian diri”. Sejak dari awal Ds. T.S.
Sihombing memegang kepemimpinan HKBP (J.R. Hutauruk, Jubileum 125 Tahun) telah ada kesadaran bahwa tidaklah mudah bagi setiap Ephorus HKBP yang baru untuk melanjutkan pola kepemimpinan yang terdahulu dan memang tidak mungkin, sebab perkembangan HKBP sangat membutuhkan pola-pola kepemimpinan yang baru pula. Pola-pola kepemimpinan ini sangat berhubungan dengan kekuatan-kekuatan yang terpendam dalam gaya hidup orang Kristen Batak (warga HKBP). Dalam konteks inilah peristiwa HKBP tahun 1962 digambarkan sebagai situasi, ibarat laksana bumi yang ditutup oleh awan tebal menghitam yang segera akan ditimpa oleh hujan deras dan badai. Bila tahun 1940 merupakan saat yang menentukan bagi gereja Batak (HKBP) merampungkan langkah pertamanya menuju kemandirian (kepemimpinannya) yang sepenuhnya (lih. Poin 3 di atas), hingga masa akhir kepemimpinan Dr. J. Sihombing (1962) gereja HKBP masih belum mewarnai sejarahnya dengan konflik intern terhadap soal pergantian jabatan Ephorus dan Sekretaris Jenderal. Dan bila tahun 1942, para utusan zendeling Belanda masih berusaha menduduki/merebut jabatan tertinggi di dalam gereja, melaluinya mereka masih mengharapkan dapat menjalankan gagasan mereka sendiri mengenai struktur dalam gereja (lih. Poin 4 di atas). Dari hikmat ini dapat disimpulkan bahwa seteru konflik pendeta Batak terhadap kekuasaan adalah para pendeta di luar orang Batak sendiri. Ada indikasi nampaknya perseteruan dan konflik awal di kalangan para pendeta serta orang Kristen Batak tentang kekuasaan gereja, ini sangat dipengaruhi oleh rumusan TG 1962-1972 (konseptor utamanya ialah Sekretaris Jenderal HKBP Ds. T.S. Sihombing) yang faktanya TG ini adalah “hasil konsep dan rumusan pertama pendeta Batak itu sendiri”. Sampai tahun 1962, HKBP masih memakai TG 1920-1932 yang diperpanjang masa berlakunya walau kemudian menyebutnya sebagai TG 1940-1950 dan seterusnya berlaku sampai tahun 1962. TG 1920-1932 ini adalah warisan dan rumusan dari Ephorus HKBP Dr. Johannes Warneck (1920-1932) yang di dalamnya ia melibatkan partisipasi maksimal warga jemaat untuk ikut mengurus urusan jemaat lokal dan gereja HKBP pada umumnya. Jika awalnya peran warga jemaat ini berlangsung baik, hingga tahun 1950 nampak pergeseran pemahaman mereka terhadap partisipasi ini menjadi: “mengutamakan fungsinya sebagai pelayanan menyeluruh” (penulis: termasuk mengatur bahkan kuasa yang paling menentukan terhadap mutasi pendeta). Dikatakan berlangsung baik sebab Johannes Warneck menetapkan persyaratannya:
mereka adalah tokoh masyarakat yang wibawa, pengaruh, kejujuran serta kesalehan mereka menentukan di tengah masyarakat. Nama resmi bagi peran warga jemaat ini terhadap soal pengelolaan gereja oleh Warneck menyebutnya sebagai: “Kerkbestur” yang kemudian diartikan sebagai “Majelis Pusat HKBP”. Tugas khusus mereka dalam gereja menurut TG 1930 adalah:
“mengatur soal-soal keuangan dan harta jemaat dan mengatur soal-soal kerukunan anggota jemaat dalam bidang kerohanian”. Sebagai acuan penyelenggaraan SG HKBP 1962, TG 1962-1972 (TG ini ditetapkan pada