• Tidak ada hasil yang ditemukan

Visi dan Misi HKBP sebagai upaya dalam menyikapi perkembangan zaman

Dalam dokumen Silabus Sejarah Gereja Batak I (Halaman 129-134)

VISI DAN MISI HKBP

2. Visi dan Misi HKBP sebagai upaya dalam menyikapi perkembangan zaman

Manusia sekarang sedang terlibat dalam suatu proses yang tidak terelakkan, yaitu proses globalisasi. Walaupun proses itu bukanlah merupakan sesuatu hal yang baru dalam sejarah umat manusia, namun karena pengaruh informasi dan intensitasnya yang sedemikian rupa, maka proses ini menjadi makin cepat.

Dunia sungguh-sungguh menjadi satu dengan berbagai akibatnya, baik yang positif maupun yang negatif.74 Globalisasi telah menempatkan gereja pada suasana keterbukaan yang luar biasa dengan berbagai dampaknya. Di satu pihak tentu hal ini baik, karena dengan itu gereja-gereja pun makin dibebaskan dari keterisolasiannya secara fisik dan teologis. Tetapi di pihak lain, gereja-gereja seperti halnya masyarakat akan bertemu dengan nilai-nilai baru yang mungkin belum pernah dipikirkan sebelumnya. Sebagai contoh, dalam pola kehidupan rumah tangga yang berubah sebagai akibat dari keterbukaan itu, sehingga seseorang harus memulai membiasakan diri dan menerima pola “bapa rumah tangga”, dan bukan “ibu rumah tangga”. Bagaimana menangani kemungkinan ini, apalagi kalau dikonfrontasikan dengan kecenderungan Alkitab yang memandang suami sebagai: “kepala rumah tangga”.75

Dalam keadaan demikian, bagaimana gereja bersikap terhadap hal ini.

Bagaimana gereja-gereja menangani kemajuan teknologi informasi yang begitu cepat yang dalam sekejap mata dapat mengakses berita dari dalam maupun luar negeri? Bagaimana gereja-gereja dapat mengatasi dampaknya, misalnya

73 HKBP, Aturan dohot Paraturan (Pearaja-Tarutung: Kantor Pusat HKBP, 2002), hlm. 99-100.

Penggunaan selanjutnya disingkat dengan AP HKBP 2002.

74 A. A. Yewangoe, Agama dan Kerukuanan (Jakarta: BPK-GM, 2006), hlm. 127.

dengan sistem ini segala bentuk kerahasiaan hampir-hampir tidak dimungkinkan lagi. Atau yang lebih parah jika jemaat tidak mau lagi datang bersekutu ke gereja karena di berbagai saluran televisi sudah menyajikan acara-acara ibadah yang siap sedia mereka nikmati?

Manusia tidak memilih dunia atau konteks di mana ia hidup, bekerja dan melayani setiap saat. Konteks selalu berobah-obah dan panggilan pelayanan selalu ditantang, diperhadapkan dan dibentuk oleh keadaan sosial-ekonomi, politik, dan kekuatan budaya pada waktu tertentu. Dengan demikian konteks hidup tersebut mempengaruhi juga kepada pengertian akan Allah dan pengungkapan iman. Sekarang ini banyak pemikiran-pemikiran yang memunculkan pemahaman baru dalam hubungannya dengan masalah sosial.

Misalnya masalah gender (kesetaraan perempuan dan laki-laki) dan masalah kekerasan terhadap anak-anak. Tidak lupa bahwa pendidikan juga merupakan masalah konkrit yang marak dewasa ini. Apa yang terjadi sekarang adalah tidak adanya satu hari pun dapat terlewatkan tanpa kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak, persoalan-persoalan perempuan dan anak-anak sering disepelekan.76 Perempuan selalu dinomor-duakan di dalam rumah tangga seperti yang terjadi pada keluarga orang Batak dulu. Inilah fenomena yang harus disikapi oleh gereja. Bagaimana gereja hidup dan berada di tengah-tengah dunia yang penuh dengan kekerasan. Sudah seharusnya gereja berpartisipasi dalam mengatasi kekerasan tanpa kekerasan. Atau setidaknya gereja berperan mengurangi kekerasan tersebut. Gereja ikut serta dalam perjuangan untuk mempertahankan hak-hak asasi manusia.

Di tengah perkembangan yang seperti inilah gereja-gereja di Indonesia hidup dan melayani. Maka salah satu topik penting yang sangat hangat dibicarakan dan didiskusikan akhir-akhir ini adalah mengenai kehadiran dan peran gereja di tengah kepelbagaian agama, khususnya dalam konteks Indonesia. Perlu disadari bahwa keberadaan dan kehadiran suatu agama tidak terlepas dari keberadaan dan kehadiran agama lain. Kepelbagaian itu disadari sebagai hasil atau produk dari globalisasi tersebut. Arus globalisasi menimbulkan perubahan yang sangat cepat, bukan lagi hanya dalam lingkup budaya masyarakat tetapi lebih jauh kepada perkembangan agama-agama. Pergeseran dan perpindahan nilai dan tatanan hidup pun mulai terjadi. masyarakat yang dulunya hidup secara homogen, akhirnya berobah menjadi masyarakat yang heterogen. Masyarakat agama yang dulunya mengenal tolok ukur nilai-nilai moral dan spiritual berdasarkan doktrin agamanya, akhirnya mengenal nilai-nilai dan kebenaran lain dari berbagai agama, aliran kepercayaan, faham dan ideologi yang hidup dan berkembang di sekitar kehidupannya.

Realitas dari kondisi kehidupan yang serba majemuk dan pluralistis tersebut turut mempengaruhi gereja dan kehidupan orang Kristen masa kini. Sebab pada kenyataannya, di mana gereja dan orang Kristen berada, di situ ia hidup

76 Robinson Rajagukguk, “Pendeta HKBP Menjadi pelayan yang Menghayati Pelayanan Koinonia, Marturia, Diakonia yang Inklusif, Dialogis dan Terbuka”, dalam Buku Panduan Rapat

berdampingan, bersentuhan dan berhubungan dengan agama dan penganut agama lain. Dengan demikian, gereja dan orang Kristen sudah harus memberi perhatian tentang bagaimana hidup ditengah-tengah kepelbagaian agama. Pada satu pihak, gereja harus memberikan dasar-dasar teologis-dogmatis tentang paham dan sikapnya terhadap agama dan penganut agama lain. Sedangkan pada pihak lain, gereja harus dapat memahami dan mengerti tentang keberadaan, dasar-dasar kehidupan penganut agama lain, dan sedapat mungkin mengenal ajaran agamanya. Atas dasar itulah gereja dan orang Kristen dapat mengambil sikap praksis, bagaimana hidup bersekutu, melayani dan bersaksi di tengah-tengah kepelbagaian agama dan penganut agama lain. Melalui pemahaman dan pengenalan itulah gereja melakukan tugas dan panggilannya, sebagai garam dan terang dunia, di tengah-tengah kehidupan yang berdampingan, bersentuhan dan berhubungan dengan agama dan penganut agama lain.

Gereja HKBP sebagai salah satu gereja yang berpijak di Indonesia, diperhadapkan dengan situasi ini. Secara sosiologis, HKBP dirangkul oleh satu etnis, yakni suku Batak. Sebagai gereja suku, HKBP akhirnya akan sering dikritik dan disalah mengerti sebagai gereja yang tertutup atau gereja yang eksklusif.

Padahal Indonesia adalah negara pluralistik yang mengakui keberagaman agama, suku dan budaya masyaraakat. Mungkin sudah menjadi kodrat bahwa masyarakat Indonesia sekarang ini masih terikat dengan tradisi budaya nenek moyang yang kental dalam berbagai segi kehidupannya walaupun mereka telah menerima berlapis-lapis nilai-nilai budaya lain. Keanekaragaman itu merupakan kekayaan tersendiri bagi Indonesia dibandingkan dengan negara-negara lain.

Oleh karena itulah, setiap orang atau kelompok termasuk gereja di dalamnya harus menemukan strategi pelayanan yang tepat. Dalam kerangka itu, strategi pewartaan dan pelayanan gereja dalam konteks masyarakat majemuk acap kali membutuhkan pengkajian ulang dari waktu ke waktu. Bagaimana pun, pewartaan harus tetap dijalankan, Firman Tuhan harus selalu disebarkan, jika gereja mau tetap setia dalam tugas panggilannya di dunia ini, termasuk di tengah ketegangan sosial bernuansa SARA yang semakin memuncak dewasa ini.

Termasuk HKBP harus menemukan rumusan dan sikap yang tepat dalam menghadapi kenyataan ini sehingga HKBP dapat mempertahankan keberadaannya sebagai wakil Allah dalam mewujudkan damaiNya di dunia ini.

Berdasarkan fenomena inilah Ephorus Emeritus HKBP Pdt. DR. J.R. Hutauruk pada Sinode Godang HKBP 2000, mencetuskan harapannya agar warga beserta pelayan HKBP dapat menumbuhkembangkan sikap yang inklusif dan dialogis.

Dalam berbagai pertemuan, khususnya dalam proses penyusunan konsep Aturan dan Peraturan HKBP, beliau mengajukan istilah inklusif dan dialogis tersebut.77 Dalam AP HKBP 2002, nyata dicantumkan visi dan misinya.

Dikatakan bahwa:

77 J.R. Hutauruk, “Gereja Yang Inklusif dan Dialogis, Merangkul Semua Tanpa Mengucilkan

Misi HKBP adalah:

“HKBP berusaha menjadi gereja yang inklusif, dialogis, dan terbuka, serta mampu dan bertenaga mengembangkan kehidupan yang bermutu di dalam kasih Tuhan Yesus Kristus, bersama-sama dengan semua orang di dalam masyarakat global, terutama masyarakat Kristen, demi kemuliaan Allah Bapa yang Mahakuasa”.

Misi HKBP adalah:

“HKBP berusaha meningkatkan mutu segenap warga masyarakat, terutama warga HKBP, melalui pelayanan-pelayanan gereja yang bermutu agar mampu melaksanakan amanat Tuhan Yesus dalam segenap perilaku kehidupan pribadi, kehidupan keluarga, maupun kehidupan bersama segenap masyarakat manusia di tingkat lokal dan nasional, di tingkat regional dan global dalam menghadapi tantangan abad ke-21”.

Prinsip HKBP adalah:

“Untuk melaksanakan missi menuju visi tersebut di atas, HKBP berpegang teguh pada prinsip di bawah ini:

a. Melayani, bukan dilayani (Mark. 10:45) b. Menjadi garam dan terang (Mat. 5:13-14)

c. Menegakkan keadilan, perdamaian, dan keutuhan ciptaan (Mark.

16:15; Luk. 4:18-19).78

Tentu uraian visi79 dan misi80 ini sangat menegaskan seruan, ajakan ataupun kerinduan agar HKBP sebagai lembaga agama dan masyarakat lebih dapat terbuka dalam melaksanakan tugas, fungsi dan peranannya. Dengan konsep ini, HKBP telah melihat kenyataan dan keberadaannya di tengah dunia ini. Semakin HKBP sadar akan situasi nasional maupun internasional, HKBP aakan semakin sadar untuk melakukan visi dan misi Tuhan Allah, yaitu membawa kasih yang mendamaikan atau rekonsiliasi, menebarkan kasih yang mementingkan diri orang lain terutama bagi kalangan yang sangat mengalami ketertindasan, ketidakadilan dan keserakahan para penguasa dunia ini. Dalam kaitan itu, HKBP harus lebih sadar diri untuk melepaskan diri dari sikap-sikap dan pikiran yang tertutup, yang eksklusif dan monologis.

Istilah inklusif dan dialogis populer di HKBP adalah sebagai wacana dalam upaya menyikapi realitas konteks kehidupan bersama. Karena sebenarnya makna kedua istilah itu secara implisit berpadanan dengan visi dan misi Allah di

78 AP HKBP 2002, hlm. 95-95.

79 Visi adalah: kemampuan untuk melihat pada inti persoalan; pandangan luas; wawasan;

penglihatan; pengamatan. (Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, 1990, hlm.

1004).

80 Misi adalah: tugas yang dirasakan orang sebagai suatu kewajiban untuk melakukannya demi

dunia ini yaitu aagar semua umat manusia mengasihi Tuhan Allah dan sekaligus mengasihi sesama manusia. Visi dan misi Allah ini tidak berubah hingga kini ayaitu kasihNya yang nyata dengan mengutus Tuhan Yesus Kristus ke dunia ini serta mengutus Roh Kudus yang tetap bekerja dalam diri setiap orang Kristen.

Roh Kudus memberi pendampingan, peneguran dan peneguhan supaya setiap orang Kristen, yang terhimpun dalam jemaat setempat atau kelompok kristiani hidup dalam visi dan misi pelayanan Allah di dunia ini. Dan sesungguhnya, setiap orang Kristen telah berjanji kepada Tuhan Allah Yang Maha Pengasih itu bahwa dia hidup di dunia ini untuk visi dan misi pelayanan Allah.81

Sejarah perkembangan agama Kristen beberapa dekade terakhir ini menyaksikan terjadinya pembakaran gereja-gereaja, sulitnya mendirikan gedung gereja, dan sebagainya adalah sebagian pengalaman pahit yang dialami warga HKBP. Dalam menghadapi situasi ini, HKBP berupaya mendekatkan diri dengan saudara-saudara warga negara Indonesia yang berjiwa terbuka, inklusif dan dialogis. Sehingga di berbagai daerah, di antara umat beragama terjalin persaudaraan yang saling tolong-menolong dan bersama-sama mencermati upaya-upaya yang sengaja mempertentangkan sentimen-sentimen etnis dan agama.82 Dengan demikian diharapkan bahwaHKBP berkembang menjadi gereja yang inklusif, dialogis, dan terbuka serta mampu mengembangkan kehidupan yang bermutu dalam kasih Tuhan Yesus Kristus bersama-sama dengan masyarakat global, khususnya masyarakat Kristen untuk kemuliaan Allah Bapa Yang Maha Kuasa. Terhadap unsur persekutuan dengan sesama manusia, gereja yang terpanggil untuk bersifat inklusif, terbuka dan dialogis. Gereja yang inklusif, terbuka dan dialogis hendaknya belajar dari anjuran Rasul Paulus kepada jemaat Roma: “Sebab itu terimalah satu akan yang lain, sama seperti Kristus juga telah menerima kita, untuk kemuliaan Allah” (Rom. 15:7).83

Sebagaimana ditekankan oleh DR. J.R. Hutauruk, maka ada beberapa program yang harus diprioritaskan HKBP guna mewujudkan citranya sebagai gereja yang inklusif dan dialogis serta terbuka, yakni:

Pertama: adalah belajar dan melatih diri supaya semakin menjiwai sikap yang terbuka, inklusif, dan dialogis. Ini dimaksudkan agar rumusan visi dan misi HKBP bukan hanya formulasi tetapi menjadi komitmen setiap warga HKBP dalam kehidupan bertetangga di tengah-tengah masyarakat majemuk. Kedua: mendorong para pelayan HKBP untuk memberdayakan setiap warga HKBP supaya semakin mampu hidup bertetangga dengan baik. Setiap pelayan (parhalado) pada segenap jajaran HKBP seharusnya memfokuskan program dan kegiatannya untuk memampukan warga

81 Ibid, hlm. 38-39.

82 Ibid, hlm. 42.

83 Binsar Nainggolan, “HKBP Distrik X Medan-Aceh Terpanggil untuk Mewujudkan Gereja sebagai Tubuh Kristus yang Inklusif, Dialogis, dan Terbuka Mencapai Cita-cita menjadi Berkat bagi Sesamanya di tengah-tengah Masyarakat yang Pluralis”, dalam Arahan dan Laporan Praeses ke Sinode distrik, disunting oleh Midian KH Sirait (Medan: HKBP Distrik

HKBP menjadi tetangga yang baik, yang pandai menjauhkan hal-hal yang mencurigakan pihak lain. Ketiga: juga menjadi program prioritas HKBP untuk melengkapi dirinya dari dalam yaitu dengan memberdayakan para pelayan: pendeta, guru huria, bibelvoruw, diakones, evangelis, dan sintua dalam berbagai bidang keterampilan sesuai dengan cakupan tugasnya masing-masing.84

Titik tolak penyusunan program pelayanan yang seperti ini menunjuk bahwa HKBP telah memegang prinsipnya, yaitu tidak untuk dilayani tetapi untuk melayani, menjadi garam dan terang dunia, menegakkan keadilan, perdamaian dan keutuhan ciptaan. Dengan demikian pelayanan HKBP akan dapat menjawab berbagai tantangan dan pergumulan hidup manusia. Berdasarkan itu pula pelayanan HKBP menjadi aktual dan relevan dalam kehidupan jemaat dan masyarakat, baik untuk dirinya maupun bagi orang lain.

Sehubungan dengan visi dan misi HKBP tersebut, beberapa teolog besar juga menekankan sikap keterbukaan gereja terhadap orang lain maupun terhadap dunia. Salah seorang di antaranya adalah Jürgen Moltmann, yang dalam beberapa tulisannya menyerukan supaya gereja hadir bagi orang lain.

Dalam dokumen Silabus Sejarah Gereja Batak I (Halaman 129-134)