1. Pendahuluan. Sebagaimana pada penjelasan pertemuan lalu (Ke-III) telah dijelaskan bahwa perkembangan dakwah Islam dan misi PI Kisten di Indonesia umumnya dan di Tapanuli (Sumut) khususnya, keduanya turut (paling tidak) dipengaruhi oleh kepentingan pemerintah kolonial Belanda.
Keadaan ini jugalah yang berlangsung pada sejarah misi Kristen dan dakwah Islam di Tapanuli masa pertengahan abad 19 (sebelum dan sesudah tahun 1861). Penguasa tertinggi pemerintah Belanda yang membawahi seluruh Sumatera ketika itu, yakni Jenderal Thomas Stamford Rafles yang berkedudukan di Bengkulu, sangat kuat mendorong usaha penginjilan dilakukan di tanah Batak agar maksud Rafles terwujud yakni: memisahkan orang Aceh (daerah paling Utara Sumatera) yang sudah dominan Islam dengan orang Minangkabau (Selatan Tapanuli) yang juga sudah dominan Islam. Kebijakan ini juga merupakan bagian sistem politik Rafles (umumnya Eropa: misal Belanda di wilayah kekuasaan Hinda Belanda yakni Indonesia;
dan Inggris umunya daerah ASEAN) yang bertujuan memecahbelah dan mengalahkan penduduk (de vide et impera) ketika itu (lih. P.B. Pedersen, hl. 45). Berhubung dengan ini, ketika pertama sekali badan zending BMS mengutus tiga orang misionarisnya bekerja di daerah tanah Batak (1820:
Burton, Ward dan Evans) dan menjadikan Sibolga sebagai titik berangkat mereka ke Silindung, perang Paderi (Bonjol) yang dipimpin oleh Tuanku Rao sangat berusaha menduduki Tapanuli dengan menjadikan Sibolga sebagai pangkalan utama Islam di Tapanuli. Tujuan penyerangan-penyerangan ini, di samping mempersempit ruang gerak pemerintah kolonial, juga untuk memperluas pengaruh Islam di tanah Batak. Dapat dikatakan bahwa walau tidak lebih jauh pengaruh Islam di tanah Batak (umumnya Silindung, Humbang dan Toba), tentara Paderi sudah menguasai tanah Batak dari tahun 1818 hingga masa selanjutnya. Realitasnya juga, bahwa hingga akhir abad 19, ketentaraman pemerintah kolonial Belanda sangat diancam/diganggu oleh pemberontakan-pemberontakan pasukan Islam (Paderi) secara umum. Hikmat yang dapat dipetik melalui keadaan ini secara menyeluruh bahwa agama Kristen tiba dalam suatu suasana yang tepat dan cepat oleh kekacauan social di seluruh Tanah Batak. Di tengah pengaruh dan kepentingan politik pemerintah kolonial Belanda demi tujuan keuntungan perdagangan kolonial, misi dan dakwah menjadi suatu pertandingan antara Islam dan Kristen bagi orang Batak di tanah Batak. Demikian di tengah menguatnya pengaruh Belanda, pendirian perkebunan-perkebunan di wilayah-wilayah yang mengelilingi tanah Batak menjadi kekuatan
tersendiri untuk mematahkan isolasi masyarakat Batak dari daerah sekelilingnya (lih. P.B. Pedersen, hl. 64-65).
2. Sebagaimana ditekankan di atas, nampaknya terlepas dari sudut kepentingan dan tujuan politik kolonial, demikian tekanan-tekanan dari pihak Islam, misi zending kekristenan nampak harus terus diperjuangkan di Tapanuli. Dan badan zending yang paling berhasil mendirikan gereja di tanah Batak adalah Rheinische Missiongesllschaft – RMG (kemudian badan zending ini berobah nama menjadi VEM: Vereinte Evangelische Mission ; kemudian menjadi menjadi UEM: United Evangelical Mission) yang tahun 1859 direkturnya Dr. R. Fabri datang ke Amsterdam menemui pemerintah Belanda guna membicarakan masalah misi selanjutnya di Kalimantan akibat bergejolaknya perang Hidayat tahun 1859 di sana, dimana akibat perang itu juga para misionaris RMG turut terbunuh sebab ketika itu Kalimantan juga merupakan wilayah kerja misi RMG yang dirintis sejak tahun 1835. Masa kunjungan inilah awalnya Fabri menemukan kesan yang sangat mendalam baginya terhadap awal pengenalannya kepada orang Batak melalui sebuah tulisan Batak berjudul : Surat ni si Johanes: . Atas kesan yang mendalam inilah, melalui kebijakan Fabri (sebagai direktur) kemudian RMG secepatnya memindahkan wilayah kerja misi yang bergejolak dari Kalimantan ke tanah Batak. Para misionaris RMG yang sebelumya bekerja di Kalimantan segera di pindahkan ke tanah Batak misalnya: Heine, Klammer dan Denniger (sebab alasan kesehatan isterinya, misionaris ini tidak ikut ke tanah Batak namun oleh RMG ia kemudian diutus ke daerah Nias). Sebelumnya misionaris badan zending Ermelo Belanda sudah mendahului pekerjaan misi di tanah Batak melalui Betz dan Van Asselt. Awal pertemuan ke empat orang misionaris inilah, peristiwa sejarah gereja Batak tanggal 7 Oktober 1861 penting diingat, yakni rapat koordinasi misi tentang penetapan metode kerja badan misi RMG dan badan misi Ermelo di tanah Batak. Realitasnya, wilayah bagian Selatan Tapanuli Islam sudah sangat dominan bagi masyarakat setempat, sementara di bagian Utara agama tradisionil Batak juga masih sangat dominan (masih belum disentuh oleh pengaruh apapun) bagi masyarakatnya. Demi pengembangan misi selanjutnya, rapat koordinasi ke empat orang misionaris ini tetap memutuskan bahwa Van Asselt bersama Heine keduanya bekerja untuk wilayah Utara khususnya daerah Pahae sedangkan Klammer dan Betz bekerja untuk wilayah Selatan khususnya daerah Bungabondar (Sipirok).
Melalui pembagian wilayah ini, setelah kedatangan Dr. Ingwer Ludwig Nomensen, mereka kemudian sepakat untuk mengutusnya (Nomensen) ke daeran Utara yakni daerah lembah Silindung untuk misi dan nyata selanjutnya pekerjaan Nomensen inilah yang jauh paling berhasil sekaligus mencirikan identitas perkembangan gereja Batak selanjutnya.
3. Metode Kerja Misi di tanah Batak (3-4). Sebelum pokok tema ini dibicarakan lebih jauh, ada baiknya diperkenalkan profil tokoh misionaris yang paling berjasa menanam dan mengembangkan Injil di tanah Batak, beliau adalah
Dr. I.L Nomensen (lebih jauh informasi tentang tokoh ini lih. P.B.
Pedersen,hl. 54-64 dan buku rujukan lainnya). Ia lahir di pulau Nordstand (daerah Schleswig-Holstein sebuah daerah antara Denmark dan Jerman) tanggal 6 Pebruari 1834 (pada tahun terbunuhnya Munson dan Lyman di Lobupining) dan bulan Oktober 1861 (setelah menjalani pendidikan teologi di bawah bimbingan RMG) ia ditahbiskan menjadi seorang pendeta. Tiba di Padang tanggal 14 Mei 1862 (masa 142 hari pelayaran dari Jerman hingga ke Padang). Awalnya, oleh kepentingan politik Belanda dan setibanya Nomensen di Padang, Belanda tidak memperbolehkannya memasuki daerah pedalaman Tapanuli. Ia hanya diperbolehkan bekerja untuk misi di daerah Barus (tiba tahun 1862, di daerah inilah Nomensen belajar bahasa dan adat Batak), yang walau pemberian ijin ini tidak sesuai dengan cita-cita misi Nomensen sejak awal, namun ia menganggap situasi ini sebagai langkah awal memasuki pedalaman Tapanuli ketika itu. Perjalanan misi pertama di mulainya dari Barus ke Sipirok tanggal 25 Oktober 1862, dan setibanya di Sipirok, pekerjaannya sangat mendapat simpatik dari banyak orang ketika itu.
Modal yang sangat tajam bagi Nomensen sejak awal dalam mengembangkan misi adalah sikap dan kepribadiannya yang dinampakkannya melalui dedikasinya melayani. Inidikasi ini nampak ketika ia mendirikan lembaga pendidikan zending di Prau Sorat, walau akhirnya lsekolah ini tidak berkembang karena beratnya tantangan dialami dari pihak Islam. Perjalanan misi kedua dilakukannya tahun 1863 menuju daerah pedalaman yakni Silindung, perjalanan ini dimulainya setelah Nomensen mendapat dukungan semangat dari Van Asselt dan Klammer di mana tahun sebelumnya (1862) dua orang misionaris ini sudah mengunjungi Silindung. Setibanya di Silindung, Nomensen awalnya disambut baik oleh masyarakat Silindung, namun ketika pertama sekali ia berkunjung ke Sipoholon, ia mengalami perlawanan yang sesungguhnya dari penduduk setempat sebab Nomensen dianggap sebagai mata-mata Belanda untuk daerah Silindung. Namun oleh sikapnya yang sangat menarik simpatik banyak orang Batak ketika itu, ia dibiarkan tinggal di Silindung dan mulai Mei 1864 ia tinggal menetap di desa Saitnihuta dan di desa inilah untuk pertama sekali ia mendapatkan sebidang tanah rawa yang kemudian dirubahnya menjadi model perkampungan Kristen (Huta Dame) yang patut menjadi teladan dalam berbagai hal untuk sekitarnya. Di huta Dame inilah ia memulai misi yang lebih mendalam di lembah Silindung melalui: pendidikan (membaca, menulis, berhitung dan ilmu bumi, dll), kesehatan, kerohanian dan bidang ekonomi-sosial, akhirnya usaha misi inilah yang kemudian dikenal sebagai “metode misi empat dimensi”. Sikapnya yang ramah dan keahlianya mengobati berbagai penyakit, menjembatani jurang komunikasi dirinya menjadi sangat akrab dengan penduduk setempat ketika itu. Akhirnya, tanggal 27 Agustus 1865, ia membaptiskan orang berwibawa pertama (bersama empat orang lainnya) dari orang Batak menjadi Kristen yaitu: Raja Pontas Lumbantobing. Beliau inilah (dan empat orang yang dibaptis) yang di kemudian hari sangat banyak mendukung Nomensen bekerja demi misi di lembah Silindung. Dapat dikatakan bahwa keberhasilan misi Nomensen di tanah Batak sangatlah
berhasil, akhirnya tanggal 23 Mei 1918 Nomensen meninggal dalam usia 85 tahun. Tahun saat Nomensen meninggal, gereja telah bertumbuh dan mencakup anggota jemaat sebanyak 180.000 orang anggota di baptis, sekolah-sekolah sebanyak 510 buah dengan 32.700 murid, sejumlah gereja dengan 34 orang orang pendeta Batak ditahbiskan, 788 guru Injil dan 2.200 orang penatua (lih. Pedersen, hl. 64). Tahun 1881, saat Nomensen kembali untuk cuti ke Eropa oleh RMG sebagai lembaga misi yang mengutusnya ke tanah Batak menganugerahinya gelar: “Ephorus” (overseer: pengawas) di mana kemudian nama ini dipertahankan HKBP sebagai gelar jabatan tertinggi di dalam gereja dan tahun 1904, ia diberi gelar kehormatan Dr. Teologia oleh Universitas Bonn.
4. Selanjutnya, setelah melihat perkembangan misi yang sangat pesat di tanah Batak RMG mengutus para misionaris lainnya (mis. P.H.Johansen, Meerwalt, J. Warneck dll) untuk membantu pekerjaan misi di tanah Batak (lih. 125 tahun HKBP, hl 147 ff). Dari metode dan dedikasi kerja misi yang tajam berikut diuraikan tahap demi tahap hasil yang diperoleh dalam usaha pembentukan dan perkembangannya gereja Batak kemudian yakni:
a. Bidang Kerohanian. Usaha-usaha dalam bidang ini sangat berhubungan dengan pembinaan kehidupan kerohanian orang-orang Kristen Batak melalui: “ibadah, khotbah, persekutuan-persekutuan Kristen dan evanggelisasi, penerjemahan Alkitab ke dalam bahasa Batak, serta pengadaan buku-buku bacaan yang berisikan pengajaran Kristen dan lain-lain”. Lengkapnya pekerjaan ini dapat dikatakan sebagai berikut:
1876: Nomensen menterjamahkan Akitab PB ke bahasa Batak Toba yang ditulis ke aksara Batak dan diterbitkan tahun 1876. Dengan tambahan terjemahan kitab Mazmur oleh P.H. Johansen, terjemahan kitab PB ini disalin dalam aksara Latin tahun 1885.
1894: Alkitab PL terjemahan bahasa Batak Toba pertama sekali diterbitkan tahun 1894, setelah PH Johansen mengerjakannya selama 13 tahun.
1874: I.L. Nomensen menterjemahkan Katekhismus M. Luther ke bahasa Batak Toba.
1881: Buku ende huria dalam bahasa Batak Toba dikumpulkan dan diterbitkan sebanyak 121 nyanyian, juga lampiran konsep dosa pagi dan sore. Nyanyian-nyanian itu disadur dari bahasa Jerman ke bahasa Batak Toba. Cetakan kedua buku nyanyian ini dilakukan tahun 1886 dengan 162 nyanyian. Hingga tahun 1889, santapan rohani (bohal partondion) karangan H.V. Bogatzky diterjemahkan oleh P.H. Johansen, di mana buku ini dipergunakan sebagai buku renungan dan ibadah keluarga Kristen.
1886: Nyanyian rohani dan Kathehismus dalam bahasa Batak Angkola- Mandailing diterjemahkan oleh Chr. Schuetz.
1889: Untuk pertama sekali majalah gereja “Imanuel” diterbitkan, isinya berita-berita pelayanan gereja, khotbah gerejani bulanan. Tujuan
terbitnya majalah ini adalah untuk mempersatukan jemaat-jemaat Kristen Batak yang semakin pesat perkembangannya.
1898: Pertama sekali Almanak tahunan gerejani diterbitkan sebagai buku penuntun teks khotbah setiap hari minggu serta nats-nats bacaan bagi setiap anggota keluarga Kristen.
1899: Buku kumpulan cerita Alkitab PB yang diterjemahkan oleh I.L.
Nomensen diterbitkan dalam aksara Batak dan latin. Buku ini sebagai bahan pengajaran pertama bagi pelajaran sidi. Demikian dengan tahun 1902 buku kumpulan certa Alkitab PL diterjemahkan ke bahasa Batak Toba oleh P.H. Johansen. Penterjemahan ke bahasa Batak Angkola–Mandailing dilakukan oleh Ph.Schuetz, buku ini diterjemahkan dari buku karya Zahn dan Kuertz.
b. Bidang pendidikan umum dan teologi. Para misionaris awalnya sangat memahami bahwa tidak mungkin gereja berdiri di tengah masyarakat yang buta huruf (aksara) sebab membina kerohanian saja tidaklah mungkin membentuk manusia seutuhnya. Melalui pendidikan mereka sadar bahwa ini adalah sarana utama bagi penunjang berhasilnya PI yang sesungguhnya, melalui pendidikan inilah para pribumi kemudian sangat mendukung berhasilnya PI. Berikut dicantukan sejarah pembangunan pendidikan umum dan pendidikan teologi oleh gereja di tanah Batak:
- Bidang Pendidikan Umum
1861: Oleh Nomensen di Prau Sorat SD untuk membaca dan berhitung dibuka yang tahun 1893. Selanjutnya, sekolah-sekolah sending di Tapanuli mendapat bantuan dari pemerintah Belanda sebab sekolah sending sangat berperan meningkatkan pengetahuan (kwalitas SDM) masyarakat.
1900: “Sekolah anak ni raja” diririkan di Narumaonda dan sekolah ini memakai bahasa Belanda. Di Narumonda juga didirikan sekolah Tukang yang dididik menjadi terampil/ahli bidang pandai besi dan kayu. Lama belajar adalah 2 tahun yang kemudian sekolah ini mendapat bantuan dari pemerintah.
1911: Sekolah yang jenjangnya lebih tinggi dari SD yakni HIS (Hollands Inlands School) di Sigompulon Tarutung didirikan, sekolah ini jugaberbahasa Belanda
1927: Sekolah MULO (setingkat dengan SMP) Kristen didirikan di Tarutung. Hingga pertengahan abad 19 produk sekolah ini sangat bermutu hingga siap diandalkan di seluruh Indonesia.
1930: Sekolah Vervolg (Vervlog School) didirikan sebagai lanjutan dari kelas III SD.
1932-1950: Persekolahan di kalangan Kristen Batak di berbagai daerah (dari Siborongborong, Balige, Tarutung, bahkan ke P. Siantar dll) tumbuh seperti jamur. Sekolah ini kemudian dinamakan
Schakelschool yang bersama dengan HIS dan HIS Bregensstroth, sekolah-sekolah ini berbahasa Belanda.
1945-1950: Persekolahan (mulai dari SD-SMA) HKBP bertumbuh sangat pesat, dan untuk pertama sekali SMA dan SGA HKBP berdiri di Tarutung. Hingga tahun 1962 melalui Depertemen Pendidikan HKBP telah memayungi 100 buah lembaga pendidikan umum yangtersebar di berbagai daerah.
1954: (7 Oktober) melalui SA-nya, HKBP mendirikan sebuah Universitas milik HKBP yang diberi nama Universitas HKBP Nomensen, awalnya hanya tiga Fakultas yakni: Theologia, Ekonomi dan Hukum.
1957-1961: Badan persekolahan gereja ini sangat mengalami hambatan dalam pengelolaannya sebab keadaan politik negara, yang akhirnya mengurangi gaji para guru yang sangat dibawah standart dan sulitnya para guru ini memperoleh kenaikan pangkat/golongan yang berhubungan dengan kesejahteraannya.
1961: Perguruan teknik HKBP didirikan di P. Siantar (Jln. A. Yani/Medan sekarang samping percetakan HKBP).
- Bidang pendidikan teologia
1868: Lembaga pendidikan guru pertama yaitu Seminari Prau Sorat sebagai sekolah Kateket) di dirikan di Prau Sorat – Sipirok (Tapanuli Selatan). Siswa sekolah ini direkrut dari tamatan SD sending terbaik ketika itu dengan kurikulum: “pengetahuan tafsiran Alkitab dan Sejarah Alkitab, Katekhismus, Ilmu Bumi, Sejarah (Kuno, Modern, dan Sejarah Gereja), Berhitung, Bernyanyi, Pengetahuan Alam dan bahasa Jerman dan Melayu”. Sekolah ini ditutup tahun 1872 (hanya menghasilkan 27orang guru dari tiga angkatan) karena hasil misi PI umumnya di TAPSEL sangatlah lambat di banding TAPUT dan akhirnya sekolah ini dipindahkan ke TAPUT.
1873-1877: Sikola Mardalan-Dalan didirikan (sekolah yang belajarnya tidak menetap/mardalan-dalan). Disebut namanya demikian, sebab para misionaris sebagai guru mereka, oleh pekerjaan misi yang sangat banyak para siswa datang menemui guru untuk diajari.Tiga orang misionaris yang bekerja di Silindung ketika itu sekaligus sebagai guru adalah: I.L. Nomensen di Pearaja, P.H. Johansen di Pansur Napitu, A. Mohri di Sipoholon. Kurikulum yang diterapkan merupakan pengembangan dari kurikulum sekolah guru Prau Sorat.
1877: Seminari Pansur Napitu. Seminari ini merupakan lanjutan dari Sekolah Mardalan-dalan sebelumnya. Dibukanya seminari ini oleh para misionaris, sebab pertimbangan kurang efektifnya sekolah mardalan-dalan yang melalui ini dipikirkan cara yang lebih bai yaitu membuka sekolah menetap di Pansur Napitu (kemudian disebut
Seminari Pansur Napitu). Seminari ini dipercayakan atas pengelolaan P.H. Johansen yang juga ia melayani jemaat setempat. Untuk lebih meingkatkan kwalitas lulusannya, para misionaris memutuskan lama pendidikannya selama empat tahun.
Kebijakan ini diambil sebab, pendidikan yang serupa telah dibuka di Depok (Jawa Barat) tahun 1878 yang oleh karena itu para misionaris mengharapkan lulusannya dengan kwalitas yang serupa dengan lembaga pendidikan yang didiririkan di Depok.
Selanjutnya, lembaga pendidikan Pansur Napitu ini mendidik putra pribumi yang diharapkan menjadi tenaga bidang pendidikan guru jemaat dan sekolah pendeta.
1900: Seminari Sipoholon didirikan. Tahun ini merupakan perpindahan seminari Pansur Napitu ke Sipoholon. Perpindahan ini disebabkan pertimbangan para misionaris atas hasrat putra pribumi mendapatkan pendidikan teologia dan pendidikan umum yang lebih baik. Atas inisiatif para misionaris, J. Warneck dipercayakan menjadi pemimpin seminari ini. Dari tenaga pengajar dan kurikulum serta lama pendidikan, seminari ini merupakan pengembangan dua lembaga pendidikan (sekolah mardalan-dalan dan seminari Pansur Napitu) sebelumnya.
1934: Sekolah penginjil khusus wanita (Bibelvrouw) di Laguboti.
Sekolah ini pertama sekali di bawah pimpinan Schwester Elfriede Harder. Mula-mula sekolah ini didirikan di Narumonda-Porsea (1934-1936) tetapi tahun 1837 dipindahkan ke Laguboti. Sejak awal, produk sekolah ini diharapkan mampu menjadi pelayan gereja khusus bagi pekerjaan wanita seperti: pembinaan wanita dalam gereja, mengajar anak-anak dan muda/i, pelayanan pastoral lainnya para wanita ke rumah-rumah. Masa pendudukan Jepang (1940-1945) sekolah ini ditutup, namun oleh Pdt. K. Sirait mantan Ephorus HKBP pertama, sekolah ini dibuka kembali.]
Catatan:
- Masa pendudukan Jepang di tanah Batak, umumnya lembaga pendidikan umum dan sekolah-sekolah teologi sedang mengalami kegentingan yang amat sangat yaitu ditutupnya oleh pemerintah Jepang semua badan sekolah itu.
- Setelah kemerdekaan, lembaga sekolah ini di buka kembali dengan paradigma yang berbeda sesuai apa yang direncanakan oleh para misionaris. Artinya bila sekolah-sekolah sending didirikan untuk kepentingan misi secara menyeluruh (sebagai tenaga-tenaga guru bidang pendidikan umum) oleh HKBP, pengefektipan kembali sekolah-sekolah teologi tahun 1950 (melalui pendirian sekolah guru huria misalnya) diharapkan dapat menjadi tenaga pelayan yang terbatas hanya mengelola pelayanan jemaat lepas dari fungsi sebagai guru di sekolah-sekolah umum.
- Hikmat ini penting, guna memahami dibukanya kembali pendidikan guru huria khusus sebagai tenaga pelayan bagi jemaat-jemaat yang mengalami perkembangannya masa pertengahan abad 19 di tanah Batak dan di berbagai daerah lainnya.
c. Bidang kesehatan. Sejak awal bahwa keberhasilan misi di tanah Batak sangat didukung oleh pelayanan para misionaris di bidang kesehatan (penyembuhan dan kebersihan lingkungan, penyuluhan giji yang baik).
Pelayanan ini mempengaruhi masyarakat Batak akhirnya meninggalkan ketergantungan mereka kepada peran datu dalam kehidupan sehari-hari.
Perkembangan selanjutnya pelayanan ini, memotivasi para misionaris mendirikan lembaga pelayanan kesehatan seperti pendirian beberpa rumah sakit yang lebih besar, yakni:
1900: RS RMG pertama didirikan di Tarutung, yang dipimpin oleh Dr.
med. J. Schreiber
1901: Dr. (med) Winkler dan Suster Charlotte Spethmann diutus untuk melayani RS Tarutung.
1905: Sekolah pendidikan perawat dan Bidan untuk para wanita Batak dibuka.
1917: RS penolong di buka di Balige, dan tahun 1928 di tingkatkan menjadi sebuah RS yang sama kelasnya dengan yang di Tarutung.
1940: Hingga tahun ini, pelayanan kesehatan HKBP melalui berdirinya 14 RS penolong di: Ambarita; Butar; Dolok Sanggul; Nainggolan;
Pakantan; Pakkat; Pangaribuan; Pangururan; Pargarutan;
Parsoburan; Sayurmatinggi; Sihorbo; Sipirok; Sitorang.
RS penolong ini kemudian didukung oleh berdirinya 12 Poliklinik, yakni di: Janjimatogu; Laguboti; Lintongnihuta; Lumban Julu;
Onanhasang; Parsoburan; Porsea; Salak; Sarulla; Simarangkir;
Sigumpar; Sipahutar.
1940: (10 Mei), semua lembaga pelayanan kesehatan ini dikuasai oleh pemerintah Belanda dan Maret 1942 kembali dikuasai oleh pemerintah Jepang, dan 1945 setelah kemerdekaan diambil alih oleh pemerintah Indonesia. Tanggal 15 Desember 1945, melalui SK MENKES RI Dr. Lie Kiat Teng No. 8/9632/Kab. Pemerintah menyerahkan semua fasilitas pelayanan kesehatan yang diwarisi dari RMG kepada HKBP. Namun oleh ketidakmampuan HKBP waktu itu, hanya RS Balige kembali ditanggung jawabi oleh HKBP.
Maka hak dan beban tanggungjawab RS itu secara resmi ditangani oleh HKBP sejak 1 Januari 1955.
d. Bidang Sosial Ekonomi (lih. Pedersen, hl. 61). Adalah merupakan fakta sebelum kekristenan di tanah Batak, bahwa masyarakat Batak hidup dalam penggolongan (pengkastaan) derajat hidup akibat: kemiskinan, kebodohan, kemalasan, kebiasan berjudi, system perbudakan (parhatobanon) dan system pinjam-meminjam (rentenir) yang gawat masih dominan. Dalam usaha memperbaiki sistem social masyarakat ini, para misionaris menerapkan metode kerja misi sebagai berikut:
- Memberantas sistem “parhatobanon” (system budak) melalui menebus utang
“hatoban” kepada para pemiutang (tuan-tuan/raja).
- Membasmi system utang-piutang (pinjam meminjam) dengan bunga yang sangat tinggi dengan menggiatkan system perkoperasian yang pengelolaannya dipercayakan kepada para guru sendirng yang sekaligus berfungsi sebagai guru jemaat setempat. Untuk usaha ini, Nomensen memberi modal kepada jemaat untuk dipinjamkan dengan bunga sangat rendah.
- Mengurangi beban kerja para wanita menumbuk padi dengan mengajari mereka membuat kincir air (losung aek) yang berfungsi sebagai gilingan padi.
- Mengajari para petani Batak dengan system pertanian modern. Sistem ini ditambah dengan pengefektipan lahan pekarangan rumah guna meningkatkan pendapatan dan giji keluarga seperti tanaman sayuran dan buah-buahan. Pola ini diterapkan pertama sekali dengan mengembangkan penataan
“pargodungan” (kompleks gereja sekaligus kompleks perumahan pelayan:
Pdt dan guru sending/jemaat).
- Untuk membina system perekonomian masyarakat Batak yang lebih luas, I.L.
Nomensen mengusulkan kepada pemerintah mengatur hari pekan (Onan) di tiap daerah di Tapanuli Utara. Tujuannya supaya hasil panen penduduk dapat dipasarkan dengan baik melalui lancarnya roda perputaran uang di tanah Batak (misalnya: Onan Senin-Laguboti ; Selasa-Narumonda ; Rabu – Porsea ; Kamis – Silaen ; Jumat – Balige ; Sabtu – Sigumpar ; Rabu – Siborongborong dan daerah daera lainnya di Silindung). Sistem pengaturan seperti ini juga berlangsung di daerah Silindung dan Humbang.
5. Penutup untuk bab ini. Suatu hal dapat dikatakan bahwa keberhasilan misi di tanah Batak sangat ditentukan oleh cara pendekatan para misionaris yang sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat Batak pada masanya. Pernyataan inilah yang dilakukan secara khusus oleh Nomensen, dan nampak dalam hal:
- Ketika pertama sekali orang Batak memberi gelar “Ompui” kepadanya, pemberian gelar ini tidak semata-mata karena keberhasilannya membentuk dan membina sebuah perkampungan Huta Dame di lembah Silindung yang sekaligus ia memberi pengajaran Alkitab dan pengetahuan agama Kristen kepada mereka.
Lebih dari itu, nasehatnya dalam memutuskan persoalan adat, tata laksana kehidupan antar kampung, demikian perselisihan antara keluarga, keadilan pertimbangannya memperdamaikan perselisihan antar penganut agama suku semuanya menjadi corak kepemimpinan dan kepribadiannya yang sangat tanguh memberhasilkan misi di tanah Batak.
- Wibawa (sahala) dirinya yang ditunjukkannya ketika pertemuan para raja di setiap berlangsungnya Onan nampak kecerdasan, ketangkasan dan ketajamannya berpikir terhadap soal-soal hikmat ke-Batak-an dan melampaui raja-raja Batak sendiri.
Sikap seperti inilah inilah dapat dijadikan sebagai teladan yang sangat kuat bagi pelayan dan pelayanan masa kini guna dimamfaatkan bagi perkembangan gereja sebagaimana diharapkan ke depan.