IKAN PELAGIS
3.2.2 Ikan cakalang
93
berumur 1‐3 tahun, sedangkan semakin ke arah timur (lepas pantai) didominasi oleh ikan berumur 2‐6 tahun.
94
Bentuk tubuh cakalang memanjang seperti torpedo (fusiform), memanjang dan padat dengan penampang melintang yang membulat.
Tubuh tidak bersisik kecuali pada bagian gurat sisi dan depan sirip punggung pertama. Cakalang mempunyai 7‐9 sirip dubur tambahan dan terdapat tiga tonjolan pada batang ekor. Ekornya pendek dan tegak, tangkai ekor sampai ke pinggir kelihatan sangat sempit, sirip punggung pertamanya kelihatan tinggi ketika muncul dari celah‐celah arus pada waktu ikan ini berenang, sirip dada dan punggung kedua relatif pendek dan berwarna hitam, gigi‐giginya kecil dan berbentuk kerucut dalam seri tunggal, memiliki tapis insang (giil raker) 53‐62 buah. Bagian punggung hingga dada berwarna biru agak violet, sedangkan bagian perut berwarna keputih‐putihan hingga keperak‐perakan. Ciri yang paling khas pada ikan cakalang adalah terdapat 4‐6 garis berwarna hitam tebal yang membujur seperti pita di samping bagian badan (Simbolon, 2003).
Fork length maksimum ikan cakalang mencapai 108 cm dengan berat sekitar 32,5‐ 34,5 kg, sedangkan ukuran yang banyak tertangkap adalah 40‐80 cm dengan berat 8‐10 kg (Collete & Nauen, 1983). Individu
Gambar 18 Ikan cakalang (Katsuwonus pelamis).
95
dalam satu gerombolan cakalang mempunyai ukuran yang relatif sama, dan ikan yang berukuran lebih besar biasanya berada pada lapisan yang lebih dalam dibandingkan dengan gerombolan yang berukuran kecil.
Panjang ikan cakalang pada umur satu tahun kurang lebih 37 cm, pada tahun kedua dapat mencapai 46 cm, tahun ketiga 55 cm, tahun keempat 64 cm, tahun kelima 72 cm, bahkan cakalang dapat mencapai 1 meter pada umur lebih dari 7 tahun dengan berat diperkirakan 25 kg.
Pada umumnya ikan cakalang yang tertangkap berukuran panjang 40‐60 cm. Ikan cakalang yang berada pada permukaan perairan tropis adalah cakalang yang kecil (kurang dari 4 kg/ekor) sedangkan cakalang besar (lebih dari 6,5 kg/ekor) biasanya terdapat pada perbatasan termoklin dan beradaptasi dengan perairan yang sejuk.
Ikan cakalang memijah sepanjang tahun di perairan katulistiwa, antara musim semi sampai awal musim gugur di perairan subtropik.
Cakalang diperkirakan mulai memijah pada saat berumur 1 tahun dengan fekunditas sekitar 100.000 telur/tahun dan bertambah sampai 2 juta telur setiap memijah. Telur‐telur diperkirakan menetas 4 hari setelah fertilisasi.
Larvanya ditemukan di seluruh wilayah Samudera Hindia, Pasifik dan Atlantik, dan setelah berumur 4 tahun atau lebih cakalang kembali ke daerah khatulistiwa untuk memijah. Perbedaan tempat pemijahan dapat menimbulkan perbedaan puncak musim pemijahan (Matsumoto, 1974).
Fekunditas cakalang di Teluk Bone pada bulan Maret dan Juni berkisar 256.128‐1.304.956 telur dengan tingkat kematangan gonad IV (Tarupay diacu dalam Amiruddin, 1993).
96
Musim pemijahan ikan cakalang di Samudera Pasifik bagian barat dan perairan Jepang hampir bersamaan, yaitu pada bulan Mei‐Agustus.
Puncak musim pemijahan cakalang di perairan Sorong terjadi pada bulan Januari dan Mei, di perairan Papua Nugini berlangsung antara Oktober‐
Maret, dan di perairan Philipina berlangsung sepanjang tahun dengan puncaknya sekitar bulan April.
Tingkah laku ikan cakalang
Ikan cakalang tergolong ke dalam ikan pelagis, yaitu jenis ikan yang hidup atau menghuni perairan lapisan permukaan sampai lapisan tengah (mid layer). Ikan ini mencari makan berdasarkan penglihatan di zona pelagis yang menjadi habitatnya dan rakus terhadap mangsanya.
Ikan cakalang bersifat kanibal dan dapat memburu ikan‐ikan kecil, crustasea, cephalopoda, dan moluska. Namun demikian, cakalang juga merupakan mangsa penting bagi ikan‐ikan besar di zona pelagis, seperti untuk ikan hiu.
Ikan cakalang adalah ikan yang selalu membentuk schooling dan biasanya dalam ukuran dan umur yang relatif seragam. Pengertian shooling disini ialah pengelompokan ikan yang terpolarisasi satu sama lain baik jarak maupun kecepatan renang. Shooling cakalang biasanya terdiri dari ikan yang berukuran sama, walaupun terdapat dalam satu gerombolan campuran antara dua spesies atau lebih. Hal ini mungkin disebabkan karena kecepatan renang ikan yang berukuran lebih kecil tidak dapat mengikuti ikan yang berukuran lebih besar. Cakalang sering membentuk
97
schooling di sekitar permukaan dan schooling ini dapat diketahui dengan memperhatikan tanda‐tanda alam seperti burung‐burung yang terbang rendah, benda‐benda terapung, hiu dan paus, serta sering menunjukkan tingkah laku yang unik dengan cara meloncat ke udara, memburu mangsa, membentuk buih dan lain‐lain.
Ikan cakalang seringkali muncul di permukaan perairan bersamaan dengan madidihang ukuran kecil, tetapi mudah dibedakan dari jarak jauh karena perbedaan loncatannya. Ikan cakalang mengadakan loncatan jauh lebih horizontal sedangkan ikan madidihang meloncat lambat dan membentuk lengkungan.
Ikan cakalang bersifat epipelagis dan oseanis, dan sering hidup bergerombol (schooling) dalam melakukan migrasi, baik migrasi di sekitar pulau maupun migrasi jarak jauh. Migrasi jarak jauh sangat memungkinkan karena ikan ini termasuk ikan perenang cepat. Selain itu cakalang juga menyukai arus konvergensi yang terdapat di antara pulau‐
pulau yang berdekatan, perairan tempat terjadinya thermal front dan upwelling.
Kebanyakan Scombridae kecil, termasuk ikan cakalang tidak memiliki gelembung renang sehingga tidak bisa bergerak cepat secara vertikal dekat permukaan, akan tetapi juga membuat ikan ini membutuhkan kecepatan yang tinggi untuk mempertahankan keseimbangan hidrostatisnya (Matsumoto, 1974).
98 Penyebaran cakalang
Cakalang adalah ikan perenang cepat dan hidup bergerombol (schooling) sewaktu mencari makan. Kecepatan renangnya dapat mencapai 50 km/jam, bahkan dapat melakukan migrasi jarak jauh (highly migratory) melampaui batas‐batas yuridiksi suatu negara atau lintas samudera. Kemampuan renang ini merupakan salah satu faktor yang menyebabkan penyebarannya dapat meliputi wilayah geografis yang cukup luas. Penyebaran geografis ikan cakalang di perairan Indonesia disajikan pada Gambar 19.
Gambar 19 Penyebaran cakalang di perairan Indonesia.
99
Cakalang adalah jenis tuna yang tersebar luas hingga Samudera Pasifik, Samudera Hindia dan Samudera Atlantik. Namun demikian, daerah penyebaran yang paling banyak diketahui terdapat di Samudera Pasifik Selatan, dan biasanya hidup bergerombol di zona pelagis sampai kedalaman 200 meter (Tampubolon, 1983). Daerah penangkapan ikan cakalang tersebar di Samudera Pasifik terutama terbentang dari perairan utara Jepang, perairan timur Filipina, utara Papua, Papua Nugini, utara Australia dan utara New Zeland (Yamanaka, 1973).
Total potensi ikan cakalang di Indonesia diperkirakan 374.046 ton/tahun, yang tersebar di wilayah perairan Pasifik 69,80% (260.993 ton/tahun) dan di wilayah Samudera Hindia 30,20% (113.054 ton/tahun).
Potensi terbesar terdapat di Laut Sulawesi dan utara Papua sebesar 121.201 ton/tahun dan terkecil di Laut Arafura 17.503 ton/tahun (Tabel 9). Stok cakalang di Samudera Pasifik masih berada dalam kisaran yang aman, sedangkan di Samudera Atlantik stok cenderung menurun, lain halnya dengan stok cakalang di Samudera Hindia yang menunjukkan peningkatan walaupun diramalkan berhenti berkembang dalam waktu dekat (Komisi Nasional Pengkajian Stok Sumberdaya Ikan Laut, 1998).
Penyebaran cakalang di perairan Samudera Hindia meliputi daerah tropis dan sub tropis. Penyebaran cakalang ini terus berlangsung secara teratur di Samudera Hindia dimulai dari pantai barat Australia, sebelah selatan Kepulauan Nusa Tenggara, sebelah selatan Pulau Jawa, sebelah barat Sumatera, Laut Andaman, di luar pantai Bombay, di luar pantai Ceylon, sebelah barat Samudera Hindia, Teluk Aden, Samudera Hindia yang berbatasan dengan pantai Somalia, pantai timur dan selatan Afrika.
100
Tabel 9 Potensi sumberdaya ikan cakalang di perairan Indonesia
No Wilaya Perairan Luas Area (1000 km2)
Indeks Kelimpahan
(kg/km2)
Potensi (ton/thn) Biomassa Lestari
1 2 3 4 5 6 7 8
Laut Flores dan Sl. Makassar Laut Banda
Laut Arafura
Laut Maluku dan Tl. Tomini Laut Sulawesi & utara Papua Barat Sumatera
Selatan Jawa
Selatan Bali & Nusa Tenggara
605,3 326,7 171,6 440,1 821,7 915 388,6 488,8
94 235 204 252 295 142 128 95
56.898 76.775 35.000 110.905 242.402 129.930 49.741 46.436
28.449 38.387 17.503 55.453 121.201 64.965 24.870 23.218
TOTAL 4.157,8 180 748.093 127.853
Sumber : Komisi Nasional Pengkajian Stok Sumberdaya Ikan Laut (1998)
Beaufort dan Chapman (1981) menyatakan bahwa daerah penyebaran ikan cakalang adalah pada bagian selatan dan barat daya Sumatera, Laut Timor, Laut Sulawesi, perairan Pulau Bacan, Perairan Ambon, Laut Banda, Laut Flores dan Laut Arafura. Uktolseja et al. (1989) melaporkan bahwa persediaan cakalang di Kawasan Timur Indonesia tersedia sepanjang tahun, terutama di Laut Maluku, Banda, Seram dan Laut Sulawesi. Kontinuitas keberadaan ikan cakalang ini terjadi karena wilayah perairan tersebut termasuk daerah migrasi kelompok ikan dari Pasifik bagian Selatan. Gafa dan Marta (1987), juga menegaskan bahwa Laut Sulawesi dan Maluku merupakan daerah penyebaran ikan cakalang yang cukup potensial.
Menurut Monintja et al. (2001), cakalang di Indonesia sebagian besar terdapat di perairan KTI seperti di perairan Sulawesi Utara, Halmahera, Maluku dan Papua dengan basis penangkapan masing‐
masing terdapat di Bitung, Ternate, Ambon dan Sorong. Penangkapan
101
ikan cakalang dapat dilakukan sepanjang tahun, baik pada musim barat, musim timur maupun musim peralihan. Namun, puncak musim penangkapan seringkali bervariasi menurut wilayah perairan (Tabel 10).
Tabel 10 Puncak musim penangkapan cakalang di beberapa wilayah perairan KTI
Perairan Musim Barat Peralihan B‐T Musim Timur Peralihan T‐B 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 Sulawesi Utara
dan Tengah
Halmahera
Maluku
Papua
Sumber : Monintja et al. (2001)
Potensi daerah penangkapan ikan di perairan Samudera Pasifik sangat dipengaruhi pergerakan massa air yang membentuk front.
Produktivitas perairan di daerah terjadinya front relatif tinggi karena di daerah front terperangkap zat hara dari dua sumber massa air. Kondisi ini berpengaruh terhadap pembentukan feeding gound bagi ikan termasuk ikan cakalang. Selain itu pertemuan antara dua massa air merupakan penghalang migrasi ikan karena pergerakan air yang cepat dan ombak yang besar, sehingga daerah front merupakan daerah yang cocok untuk penyebaran jenis‐jenis ikan tuna dan cakalang. Putaran massa air (eddies current) juga dapat menyebabkan timbulnya upwelling dan downwelling. Fenomena upwelling ini juga diduga berpengaruh terhadap pembentukan daerah penangkapan ikan cakalang.
102
Matsumoto (1974) mengemukakan bahwa migrasi dan penyebaran cakalang berbeda berdasarkan kelompok umur. Menjelang umur 2 tahun, cakalang mencapai penyebaran yang terluas, yaitu di bagian barat hingga parairan utara Jepang, di timur hingga perairan Amerika Tengah, bagian California hingga ke utara, dan ke arah utara hingga ke selatan Chili. Cakalang di Pasifik Barat kembali ke selatan pada saat musim dingin untuk memijah dan kembali ke utara saat berumur 3 tahun pada musim panas berikutnya. Ikan berumur 2 tahun kembali dari Pasifik bagian timur ke daerah pemijahan di Pasifik bagian tengah dan muncul kembali pada umur 3 tahun.
Sesuai dengan posisi geografis Indonesia yang terletak di antara Samudera Pasifik dan Samudera Hindia, maka ikan cakalang di perairan Indonesia diduga berasal dari dua stok yang berbeda. Ikan cakalang yang tersebar di Kawasan Timur Indonesia (KTI) diduga sebagian besar berasal dari Samudera Pasifik, sedangkan cakalang di Kawasan Barat Indonesia (KBI) berasal dari Samudera Hindia. Populasi cakalang yang dijumpai di perairan KTI sebagian besar berasal dari Samudra Pasifik yang memasuki perairan tersebut mengikuti arus. Namun demikian, sebagian cakalang terutama yang terdapat di berbagai daerah kepulauan KTI kemungkinan adalah “stok lokal” yaitu hasil pemijahan di perairan Indonesia.
Suhendrata (1986), menyatakan bahwa ikan cakalang yang berasal dari Samudera Pasifik bagian barat yaitu perairan sebelah timur Philipina dan sebelah utara Papua Nugini bergerak masuk ke perairan Indonesia bagian timur, dan sebaliknya dari perairan Indonesia bergerak ke Samudera Pasifik bagian barat, yaitu ke perairan Zamboanga. Untuk
103
penyebaran ikan cakalang di Sulawesi Utara adalah termasuk lingkungan penyebaran Samudera Pasifik bagian barat yang dimulai dari Pulau Mariane, Pulau Binin, Kepulauan Kurulen, pantai timur Kepulauan Jepang, sebelah selatan Hokkaido, Formosa, Pulau Palantinus ke selatan yaitu Sulawesi Utara, Papua, dan California.
Dinamika daerah penangkapan ikan cakalang
Penyebaran dan pembentukan daerah penangkapan cakalang dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik faktor internal dari ikan itu sendiri maupun faktor eksternal dari lingkungan. Faktor internal meliputi jenis (genetis), umur, ukuran, dan tingkah laku. Perbedaan genetis menyebabkan perbedaan morfologi, respon fisiologis dan daya adaptasi terhadap lingkungan. Faktor eksternal yang utama mempengaruhi penyebaran cakalang merupakan faktor lingkungan (parameter oseanografis), yaitu tingkat kecerahan, kedalaman, suhu, salinitas, arus, kandungan klorofil yang merupakan indikasi kesuburan perairan, front, upwelling dan lain‐lain.
Penyebaran cakalang secara vertikal (strata kedalaman) dimulai dari permukaan sampai kedalaman 260 m pada siang hari, sedangkan pada malam hari cenderung menuju ke permukaan. Cakalang jarang muncul ke permukaan perairan ketika perairan keruh, karena daya penglihatannya sangat berkurang pada waktu air keruh. Ikan cakalang dapat menyelam hingga kedalaman 40 meter di daerah tropis, karena tingkat transparansi air laut yang tinggi dan perubahan temperatur yang tidak terlalu besar.
104
Cakalang sering ditemukan di perairan dengan kecerahan tinggi, dimana mangsanya dapat terlihat dengan jelas. Menurut Balackburn (1965), usaha penangkapan cakalang sangat baik dilakukan di perairan dengan kecerahan yang tinggi pada kedalaman 15‐35 meter. Kondisi beberapa daerah penangkapan ikan cakalang di KTI sesuai dengan kriteria tersebut, yaitu tingkat kecerahan cukup tinggi pada kedalaman antara 10‐30 meter. Faktor lain seperti suhu, salinitas dan arus perairan juga sangat mendukung, sehingga, densitas ikan di perairan KTI relatif tinggi dan merata dibandingkan dengan KBI.
Ikan cakalang merupakan ikan pelagis yang membentuk kelompok (schooling). Ikan cakalang dalam suatu schooling umumnya mempunyai ukuran (size) yang relatif sama, seperti halnya dengan schooling jenis ikan lain. Ikan yang berukuran lebih besar biasanya berada pada lapisan yang lebih dalam dengan kepadatan schooling yang lebih rendah, sedangkan yang berukuran lebih kecil berada dekat permukaan dengan kepadatan schooling yang lebih banyak.
Penyebaran ikan cakalang secara vertikal bervariasi mulai dari permukaan hingga mencapai ratusan meter di bawah permukaan air, dan umumnya berada pada lapisan homogen (mix layer) atau di atas termoklin. Variabilitas penyebaran secara vertikal ini dipengaruhi oleh struktur suhu secara vertikal (Simbolon, 2003). Yosep (1972) diacu dalam Batubara (1981) mengemukakan bahwa kisaran suhu optimal untuk penangkapan dan lapisan renang beberapa jenis ikan tuna dan cakalang dapat dilihat pada Tabel 11.
105
Tabel 11 Kisaran suhu optimum untuk penangkapan dan lapisan renang ikan cakalang dan tuna
Jenis Ikan Suhu Optimum (0C) Lapisan Renang (meter) Bluefin tuna
Shouthern blufefin Bigeye tuna Yellowfin tuna Albacore tuna Striped marlin Swordfis marlin Balck marlin Skipjack tuna
14 ‐ 21 10 ‐ 28 17 ‐ 23 20 ‐ 28 14 ‐ 22 18 ‐ 24 19 ‐ 22 26 ‐ 29 20 ‐ 24
50 ‐ 300 50 ‐ 300 50 ‐ 400 0 ‐ 200 200 ‐ 300
0 ‐ 80 30 ‐ 80 20 ‐ 90 0 ‐ 40 Sumber : Batubara (1981)
Suhu adalah besaran fisika yang menyatakan banyaknya bahang yang terkandung dalam suatu benda. Suhu air laut terutama di lapisan permukaan tergantung pada jumlah bahang yang diterima dari sinar matahari (Weyl, 1970). Kedalaman renang kelompok ikan pelagis banyak ditentukan oleh profil suhu secara vertikal. Pada waktu suhu perairan lebih tinggi dari pada biasanya, ikan pelagis cenderung berenang ke perairan yang lebih dalam untuk menghindari suhu yang tinggi. Laevastu
& Hayes (1981) mengemukakan bahwa ikan memilih kisaran suhu tertentu karena perubahan suhu akan berpengaruh terhadap rangsangan syaraf, perubahan proses metabolisme dan perubahan aktifitas tubuh ikan.
Perubahan suhu bisa menyebabkan terjadinya sirkulasi dan stratifikasi air yang secara langsung dan tidak langsung berpengaruh terhadap penyebaran organisme perairan (Laevastu & Hela, 1970). Suhu optimum berbagai jenis ikan berbeda satu sama lainnya, tergantung
106
spesies dan daerah tempat hidup yang dipengaruhi oleh faktor‐faktor kimia dan biologi. Hampir semua populasi ikan yang hidup di laut mempunyai suhu optimum. Informasi tentang suhu optimum dari suatu spesies ikan, dapat digunakan untuk menduga keberadaan suatu kelompok ikan (daerah penangkapan ikan), yang kemudian dapat digunakan untuk tujuan optimalisasi memanfaatkan sumberdaya ikan.
Informasi tentang penyebaran suhu permukaan laut (SPL) seringkali digunakan untuk menduga terjadinya fenomena upwelling dan thermal front di suatu perairan. Wilayah perairan sekitar daerah upwelling dan thermal front umumnya merupakan perairan yang subur.
Dengan demikian, lokasi terjadinya upwelling dan thermal front dapat mengindikasikan daerah penangkapan ikan yang potensial, termasuk untuk ikan cakalang.
Suhu dapat mempengaruhi proses fotosintesa di laut, baik secara langsung maupun tidak langsung. Pengaruh secara langsung yakni suhu berperan untuk mengontrol reaksi kimia enzimatik dalam proses fotosintesa. Secara umum, laju fotosintesa fitoplankton meningkat dengan meningkatnya suhu, tetapi akan menurun setelah mencapai suatu titik suhu tertentu. Hal ini disebabkan karena setiap jenis fitoplankton akan beradaptasi terhadap suatu kisaran suhu tertentu.
Pengaruh secara tidak langsung yakni dalam merubah struktur hidrologi kolom perairan yang dapat mempengaruhi distribusi fitoplankton.
Penyebaran geografis ikan cakalang hampir mirip dengan daerah penyebaran albacore. Kedua jenis ikan ini tersebar mulai dari barat hingga ke timur Lautan Pasifik. Konsentrasi ikan cakalang yang cukup
107
tinggi sering ditemukan pada daerah konvergen, batas masa air dingin dan panas (thermal front), dan upwelling (Waldron & King, 1963).
Namun demikian, penyebaran vertikal ikan cakalang dan albakora berbeda satu sama lain. Penyebaran cakalang secara vertical menunjukkan bahwa pada malam hari ikan cakalang cenderung mendekati permukaan, sedang pada siang hari berenang ke perairan yang lebih dalam yang tersebar antara kedalaman 0‐260 m. Pada lain pihak, albakora terapat pada perairan yang lebih dalam di bawah lapisan termoklin.
Cakalang dapat digambarkan sebagai ikan kosmopolitan karena penyebarannya yang sangat luas. Cakalang dapat ditemukan di laut hangat dimanapun pada suhu perairan di atas 20oC (Kearney, 1987).
Pernyataan tersebut sesuai dengan pendapat Jones & Silas diacu dalam Bunyamin (1981), bahwa cakalang dapat tertangkap secara teratur di Samudera Hindia bagian timur pada suhu perairan 27‐300C. Sedangkan menurut Tampubolon (1983), cakalang masih dapat ditemukan pada kisaran suhu perairan di bawah 20oC, yaitu pada kisaran suhu 17‐310C, tetapi lebih menyukai massa air hangat yaitu 26‐280C.
Anomali suhu perairan dapat mengurangi kecepatan makan ikan.
Ikan yang agak besar cenderung mencari daerah makan yang bersuhu lebih rendah dibandingkan dengan ikan berukuran kecil dari jenis yang sama, walaupun kisaran suhu yang dapat ditolerir ikan cenderung lebih lebar dibandingkan dengan ikan yang masih muda. Hal ini dapat digunakan untuk menafsirkan ukuran individu ikan, karena ikan yang lebih besar (dewasa) akan cenderung bermigrasi ke perairan yang lebih
108
dingin dalam area penyebarannya, sedangkan ikan yang berukuran kecil (muda) akan bermigrasi ke perairan yang lebih hangat jika terjadi anomali suhu.
Perubahan suhu di daerah tropis umumnya relatif kecil sepanjang tahun. Perubahan suhu yang tidak terlalu besar ini bisa saja tidak berpengaruh terhadap penyebaran ikan, khususnya ikan yang mampu beradaptasi terhadap kisaran suhu yang relatif lebar. Oleh karena itu, faktor oseanografi lain seperti salinitas, arus, kesuburan perairan dan sebagainya perlu dipertimbangkan dalam evaluasi penyebaran daerah penangkapan ikan.
Sebaran salinitas di laut dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti pola sirkulasi air, penguapan, curah hujan, dan aliran air sungai. Angin dapat berperan untuk melakukan pengadukan lapisan atas hingga membentuk lapisan homogen sampai puluhan bahkan ratusan meter di perairan lepas pantai yang dalam, tergantung intensitas pengadukan.
Salinitas di lapisan atas (permukaan) relatif homogen seperti halnya suhu, selanjutnya terdapat lapisan pegat di bawahnya dengan degradasi densitas yang besar yang dapat menghambat pencampuran antara lapisan atas dengan lapisan bawah.
Salinitas permukaan air laut sangat erat kaitannya dengan proses penguapan dimana unsur garam akan mengendap dan terkonsentrasi.
Perairan yang mengalami penguapan yang cukup tinggi akan mengakibatkan salinitas tinggi. Berbeda dengan keadaan suhu yang relatif kecil variasinya, salinitas air laut dapat berbeda secara geografis
109
akibat pengaruh hujan lokal, banyaknya air sungai yang masuk ke laut, penguapan dan sirkulasi massa air.
Perubahan salinitas yang besar umumnya terjadi di perairan pantai, sedangkan perubahan di laut lepas pantai relatif kecil. Perbedaan variabilitas antara perairan pantai (inshore) dengan lepas pantai (offshore) terjadi karena pengaruh pasokan air tawar dari muara‐muara sungai (runoff) yang cukup besar di daerah pantai, terutama pada waktu banyak turun hujan. Perubahan salinitas ini erat hubungannya dengan adanya penyesuaian tekanan osmotik antara sitoplasma dari sel‐sel dalam tubuh ikan dengan keadaan salinitas di sekelilingnya.
Ikan cakalang jarang ditemukan di perairan dengan salinitas rendah. Sebagai contoh, perairan utara Jawa yang salinitasnya relatif rendah tidak cocok untuk habitat cakalang. Postel (1963) diacu dalam Taepoer (1976) mengemukakan bahwa salinitas yang cocok untuk ikan cakalang berkisar antara 32‐35‰. Hasil pengamatan Waldron & King (1963) menunjukkan bahwa ikan cakalang di perairan Hawai banyak dijumpai pada perairan dengan salinitas 34,6‐34,8‰. Cleaver dan Shimada (1950) diacu dalam Gunarso (1985) juga mengemukakan bahwa cakalang hidup pada perairan dengan kadar salinitas antara 33‐35‰, dan jarang ditemukan pada perairan dengan kadar salinitas yang lebih rendah dari nilai kisaran tersebut. Waldron, 1963 mengemukakan bahwa hasil tangkapan cakalang di Jepang meningkat pada salinitas 35‰.
Berdasarkan beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan untuk parameter oseanografi, khususnya suhu dan salinitas (Tabel 12), dapat disimpulkan bahwa suhu dan salinitas yang mempengaruhi penyebaran