IKAN PELAGIS
3.1.4 Ikan terbang
Aspek biologi ikan terbang
Ikan terbang (Cypselurus sp.) memiliki beberapa nama lokal, yaitu tuing‐tuing di daerah Makassar, dan torani di daerah Bugis. Nama perdagangan internasional (nama komersial) ikan ini adalah flyingfish.
Ikan terbang termasuk kelompok ikan yang bernilai ekonomis penting, baik sebagai ikan konsumsi maupun produk telurnya yang exportable.
Jenis ikan terbang ini telah teridentifikasi sebanyak 53 spesies, dan sebanyak 18 spesies di antaranya ditemukan di perairan Indonesia dan kebanyakan dari genus Cypselurus (Nontji, 1993). Spesies ikan terbang yang banyak tertangkap di perairan Indonesia adalah Cypselurus oxycephalus, C. oxycephalus, C. furcatus, C.micropterus, C. articeps, dan C. poecilopterus (Sihotang, 2004).
73
Ikan terbang tergolong pelagis kecil dengan tubuh memanjang seperti cerutu (fusiform) yang memungkinkan pergerakannya cepat dalam perairan dan saat di udara (Gambar 11). Kemampuan ikan ini untuk terbang di udara sangat didukung oleh keberadaan sirip dada yang beradaptasi dengan baik untuk bisa melayang di udara, serta didukung oleh sirip ekor yang cagak bagian bawahnya jauh lebih panjang, yaitu sekitar 1,5‐ 2,0 kali dari cagak sirip ekor bagian atas.
Morfologi sirip ikan terbang sangat menentukan kemampuan melayang di udara (Gambar 12). Ikan terbang dengan konstruksi sirip monoplane dan biplane memiliki kemampuan yang berbeda (Hutomo et al.,1985). Monoplane merupakan sirip dada yang dijadikan sebagai alat keseimbangan ketika terbang atau melayang di udara. Biplane terdiri atas sirip dada dan sirip perut yang digunakan untuk melayang lebih sempurna dan mudah mengatur arah melayang, sehingga tidak menabrak benda di depannya ketika di udara (Nontji, 1993).
Gambar 11 Ikan terbang (Cypselurus poecilopterus).
74
Gambar 12 Tipe monoplane dan biplane pada ikan terbang saat lepas
landas dengan sirip mulai melebar.
Istilah ”terbang” pada ikan terbang tidak seperti pada mekanisme terbang pada kepakan burung, melainkan hanya melayang dengan mengandalkan kekuatan untuk naik ke udara yang didahului berenang cepat di air. Nontji (1993) menyatakan bahwa tahap melayang di udara terdiri atas empat tahap yaitu: pertama, berenang cepat di bawah air dengan sirip dada rapat ke tubuh. Tahap kedua, tubuh sebagian besar telah di udara akan tetapi ekor masih di air dan pada saat ini sirip dada direntangkan sedangkan ekornya masih kuat mendayung di permukaan dengan gerakan kiri‐kanan yang sangat cepat untuk mendapakan kecepatan awal yang cukup untuk lepas landas. Tahap ketiga, merupakan tahap lepas landas dengan tubuh dan sirip yang menggetar keras dan sirip ekor dihentakkan kuat untuk lepas dari air. Tahap keempat adalah lepas dari permukaan air dan melayang di udara.
Tahapan tersebut sangat penting dilakukan untuk melakukan proses Monoplane
Biplane
75
penghindaran terhadap predator seperti ikan tuna, cakalang, ikan pedang dan ikan predator lainnya.
Ikan terbang bersifat fototaksis positif karena cenderung mendekati sumber cahaya (Hutomo et al.,1985). Ikan terbang cenderung mendekati sumber cahaya, berenang di bawah lampu, terbang di sekitar lampu dan mengembangkan sirip untuk menghanyutkan diri (Gambar 13). Keberadaan ikan terbang di sekitar sumber cahaya juga dipengaruhi oleh ketersediaan sumber makanan. Zooplankton jenis copepoda yang tertarik oleh cahaya akan mempengaruhi ikan terbang mengunjungi sumber cahaya, mengingat jenis copepoda ini merupakan komponen terbesar di dalam lambung ikan terbang (Cypselurus oxycephalus).
Sumber : CERMES (1992)
Gambar 13 Ikan terbang berenang di sekitar sumber cahaya lampu.
76
Ikan terbang memiliki peranan penting dalam rantai makanan.
Ikan ini aktif mencari makan pada malam hari, dan jenis makanannya berupa zooplankton seperti copepoda (Euphasid, Calanus), dan Gastropod pelagis, larva ikan planktonik (CERMES, 2002). Berdasarkan posisi dalam rantai makanan, maka dapat dipastikan kelimpahan ikan terbang sangat berpengaruh terhadap tingkat trofik yang ada di atas/bawahnya (Gambar 14).
Sumber : CERMES (2002)
Gambar 14 Posisi ikan terbang dalam rantai makanan.
Sagitta
Euphasid Copepoda
Krill Flyingfis Mola
Rainbow Squid
Barracud Largeshar
Shark Swordfish
Sailfish Tuna
77
Pemijahan ikan terbang berlangsung pada malam hari dengan cara pemijahan massal. Cara memijah tergolong pelagophil yaitu memijah pada daerah perairan terbuka dengan cara meletakkan telur pada substrat/benda terapung seperti serpihan seagrass, atau pada potongan kayu hanyut. Pemijahan dilakukan dengan terlebih dahulu mengikuti arah arus dengan kisaran salinitas yang relatif tinggi (33,0‐
34,5‰) sehingga ikan terbang akan banyak ditemukan pada perairan pelagis (Sihotang, 2004).
Dinamika daerah penangkapan ikan terbang dan faktor yang mempengaruhinya
Ikan terbang dijumpai hampir di semua perairan tropis dan beberapa pada daerah subtropis. Parin (1960) diacu dalam Sihotang (2004) menyatakan bahwa penyebaran daerah penangkapan ikan terbang di dunia terdapat di Samudra Pasifik Utara, bagian selatan Jepang, pantai California, Samudera Atlantik, Tasmania, Selandia Baru, dan pantai Chili.
Penyebaran daerah penangkapan ikan terbang di Indonesia umumnya ditemukan pada perairan yang memiliki salinitas yang relatif tinggi seperti di Selat Makassar, Laut Flores, perairan Maluku, Nusa Tenggara, Laut Sawu, hingga perairan laut Banda (Nontji, 1993; Sihotang, 2004). Kelimpahan ikan terbang yang terbanyak di perairan Indonesia diperkirakan terdapat di sekitar perairan Selat Makassar‐Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat mulai dari Kabupaten Takalar, Kepulauan Spermode, Pangkep, Barru, Pare‐pare, Polewali, Majene hingga Mamuju.
78
Penyebaran ikan terbang dipengaruhi oleh kondisi lingkungan perairan, aktivitas pemijahan, dan ketersediaan makanan. Parameter oseanografi yang secara signifikan mempengaruhi penyebaran ikan terbang adalah salinitas perairan. Ikan terbang banyak tertangkap pada perairan dengan kisaran salinitas 33‐34,5‰. Jika terjadi perubahan salinitas yang tidak mampu ditoleransi, maka ikan terbang cenderung melakukan migrasi ke perairan yang salinitasnya relatif stabil dan sesuai dengan yang dikendaki. Musim penangkapan ikan terbang di perairan Indonesia adalah bulan Mei‐September dan puncaknya terjadi pada bulan Juni‐Agustus pada sebaran salinitas permukaan 33‐33,75‰.
Daerah penangkapan potensial dan jalur migrasi ikan terbang, kaitannya dengan penyebaran salinitas perairan disajikan pada Gambar 15.
Pemijahan ikan terbang hanya dilakukan sekali dalam satu siklus pemijahan, sehingga daerah pemijahan hanya dilakukan pada satu daerah tertentu saja. Arifin (1992), mengemukakan bahwa pemijahan ikan terbang berlangsung hanya sekali dalam setahun dan umumnya bervariasi menurut daerah pemijahan. Waktu pemijahan di sekitar Laut Flores hingga Selat Makassar terjadi pada musim timur (April‐
September). Effendie (1997) menyatakan pemijahan ikan terbang di perairan kawasan timur Indonesia hanya berlangsung sekali dalam setahun, yaitu pada bulan Maret‐September.
Sihotang (2004) mengemukakan pemijahan ikan terbang umumnya ditemukan pada salinitas perairan 34‐35‰, dan temperatur 26‐270C. Berdasarkan penyebaran suhu tersebut, maka pemijahan
79
diprediksi terjadi mulai dari Laut Sawu ke utara menuju Laut Banda, Laut Maluku, Laut Flores, Selat Makassar dan Teluk Manado.
Gambar 15 Daeah penangkapan ikan terbang dan penyebaran salinitas perairan pada musim puncak penangkapan (Juni‐Agustus).
Penyebaran ikan terbang turut dipengaruhi oleh ketersediaan makanan. Makanan utama ikan terbang adalah zooplankton, terutama jenis copepoda seperti Calanus dan Euphasid. Nontji (1993) menyatakan bahwa ikan terbang melakukan migrasi harian secara vertikal dan cenderung mengikuti pola migrasi diurnal harian zooplankton itu sendiri.
McConnaughey (1974) menyatakan bahwa jenis Copepoda (Calanus, Eucalanus, Acetes, Lucifer) pada pagi hari berada di sekitar permukaan dan bergerak ke perairan lebih dalam pada siang hari serta menuju permukaan pada sore hari dan puncaknya pada malam hingga dini hari.
33 33 33
Daerah penangkapan
80
Frekuensi munculnya ikan terbang pada siang hari semakin berkurang dibandingkan pada pagi hari. Ikan terbang masih sering ditemukan melayang menjauhi kapal penumpang pada pagi hari akan tetapi frekuensi kejadiannya akan semakin berkurang bila menjelang siang hari hingga akhirnya tidak ditemukan lagi. Keadaan ini terkait erat dengan pola migrasi vertikal yang dilakukan ikan terbang, yaitu melakukan migrasi vertikal ke kolom perairan yang lebih dalam pada siang hari. Migrasi ini bertujuan untuk mencari makan dengan mengikuti pergerakan zooplankton yang cenderung bergerak turun ke perairan lebih dalam pada siang hari. Oleh karena itu, penyebaran ikan terbang secara vertikal diduga memiliki pola yang mirip dengan pola penyebaran zooplankton yang menjadi makanan utamanya.
Ikan terbang di perairan Indonesia ditangkap dengan jaring insang hanyut, purse seine, dan bagan perahu. Usaha penangkapan di perairan Indonesia seharusnya dapat memanfaatkan tingkah laku makan dan pola migrasi yang ditunjukkan oleh ikan terbang. Dalam hal ini, nelayan dapat menyesuaikan kedalaman pengoperasian alat tangkap sesuai dengan pola migrasi vertikal ikan terbang, sehingga kegiatan usaha penangkapan akan lebih efektif dan efisien. Upaya lain yang dapat dilakukan adalah penggunaan cahaya lampu sebagai attractor karena ikan terbang bersifat fototaksis positif.
81 3.2 Ikan Pelagis Besar