IKAN HIAS
5.2 Penyebaran Habitat dan Daerah Penangkapan Ikan Hias
Perairan Indonesia memiliki sekitar 51% terumbu karang di Asia Tenggara dan 18% terumbu karang di dunia. Tipe sebagian besar terumbu karang tersebut adalah terumbu karang tepi (fringing reefs), dan umumnya berada dekat dengan garis pantai. Hal ini menunjukkan
174
penyebaran habitat dan penangkapan ikan hias botana biru di perairan Indonesia cukup potensial dan mudah dijangkau.
Berdasarkan data statistik produksi, ikan botana biru (Acanthurus leucosternon) tertangkap pada sebagian besar pulau‐pulau kecil yang ditumbuhi terumbu karang di Kawasan Timur Indonesia (KTI) seperti di Sulawesi, Maluku dan Papua. Namun, kelimpahan botana biru pada daerah penyebaran terumbu karang tersebut belum diketahui secara pasti. Untuk itu, kegiatan survei terkait dengan penyebaran dan potensi ikan botana biru di wilayah perairan Indonesia perlu diintensifkan agar informasi tersebut dapat digunakan sebagai dasar pengelolaan perikanan botana biru khususnya dan ikan hias pada umumnya.
Keberadaan terumbu karang sangat penting sebagai habitat bagi ikan botana biru (Acanthurus leucosternon) karena terumbu karang berfungsi sebagai tempat mencari makan, berlindung dari serangan predator, dan sebagai tempat perkembangbiakan ikan botana biru. Ikan botana biru ini menghabiskan keseluruhan siklus hidupnya di terumbu karang. Zonasi ekosistem terumbu karang yang menjadi area penyebaran secara horizontal bagi spesies botana biru ini adalah back reef, fore reef, reef crest (Gambar 33), tetapi kelimpahan terbanyak umumnya terdapat pada zona reef crest hingga fore reef. Daerah penyebaran ikan botana biru secara vertikal bisa mencapai kedalaman 25 meter, dimana pada kedalaman ini terumbu karang masih bisa ditemukan.
175
Gambar 33 Zona penyebaran ikan botana biru (Acanthurus leucosternon) di sekitar ekosistem terumbu karang.
Ikan botana biru (Acanthurus leucosternon) merupakan salah satu dari 10 jenis ikan hias yang menjadi primadona pasar ekspor dengan permintaan yang tinggi. Meskipun ukuran maksimal jenis ini bisa mencapai 54 cm, namun kebutuhan komersial yang disukai umumnya berukuran 4‐7 cm. Penggunaan potassium sianida dalam penangkapan ikan hias ini telah dilarang, namun masih banyak nelayan menganggap cara tersebut lebih efektif dan masih tetap dilakukan. Dampak negatif yang ditimbulkan oleh penggunaan potassium sianida ini sangat besar, sehingga mendorong lahirnya teknik penangkapan baru yang berwawasan lingkungan, jaring penghalang (Gambar 34).
Perkembangan usaha penangkapan ikan botana biru tidak hanya ditentukan oleh keberadaan daerah penangkapan potensial. Faktor utama yang paling mempengaruhi perkembangan usaha penangkapan ini adalah keberadaan pembeli (pengumpul dan eksportir) dalam radius
Back Reef Reef Crest Fore Reef
Finger coral
Branching elkhorn coral
Bounder (star) coral
Pillar coral
Thin branching forms (staghorn
coral)
Plate coral
176
yang bisa dijangkau oleh nelayan. Hal ini disebabkan karena ikan botana biru seperti halnya jenis ikan hias lainnya dibeli bukan untuk dikonsumsi, akan tetap untuk hiasan di aquariuam. Pasar potensial untuk ikan hias dari Indonesia adalah pasar Eropa, Amerika dan Asia. Indonesia sebagai salah satu pemasok utama ikan hias dunia, memiliki kurang lebih 25 eksportir yang berpusat di kota‐kota besar seperti Jakarta, Bali, Medan, Makassar dan Manado. Namun, para eksportir tersebut tetap menjalin hubungan dagang dengan para pengumpul dan nelayan yang tersebar di pulau‐pulau yang memiliki terumbu karang (habitat ikan hias).
Gambar 34 Jaring penghalang ikan hias.
177
Penyebaran daerah penangkapan ikan botana biru di Indonesia dijumpai hampir di semua pulau‐pulau besar kecuali di Kalimantan (Gambar 35). Usaha penangkapan tidak berkembang di Kalimantan karena gugusan pulau karang tidak banyak ditemukan di Kalimantan, sehingga para pedagang menilai bahwa usaha penampungan ikan hias tidak layak secara ekonomi dibangun di Kalimantan.
Penyebaran ikan hias, termasuk botana biru terdapat di sekitar kawasan terumbu karang. Namun demikian, wilayah penyebaran ikan tersebut tidak secara otomatis dapat digunakan seluruhnya sebagai daerah penangkapan. Hal ini disebabkan karena sebagian kawasan terumbu karang yang menjadi habitat ikan juga diperuntukkan sebagai kawasan konservasi (Gambar 36). Berbagai status yang melekat pada lokasi‐lokasi terumbu karang yang diduga menjadi penyebaran habitat ikan hias diperuntukkan sebagai zona Taman Nasional Laut, Suaka Margasatwa Laut, Kawasan Konservasi Laut Daerah, Cagar Alam Laut, Taman Wisata Laut, Taman Kelola Laut, Daerah Perlindungan Laut, Suaka Perikanan dan Kawasan Kelola Laut.
Kawasan konservasi memiliki aspek legal yang mengatur peruntukan zonasi. Aspek legal atau boleh/tidaknya suatu kawasan konservasi yang memiliki terumbu karang untuk tidak dijadikan sebagai daerah penangkapan ikan hias harus disosialisasikan dengan baik agar tidak terjadi konflik pemanfaatan antar berbagai pihak pengguna (users).
Dengan demikian, kebijakan mengenai kawasan konservasi dapat mempercepat pemulihan ekosistem terumbu karang.
178
= daratan (pulau) = terumbu karang = DPI botana biru
Gambar 35 Penyebaran daerah penangkapan ikan botana biru (Acanthurus leucosternon) sekitar terumbu karang.
= kawasan konservasi di sekitar
= terumbu karang
= kawasan konservasi di sekitar terumbu karang
= terumbu karang
Gambar 36 Sebaran kawasan konservasi pada wilayah terumbu karang yang diduga sebagai habitat ikan hias.
179 5.3 Ancaman Terhadap Habitat Ikan Hias
Terumbu karang sebagai habitat ikan botana biru (Acanthurus leucosternon) mendapat ancaman terbesar dari manusia (faktor anthtropogenik), disamping ancaman dari alam. Untuk kasus di Indonesia terdapat berbagai faktor yang menjadi ancaman serius bagi terumbu karang yaitu ; (1) pembangunan pesisir, (2) pencemaran dari laut, (3) sedimentasi dari daratan, (4) eksploitasi yang berlebihan, dan (5) kegiatan penangkapan ikan di sekitar terumbu karang yang tidak berwawasan lingkungan (merusak).
Kelima faktor tersebut di atas tidak hanya berpengaruh terhadap kualitas terumbu karang, akan tetapi juga berpengaruh terhadap kelestarian ikan hias itu sendiri. Ancaman utama bagi terumbu karang dan habitat ikan hias di perairan Indonesia berasal dari kegiatan penangkapan ikan secara berlebihan dan selanjutnya urutan kedua akibat penangkapan ikan yang merusak (penangkapan ikan dengan pottasium sianida dan pemboman). Pada lain pihak, ancaman yang berasal dari faktor pembangunan pesisir, pencemaran dari laut, dan sedimentasi dari daratan masih relatif rendah.
Walaupun ancaman dari faktor pembangunan pesisir, pencemaran, dan sedimentasi masih relatif kecil, namun secara kumulatif, tekanan‐tekanan yang terjadi telah sangat merusak terumbu karang Indonesia. Di sisi lain, kegiatan monitoring yang dilakukan sangat terbatas. Hanya beberapa area terumbu karang yang dikaji secara rutin (seperti di Bunaken, Kepulauan Seribu), sehingga data kondisi dan
180
perubahan untuk keseluruhan sangat sulit diperoleh. Satu hal yang pasti bahwa kondisi terumbu karang Indonesia jelas semakin menurun kualitasnya. Hal ini diketahui dari berbagai forum ilmiah yang menyatakan bahwa terumbu karang dengan luasan tutupan karang hidup semakin sempit.
Perubahan iklim global juga menyebabkan ancaman yang signifikan terhadap terumbu karang di Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Peningkatan suhu permukaan laut dapat mempercepat pemutihan karang, kemudian berujung pada kematian. Peristiwa El Niño Southern Oscillation (ENSO) tahun 1997‐1998 telah memicu peristiwa pemutihan karang yang terbesar sepanjang sejarah. Diperkirakan 18%
terumbu karang kawasan Asia Tenggara telah rusak atau hancur.
Pemutihan karang telah ditemukan di berbagai kawasan Indonesia, seperti di bagian timur Sumatera, Jawa, Bali, dan Lombok. Namun, ancaman serius juga diduga terjadi di kawasan lainnya, baik yang disebabkan perubahan iklim global maupun faktor lainnya (Gambar 37).
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa Ukuran panjang ikan botana biru yang diminta pasar adalah 4‐7 cm dan secara otomatis nelayan akan mencari ikan ukuran komersial tersebut. Pada lain pihak, ukuran ikan pada saat melakukan pemijahan umumnya sekitar 13,8 cm.
Hal ini menunjukkan bahwa ikan yang menjadi target penangkapan adalah ukuran yang belum dewasa (tidak layak tangkap secara biologis), karena ikan tidak memiliki peluang untuk bereproduksi. Kondisi ini merupakan suatu ancaman yang serius terhadap keberhasilan rekruitmen, dan diduga sebagai salah satu faktor yang menyebabkan
181
ikan botana biru khususnya dan ikan hias pada umumnya makin sulit ditemukan dewasa ini.
Sumber : WWW.WRI.ORG
Gambar 37 Penyebaran tingkat ancaman terhadap terumbu karang di Indonesia (estimasi).
182