Bagan 2.1 Kerangka Adaptasi Penduduk Di Lereng Gunung Merapi Sumber: Lucas Sasongko Triyoga, Merapi dan Orang Jawa: Persepsi dan
B. Kebijakan Penanggulangan Bencana Erupsi Gunung Merapi
Paradigma dan Kelembagaan
Pemerintah Indonesia telah memiliki mekanisme penanggulangan bencana sejak zaman kemerdekaan sebagai bentuk kesadaran akan posisi Indonesia yang rentan terhadap bencana alam. Mekanisme tersebut mengalami evolusi baik dalam paradigma maupun kelembagaannya sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan zaman saat itu.156
Erupsi Gunung Merapi sebagai salah satu bencana yang sering terjadi di Indonesia memerlukan upaya yang serius dalam pelaksanaan penanggulangannya. Pada 1984 hingga 2010 Gunung Merapi telah mengalami delapan kali erupsi. Pelaksanaan penanggulangan erupsi Gunung Merapi dilaksanakan berdasar kebijakan nasional yang telah ditetapkan dan berlaku pada masa itu.
Pada 18 Juni 1979 Presiden Soeharto mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 28 Tahun 1979 tentang Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana Alam. Keputusan tersebut dikeluarkan sebagai upaya untuk meningkatkan usaha dalam penanggulangan bencana alam secara lebih koordinir dan terpadu. Pada Pasal 1 Keppres Nomor 28 Tahun 1979 menyatakan sebagai berikut.
“Badan Koordinasi Nasional Penangulangan Bencana Alam, selanjutnya disingkat Bakornas Penanggulangan Bencana Alam, merupakan organisasi non-struktural berkedudukan di pusat, dan bertanggungjawab langsung kepada Presiden”.157
155Surat Badan Geologi Nomor 2464/45/BGL.V/2010 (Koleksi Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan dan Geologi).
156Syafuan Rozi, et. al., Memahami Erupsi Merapi: Kebijakan dan Implementasi (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2016), hlm. 75.
157Pasal 1 Keputusan Presiden Nomor 28 Tahun 1979 tentang Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana Alam (http://www.bnpb.go.id, diunduh pada 2 Januari 2018).
67
Artinya Bakornas PBA bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Daerah Tingkat I dan II dibentuk Satuan Koordinasi Pelaksana Penanggulangan Bencana Alam (Satkorlak PBA) yang tertera pada pasal 2 ayat 1 dan 2.
Satkorlak PBA Daerah Tingkat I bertanggung jawab kepada Bakornas PBA, dan Satkorlak PBA di Daerah Tingkat II bertanggung jawab kepada Satkorlak PBA di Daerah Tingkat I. Tugas pokok dari Bakornas PBA adalah merumuskan kebijaksanaan dan memberikan pedoman/arahan, serta mengkoordinasikan penanggulangan bencana alam secara lebih tepadu. Satkorlak PBA di Daerah Tingkat I dan II bertugas melaksanakan kebijakan dari Bakornas PBA. Berdasar Keputusan presiden No. 28 Tahun 1979 tentang Badan Koordinasi Nasioanal Penanggulangan Bencana Alam (Bakornas PBA) bahwa aktivitas manajemen bencana mencakup berberapa tahapan yaitu pencegahan, penanganan darurat, dan rehabilitasi.158
Pemerintah Orde Baru menyadari bahwa paradigma terhadap bencana bukan hanya bencana alam tapi juga akibat ulah manusia. Oleh karena itu, pada 19 September 1990 dikeluarkan Keputusan Presiden Nomor 43 Tahun 1990 tentang Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana sebagai perubahan dari Keppres Nomor 28 Tahun 1979 tentang Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana Alam. Dalam Keppres Nomor 43 Tahun 1990 menetapkan Satkorlak PBA di Daerah Tingkat I berubah menjadi Satkorlak PB.
Satkorlak PBA di Daerah Tingkat II berubah menjadi Satuan Pelaksana Penanggulangan Bencana (Satlak PB). Adapun susunan organisasi Bakornas PB terdiri dari Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan rakyat sebagai ketua dan Departemen Sosial sebagai sekertaris. Anggota Bakornas PB terdiri dari Menteri Sosial, Menteri Dalam Negeri, Menteri Kesehatan, Menteri pekerjaan Umum, Menteri Pekerjaan Umum, Menteri Perhubungan, Panglima Angkatan Bersenjata
158Keputusan Presiden Nomor 28 Tahun 1979 tentang Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana Alam (http://www.bnpb.go.id, diunduh pada 2 Januari 2018).
Republik Indonesia, Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, Direktur Jendral Bina Bantuan Sosial.159
Perubahan kelembagaan dalam penanggulangan bencana kembali terjadi pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Pada 29 Desember 2005 Presiden mengluarkan Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2005 tentang Badan Koordinasi Penanggulangaan Bencana. Dalam peraturan ini ketua dipegang oleh Wakil Presiden Ripublik Indonesia dan wakilnya dijabat oleh Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat. Anggotanya terdiri dari Menteri Keuangan, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Menteri Perhubungan, Menteri Pekerjaan Umum, Menteri Kesehatan, Menteri Sosial, Menteri Komunikasi dan Informatika, Panglima TNI, Kepala Kepolisian RI, dan Ketua Palang Merah Indonesia (PMI).160
Berbagai macam bencana yang terjadi di Indonesia sejak tahun 2004 hingga tahun 2006 seperti tsunami dan Gempa bumi di Yogyakarta mengubah paradigma dalam penanggulangan bencana di Indonesia.161 Kebijakan selama ini dianggap belum dapat dijadikan landasan hukum yang kuat dan menyeluruh.
Selama ini kebijakan yang ada dianggap tidak sesuai dengan keadaan masyarakat dan kebutuhan bangsa Indonesia sehingga menghambat upaya penanggulangan bencana secara terencana, terkoordinasi, dan terpadu.162 Selain itu, secara yuridis Perpres biasanya digunakan lebih untuk mengatur hal-hal yang bersifat teknis. Nemun demikian, penanggulangan bencana merupakan persoalan serius karena terkait dengan penyelamatan nyawa dan perlindungan aset yang jumlahnya tidak sedikit. Dampak bencana juga meliputi berbagai sendi kehidupan manusia baik sosial, ekonomi, budaya hingga politik. Materi
159Keputusan Presiden Nomor 43 Tahun 1990 tentang Badan Koordinasi Penanggulangan Bencana (http://www.bnpb.go.id, diunduh pada 2 Januari 2018).
160Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2005 tentang Badan Koordinasi Penanggulangan Bencana (http://www.bnpb.go.id, diunduh pada 2 Januari 2018).
161UNDP, Lesson Learned: Disaster Management Legal Reform, the Indonesian Experience (Jakarta: UNDP, 2007).
162Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana (http://www.bnpb.go.id, diunduh pada 2 Januari 2018).
69
persoalan yang sedemikian serius tersebut menunjukkan bahwa persoalan penanggulangan bencana bukan hanya bersifat teknis dan menjadi tanggung jawab eksekutif, sehingga tidak cukup hanya dipayungi dan dijawab oleh perundangan level Perpres/Keppres.163
Paradigma lama dalam penanggulangan bencana dipahami sebagai upaya bersifat responsif dari suatu kebijakan karena bencana dianggap menjadi suatu peristiwa yang mendadak dan darurat. Padahal bencana juga bisa terjadi karena ulah manusia dan bukan suatu peristiwa yang datangnya tiba-tiba, tetapi dapat dicegah bahkan dapat diprediksi dan dipetakan kapan waktu terjadinya. Sebagai reformasi kebijakan yang lebih kuat dan menyeluruh akhirnya ditetapkanlah Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.
Berdasar Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 penanggulangan bencana dibagi menjadi tiga tahapan yaitu Prabencana, Tanggap Darurat, dan Pascabencana. Dari tiga tahap tersebut meliputi berbagai tindakan yaitu Kesiapsiagaan, Peringatan Dini, Mitigasi, Tanggap Darurat, Rehabilitasi, dan Rekonstruksi.164
Sistem baru penanggulangan bencana dengan menetapkan Undang- Undang Nomor 24 Tahun 2007 menunjukkan keseriusan eksekutif dan keterlibatan legislatif dalam menangani persoalan bencana di Indonesia. Di bawah sistem yang baru, Undang- Undang Nomor 24 Tahun 2007 memandatkan pembentukan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD). Sebagai tindak lanjut tersebut, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 26 Januari 2008 menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2008 tentang Pembentukan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). BNPB merupakan Lembaga Pemerintah Non-Departemen yang menggantikan Bakornas PB. Berbeda dengan aturan sebelumnya, mengenai keanggotaan BNPB dikepalai oleh pejabat yang dipilih melalui fit and proper test dan posisinya setara dengan menteri meskipun tidak
163Syafuan Rozi, et. al., Memahami Erupsi Merapi: Kebijakan dan Implementasi (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2016), hlm. 85-86.
164Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana (http://www.bnpb.go.id, diunduh pada 2 Januari 2018).
disebut menteri dan bukan anggota kabinet.165 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 akhirnya dijadikan landasan hukum yang kuat dan menyeluruh serta sesuai dengan perkembangan keadaan masyarakat dan kebutuhan bangsa Indonesia sehingga upaya penanggulangan bencana dapat terencana, terkoordinasi, dan terpadu.166
Departemen Dalam Negeri merealisasikan pembentukan Badan Penanggulangan Bencana Daerah dengan mengeluarkan Peraturan Menteri Nomor 46 Tahun 2008 tentang Pembentukan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD). Pembentukan BPBD di tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota untuk menggantikan Satkorlak PB dan Satlak PB. Kelembagaan tersebut menunjukkan adanya pembagian tugas dan wewenang antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Berbeda dengan sistem sebelumnya yang terkonsentrasi pada pmerintah pusat.167
Pada 17 Desember 2008, dalam rangka melaksanakan ketentuan pasal 36 Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2008 tentang BNPB perlu dibentuk Unit Pelaksana Teknis untuk penanganan tugas teknik oprasional di daerah melalui Peraturan Kepala BNPB Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pedoman Kajian Pembentukan Penyelenggara Unit Pelaksana Teknis. Unit Pelaksana Teknis Sendiri merupakan pelaksana teknis BNPB yang meliputi oprasional manajemen logistik dan peralatan, penyelenggaraan pelatihan dan perencanaan oprasional sesuai dengan eksekusi kerawanan bencana di wilayah regional.168 Kajian Pembentukan dan Penyelenggaraan Unit Pelaksana Teknis merupakan panduan atau acuan bagi pihak terkait, Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Badan Penanggulangan Bencana Daerah, Pemerintah, Pemerintah Daerah, Instansi/
Lembaga untuk melaksanakan kajian dalam pembentukan Unit Pelaksanaan
165Syafuan Rozi, et. al., Memahami Erupsi Merapi: Kebijakan dan Implementasi (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2016), hlm. 88.
166Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana (http://www.bnpb.go.id, diunduh pada 2 Januari 2018).
167Syafuan Rozi, et. al., Memahami Erupsi Merapi: Kebijakan dan Implementasi (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2016), hlm. 89.
168Peraturan Kepala BNPB Nomor 12 Tahun 2008 tentang Kajian Pembentukan dan Penyelenggaraan Unit Pelaksana Teknis (http://www.bnpb.go.id, diunduh pada 2 Januari 2018).
71
Teknis. Selain itu, tujuan pembentukan UPT tersebut di antaranya untuk memperpendek dan mempererat hubungan BNPB dengan daerah-daerah, meningkatkan kelancaran, percepatan, efisiensi dan efektivitas proses manajemen logistik dan peralatan daerah, untuk menunjang pembangunan dan pengembangan kemampuan penanggulangan bencana berbasis masyarakat di daerah dengan penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan berdasar kebijakan yang dibuat oleh pusat pendidikan dan pelatihan BNPB.169
Berdasar ketentuan pasal 50 ayat (2), pasal 58 ayat (2), dan pasal 59 ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 akhirnya ditetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana. Dalam peraturan ini penyelenggaraan penanggulangan bencana dilaksanakan ke dalam tiga tahap yaitu prabencana, tanggap darurat, dan pascabencana. Pada tahap prabencana penyelenggaraan penanggulangan bencana meliputi kesiapsiagaan, peringatan dini, dan mitigasi. Bentuk tindakan dalam tahap prabencana seperti pengorganisasian; pemasangan dan pengujian sistem peringatan dini; menyusun data akurat; informasi dan memutahirkan prosedur tanggap darurat bencana; menyiapkan lokasi evakuasi; penyediaan dan penyiapan pasokan untuk pemenuhan kebutuhan dasar dan peralatan untuk pemenuhan pemulihan sarana dan prasarana; mengamati gejala bencana;
menganalisa, mengambil keputusan dan meyebarluaskan hasil tersebut.170
Pada tahap tanggap darurat meliputi tindakan-tindakan seperti identifikasi cakupan lokasi bencana; jumlah korban; kerusakan sarana dan prasarana;
penentuan status darurat bencana; komando; pengerahan sumber daya manusia;
peralatan dan logistik; memenuhi kebutuhan dasar pengungsi; evakuasi korban
169Perka BNPB No. 12 Tahun 2008 tentang Kajian Pembentukan dan Penyelenggaraan Unit Pelaksana Teknis (http://www.bnpb.go.id, diunduh pada 2 Januari 2018).
170Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana (http://www.bnpb.go.id, diunduh pada 2 Januari 2018).
bencana; pencarian dan penyelamatan korban bencana; perlindungan terhadap kelompok rentan; penampungan dan tempat hunian sementara.171
Pascabencana adalah tahapan terakhir dalam penanggulangan bencana yang meliputi rehabilitasi dan rekonstruksi. Tindakan-tindakan pada tahap ini antara lain adalah perbaikan lingkungan, prasarana, memberi bantuan perbaikan rumah masyarakat, pemulihan sosial psikologis, pelayanan kesehatan, pemulihan sosial, ekonomi dan budaya, pemulihan fungsi pemerintah, pemulihan pelayanan publik, pemulihan keamanan dan ketertiban.172
C. Kebijakan Penanggulangan Erupsi Gunung Merapi di Kabupaten