• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penanggulangan Akibat Erupsi Gunung Merapi Tahun 1984-2010 Gunung Merapi merupakan salah satu gunung teraktif di Indonesia. Tercatat

Dalam dokumen erupsi gunung merapi: perubahan sosial dan (Halaman 128-160)

Bagan 3.2 Struktur Organisasi Komando Tanggap Darurat Bencana Gunung Api Merapi

B. Penanggulangan Akibat Erupsi Gunung Merapi Tahun 1984-2010 Gunung Merapi merupakan salah satu gunung teraktif di Indonesia. Tercatat

dalam sejarah setiap periode dua sampai delapan tahun, 30 tahunan, bahkan 100 tahunan Gunung Merapi mengalami erupsi. Akan tetapi, kawasan yang berada di lereng Gunung Merapi merupakan wilayah yang dipadati penduduk, sehingga mereka harus beradaptasi pada lingkungan tersebut untuk bertahan hidup.

Adaptasi pada skripsi ini meliputi berbagai tindakan masyarakat dan pemerintah dalam menghadapi bencana erupsi Gunung Merapi. Erupsi Gunung Merapi merupakan salah satu jenis bencana alam geologis yang harus ditanggulangi dalam rangka menyelamatkan jiwa manusia, harta benda, serta lingkungan hidup mengingat erupsi Gunung Merapi merupakan bencana alam yang tidak dapat diprediksi secara tepat kapan waktu erupsi terjadi. Bencana alam ini hanya dapat diantisipasi sedini mungkin terhadap dampak yang kemungkinan akan

ditimbulkan melalui prediksi yang dilihat dari tanda-tanda alam maupun gejala- gejala yang timbul sebelum erupsi terjadi.

Setiap kelompok masyarakat mempunyai pengetahuan dan cara untuk menghadapi lingkungan demi kelangsungan hidupnya. Pengetahuan dan cara ini dikenal sebagai wisdom to cope with the local events atau sering disingkat dengan istilah local wisdom. Local wisdom merupakan suatu pengetahuan yang diwariskan secara turun-temurun dari generasi ke generasi untuk bertindak bila masyarakat menghadapi bencana, misalnya pada kasus ini adalah erupsi Gunung Merapi.249

Sebagian masyarakat di lereng Gunung Merapi Kabupaten Sleman dan pemerintah memilki persepsi tersendiri terhadap pemaknaan bencana erupsi Gunung Merapi. Bagi masyarakat lokal di sekitar Gunung Merapi menempatkan dua sisi yang kontradisi pada fenomena letusan Gunung Merapi. Pada satu sisi, mereka memaknai Gunung Merapi sebagai ancaman yang dapat mematikan atau menuntut korban manusia, namun di sisi lain ia memberikan kesuburan dan kehidupan bagi manusia yang tinggal di sekitarnya. Pada waktu masyarakat mendapatkan ancaman dan musibah dari Gunung Merapi, pada umumnya mereka berpandangan bahwa “sakersanipun gusti, kaula nampi mawon”.

Pandangan ini menunjukkan bahwa eksistensi Gunung Merapi dan potensinya diterima dan dihayati dalam perspektif seimbang. Pemerintah memaknai letusan Gunung Merapi sebagai bencana yang harus ditanggulangi.250

Pemerintah beserta elemen terkait melalui menajemen penanggulangan bencana melakukan antisipasi dalam menghadapi erupsi Gunung Merapi agar tidak menimbulkan dampak negatif yang begitu besar terhadap kehidupan masyarakat. Manajemen penanggulangan bencana adalah suatu ilmu terapan yang berupaya untuk meningkatkan usaha penanggulangan melalui pengamatan secara sistematis, dan analisis bencana dengan tindakan pencegahan,

249Syamsul Maarif, et. al., “Kontestasi Pengetahuan Dan Pemaknaan Tentang Ancaman Bencana Alam”, Jurnal Penanggulangan Bencan Vol. 3, No.

1, Tahun 2012 (http://www.bnpb.go.id/, diunduh pada 3 Agustus 2017), hlm. 1.

250Syamsul Maarif, et. al., “Kontestasi Pengetahuan Dan Pemaknaan Tentang Ancaman Bencana Alam”, Jurnal Penanggulangan Bencan Vol. 3, No.

1, Tahun 2012 (http://www.bnpb.go.id/, diunduh pada 3 Agustus 2017), hlm. 3.

103

kesiapsiagaan, peringatan dini, mitigasi, tanggap darurat, rehabilitasi, dan rekonstruksi. Manajemen penanggulangan bencana ini sangat penting dipahami dan dilaksanakan supaya penanggulangan bencana dapat diorganisasi dengan baik, rapih, tertib, dan lancar.251

Sejak tahun 1980-an sistem mitigasi dan penanggulangan bencana erupsi Gunung Merapi sudah dikategorikan ke dalam sistem yang lebih modern.252 Penggunaan seismograf dan piranti canggih lainnya sudah diterapkan guna membantu memantau aktivitas Gunung Merapi. Dengan kinerja instrumen yang baik dan analisis data yang akurat akan diketahui gejala awal perubahan- perubahan parameter fisik dan kimia yang terlihat secara visual maupun yang terukur secara instrumental. Berdasarkan hasil pemantauan Gunung Merapi dibagi dalam empat tingkatan status sebagai berikut.253

Pertama, Aktif Normal yaitu Gunung Merapi dinyatakan Aktif Normal apabila berdasarkan pengamatan visual, kegempaan, dan gejala vulkanik lainnya tidak menunjukkan peningkatan aktivitas.

Kedua, Waspada Merapi yaitu Gunung Merapi dinyatakan Waspada berdasarkan peningkatan aktivitas yang tampak secara visual atau hasil pemeriksaan kawah, kegempaan, dan gejala vulkanik lainnya menunjukkan peningkatan aktivitas.

Ketiga, Siaga Merapi yaitu aktivitas Gunung Merapi dinyatakan Siaga apabila dari hasil pengamatan visual atau hasil pemeriksaan kawah, kegempaan, dan metode lainnya yang saling mendukung berdasar analisis perubahan kegiatan kegunungapian menunjukkan kecenderungan akan terjadi letusan.

Keempat, Awas Merapi yaitu Gunung Merapi dinyatakan Awas apabila aktivitasnya telah ditandai dengan letusan awal berupa abu dan asap sebelum letusan utama terjadi.

251Ferad Puturuhu, Mitigasi Bencana dan Pengindraan Jauh (Yogyakarta:

Graha Ilmu, 2015), hlm. 128.

252Data Sejarah Letusan Besar, Jumlah Pengungsi, dan Koban Jiwa Periode 1500-2007 di Indonesia (Koleksi Museum Gunung Merapi).

253Keputusan Bupati Sleman Nomor 83 Tahun 2006 tentang Mekanisme Penanganan Bencana Gunung Api Merapi (Koleksi BPBD Kabupaten Sleman).

Usaha mitigasi bersifat selektif, tergantung pada sifat gunung dan keadaan masyarakat serta kemampuan pemerintah daerah. Dalam pelaksanaan penanggulangan erupsi Gunung Merapi tahun 1984 sampai 2010 dilaksanakan atas kerja sama antara pemerintah, masyarakat, dan instansi-instansi terkait.

Langkah-langkah kegiatan penanggulangan erupsi Gunung Merapi pada tahap prabencana dilaksanakan dengan disesuaikan pada status aktivitas Gunung Merapi. Pada status Aktif Normal penanggulangan bencana erupsi Gunung Merapi tahun 1984 hingga 2010, yaitu dengan pelaksanaan kegiatan yang bersifat preventif oleh Dinas Pengairan, Pertambangan dan Penanggulangan Bencana Alam. Kegiatan tersebut antara lain seperti pengecekan dam, pemantauan aktivitas Gunung Merapi, menyiapkan dan memperbaiki sarana prasarana seperti sirine yang masih rusak. Dari empat sirine biasanya hanya satu yang berfungsi, lainnya mengalami kerusakan mulai dari ambruk dan tidak dapat berbunyi.254 Pendidikan dan pelatihan (Diklat) dalam rangka memberdayakan masyarakat lereng Merapi semakin rutin dilaksanakan.255 Menyadari ancaman bencana Merapi sebagai bahaya laten, maka penanggulangan dipersiapkan lebih dini dan terus-menerus. Penanggulangan bencana tidak lagi diilakukan secara mendadak.

Memasuki status Waspada Merapi, Bupati melaksanakan koordinasi dengan unsur terkait untuk mengaktifkan pos-pos siaga, sistem peringatan dini disiagakan mulai dari alat komunikasi seperti HT, kentongan, lampu senter, sirine, dan pengeras suara yang berada di setiap masjid-masjid dusun. Sarana prasarana seperti truk dan ambulance disiagakan di setiap desa yang menjadi titik kumpul warga untuk dievakuasi ke pengungsian.256 Hal tersebut bertujuan untuk memudahkan proses evakuasi. Masyarakat yang tinggal di kawasan rawan bencana dihimbau agar meningkatkan kewaspadaannya mengingat sejak tahun 1992 ada 46 dusun yang dinyatakan sebagai daerah terlarang yang tersebar di

254“Penanggulangan Merapi Tak Lagi Mendadak”, Kedaulatan Rakyat, 10 Maret 2001, hlm. 3.

255“Penanggulangan Merapi Tak Lagi Mendadak”, Kedaulatan Rakyat, 10 Maret 2001, hlm. 3.

256“Waktunya Belajar Waspada”, Kompas, 16 Mei 2006, hlm. 3.

105

empat wilayah kecamatan, masing-masing adalah Tempel, Turi, Cangkringan, dan Pakem.257

Kegiatan sosialisasi atau penyuluhan terkait bahaya erupsi Gunung Merapi juga dilaksanakan dengan cara bertahap dari status Aktif Normal, Waspada Merapi, dan Siaga Merapi di Kabupaten Sleman. Tahun 1992 Pemerintah Daerah dan Kantor Transmigrasi mulai melakukan penyuluhan yang terus digencarkan agar masyarakat mau pindah dari daerah bahaya tersebut.

Penyuluhan didukung dengan pemutaran film-film dokumenter tentang pembrangkatan transmigrasi dari daerahnya. Hasilnya cukup positif dan animo masyarakat meningkat untuk bertransmigrasi.258 Akan tetapi, animo masyarakat tersebut tidak terjadi pada tahun-tahun berikutnya.

Pada status Waspada Merapi tahun 1994, Bupati bersama Satkorlak PB, Seksi Penyelidikan Gunung Merapi, Perangkat Kecamatan, dan Perangkat Desa mengadakan penyuluhan mengenai bahaya primer dan sekunder letusan Gunung Merapi, namun penyuluhan hanya diikuti oleh perwakilan beberapa orang saja dalam satu desa. Dalam pelaksanaannya terjadi kendala karena tidak adanya selebaran bagi para peserta untuk disebar luaskan.259

Pada status Waspada Gunung Merapi di tahun-tahun berikutnya BPPTK Direktorat Vulkanologi Yogyakarta bekerja sama dengan Satlak PB setempat juga memberikan penyuluhan pada masyarakat di KRB II dan KRB III sebagai tindakan rutin yang mulai dilaksanakan.260 Pada status ini pendakian Gunung Merapi ditutup total dan penambangan di sungai yang berhulu di Gunung Merapi dilarang.261 Akan tetapi, banyak penambang yang tidak menghiraukan

257“Awan Panas Merapi Meningkat Lagi”, Kedaulatan Rakyat, 4 Februari 1992, hlm. 12.

258“Sulit, Pengosongan Lereng Merapi”, Kedaulatan Rakyat, 23 Februari 1992, hlm. 11.

259“Gunung Merapi Berstatus Waspada”, Kompas, 28 Maret 1994, hlm. 17.

260Euis Sutaningsih, “Bahaya Gas dan Abu Vulkanik Gunung Merapi”, Kedaulatan Rakyat, 14 Februari 2001, hlm. 3.

261“Warga Mulai Pikirkan Cara Evakuasi”, Kompas, 19 April 2006, hlm. 1 dan 15.

larangan tersebut. Mereka akan berhenti menambang apabila mereka telah melihat awan panas mulai turun dan mengarahh ke selatan.

Pada saat Gunung Merapi mulai memasuki status Siaga, koordinasi harian dilaksanakan antara Bupati dengan seluruh jajarannya untuk mengoptimalkan pemanfaatan pos-pos siaga. Kesiapan penduduk dalam menghadapi status Siaga didukung tim pemantau lapangan dari gabungan elemen masyarakat dan organisasi yang melakukan piket terus-menerus selama 24 jam penuh dan membaginya ke dalam tiga shift. Pemantauan terhadap perubahan kondisi dan guguran yang terjadi di Gunung Merapi selalu terkontrol dengan sistem komputerisasi.262 Kepala Seksi PGM membentuk tim untuk naik mendekati puncak guna mengetahui lebih jelas posisi kubah terakhir dan sumber-sumber munculnya panas baru. Data-data yang cukup harus diperoleh untuk mengetahui kondisi dari Gunung Merapi. 263 Seksi Penyelidikan Gunung Merapi di Yogyakarta meminta kepada semua pihak terutama masyarakat dan aparat Pemda seputar Merapi, Magelang, Boyolali, Klaten, dan Sleman untuk meningkatkan kewaspadaan baik terhadap kemungkinan terjadinya bahaya primer berupa guguran lava pijar maupun awan panas dan bahaya sekunder berupa aliran lahar.264

Pimpinan aparat Depsos dan Depdagri tetap melakukan latihan tindakan penyelamatan bahaya Gunung Merapi dan penyuluhan saat masik status Siaga.265 Kegiatan penyuluhan difokuskan kepada masyarakat di Kabupaten Sleman. Sekalipun demikian warga masyarakat yang berada di sektor lain tetap diberikan penyuluhan. Intensitas penyuluhan dilakukan disesuaikan pada arah letusan. Hampir seluruh kegiatan penyuluhan tahun 1984-2010 diprioritaskan

262“Merapi Tinggal Menunggu Letusan”, Radar Yogya, 13 Januari 2001, hlm. 1.

263“Status Masih Siaga, PGM Bentuk Tim ke Puncak Merapi”, Kedaulatan Rakyat, 17 Januari 1997, hlm. 8.

264“Gunung Merapi Masuk Tingkat Waspada”, Kompas, 26 Januari 1992, hlm. 16.

265“Dibutuhkan Pesawat Untuk Pantau Merapi”, Kompas, 7 Februari 1992, hlm. 10.

107

kepada warga masyarakat dan hanya sesekali dilaksanakan di sekolah.266 Tanda bahaya Merapi di Kabupaten Sleman telah diseragamkan melalui sosialisasi untuk meningkatkan kesadaran akan bahaya erupsi Merapi. Tanda peringatan awal adalah pukulan kentongan dengan nada empat-empat, bersiap-siap dengan nada empat-empat diteruskan dua-dua dan tahap ini anak-anak dan nenek-nenek diharapkan sudah mendahului menuju pengungsian. Bunyi kentongan sebagai tanda siap untuk lari adalah dengan nada empat-empat diteruskan tiga-tiga, tanda segera lari ditandai dengan pukulan kentongan empat-empat terus menerus dibantu sirine, dan nada aman adalah satu-satu. Penduduk juga dilatih memakai masker, mengemasi barang berharga mereka, dan diinformasikaan mengenai rute evakuasi.267

Kegiatan sosialisasi penyebaran informasi Gunung Merapi sudah mulai terstruktur dan menjadi agenda rutin sejak tahun 1995 pasca erupsi 22 November 1994. Kegiatan sosialisai ini sejak 1995 hingga 2006 dari segi kesiapan petugas pelaksana atau pemateri hampir tidak ada masalah. Akan tetapi, peralatan pendukung seperti peralatan pemutaran film masih memerlukan sarana antara lain laptop, LCD, VCD Player atau monitor lebar. Dari peralatan pendukung hanya pengeras suara saja yang selalu siap ketika tim mendatangi desa-desa yang mayoritas miskin fasilitas. Minimnya jumlah brosur dan bulletin yang tersedia membuat informasi tidak disebarluaskan oleh para penerima penyuluhan.268 Dari kegiatan sosialisasi tersebut diharapkan masyarakat dapat lebih mengedepankan pemahaman rasionalnya dari pada ilmu titen yang selama ini diyakini sebagian masyarakat di lereng Gunung Merapi. Masyarakat dihimbau agar mempercayai prediksi ilmiah yang dikeluarkan Badan Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian atau BPPTK.269

266Seksi Gunung Merapi, Laporan Tahunan, Tahun 2006 (Yogyakarta:

BPPTK, 2007), hlm. 97.

267“Tiga Kecamatan Siap Evakuasi Penduduk”, Kompas, 21 Februari 2001, hlm 19.

268Seksi Gunung Merapi, Laporan Tahunan, Tahun 2006 (Yogyakarta:

BPPTK, 2007), hlm. 104.

269“Warga Harus Percaya Prediksi BPPTK”, Kompas, 18 April 2006, hlm.

1.

BPPTK meminta kepada para penambang pasir di kawasan kaki Gunung Merapi untuk menghentikan aktivitas mereka dan mengosongkan daerah tersebut sampai jarak tujuh kilometer dari puncak Merapi.270 himbauan tersebut telah diberikan pada saat Gunung Merapi berada pada level dua yaitu Waspada, namun masih banyak penambang pasir yang nekad menambang hingga Gunung Merapi memasuki status Siaga.

Personil/anggota tanggap darurat dimobilisasi menuju daerah rawan bencana yang terdiri dari gabungan SKPD Pemerintah Kabupaten Sleman yang terkait langsung maupun tidak langsung dengan penanggulangan bencana termasuk TNI, POLRI, SAR, PMI, Hansip, dan Komunitas Peduli Bencana.271 Kepolisian juga telah membentuk satuan yang dibagi ke beberapa kelompok antara lain tim SAR, tim penampungan, tim rute, dan tim harta benda.272 Jajaran vulkanologi dan Pakar bidang ilmu kebumian dan ilmu fisika di berbagai institusi riset perguruan tinggi bertanggung jawab atas pengelolan sistem peringatan dini. Jajaran Satkorlak yang dimonitori oleh gubernur dan Mawil Hansip dilimpahkan ke Satlak yang dimonitori Bupati dan Sekwilda yang bertanggung jawab atas pengelolaan evakuasi dan barak pengungsian.

Puskesmas, rumah sakit, truk tentara, ambulance, polisi, PMI, dan SAR bersiaga dengan cara masing-masing.273

Kegiatan evakuasi masyarakat di daerah rawan bencana didasarkan pada status Siaga I, Siaga II dan Siaga III. Pada status Siaga I yang harus di kosongkan adalah daerah rawan bencana dengan radius jarak 7 km, Siaga II radius jara 8 km, dan Siaga III pada radius jarak 9 km.274 Sirine akan dibunyikan

270“Merapi Membahayakan, Pos Babadan Ditutup”, Kompas, 2 Februari 2001, hlm. 19.

271“Laporan Tanggap Darurat Erupsi Merapi 2010, 22 Oktober 2010 s/d 23 Mei 2011” (Kabupaten Sleman: BPBD Kabupaten Sleman, 2011), hlm. 62.

272“Perlu Helikopter untuk Pantau Merapi”, Bernas, 7 Februari 1992, hlm.

11.

273 “ET Paripurna, Manajemen Bencana Berbasis Masyarakat, Satu Kebutuhan Realistis”, Kedaulatan Rakyat, 24 Februari 2001, hlm. 8.

274“Mitigasi Bencana: Warga Turgo Terapkan Pengintaian Mandiri”, Kompas, 19 April 2006, hlm. 1.

109

sebagai tanda bahaya dan penduduk harus dievakuasi secepatnya menuju barak pengungsian. 275 Pada erupsi Merapi 1992, 1994, 1997, dan 1998 telah disediakan 14 barak pengungsian. 14 barak tersebar di tujuh wilayah kecamatan yaitu Kecamatan Tempel, Turi, Pakem, Cangkringan, Ngaglik, Ngemplak dan Kalasan. 14 barak tersebut diperkirakan mampu menampung 60.420 jiwa.276 pada erupsi Gunung Merapi tahun 2001 dan 2006 ada 15 barak pengungsian yang tersedia, namun hanya 8 barak saja yang sudah terfasilitasi.277 Pada erupsi Gunung Merapi tahun 2010 ada 25 tempat yang digunakan untuk menampung pengungsi.278

Sebagai tanda bahwa Gunung Merapi benar-benar telah memasuki level yang paling kritis maka sirine dan segala macam bentuk tanda bahaya dibunyikan. Itu artinya warga harus segera meninggalkan daerah rawan bencana di lereng Gunung Merapi. akan tetapi, sebagian besaar masyarakat menghiraukan tanda tersebut dan tidak mengungsi.279 Warga tetap beraktivitas seperti biasa, hanya saja mereka lebih banyak menghabiskan aktivitas di dalam rumah karena guyuran abu vulkanik. Pada 1994 warga Turgo akan ada yang mengadakan hajatan pernikahan, sehingga warga saling bantu untuk mempersiapkan acara tersebut dan memilih untuk tidak mengungsi. Tahun 1997 ada sekitar 3.000 jiwa yang mengungsi lantaran melihat luncuran awan panas.

Sebagian penduduk di Kabupaten Sleman tetap yakin bahwa mereka akan aman dan memilih menolak untuk mengungsi. Tahun 2001 masyarakat melaksanakan istighosah agar penduduk luput dari bahaya erupsi Gunung Merapi. Acara tersebut dihadiri Camat Turi, Pakem, Cangkringan dan dipusatkan di halaman Komando Rayon Militer (Koramil) Pakem. Acara tersebut juga diadakan di

275“Merapi Meletus”, Kompas, 18 Januari 1997, hlm. 1 dan 15.

276“Timbunan Lava Pijar Mencapai 2 Juta M3”, Kedaulatan Rakyat, 5 Februari 1992, hlm. 1.

277Penduduk Desa Bersiap Antisipasi Letusan Merapi, Kompas, 23 Februari 2001, hlm. 19.

278 Tim Redaksi Korem 072/Pamungkas, Merapi dan TNI: Misi Kemanusiaan Wilayah Korem 072/Pamungkas (Yogyakarta: Korem 072/Pamungkas, 2012), hlm. 74.

279Wawancara dengan Bapak Ari, 20 Juli 2017. Ia adalah warga Kawasan Rawan Bencana III (KRB) sekaligus Relawan bencana erupsi Gunung Merapi.

sejumlah desa lain seperti Desa Kaliadem dan Desa Petung.280 Bupati selaku penanggung jawab Satlak PB tetap memerintahkan agar penduduk segera mengosongkan daerah rawan bencana.281

Pada status Awas Merapi pemantauan tetap dilakukan secara intensif dan Bupati selaku penanggung jawab Satlak PB memerintahkan untuk mengosongkan daerah rawan bencana. Respon masyarakat pada tahun 1984 dan 1992 yaitu mereka mimilih untuk tidak mengungsi karena melihat letusan yang tidak mengarah ke selatan. Sesekali mereka mencari rumput untuk makan ternak. Aktivitas Gunung Merapi tetap dipantau secara intensif oleh Seksi Penyelidikan Gunung Merapi. Pemantauan tetap dilakukan karena untuk mengetahui perkembangan Merapi yang dapat berubah setiap saat arah letusannya dari barat menuju sektor selatan. Bantuan kepada masyarakat tetap disalurkan berupa masker, kebutuhan pangan, dan obat-obatan. Tim SAR dan Satkorlak PBA menghimbau kepada masyarakat untuk menggunakan masker ketika beraktivitas di luar ruangan agar tidak terserang ganguan pernapasan karena abu vulkanik.282

Sama dengan letusan tahun sebelumnya bahwa penduduk menolak untuk dievakuasi saat Merapi memasuki fase kritis. Mereka belum bersedia untuk mengungsi karena belum ada warga yang menerima wisik yang mengisyaraktkan akan datangnya bahaya erupsi Merapi yang mengancam keselamatan penduduk.

Tim Satkorlak PB tetap disiagakan 24 jam di KRB III Gunung Merapi.

Pemantauan aktivitas penduduk dilakukan lebih intensif. Penduduk dihimbau secara persuasif agar segera memberitahu tim atau aparat setempat jika ada warga yang telah mendapat wisik.283 Pemantauan kondisi Gunung Merapi tetap dilakukan termasuk melalui udara menggunakan helikopter milik Kodam

280Penduduk Desa Bersiap Antisipasi Letusan Merapi, Kompas, 23 Februari 2001, hlm. 19.

281Data Letusan Gunung Merapi Tahun 2001 (Koleksi Balai Penyelidikan Dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian Dan Geologi), hlm. 5.

282Wawancara dengan Bapak Ari, 20 Juli 2017. Ia adalah warga Kawasan Rawan Bencana III (KRB) sekaligus Relawan bencana erupsi Gunung Merapi.

283 “Belum Ada Yang Mengungsi dari Daerah Bahaya Merapi”, Kedaulatan Rakyat, 6 Februari 1992, hlm. 15.

111

IV/Diponegoro pada status Awas Merapi.284 Saat Gunung Merapi memasuki status Awas tahun 1994, penduduk masih tetap bertahan dan menolak untuk mengungsi hingga status Awas Merapi. Banyak warga yang belum siap dan tidak dapat menyelamatkan barang berharga milik mereka ketika arah letusan berubah dari barat menuju selatan. Ketidaksiapan tersebut membuat letusan 1994 memakan banyak korban. Dusun Turgo hancur terbakar oleh awan panas.

Padahal sudah ratusan tahun desa tersebut tidak pernah dilanda awan panas.

Dalam keadaan darurat tim SAR dan Satkorlak PB segera mengamankan warga ke tempat yang lebih aman.285

Satkorlak PB Sleman melakukan pencarian dan evakuasi terhadap para korban setelah tiga jam Merapi meletus. Satkorlak PB mengkoordinasi regu penolong untuk mengevakuasi korban meninggal.286 Para korban meninggal diidentifikasi, kemudian dimakamkaan atas ijin keluarga jenazah. Apabila dalam waktu 3x24 jam tidak teridentifikasi maka jenazah akan tetap dimakamkan.

Upacara pemakaman korban Merapi dilaksanakan di Dusun Jamblangan.287 RSUP dr Sardjito mengerahkan 75 dokter dan perawat, RS Panti Rapih dan Bethesda sekitar 50 dokter untuk merawat korban luka-luka. Korban yang terluka parah harus dirawat di rumah sakit selama berbulan-bulan. Pelaksanaan operasi bagi pasien dari RSUP dr Sardjito dilaksanakan setelah mempertimbangkan kondisi kesehatan masing-masing pasien. Menurut ahli bedah rekonstruksi dr Bayu Nugroho yang terlibat adalah tim ahli bersama para dokter dari Jakarta. Pelaksanaan operasi rekonstruksi dilaksanakan dengan jaringan kulit baru. Bagian yang diganti akan dibalut dengan lapisan kulit kambing yang telah di proses dengan proses kimiawi tertentu. Pengembangan jaringan kulit baru memakan waktu sekitar tiga minggu. Setelah kulit kambing

284“Vulkanologi Usulkan Siap Merapi Turun Jadi Siaga”, Kedaulatan Rakyat, 14 Februari 1992, hlm. 6.

285Data Letusan Gunung Merapi Tahun 1994 (Koleksi Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian dan Geologi).

286Data Sejarah Letusan Besar, Jumlah Pengungsi, dan Korban Jiwa Periode 1500-2007 di Indonesia (Koleksi Museum Gunung Merapi).

287“Korban Merapi Sudah 27 Tewas, Presiden Soeharto Amat Perihatian”, Kompas, 24 November 1994, hlm. 1 dan 13.

pelepis mengering maka harus dilepas dan jaringan baru tumbuh normal setelah tiga bulan.288

TNI berkoordinasi dengan memecah rombongan perwira tinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) menjadi tiga bagian dalam kegiatan menjenguk korban di beberapa rumah sakit dan di barak pengungsian.289 Penduduk yang stres mendapat kunjungan dari psikiater untuk melakukan pemeriksaan dan konsultasi.290 Bantuan untuk korban bencana Merapi di Kabupaten Sleman terus mengalir untuk memenuhi kebutuhan primer mereka.291

Unit PMI DIY telah menyiapkan tenaga medis yang terdiri dari belasan dokter di posko pengungsian. Tenda-tenda dapur umum didirikan untuk memberi jaminan makan dan minum ribuan pengungsi.292 Di Sleman terdapat 14 barak pengungsian yang tersebar di enam kecamatan. Dari 14 barak hanya ada enam barak yang dimanfaatkan dan dihuni 3.620 jiwa. Tercatat 3.620 orang tersebar di enam barak masing-masing di Pakembinangun 841 jiwa, Umbulharjo 300 jiwa, Purwobinangun I 840 jiwa, Purwobinangun II 76 jiwa, Girikerto 829 jiwa, dan Wonokerto 734 jiwa.293 Barak tersebut merupkan bangunan permanen yang memang dibangun khusus bagi pengungsi Merapi. Pembinaan dan ceramah tentang agama dilakukan di barak pengungsian agar mereka tabah dan tidak tergesa-gesa untuk pulang melihat kondisi rumah mereka.294

288“Gunung Merapi Meletus, 18 Orang Tewas”, Kompas, 23 November 1994, hlm. 1 dan 13.

289“Gas SO2 dari Merapi Kian Pekat”, Kompas, 29 November 1994, hlm. 1 dan 8.

290“Sebagian Besar Pengungsi Merapi Nekat untuk Pulang Ke Dusun Asal”, Kompas, 8 Desember 1994, hlm. 17.

291“Korban Meninggal Terus Bertambah”, Kompas, 27 November 1994, hlm. 1 dan 8.

292“Gunung Merapi Meletus, 18 Orang Tewas”, Kompas, 23 November 1994, hlm. 1 dan 13.

293 “Pengungsi Merapi Disarankan Tetap di Tempat”, Kompas, 28 November 1994, hlm. 1 dan 13.

294 “Malapetaka Merapi Mulanya Adalah Keindahan”, Kompas, 26 November 1994, hlm. 1 dan 13.

Dalam dokumen erupsi gunung merapi: perubahan sosial dan (Halaman 128-160)