• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan Pustaka

Dalam dokumen erupsi gunung merapi: perubahan sosial dan (Halaman 34-39)

Buku pertama yang dijadikan tinjauan pustaka dalam penulisan skripsi ini adalah buku dari Sartono Kartodirdjo yang berjudul Pemberontakan Petani Banten 1888.19 Buku ini merupakan hasil dari disertasi Sartono Kartodirdjo yang membahas mengenai pemberontakan yang dilakukan para petani Banten dalam

19 Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten 1888 (Jakarta:

Pustaka Jaya, 1984).

melawan pemerintahan kolonial Belanda. Pemberontakan petani Banten ini sering disebut dengan peristiwa “Geger Cilegon 1888”. Pemberontakan terjadi disebabkan oleh kondisi sosial-ekonomi yang telah menimbulkan tekanan-tekanan terhadap penduduk seperti penetapan pajak yang dirasakan sebagai beban dan penderitaan akibat bencana-bencana fisik yang silih-berganti melanda di tahun- tahun sebelum pemberontakan.

Wabah penyakit ternak, wabah demam yang menyebabkan 10% penduduk meninggal, dan merosotnya jumlah tenaga kerja sehingga sawah-sawah tak dapat dipanen dan digarap membuat rakyat sangat menderita atas keadaan tersebut.

Rakyat belum sempat bangkit dari penderitaan tersebut, pada 27 Agustus 1883 terjadi letusan dahsyat pada Gunung Krakatau yang menyebabkan kehancuran hebat di daerah itu. Letusan tersebut merupakan letusan paling hebat yang pernah tercatat dalam sejarah vulkanologi Indonesia. Lebih dari 20.000 orang tewas, banyak desa yang makmur hancur, dan sawah-sawah yang subur berubah menjadi tanah yang gersang. Letusan Gunung Krakatau menyebabkan luas tanah yang tidak dapat digarap menjadi lebih besar lagi. Penduduk memerlukan waktu beberapa tahun untuk bangkit kembali dari kehancuran itu.

Awal mula gerakan pemberontakan muncul pada 2 Oktober 1883. Dua bulan setelah letusan, seorang serdadu Belanda yang hendak membeli tembakau di pasar Serang tiba-tiba diserang oleh seorang lelaki tidak dikenal. Percobaan pembunuhan lain juga terjadi. Sejak peristiwa itu kehidupan beragama meningkat dan harapan rakyat terarah kepada suatu pembebasan. Peristiwa tersebut menjadi periode panjang perjuangan rakyat yang berpuncak pada 1888 dengan sebutan pemberontakan petani Banten. Para pejuang dalam pemberontakan tersebut dipimpin oleh para ulama antara lain Haji Wasid, Ki Tubagus Ismail, Haji Akib, dan Haji Abdurahman.

Relevansi buku Sartono Kartodirdjo dengan skripsi ini adalah memberikan penulis gambaran dalam menganalisis dampak yang ditimbulkan dari peristiwa erupsi Gunung Merapi terahadap aspek sosial-ekonomi masyarakat dengan melihat letusan Gunung Krakatau sebagai referensi peristiwa bencana yang

9 serupa. Meskipun demikian, lingkup studi dalam buku ini tidak membahas bencana-bencana fisik tersebut secara panjang lebar.

Pustaka kedua adalah Tesis dari Ulin Nihayatul Khoiriyah yang berjudul Erupsi Gunung Kelud 1919 dan Akibat-Akibat yang Ditimbulkannya di Wilayah Blitar sampai Tahun 1922.20 Tesis ini menjelaskan mengenai peristiwa erupsi Gunung Kelud pada 1919 yang dikategorikan sebagai bencana alam yang mengakibatkan banyak korban jiwa manusia, ternak, kerusakan tenaman pangan milik penduduk di sekitar Gunung Kelud, dan kerusakan infrastruktur baik di wilayah kota maupun Kabupaten Blitar. Faktor utama yang menyebabkan terjadinya banyak korban jiwa pada erupsi Gunung Kelud pada 1919 adalah tidak terdeteksinya bencana sehingga tidak ada usaha evakuasi sebelumnya.

Karakteristik Gunung Kelud yang memiliki danau pada kawahnya sehingga air pada danau menjadi panas ketika terjadi letusan. Air panas itulah yang mengakibatkan jatuhnya banyak korban jiwa manusia dan ternak. Usaha-usaha telah dilakukan oleh pemerintah untuk mengatasi akibat dari letusan Gunung Kelud, terutama dalam memperbaiki kembali infrastruktur yang mengalami kerusakan dan memberikan santunan kepada warga masyarakat yang menjadi korban.

Relevansi tesis mengenai letusan Gunung Kelud dan dampak yang ditimbulkan terhadap wilayah Blitar dengan skripsi ini adalah memberikan sumbangan pemikiran bagi pemahaman penulis dalam menganalisis hubungan Gunung Merapi dengan masyarakat yang tinggal di lereng-lereng Gunung Merapi.

selain itu, tesis tersebut juga menjadi referensi bagi penulis dalam menganalisis dampak yang ditimbulkan dari letusan Gunung Merapi terhadap lingkungan dan kehidupan masyarakat di Kabupaten Sleman.

20Ulin Nihayatul Khoiriyah, “Erupsi Gunung Kelud 1919 dan Akibat-Akibat yang Ditimbulkannya di Wilayah Blitar sampai Tahun 1922” (Tesis pada Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro, 2016).

Pustaka ketiga adalah buku karya Lucas Sasongko Triyoga yang berjudul Manusia Jawa dan Gunung Merapi: Persepsi dan Kepercayaannya.21 Buku ini membahas mengenai masyarakat jawa yang berada di tiga desa di lereng Gunung Merapi yaitu Desa Kawatsu, Korijaya, dan Wukirsari tahun 1994. Penduduk di lereng Merapi mempunyai kepercayaan bahwa selain manusia, dunia alam semesta juga dihuni oleh makhluk lain yang mereka sebut dengan makhluk halus.

Layaknya kehidupan manusia di dunia, makhluk halus juga terdapat organisasi tersendiri yang mengatur hierarki pemerintahan dengan segala aktivitasnya. Lucas Sasongko dalam bukunya menyajikan sistem kepercayaan tidak hanya sebagai ketakhayulan atau religi, melainkan lebih sebagai sistem pengetahuan mengenai lingkungan alam yang layak diketahui oleh semua orang. Dalam pemikiran tradisional Jawa, masyarakat dan lingkungan alam dirasa saling tergantung, keselarasan diantara manusia tergantung pada keselarasan di dalam lingkungan.

Saling ketergantungan ini mengharuskan masyarakat berusaha untuk tidak menguasai, tetapi lebih untuk dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan alam.

Buku ini juga menjelaskan berbagai pola adaptasi yang dilakukan masyarakat terhadap Gunung Merapi seperti dengan mengadakan selamatan labuhan, sedekah gunung, selamatan dalam menghadapai bahaya Merapi, selamatan dalam mengambil jenazah, selamatan mencari orang hilang, selamatan orang kesurupan, selamatan Selasa kliwon dan Jumat kliwon. Masyarakat percaya bahwa selamatan merupakan upacara turun-temurun yang dilaksanakan untuk memperoleh keselamatan lahir dan batin dari gangguan makhluk halus penghuni Gunung Merapi. Mereka mempercayai bahwa selamatan ini memiliki fungsi untuk menetralkan bencana yang datangnya dari luar kekuasaan manusia, terutama dari keraton makhluk halus Merapi. Metode-metode pemantauan aktifitas Gunung Merapi juga dijelaskan dalam buku Lucas Sasongko yang meliputi pengamatan gempa, pengematan deformasi, pengamatan kemagnetan, pengukuran suhu, pengamatan geofisika, dan pengamatan kimia.

21Lucas Sasongko Triyoga, Merapi dan Orang Jawa: Persepsi dan Kepercayaannya (Jakarta: Grasindo, 2010).

11 Manajemen penanggulangan bencana erupsi Gunung Merapi yang dilakukan terhadap tiga desa yaitu Desa Kawatsu, Wukirsari dan Korijaya salah satunya dengan mengevakuasi penduduk di lereng Merapi untuk mengungsi saat Gunung Merapi menunjukkan keadaan membahayakan sesuai dengan prediksi Direktorat Vulkanologi akan meletus. Penduduk akan diberi isyarat untuk mengungsi melalui raungan sirine yang kemudian disambung titir ke segenap desa. Isyarat ini menganjurkan penduduk untuk mengungsi menuju jalan raya terdekat, sehingga sedapat mungkin dapat diangkut oleh petugas dengan kendaraan bermotor menuju barak pengungsian.

Relevansi dari buku Lucas Sasongko dengan skripsi ini adalah dapat memberikan referensi dalam menjelaskan Gunung Merapi yang memiliki pengaruh besar terhadap kehidupan masyarakat di sekitarnya. Masyarakat bergantung hidup terhadap alam Merapi, meskipun Merapi juga menjadi ancaman bagi mereka saat mengalami erupsi. Buku ini juga memuat informasi penting terkait kearifan lokal yang berkembang di beberapa desa di lereng Merapi seperti selamatan labuhan yang akan penulis bahas dalam skripsi ini. Selain itu, buku ini juga menjadi referensi penulis dalam menganlisis mengenai menajemen penanggulangan bencana yang dilakukan dalam menghadapi erupsi Gunung Merapi.

Pustaka keempat adalah artikel karya Andrian B. Lapian dari buku yang berjudul Panggung Sejarah: Persembahan Kepada Prof. Dr. Denys Lombard.22 Artikel Andrian B. Lapian berjudul Nusantara: Silang Bahari yang menjelaskan mengenai keterkaitan global dari peristiwa erupsi Gunung Tambora di Sumbawa pada 11 April 1815. Peristiwa ini tidak begitu dikenal dibandingkan dengan erupsi Gunung Krakatau pada 1883 ketika komunikasi jarak jauh melalui telegram sudah diterapkan dalam hubungan antar negara dan benua. Kerusakan alamiah dan korban manusia yang diakibatkan dari letusan Gunung Tambora lebih dahsyat dari

22Editor Henri Chambert-Loir dan Hasan Muarif Ambary, Panggung Sejarah: Persembahan Kepada Prof. Dr. Danys Lombard (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999).

letusan Gunung Krakatau. Sejumlah 48.000 jiwa menjadi korban yang hangus terbakar dilanda lava dan debu vulkanis. Sejumlah 36.275 orang meninggalkan Pulau Sumbawa untuk mengungsi ke pulau-pulau disekitarnya.

Letusan Gunung Tambora berdampak pada keadaan politik yang membuat dua kerajaan yakni Pekat dibawah perintah raja Muhammad dan kerajaan Tambora dibawah perintah raja Abdul Gafar hilang dari muka bumi. Abu vulkanis menghujani Pulau Jawa terutama daerah sebelah timur. Pada malam hari 10 April terdengar ledakan dahsyat di Cirebon dan daerah sebelah timurnya. Dari Solo dan Rembang terjadi gempa dan gelap gulita pada siang hari.

Erupsi Gunung Tambora juga membawa dampak besar dalam tatanan iklim di Eropa Barat dengan dilanda hujan lebat selama beberapa minggu saat bukan musimnya. Hal tersebut membuat Napoleon yang baru lolos dari pengasingannya di Pulau Elba sulit untuk bergerak cepat dengan pasukannya ke Brussel. Wabah penyakit kolera juga menyebar ke seluruh dunia, dan dunia mengalami musim panas pada 1816 yang luar biasa dingin.

Relevansi buku ini adalah kesamaan mengenai jenis bencana yang dibahas yaitu erupsi Gunung Tambora. Gunung yang meletus pada 1815 yang begitu dahsyat mengakibatkan timbunya dampak besar terhadap negara Indonesia dan dunia. Gambaran terkait letusan Gunung Tambora dan dampaknya yang ditulis oleh Andrian B. Lapian memberikan gambaran bagi penulis dalam menganalisis dan menjelaskan mengenai erupsi Gunung Merapi dengan perspektif sejarah.

Dalam dokumen erupsi gunung merapi: perubahan sosial dan (Halaman 34-39)