• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kelompok Kedua

Dalam dokumen LINGUISTIK FORENSIK: - Universitas Mataram (Halaman 121-124)

RANAH KEBAHASAAN YANG MENJADI TUMPUAN KAJIAN

NOMOR 17 TAHUN 2014 TENTANG

C. Metode Analisis Data

2. Kelompok Kedua

109 BAB 3 | Metode Dalam Kajian Linguistik Forensik ditemukan itu, perlu dihubung bandingkan dengan sebuah perhitungan dasar dari seperangkat data acuan. Dalam kasus itu, telah dilakukan melalui upaya memasukan pangkalan data acuan yang besar melalui mesin pencarian google. Apa yang menarik dari analisis dengan melibatkan pangkalan data acuan yang lebih besar tersebut, bahwa ihwal pola-pola kontraksi dan non kontraksi yang telah diidentifikasi melalui teknik hubung banding menyamakan dan membedakan antara sampel “terketahui” dan tidak diketahui/anonim tidak ada satu pun yang dapat dihubungkan dengan pangkalan data acuan yang diakses atau disusun tersebut.

Secara metodologis, tatkala analisis dari aspek bahasa belum memberikan identifikasi profil pelaku tindak kejahatan dengan seterang-benderangnya, maka bukti linguistik perlu dipadankan dengan bukti-bukti nonlinguistik. Dalam hal ini, metode pada ektralingual, yaitu menghubung-bandingkan antara fakta bahasa (lingual) dengan fakta non kebahasaan (nonlingual). Untuk itu, ahli linguistik forensik telah bekerja sama dengan agen rahasia/detektif, yang memiliki data berupa: kasus kematian tidak sesuai pakain, kesan kamera pengawas (CCTV), dan sebuah istrumen pencekikan—untuk pembunuhan wanita yang dilakukan tersangka/pelaku yang sama. Dengan metode padan ekstralingual itulah, beberapa waktu kemudian tersangka mengaku atas perbuatannya dan menjalani hukuman antara 20-40 tahun (Andrew Leonard, 2005).

110 Linguistik Forensik: Memahami Forensik Berbasis Teks Dalam Analogi DNA Apa yang menarik dari analisis atas catatan Permintaan Tebusan yang dilakuka oleh Shuy (1998) ini dalam hubungannya dengan penerapan metode analisis padan intralingual? Dari analisis yang dilakukan terdapat beberapa langkah yang telah dilalui, yaitu:

1. Menemukan dan mencatat bentuk bahasa/kata yang memperlihatkan kekhasan, khsusnya dari segi penulisan, sehingga ditemukan beberapa kata yang tidak sesuai kaidah tata tulis bahasa Inggris, yaitu: kops ‘(satuan) polisi, dautter ‘gadis kecil’, dan kan ‘dapat’.

2. Menemukan dan mencatat bentuk bahasa/kata yang ditulis sesuai kaidah tata tulis yang ralatif memiliki tingkat kesulitan, dalam arti memiliki urutan vokal dan/atau konsonan, yang sama dengan bentuk bahasa/kata yang ditulis tidak sesuai dengan kaidah tata tulis tersebut, sehingga ditemukan kata: precious ‘berharga’, watching

‘menonton’, dan diaper ‘popok’.

3. Kelompok kata yang pertama: kops ‘(satuan) polisi’, dautter

‘gadis kecil’, dan kan ‘dapat’ oleh Shuy dipandang memiliki relasi implikasional dalam pengejaan dengan kelompok kata kedua: precious

‘berharga’, watching ‘menonton’, dan diaper ‘popok’.

4. Oleh karena kedua kelompok kata itu memiliki relasi/hubungan bersifat implikasional, maka seharusnya di antara kedua kelompok itu mendapat perlakukan yang sama dalam pengejaan tata tulis.

Artinya, jika kelompok pertama salah dalam pengejaan tata tulisnya, maka mestinya kelompok kedua pun akan salah dalam penulisannya, begitu pula sebaliknya. Namun yang terjadi adalah hubungan implikasional itu tidak berlaku. Kenyataan itu telah menuntun Shuy untuk mempertanyakan apa yang sebenarnya terjadi dari kasus penulisan dua pasangan kelompok kata yang memiliki relasi implikasional itu tidak sama dalam penulisannya?

5. Menjawab pertanyaan itu, awalnya Shuy beranggapan bahwa boleh jadi si pelaku yang diduga melakukan tindak kejahatan itu sengaja menunjukkan diri sebagai orang yang tidak berpendidikan.

Namun, dengan terdapatnya kelompok kata kedua yang benar dalam pengejaan tulisannya, Shuy sampai pada kesimpulan bahwa pelaku tindak kejahatan sengaja ingin menutupi identitas dirinya sebagai orang yang terdidik, dengan memperlihatkan perilaku berbahasa tulis orang tidak terdidik. Kesimpulan itu diperkuat

111 BAB 3 | Metode Dalam Kajian Linguistik Forensik dengan ditemukannya kenyataan bahwa si penulis memiliki kemampuan menyusun kalimat yang sesuai kaidah tata bahasa dan mencerminkan orang yang terampil menulis dalam bahasa Inggris standar.

6. Tidak hanya sampai di situ, Shuy mulai memeriksa penggunaan unsur bahasa lainnya yang dipandang agak khusus dalam catatan itu, sehingga ditemukan frase: devil strip ‘iblis strip’. Devil strip berarti strip rumput di antara trotoar dan jalan - yang hanya ada di Akron, Ohio. Bahkan di dekatnya Cleveland istilah devil Strip ini tidak digunakan. Kekhususan istilah/frase devil Strip yang tertera dalam tulisan itu menuntun pada asal penulis catatan tebusan itu dari Akron.

7. Selanjutnya, Shuy mulai membandingkan fakta yang menuntun pada asal pelaku tindak kejahatan itu dengan daftar nama-nama terbatas yang dimiliki polisi, yang diduga menjadi pelaku tindak kejahatan tersebut. Kebetulan hanya ada satu orang di daftar itu yang berasal dari Akron dan terdidik. Ia adalah orang yang telah menulis catatan. Jika penculik tidak menulis ini, ia mungkin menjadi orang yang bebas saat itu (Shuy 1998). Contoh ini membawa dua poin penting. Pertama, linguistik membantu membangun profil, tidak mengidentifikasi individu. Kedua, bahkan ketika seseorang mencoba untuk menyamarkan bahasanya, terdapat banyak pemakaian bahasa yang tidak di bawah kendali sadarnya. Bukti- bukti kebahasaan seperti ejaan, mungkin dimaksudkan penulisnya untuk menyamarkan bahasa, tapi dia tidak menyamarkan/

menyembunyikan (atau menghindari) apa yang dirahasiakan oleh frase devil strip. Orang hanya tidak menyadari bahwa ucapan mereka tidak sama seperti semua orang - kecuali kadang-kadang terjadi, jika orang sengaja ingin menyembunyikan fakta itu. Boleh jadi ada orang Hawaii yang ingin berlagak sebagaimana orang yang berasal dari Akron, sehingga memiliki aksen berbeda dengan lainnya, tetapi mereka tidak mengatakan devil Strip. Strip rumput ini merupakan butir penting, tidak ada yang tahu ada istilah lain untuk itu, karena jarang muncul dalam percakapan dengan orang luar (atau orang dalam, yang dari wawancarai yang dilakukan kebanyakan tidak memiliki nama untuk jalur rumput ini). Perbedaan-perbedaan dialek memiliki perbedaan-perbedaan fitur. Misalnya, orang-orang

112 Linguistik Forensik: Memahami Forensik Berbasis Teks Dalam Analogi DNA New York biasanya berdiri di atas (on) garis untuk membeli tiket, sementara orang Amerika lainnya berdiri di dalam (in) baris.

Kebanyakan warga New York yang tidak menyadari fitur yang sangat khas ini. Bahkan ketika mereka mendengarnya, perbedaan itu dipandang register.

Kasus permintaan tebusan yang dianalisis Shuy (1998) dari catatan tebusan yang ditulis pelaku menarik karena fakta linguistik mampu menjejaki/membuat profil pelaku, meskipun tidak untuk identifikasi pribadi pelakunya sendiri, hanya dari penggunaan kata/frase tertentu yang menjadi ciri khas suatu wilayah pakai bahasa. Artinya variasi dialektal dapat menuntun pada penjejakan profil pelaku.

Apa yang menarik secara metodologis dari analisis yang dilakukan Shuy tersebut, ialah ditemukannya penggunaan metode padan intralingual, teknik hubung banding membedakan, seperti dilakukan pada tahap (1) dengan (2), menghubung banding menyamakan, tahap (3) dengan (4) dan (6) dengan (7), dan penggunaan metode padan ektralingual, yaitu menghubung banding menyamakan antara fakta kebahasaan dengan daftar nama-nama calon pelaku tindak kejahatan yang ada pada daftar terbatas polisi, sebagai fakta nolingual: tahap (5) dengan (6) dan (7).

2. Analisis Data dengan Tujuan Mengeksplanasi Jenis/Bentuk

Dalam dokumen LINGUISTIK FORENSIK: - Universitas Mataram (Halaman 121-124)