• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konsep Pendidikan 1. Konsep Keteladanan

ﺌْﻓَ ْﻷﺍ

D. Konsep Pendidikan 1. Konsep Keteladanan

Dalam konteks pendidikan Islam, keteladanan dijadikan sebagai suatu metode yang digunakan untuk merealisasikan tujuan pendidikan, dengan cara memberi contoh keteladanan yang baik pada siswa agar mereka dapat berkembang dan memiliki perilaku yang baik dan benar. Keteladanan memberikan kontribusi yang sangat besar dalam pendidikan, baik dalam bidang keagamaan maupun kebudayaan, kesenian, dan lain-lain.26

24Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Kastir, h. 454-455

25Atho Mudzhar, Fadhal AE. Bafadal, dkk, Al-Qur`an dan Tafsirnya, h. 64

26Zainal Hasan, “Nilai-nilai Pendidikan Islam Pada Kisah Nabi Ibrahim” h. 445

90

Dalam konteks kisah Nabi Ibrahim as. Nampak pada sosok pribadi sebagai figur anak, ayah, dan hamba Allah Swt.27 Ia juga sosok teladan yang baik bagi keluarga, anak dan umatnya dalam melaksanak perintah-perintah Allah Swt. dan menjauhi larangnnya, demikian juga akhlak keseharian. Sampai-sampai umat Nabi Muhammad Saw. pun diperintahkan untuk mengambil teladan dari Abul Anbiya‟ (Nabi Ibrahim as.). sebagaimana firman Allah Swt.:











































































































“Sungguh, telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengannya, ketika mereka berkata kepada kaumnya, “Sesungguhnya kami terlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami mengingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu ada permusuhan dan kebencian untuk selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja,” kecuali perkataan Ibrahim kepada ayahnya,

“Sungguh, aku akan memohonkan ampunan bagimu, namun aku tidak dapat menolak (siksaan) Allah terhadapmu.”

(Ibrahim berkata), “Ya tuhan kami, hanya kepada Engkaulah kami kembal.” (QS. Al-Mumtahanah [60]: 4)

27 Zainal Hasan, “Nilai-nilai Pendidikan Islam Pada Kisah Nabi Ibrahim” h. 445

Mahmud Yunus menjelaskan dalam tafsirnya bahwa Allah memerintahkan kaum Muslimin mencontoh Nabi Ibrahim dan kaum yang bersamanya. Akan tetapi tidak boleh mencontoh Nabi Ibrahim ketika ia mendoakan ayahnya. Karena orang Islam tidak boleh mendoakan atau meminta ampunan kepada Allah Swt.

untuk orang kafir. Hanya boleh untuk orang Islam, sebab dosa kekafiran itu tidak dapat diampuni Allah Swt. kecuali dengan masuk Islam.28

Ibnu Katsir menjelaskan dalam tafsirnya bahwa orang Muslim mempunyai suri taudan yang baik pada pribadi Ibrahim as. dan kaumnya yang dapat ditiru, kecuali dalam urusan permohonan ampunan Ibrahim as. untuk ayahnya; karena itu hanyalah berlangsung pada beberapa waktu sesuai yang telah ia janjikan kepadanya, namun setelah Nampak jelas bagi Ibrahim as.

bahwa ayahnya adalah musuh Allah Swt., ia segera berlepas diri darinya. Itu dikarenakan dahulu sebagian orang-orang yang beriman selalu mendoakan kebaikan dan memohonkan ampunan untuk ayah-ayah mereka yang mati di atas kemusyirikan. Mereka berkata, “Sesungguhnya dahulu Nabi Ibrahim as. selalu memohonkan ampunan untuk ayahnya. “Maka Allah Swt. pun menurunkan ayat, (at-Taubah: 113-114)



























































28Mahmud Yunus, Tafsir Al-Qur`an Al-Karim, h. 822

92































“Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang- orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat(nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka jahanam.

Dan permintaan ampun dari Ibrahim (kepada Allah) untuk bapaknya tidak lain hanyalah karena suatu janji yang telah diikrarkannya kepada bapaknya itu. Maka, tatkala jelas bagi Ibrahim bahwa bapaknya itu adalah musuh Allah, maka Ibrahim berlepas diri dari padanya. Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang sangat lembut hatinya lagi penyantun”.

(QS. At-Taubah [9]:113-114)

Selanjutnya Allah Swt. menggambarkan perkataan Ibrahim as. dan orang-orang yang bersamanya, yaitu ketika mereka meninggalkan dan melepaskan diri dari kaumnya. Mereka kembali kepada Allah Swt. dan merendahkan diri dihadapan-Nya, lalu mereka bertawakkal kepada-Nya dalam semua urusannya.29

Departemen Agama RI menjelaskan bahwa Allah Swt.

memerintahkan kaum Muslimin untuk mencontoh Nabi Ibrahim as. dan kaumnya yang beriman bersamanya, ketika kepada kaumnya yang kafir dan menyembah berhala, “Hai kaumku, sesungguhnya kami terlepas diri dari kamu semua, dan dari apa yang kamu sembah selain Allah Swt.”

Kemudian diterangkan bahwa yang dimaksud Ibrahim as.

dengan berlepas diri itu adalah:

29Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, h. 457-458

a. Nabi Ibrahim as. mengingkari kaumnya, tidak mengacuhkan tuhan-tuhan mereka, dan tidak membenarkan mereka yang menyembah patung-patung yang tidak memberi manfaat dan mudharat kepada siapa pun. Allah Swt. berfirman dalam QS.

Al-Hajj [22]:73)



























































Hai manusia, telah dibuat perumpamaan, maka dengarkanlah olehmu perumpamaan itu. Sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah sekali-kali tidak dapat menciptakan seekor lalatpun, walaupun mereka bersatu menciptakannya. Dan jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka, tiadalah mereka dapat merebutnya kembali dari lalat itu. Amat lemahlah yang menyembah dan amat lemah (pulalah) yang disembah”. (QS. Al-Hajj [27]:73)

b. Nabi Ibrahim as. mengatakan bahwa antara dia dengan kaumnya yang ingkar telah menjadi permusuhan dan saling benci selamanya. Nabi Ibrahim as. akan tetap menentang kaumnya sampai mereka meninggalkan perbuatan syirik. Jika mereka telah beriman, permusuhan itu baru akan berakhir.

Terhadap ayahnya yang masih kafir, ia tidak mengambil sikap yang tegas seperti sikapnya kepada kaumnya. Ia berjanji akan mendoakan agar Allah Swt. mengampuni dosa- dosa ayahnya. Dalam hal ini, Allah Swt. melarang kaum

94

Muslimin mencontoh Ibrahim as., sekalipun akhirnya ia terlepas tangan pula terhadap ayahnya, setelah nyata baginya keingkaran bapaknya.30

Melihat penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa Allah Swt. memerintahkan kaum Muslimin untuk menjadikan Nabi Ibrahim As. sebagai teladan yang baik dalam sikapnya terhadap orang-orang kafir kepada Allah Swt. kecuali sikapnya kepada ayahnya yang ia doakan, sekalipun telah nyata kekafirannya. Dan tidak apa-apa memohonkan ampunan dalam arti meminta hidayah dan taufik untuk orang kafir ketika masih hidup. Adapaun setelah dia mati dalam keadaan musyrik atau kafir, hal ini dilarang.

2. Konsep Nasihat















































“Kepada (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tesesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”. (QS. An-Nahl [16]: 125)

Dalam ayat-ayat yang lalu, Allah Swt. menerangkan tentang Nabi Ibrahim as. sebagai pemimpin yang memiliki sifat- sifat mulia, menganut agama tauhid, dan penegak ketauhidan.

Allah Swt. juga menjelaskan perintahnya kepada Nabi

30Atho Mudzhar, Fadhal AE. Bafadal, dkk, Al-Qur`an dan Tafsirnya, h. 92

Muhammad Saw. agar mengikuti agama Ibrahim as. dengan perantara wahyu-Nya. Dalam ayat-ayat ini, Allah Swt.

memberikan tuntunan kepada Nabi untuk mengajak manusia kepada agama tauhid, agama Nabi Ibrahim as., yang pribadinya diakui oleh penduduk Jazirah Arab, Yahudi dan Nasrani.31

Menurut Mahmud Yunus menjelaskan dalam tafsirnya bahwa Allah menerangkan bagaimana cara melaksanakan penyiaran agama Allah Swt. kepada semua umat manusia, yaitu dengan cara kebijaksanaan, bukan dengan paksaan dan kekerasan atau dengan mencela dan memaki-maki atau dengan perkataan yang kasar yang jauh dari adab kesopanan, sebagaimana diperbuat oleh sebagian orang yang tidak mempelajari cara dakwah (seruan) menurut petunjuk Al-Qur`an. Sebab itu hendaklah ulama-ulama dan penyiar-penyiar agama memakai cara kebijaksanaan untuk menarik umat manusia kepada agama Allah, karena manusia dapat ditarik dengan kebijaksanaan, bukan dengan kekerasan.

Begitu jugan hendaklah menyeru umat manusia dengan pengajaran yang baik, dengan dalil dan keterangan cukup yang dapat dipahami mereka. Sebab itu, wajiblah ulama-ulama dan penyiar-penyiar agama mengetahui bermacam-macam ilmu pengetahuan yang diketahui oleh masyarakat yang diserunya, supaya dapat disesuaikannya dengan ajaran agama, sehingga dapat diterima oleh akal mereka yang telah terdidik dengan ilmu pengetahuan itu. Kalau tidak, niscaya mereka tolak ajaran agama, karena karena bertantangan dengan ilmu pengetahuannya.

Pendeknya ulama-ulama dan penyiar agama harus mengetahui

31Atho Mudzhar, Fadhal AE. Bafadal, dkk, Al-Qur`an dan Tafsirnya, h. 418

96

ilmu dunia dan akhirat, baru mereka dapat melaksanakan pekerjannya yang berat.32

Pada ayat di atas, Ibnu Kastir menjelaskan bahwa Allah Swt. memerintahkan Rasul-Nya, Muhammad Saw. agar menyeru dan mengajak para makhluk (kaumunya) kepada Allah Swt.

dengan segala sesuatu yang terkandung dalam kitab-Nya yakni larangan-larangan dan beberapa peristiwa yang menimpa orang- orang agar mereka mewaspadai siksaan Allah Swt. Dan Allah Swt. juga memerintakan untuk berdebat dan berdiskusi dengan cara yang baik, yakni lemah lembut, kelunakan, bersikap sopan dan santun kepada sasama makhluk.33 Sebagaiaman firman Allah Swt dalam QS. Al-Ankabut: 46 dan QS. Thahâ :44





















































“Dan janganlah kamu berdebat denganAhli Kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zalim di antara mereka, dan katakanlah: "Kami telah beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepadamu; Tuhan kami dan Tuhanmu adalah satu; dan kami hanya kepada-Nya berserah diri". (QS. Al-Ankabut [29]: 46)



















32Mahmud Yunus, Tafsir Al-Qur`an Al-Karim, h. 399

33Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, h. 169

“Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata- kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut". (QS. Thahâ [20]:44)

Dalam ayat ini Allah Swt. juga menasihati Nabi Muhammad Saw. untuk bersabar dan tidak merasa kecewa terhadap orang- orang yang sesat, karena ia tidak diwajibkan memberi hidayah, melainkan hanyalah pemberi peringatan.34 Sebagaimana firman Allah Swt. dalam QS. Al-Qashash: 56





























Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk”. (QS. Al-Qashash [28]: 56)

Menurtu Departemen Agama dalam kitab tafsirnya menjelaskan bahwa Allah Swt. memberikan pedoman kepada Rasulullah-Nya tentang cara mengajak manusia (dakwah) ke jalan Allah Swt. Jalan Allah Swt. di sini maksudnya ialah agama Allah Swt. yakni syariat Islam yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw.

Allah Swt. meletakkan dasar-dasar dakwah untuk pegangan bagi umatnya di kemudian hari dalam mengemban tugas dakwah.

Pertama, Allah Swt. menjelaskan kepada Rasul-Nya bahwa sesungguhnya dakwah ini adalah dakwah untuk agama Allah Swt.

sebagai jalan menuju rida-Nya, bukan dakwah untuk pribadi dai (yang berdakwah) ataupun golongan dan kaumnya. Rasul Saw.

34 Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, h. 169-170

98

diperintahkan untuk membawa manusia ke jalan Allah dan untuk agama Allah semata. Kedua, Allah Swt. menjelaskan kepada Rasul Saw. agar berdakwah dengan hikmah. Ketiga, Allah Swt.

menjelaskan kepada Rasul Saw. agar dakwah itu dijalankan dengan pengajaran yang baik, lemah lembut, dan menyejukkan, sehinga dapat diterima dengan baik. Keempat, Allah Swt.

menjelaskan bahwa bila terjadi perdebatan dengan kaum musyrikin ataupun ahli kitab, hendaknya Rasulullah Saw.

membantah mereka dengan cara yang baik. Kelima, akhir dari usaha dan perjuangan itu adalah iman kepada Allah Swt., karena hanya Dialah yang menganugerahkan iman kepada jiwa manusia, bukan orang lain ataupun dai itu sendiri. Dialah Tuhan Yang Maha Mengetahui siapa di antara hamba-Nya tidak dapat mempertahankan fitrah insaniahnya (iman kepada Allah) dari pengaruh-pengaruh yang menyesatkan, hingga dia menjadi sesat, dan siapa pula di antara hamba yang fitrah insaniahnya tetap terpelihara sehingga ia terbuka menerima petunjuk (hidayah) Allah Swt.35

Dilihat dari penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa Allah Swt. memberikan nasihat kepada seluruh umat manusia untuk mencontoh cara berdakwah Nabi Ibrahim yang selalu sabar, sopan, lemah lembut dan selalu berdiskusi dengan kaumnya dengan cara yang baik, tidak memaksa kaumya, akan tetapi mengajak kaumya untuk berpikir untuk memperbaiki kesalahan mereka sendiri, sehingga menemukan kebenarannya. Nasihat bisa juga disebut dengan wasiat atau pesan, nasihat atau wasiat itu harus disampaikan sesuai dengan situasi dan kondisi yang tepat

35Atho Mudzhar, Fadhal AE. Bafadal, dkk, Al-Qur`an dan Tafsirnya, h. 418-419

sehingga dapat berpengaruh pada peserta didik. Nabi Ibrahim as.

menggunakan metode ini dalam mendidik anak-anaknya tergambar dalam Al-Qur`an surat Al-Baqarah [2]: 132:



































“Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak- anaknya, demikian pula Ya´qub. (Ibrahim berkata): "Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam". (Al-Baqarah [2]: 132)

3. Konsep Dialog









































































































“Ingatlah ketika ia berkata kepada bapaknya; “wahai bapakku, mengapa kamu menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat dan tidak dapat menolong kamu sekitpun? Wahai bapakku, Sesungguhnya telah datang kepadaku sebagian ilmu pengetahuan yang tidak datang kepadamu, Maka ikutilah aku, niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus. Wahai bapakku, janganlah kamu menyembah syaitan. Sesungguhnya syaitab itu durhaka kepada Tuhan yang Maha Pemurah. Wahai bapakku, Sesungguhnya aku khawatir bahwa kamu akan ditimpa azab

100

dari Tuhan yang Maha Pemurah, Maka kamu menjadi kawan bagi Syaitan”. (QS. Maryam [19]: 42-45)

Mahmud Yunus menjelaskan dalam tafsirnya bahwa ayat di atas menjelaskan bagaimana cara Nabi Ibrahim as. memberi nasihat kepada ayahnya dan memberi pelajaran dengan susunan kata-kata yang indah dan perkataan yang lemah lembut serta adab sopan santun dan budi pekerti yang baik, sesuai dengan nasihat Allah kepadanya. Sebagaimana dikutip oleh Mahmud Yunus dalam tafsirnya, Raulullah Saw. sabda:“Telah mewahyukan Allah kepada Ibrahim as.: “Sesungguhnya engkau sebagai temanku, perbaikilah budi pekertimu, meskipun terhadap orang-orang kafir, niscaya engkau termasuk orang-orang yang baik”. 36

Ibnu katsir menjelaskan dalam tafsirnya bahwa Nabi Ibrahim as. menasihati ayahnya untuk meninggalkan berhala- berhala yang ia sembah karena berhala-berhala itu tidak memberi manfaat dan tidak menolak keburukan. Kemudian Ibrahim as.

berkata: “Jika aku ada dari tulang tulang rusukmu dan engkau memandang bahwasannya aku lebih kecil darimu, karena aku adalah anakmu maka ketahuilah sesungguhnya aku telah memahami ilmu dari Allah Swt. yang engkau tidak mengetahuinya dan tidak juga memahaminya, serta tidak datang kepadamu, maka ikulah aku, niscaya aku akan menunjukkan jalan yang lurus.” Nabi Ibrahim as. melarang ayahnya memiliki pembela, penolong dan penyelamat kecuali kepada Allah Swt.

semata karena yang selain-Nya tidak akan bisa memberikan pertolongan melainkan memberikan kesesatan yang nyata.37

36Mahmud Yunus, Tafsir Al-Qur`an Al-Karim, h. 441

37Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, h. 454-455.

Departemen agama RI menjelaskan dalam tafsirnya banwa dengan kata-kata yang lemah lembut dan dapat diterima akal Nabi Ibrahim as. menyeru bapaknya kepada tauhid dan meninggalkan penyembahan berhala benda mati yang tidak berdaya. karena benda yang demikian halnya tidak mungkin memberi manfaat atau pertolongan kepada mausia, dengan demikian hal tersebut tidaklah patut menjadi sembahan manusia. Dan ia juga mengatakan kepada bapaknya bahwa ia telah diberi ilmu oleh Allah Swt. yang belum diketahui olehnya. Dengan ilmu itu Ia dapat memimpin manusia kepada jalan yang lurus dan membawa kepada kebahagian dunia dan akhirat. Ia juga menghawatirkan bapaknya akan tetap mengikuti ajaran nenek moyangnya yakni menyembah berhala, sehingga ia mendapatkan kemurkaan Allah Swt. seperti kemurkaan-Nya kepada setan. 38

Adapun yang dimaksud dengan pendidikan akidah dalam dialog Nabi Ibrahim dengan ayahnya, yaitu seruan untuk menyembah Allah Swt. Dalam ayat 42 surat Maryam, Nabi Ibrahim memulai dialognya dengan merangsang daya nalar ayahnya, mengajak berfikir realistis tentang apa yang selama ini menjadi sesembahan ayahnya. Dalam ruang lingkup pengembangan akal pikiran inilah yang mendorong manusia untuk berfikir analisis melalui proses berfikir induktif dan deduktif.39

Pada ayat selanjutnya Nabi Ibrahim lebih jauh mengemukakan beberapa penjelasan tambahan untuk menguatkan

38Atho Mudzhar, Fadhal AE. Bafadal, dkk, Al-Qur`an dan Tafsirnya, h. 63-64

39Ismail Ansori, “Metodologi Pendidikan Al-Ibrah Dalam Al-Qur`an: Kajian Historis-Pedagogis terhadap Kisah Nabi Ibrahim dalam Surat Maryam ayat 42-48”, dalam Jurna Ilmiah Didaktika, Vol. XII No. 1 Agustus 2011, h. 52

102

doktrin ketauhidan risalah yang sedang dikomunikasikan kepada ayahnya. Pernyataan tambahan yang dikemukakan adalah bahwa mentauhidkan (meng-Esa-kan) Allah Swt. merupakan jalan kehidupan yang lurus, jalan yang menyelamatkan semua manusia dari tipu daya syaitan (nafsu) yang menyesatkan manusia serta mengantarkannya kepada adzab Allah Swt. di hari akhir.

Perbuatan penyembahan berhala adalah kemusyrikan yang dilakukan terhadap Allah Swt., itulah jalan yang paling besar dan akan mendapat balasan yang pedih dari Allah Swt.40

Dalam pernyataanya ekplisit tentang adzab dari akhirat, secara implisit pula Nabi Ibrahim seolah-olah ingin memberitahukan kepada ayahnya bahwa setelah adanya kehidupan dunia ini maka ada pula kehidupan di akhirat nanti. Di mana dalam kehidupan yang kedua segala perbuatan manusia akan diminta pertanggungjawaban, sebagai seorang anak ia sangat khawatir kepada ayahnya yang akan ditimpa adzab yang telah dijanjikan itu.41

Di samping itu Nabi Ibrahim as. selalu mengulang-ulang bahwa Tuhan-nya (Allah) adalah Tuhan yang Maha pemurah.

Pemurah dalam artian senantiasa memberi taubat kepada hambanya yang berbuat khilaf. Allah Swt. yang disembah Ibrahim dapat menolong manusia dari adzab-Nya yang sangat pedih. Tuhan yang Maha Melihat, Mendengar, dan dapat menolong semua hamba-Nya dan menjauhkan diri dari perbuatan syirik.42

40Ismail Ansori, “Metodologi Pendidikan Al-Ibrah Dalam Al-Qur`an, h. 52

41Ismail Ansori, “Metodologi Pendidikan Al-Ibrah Dalam Al-Qur`an, h. 53

42 Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, Terj. Abdul Ghaffar, (Bogor: Pustaka Imam asy- Syafi‟i, 2001), cet. I, h. 205

Melihat penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa Nabi Ibrahim as. berusaha mengajak ayahnya untuk berdiskusi atau berdialog dengan lemah lemut serta adab sopan satun dan juga mengajak ayahnya untuk berfikir bahwa apa yang ia sembah itu tidaklah memberikan manfaat akan tetapi memberikan madharat. Kemudian Nabi Ibrahim as. juga berusaha memberi tahu ayahnya bahwa mentauhidkan Allah Swt. itu merupakan kehidupan yang lurus, dan jalan untuk menyelamatkan manusia dari tipu daya setan. Dan ia juga memberitahu ayahnya bahwa setelah kehidupan di dunia ini ada kehidupan di akhirat yang mana perbuatan yang kita perbuat akan dimintai pertanggungjawaban, karena kekhawaatirannya itu Nabi Ibrahim as. selalu mengingatkan untuk bertauhid hanya kepada Allah Swt.

semata karena hanya Allah Swt. lah yang bisa memberi pertolongan.

105 BAB V PENUTUP