• Tidak ada hasil yang ditemukan

Profil Tafsir Al-Qur`an Al-Karim

ﺌْﻓَ ْﻷﺍ

B. Profil Tafsir Al-Qur`an Al-Karim

f. Marilah ke Al-Qur`an, 1971, CV. Al-Hidayah, Jakarta g. Asy-Syuhuru Al-„Arabiyyah fi Bilâdi Al-Islamiyyah

(tidak teridentifikasi lengkap)

h. Khulâshah Tarîkh Al-Ustadz Muhamud Yunus (tidak teridentifikasi lengkap)30

64

awal 1960-an karya ini kemudian diterbitkan dengan nama Tafsir Al- Qur`an Al-Karim.33

Karya ini disuguhkan untuk kalangan pelajar dan mahasiswa sebagai bahan praktis mempelajari bahasa Al-Qur`an dan juga untuk masyarakat umumnya yang ingin memdalami isi kitab sucinya. Di samping itu, karya ini –menurut penulisnya- bertujuan untuk memberikan keterangan dan penjelasan mengenai petunjuk-petujuk yang tertera dalam Al-Qur`an agar dapat dimengerti dengan mudah dan cepat oleh semua orang, dan semaksimal mungkin dapat dipraktekkan secara nyata dalam kehidupan sehari-hari.34

2. Deskripsi Naskah dan Teks

Untuk mengetahui tafsir ini dengan baik maka kita terlebih dahulu harus mengetahui ciri-ciri khususnya. Judul lengkap tafsir ini ditulis dengan nama Tafsir Qur`an Karim. Ini merupakan tafsir generasi pertama pada abad ke-20 yang cukup referensif untuk mewakili tafsir-tafsir yang lain. Kitab tafsir yang dikarang Mahmud Yunus ini nama populernya di khalayak publik dikenal dengan nama Tafsir Mahmud Yunus.35

Saat tafsir ini diterbitkan, ada bantahan dari ulama besar dari Yogyakarta untuk disetop percetakannya. Pada tahun 1953, seorang ulama dari Jatinegara membantah pula. Bantahan itu dikirimkan kepada Menteri Agama RI (Wahid Hasyim rahimahullâh) dan Presiden RI (almarhum Soekarno). Suratnya disampaikan kepada

33Mahmud Yunus, Tafsir Al-Qur`an Al-Karim, (Ciputat: PT. Mahmud Yunus wa Dzurriyyah, 2008), h. II-III

34Iskandar, “Tafsir Qur`an Karim Karya Mahmud Yunus Kajian Atas Karya Tafsir Nusantara” dalam Suhuf, Vol. 3 No. 1, 2010, h. 2

35Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia, h. 75

beliau menjawabnya dengan panjang lebar hingga ulama itu tidak berkutik lagi dan hanya diam saja.36

Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1950, dengan persetujuan mentri Agama Almarhum K.H. Wahid Hasyim, salah seorang penerbit Indonesia hendak menerbitkan Tafsir Al-Qur`an Al- Karim dengan mendapat fasilitas kertas dari Mentri Agama dan dicetak sebanyak 200.000 eksemplar. Lalu ditunjuk percetakan bangsa Indonesia untuk mencetaknya.37 Kemudian, dikarenakan suatu masalah, pencetakan tafsir tersebut terhenti, akhirnya percetakan diambil alih M. Brahata dan percetakan Al-Ma‟rif Bandung. Yang diteliti dalam tulisan ini adalah tafsir Mahmud Yunus dengan penerbit PT. HIDAKARYA Jakarta. Diterbitkan pada tahun 2002 M/1423 H yang merupakan cetakan ke-7. Tafsir ini hanya berjumlah satu jilid dengan kandungan tafsir 30 Juz dengan jumlah halaman 924.38 Dengan karya setebal 924 ini, penulis juga bermaksud untuk memberikan penegasan-penegasan penting berkenaan dengan peristiwa sejarah kemanusiaan, maju mundurnya suatu bangsa, kebangkitan dan kejayaannya sampai pada kelemahan dan kehancurannya. Hal ini dimaksudkan agar para pembaca dapat mengambil pelajaran berharga dalam menata kehidupan di masa-masa yang akan datang, “karena sejarah itu tetap mengulang jejaknya”

katanya.39 Naskah tafsir Qur`an Karim cetakan PT. HIDAKARYA ini berukuran 25 x17cm.

36Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia, h. 75

37Mahmud Yunus, Tafsir Al-Qur`an Al-Karim, h. III

38 Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesiah. 76

39 Sulaiman Ibrahim, “Karakteristik Tafsir Al-Qur`an Al-Karim Karya Mahmud Yunus” h. 401

66

3. Sitematika Penulisan

Penyajian tafsir ini diawali dengan pendahuluan dari muallif.

Jika membuka kitab ini lebih lanjut pembaca akan disuguhkan penafsiran yang dimulai dengan menyebutkan nama surat, jumlah ayat dan menyebutkan Makkiyah atau Madaniyahnya. Selanjutnya ditampilkan teks Arab ayat tertulis di sebelah kanan halaman dan terjemahan 45 bahasa Indonesia di sebelah kirinya, disusun sejajar dan setentang hingga memudahkan utuk mengetahui nomor-nomor ayat Al-Qur`an dan terjemahannya. Sedangkan keterangan atau tafsiran ayat diletakkan dibagian bawah halaman ayat yang bersangkutan dengan tulisan tebal di atasnya keterangan ayat…hal…”, sehingga mudah mempelajarinya tanpa memeriksa halaman yang lain.40 Format seperti ini memungkinkan setiap orang mengetahui arti kata dari masing-masing ayat yang diterjemahkan.

Bersamaan dengan itu, ia juga meyertakan uraian kata yang dianggap sulit dan perlu diperjelaskan lebih lanjut dalam bentuk catatan kaki.

Selain terjemahan dan keterangan singkat terkait sebuah kata dalam Al-Qur'an, Mahmud Yunus juga mengurai objek tertentu, sesuai tema ayat yang diterjemahkan.41Setelah keterangan tentang ayat, terdapat pula beberapa cacatan kaki yang menjelaskan maksud dari sebagian terjemahan yang dianggap perlu adanya penjelasan.

Penerjemahan teks Al-Qur'an dengan gaya seperti itu serta beberapa keterangan dalam bentuk catatan kaki pada masing-masing ayat telah menyita 924 halaman. Selebihnya, 27 halaman tambahan (halaman i - xxvii) digunakan sebagai lampiran yang berisi Daftar Surah dan Isi Tafsir, Daftar Isi Surah Berdasarkan Alfabet, dan Daftar

40Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia, 76

41Iskandar, “Tafsir Qur`an Karim Karya Mahmud Yunus Kajian Atas Karya Tafsir Nusantara,” h. 5

Juz-juz Al-Qur'an – suatu terobosan yang tentu sangat membantu pembaca dalam mencari ayat, surah, dan juz Al-Qur'an. Pada bagian paling akhir, Mahmud menyertakan karyanya ini dengan 32 halaman khusus berisikan kesimpulan isi Al-Qur'an, menyangkut hukum, etika (akhlak), ilmu pengetahuan, ekonomi, sejarah, dan lain-lain.42

4. Metodologi Tafsir Al-Qur`an Al-Karim

Untuk analisa metodologi Tafsir Al-Qur`an Al-Karim karya Mahmud Yunus, dapat dilihat dari beberapa segi, yaitu:

a. Metode Penafsiran

Tafsir Al-Qur`an Al-Karim Mahmud Yunus ini menunjuk pada metode tahlili, suatu metode yang bermaksud menjelaskan kandungan ayat-ayat Al-Qur`an dari seluruh aspeknya, mulai dari mengemukakan arti kosa kata, munasabah (penyesuaian) antar ayat, antar surah, asbab an-nuzul, dan lainnya.43 Dalam tafsir Mahmud Yunus, aspek kosa kata dan penjelasan arti global tidak selalu dijelaskan. Kedua aspek tersebut dijelaskan jika dianggap perlu atau kadang pula suatu ayat, suatu lafadz dijelaskan arti kosa kata- katanya, sedangkan lafadz yang lain dijelaskan arti kosa katanya, sedangkan lafadz yang lain dijelaskan arti globalnya karena mengandung suatu istilah, bahkan dijelaskan secara terperinci dengan memperhatikan penggunaan istilah itu pada ayat-ayat yang lain.

b. Jenis (Nau‟)

Setelah diteliti ternyata tafsir ini tergolong ke dalam kalangan tafsir bi Al-Ra‟yi. Contoh penafsiran dapat dilihat pada surat Al-Baqarah, ayat 46 dalam tafsir ini sebagai berikut:

42 Iskandar, “Tafsir Qur`an Karim Karya Mahmud Yunus Kajian Atas Karya Tafsir Nusantara,” h. 5

43Ansori, Ulumul Qur`an, (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2013), h. 208

68



















"(yaitu) orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya."

(QS. Al-Baqarah [2]:46)

Perkataan (ََ نْوُنُّظَي) dalam surat ini bukan artinya menyangka, melainkan yakin sesuai ayat 4 surat Al-Baqarah. Sebab itu keimanan haruslah dengan yakin seyakin-yakinnya tidak boleh ragu-raagu atau prasangka saja.44

c. Corak Penafsiran

Dalam tafsir ini penulis melihat bahwa corak penafsiran dalam beberapa ayat hanya dikutip beberapa kosa kata yang bisa dibilang di keyword dalam ayat atau maksud ayat tersebut, sehingga dengan penglihatan tersebut dapat dipahami bahwa dalam tafsir ini ada corak lughawi. Dalam beberapa ayat kita bisa melihat contoh, salah satunya dalam surat Al-Baqarah ayat 102





























































































































44Lihat Tafsir Al-Qur`an Al-Karim, karya Mahmud Yunus, h. 10



























“Mereka (membelakangkan kitab Allah) dan mengikut ajaran-ajaran sihir yang dibacakan oleh puak-puak Syaitan dalam masa pemerintahan Nabi Sulaiman, padahal Nabi Sulaiman tidak mengamalkan sihir yang menyebabkan kekufuran itu, akan tetapi puak-puak Syaitan itulah yang kafir (dengan amalan sihirnya);

karena merekalah yang mengajarkan manusia ilmu sihir dan apa yanag aditurunkan kepada dua malaikat:

Harut dan Marut, di negeri Babil (Babylon), sedangkan mereka tidak mengaja seseorang pun melainkan setelah mereka menasihatinya dengan berkata:

“Sesunggguhnya kami ini hanyalah cubaan (untuk menguji imanmu), oleh karena itu janganlah engkau menjadi kafir (dengan mempelajarinya)”. Dalam pada itu ada juga orang-orang mempelajari dari mereka bedua: ilmu sihir yang boleh menceraikan antara seorang suami dengan istrinya, padahal mereka tidak akan dapat sama sekali memberi mudarat (atau membahayakan) dengan sihir itu seseorang pun melainkan dengan izin Allah. Dan mereka mempelajari perkara yang hanya membahayakan mereka dan tidak memberi manfaat kepada mereka. Dan demi sesungguhnya mereka (kaum Yahudi itu) telahpun mengetahui bahwa sesiapa yang memilih ilmu sihir itu tidak lagi mendapat bahagian yang baik di akhirat.

Demi sesungghnya amat buruknya apa yang mereka pilih untuk diri mereka, kalaulah mereka megetahui.”

Pada ayat ini terdapat kata yang mempunyai banyak makna diantaranya:

1) Menipu mata orang dan menghayalkan apa yang bukan sebenaranya. Seperti yang disebut para pemain sulap.

Maka sihir itu tidak merusak orang, sebab yang seperti itu tidak haram hukumnya.

70

2) Perkataan yang indah, manis menarik hati pendengarnya sehingga ia terpesona mengikuti perkataan itu. Kalau perkataan itu untuk kebenaran maka hukumnya adalah halal. Maka itu yang disebut dengan dihir yang halal, tetapi jika tujuannya untuk fitnah dan adu domba antara suami istri supaya mereka bercerai maka hukumnya adalah haram.

3) Meminta pertolongan kepada syaitan dan mengabdi kepadanya serta memantrai orang untuk merusak seseorang, maka sihir seperti ini haram hukumnya, bahkan mengkafirkan. Karana telah menyekutukan Allah saw.

dengan syaitan.45

5. Sumber-sumber Tafsir Al-Qur`an Mahmud Yunus

Mahmud Yunus menjelaskan bahwa setelah beliau mempelajari beberapa tafsir, seperti:

a. Tafsir Ath-Thabari Juz 1 halaman 42 b. Ibnu Katsir Juz 1 halaman 3

c. Al-Qasimy Juz 1 halaman 7 d. Fajrul Islam Juz 1 halaman 199

e. Zhurul Islam Juz 2 halaman 40-43 dan Juz 3 halaman 37 Maka beliau menarik kesimpulan dengan merumuskan bahwa sumber-sumber tafsir secara umum itu ada tujuh, yaitu:

Pertama, Tafsir Al-Qur`an dengan Al-Qur`an, karena ayat- ayatnya saling menafsirkan dan jelas menjelaskan antara satu dengan yang lain.

45Lihat Tafsir Al-Qur`an Al-Karim, oleh Mahmud Yunus, cet-72, h.21

Kedua, Tafsir dengan hadis yang shahih, sperti hadis Bukhari dan Muslim. Sekali-kali tidak boleh dengan hadis yang dha‟if terlebih hadis maudhu‟.

Ketiga, Tafsir dengan perkataan sahabat, tapi khusus yang berkaitan dengan keterangan sebab-sebab turunnnya ayat, bukan menurut pendapat dan pikirannya.

Keempat, Tafsir dengan perkataan tabi‟in, bila mereka berijma‟ terhadap suatu tafsiran. Hal ini menurut pendapat yang mengatakan bahwa ijma‟ adalah hujjah.

Kelima, Tafsir dengan kaidah bahasa Arab bagi ahli Ilmu Lughah.

Keenam, Tafsir dengan ijtihad bagi Mujtahid.

Ketujuh, Tafsir dengan tafsir aqli bagi Mu‟tazilah. Selain dari pada itu ada lagi tafsir aqli menurut Syi‟ah dan tafsir sufi bagi ahli Tasawuf.46

46 M. Amursid dan Amaruddin Asra, “Studi Tafsir Al-Qur`an Al-Karim Karya Mahmud Yunus”, h. 16

73 BAB IV

ANALISA PENAFSIRAN MAHMUD YUNUS TERHADAP AYAT- AYAT PENDIDIKAN

Konsep pendidikan Nabi Ibrahim merupakan sebuah pola atau rancangan pendidikan yang diambil dari proses pendidikan yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim as. Sebagai konsep tentu tidak lepas dari komponen-komponen pendidikan yaitu tujuan pendidikan, peserta didik, materi pendidikan dan konsep Pendidikan

A. Tujuan Pendidikan dalam Konsep Nabi Ibrahim

Dalam batasan pendidikan, tujuan akhir dari pendidikan Islam adalah terbentuknya kepribadian Muslim. Sebagaimana yang diwasiatkan Nabi Ibrahim kepada anak-anaknya yang disebutkan dalam Al-Qur`an surat Al-Baqarah ayat 132:



































Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak- anaknya, sedemikian pula, Ya‟qub. (Ibarahim berkata): “Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah Telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam”. (QS. Al-Baqarah [2]:132)

Pada ayat di atas dijelaskan bahwa Nabi Ibrahim as. berwasiat kepada anak-anaknya untuk tidak meninggalkan agama walau sesaat

“maka janganlah kamu mati kecuali kamu dalam keadaan berserah diri kepada-Nya yakni memeluk agama Islam. Karena kematian tidak

dapat diduga datangnya.1 Dan Allah Swt. menegaskan bahwa seorang muslim harus tunduk dan patuh kepada Allah serta mengikuti perintah-Nya dengan jasmani dan rohani. Agar bisa menjadi muslim yang baik, maka seorang muslim harus mentaati apa yang diperintakan-Nya yakni: mengakui dengan lidah dan hati, bahwa tidak ada yang disembah kecuali Allah Swt. dan Muhammad utusan-Nya menegakkan shalat, berpuasa, menunaikan zakat, melaksanakan haji bagi orang yang mampu.

Iman artinya percaya kepada Allah, Rasul-rasul-Nya, kitab-kitab yang diturunkan-Nya, malaikat-malaikat-Nya, hari kemudian dan takdir. Beriman kepada Al-Qur`an, yaitu hendaklah kita akui, bahwa isi Al-Qur`an dari awal sampai akhir, semuanya benar serta kita percayai. Oleh sebab itu, wajiblah orang Islam meyakini apa-apa yang termaktub di dalam Al-Qur`an semuanya.2

Dari perkataan “Ibrahim telah mewasiatkan…” dapat dibahami bahwa yang diwariskan itu adalah sesuatu yang penting. Karena itu di dalam ayat menggunakan kata “wasiat” bukan “memerintah”. Dan menggunakan “anak-anaknya” bukan “orang lain”. Menurut kebiasaan, berwasiat kepada “anak-anak sendiri” itu diharapkan lebih mungkin terlaksana dibandingkan dengan wasiat kepada orang lain.

Pada ayat ini yang berwasiat adalah Ibrahim as. dan Yakub as.

seakan perkataan itu dipisah. Hal ini memberikan pengertian bahwa yang disuruh melaksanakan wasiat itu bukan hanya keturunan Ibrahim as. dan cucu Yakub as. (Bani Israil) saja, tetapi wasiat itu mencakup

1M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah; Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur`an, (Jakarta: Lentera Hati, 2007), cet. Ke-10, h. 331

2Mahmud Yunus, Tafsir Al-Qur`an Al-Karim, (Tanggerang: PT. Mahmud Yunus wa Dzurriah, 2008), h. 27-28

75

seluruh anak cucu Ibrahim dan seluruh kaum Muslimin, termasuk di dalamnya keturunan Ismail as.3

Ibnu Katsir menafsirkan bahwa berbuat baiklah ketika menjalani kehidupan ini, dan berpegang teguhlah pada agama ini, niscaya Allah Swt. akan menganugerahi kematian kepada kalian dalam keadaan itu (dalam Islam), karena sering kali seseorang meninggal dunia dalam agama yang diyakininya dan dibangkitkan dalam agama yang dianutnya hingga meninggal. Dan Allah Swt. telah menggariskan sunnah-Nya, bahwa siapa yang menghendaki kebaikan diberi taufik dan dimudahkan baginya oleh Allah Swt., dan siapa berniat kepada kebaikan, maka akan diteguhkan pada-Nya.4

Dilihat dari penjelasan di atas, maka dapat disimpukan bahwa tujuan pendidikan dalam konsep pendidikan Nabi Ibrahim as. adalah untuk mempersiapkan peserta didik menuju jalan yang lurus yakni melaksanakan perintah-perintah Allah Swt. dan menjauhi larangan- larangan-Nya. Dan yang diperintahkan untuk selalu patuh dengan ajaran yang dianut oleh Nabi Ibrahim as. tidak hanya keturunannya saja melainkan seluruh umut manusia.