• Tidak ada hasil yang ditemukan

ابو ره هل ،شرعلا تتح نآرقلادابعلا جايح ن

H. Contoh-contoh Penafsiran Corak Isha>ri

2. Konteks Kajian

Tafsir al-Bahr al-Madi>d karya Ibn ‘Aji>bah termasuk berhasil menyajikan secara konfrehensif aspek z}ahir dan batin dari Al-Qur’a>n. Ibn ‘Aji>bah terbilang konsisten setiap mengawali penafsirannya dengan menyebutkan sejumlah ayat dalam surat tertentu dan kategori makkiyah dan madaniyah. Dimana Ibn ‘Aji>bah

10 Syekh menurut tasawuf adalah manusia yang sempurna dalam ilmu-ilmu syari‘at, metode, dan hakekatnya yang telah sampai batas kesempurnaan dalam bidang-bidang tersebut, karena ia memiliki pengetahuan tentang penyakit hati dan obatnya, dan mengetahui tentang hati dan juga kemampuan untuk menyembuhkan penyakit hati tersebut dengan membimbingnya kepada hidayah Allah. (Lihat Mahyuddin bin Hashim, Tafsir Sufi Ishariy in the Methods of Sufi Practice : A Critical Study on Ibn ‘Ajibah’s Tafsir al-Bahr al-Madid, dalam Al-Abqari, Journal of Islamic Social Sciences and Humanities, Faculty of Quranic and Sunnah Studies Universiti Sains Islam MalaysiaVol. 11 (Oct.) 2017, h. 220.

11Ma’mu>n Ghari>b, Abu Hasan al-Sya>zili,Haya>tuhu, Tas}awwufuhu, Tala>midzuhu Wa Awra>duhu, (al-Qa>hirah : Da>r al-Ghari>b, 2000), h. 63

12 Muhammad Arda>ni, Tarekat Sya>dziliyah Terkenal Dengan Variasi Hizbnya dari

tulisan Sri Mulyati, Mengenal dan Memahami Tarekat Muktabarah di Indonesia, (Jakarta : Kencana, 2011), h. 74

13 ‘Ali Abi al-Hasan, T>{abaqa>t Sya>dziliyah al-Kubra>, (Beirut : Da>r al-Kutub al-

‘Ilmiyyah, 2005) h. 152.

14 Ibn ‘Aji>bah, al-Bah}r al-Madi>d Fi> Tafsi>r al-Qur’a>n al-Maji>d, (Beirut : Da>r al- Kutub al-‘Ilmiyah, 2015), Jilid 1, h. 8.

juga menerangkan gambaran umum tentang isi surat dan menjelaskan korelasi atau munasabahnya dengan ayat sebelumnya atau sesudahnya. Sebagai contoh adalah ketika beliau menjelaskan surat al-S}affa>t dimana Ibn ‘Aji>bah memulai penafsirannya dengan menjelaskan bahwa surat ini merupakan surat Makiyyah, yang berjumlah 101 ayat, meskipun ada pula yang menyatakan ada 112 ayat dan jumlah yang lebih kurang dari kedua pendapat itu yakni ada yang menyatakan 80 ayat.

Menurutnya ayat ini masih memiliki kaitan atau munasabah dengan ayat sebelumnya yang mengambarkan kisah kaum musyrikin yang menolak ajaran tauhid dengan menyembah berhala. Dalam permulaan surah ini berisi bantahan terhadap perilaku kaum musyrikin tersebut yang secara tegas dikatakan : sesungguhnya Tuhan kalian itu hanya satu.

Selain itu menurut Ibn ‘Aji>bah ayat ini mengkisahkan penolakan mereka terhadap diutusnya nabi Muhammad sebagai Rasul yang diberi mu‘jizat . Sebagaimana yang disebutkan dalam surat al-S}offa>t ayat 15 Dan mereka berkata, “Ini tidak lain hanyalah sihir yang nyata.

Perhatian Ibn ‘Aji>bah pada aspek z}ahir ayat tetaplah nyata, hal ini terlihat ketika ia menyebutkan kandungan hukum suatu surat. Bagi Ibn ‘Aji>bah pemahaman terhadap dimensi syari‘at ayat merupakan pintu masuk atau syarat mutlak untuk memahami hakekat dan isyarat dari suatu ayat. Dalam sejumlah kesempatan Ibn

‘Aji>bah tidak hanya menguraikan urgensi syari‘at suatu ayat yang biasanya terkandung pada ayat-ayat tertentu atau hanya pada ayat ahkam saja. Penafsiran Ibn

‘Aji>bah juga menarik analogi (qiyas) dari beberapa ayat-meskipun ayat itu tidak memuat dimensi hukum yang olehnya difahami mengindikasikan keniscayaan integritas syari‘at dan hakekat. Misalnya ketika mengemukakan makna ishari dari surat al-Rahma>n ayat 10 : Dia membiarkan dua laut mengalir yang (kemudian) keduanya bertemu, yang menurutnya menunjukkan pertemuan antara lautan ilmu syariat dan ilmu hakekat. Keterpaduan kedua ilmu tersebut dapat dilihat pada diri seorang manusia sempurna yang disebutkanya sebagai al-insan al kamil.

Sementara kalimat di antara keduanya ada batas yang tidak dilampaui oleh masing-masing.” yang ditafsirkannya, diantara kedua ilmu itu yaitu syari‘at dan hakekat terdapat akal yang berguna untuk mengontrol keduanya agar tetap dijalankan sesuai dengan koridornya. Dari sini kita dapat memahami bahwa Ibn ‘Aji>bah tidak menafikan fungsi rasionalitas akal dalam Islam. Ini menunjukkan bahwa para ahli tasawuf sejatinya tidak selalu menafikan peran akal. Para s}u>fi> tidak juga hanya bertumpu pada kekuatan intuisinya (ilham). Singkat kata dari makna yang disajikan pada ayat tersebut Ibn ‘Aji>bah hendak menegaskan syari‘at adalah dimensi z}a>hir yang perlu dibarengi dengan penggunaan akal. Sementara hakekat merupakan dimensi batin yang diperoleh melaui intuisi.15

Ibn ‘Aji>bah sangat menaruh perhatian yang besar terhadap dimensi syari‘at terhadap ayat. Hal ini sekaligus menolak argumentasi beberapa golongan yang menolak tafsi>r s}u>fi> dengan alasan bahwa tafsi>r s}u>fi> sering kali melupakan dan

15Ibn ‘Aji>bah, al-Bah}r al-Madi>d Fi> Tafsi>r al-Qur’a>n al-Maji>d, (Beirut : Da>r al- Kutub al-‘Ilmiyah, 2015), Jilid 7, h. 272-273.

menafikan dimensi syari‘at terhadap suatu ayat yang memang terkandung makna literalnya. Dalam penyajiannya Ibn ‘Aji>bah konsisten memulai penafsiran z}ahiriyah ayat (eksoteris) terlebih dahulu, baru kemudian menjelaskan makna isyaratnya (esoteris) yang selalu dibuka dengan kalimat “al isya>rah” pada tiap kumpulan ayat yang beliau tafsirkan.

Jika dibandingkan dengan tafsir corak tasawuf lainnya sekilas tampak penafsiran esoterisnya terlihat menonjol pada aspek z}ahirnya. Dalam artian bahwa ketika menyajikan penafsiran batinnya Ibn ‘Aji>bah terkadang mengutip dalil dari ayat tertentu dan perkataan atau sya’ir-sya’ir s}u>fi terdahulu. Maka dari itu, mungkin saja orisinalitas penafsiran sufistik Ibn ‘Aji>bah sangat diragukan, karena terkesan tafsir ini tidak seutuhnya berasal dari intuisi atau irfani, sebagaimana s}u>fi lain bertumpu pada pengalaman batinnya, biasanya disebut dengan dzauq atau wijda>ni. Sebab nalar penafsiran para s}u>fi> pada umumnya diketahui tidak berlandaskan cara kerja bayani, yang merupakan salah satu ciri khasnya dalam mengutip ayat tertentu untuk menjelaskan ayat yang lainnya atau istidlal. Mungkin karena hal ini pula Zubair menyimpulkan bahwa tafsi>r isha>ri Ibn ‘Aji>bah bukan tafsir yang lebih spesifik mengungkapkan maka isha>rinya. Hanya tafsi>r ini telah mengintegrasi penafsiran kepada sumber dari mazhab z}ahiri dan isha>ri.16

Dalam bentuk sederhana penafsiran Ibn ‘Aji>bah dapat diringkas menjadi 3 bagian berikut :

1. Menjelaskan kandungan surat secara umum yang meliputi jumlah ayat dalam suatu surat, memetakan kategori Makkiyah dan Madaniyah.

Terkadang juga disertai dengan muna>sabah dengan ayat sebelumnya.

2. Menyajikan penafsiran z}ahiriyah dengan mengelompokkan suatu ayat tertentu sebelum ditafsirkan, menyertakan asba>bun nuzu>l suatu ayat, menjelaskan kosa kata perkata dari potongan ayat, terkadang ditambahkan dengan penjelasan berdasarkan ilmu Bahasa Arab seperti nahwu, s}araf dan bala>ghah.

3. Menyajikan tafsir isha>ri : Makna yang disajikan selalu dimulai dengan kata “Al-Isya>rah”, mengutif ungkapan-ungkapan s}u>fi> terdahulu untuk memperkuat penafsiran batinnya, terkadang makna al-Isya>rah yang disajikan dengan bahasa alegoris disertai istilah-istilah dalam konsep ajaran tasawuf.

Dengan melihat penyajian tafsir ini menunjukkan kefakaran mufassirnya dalam menerapkan tafsi>r z}ahir ayat dan tafsi>r batinnya, bahkan terkesan tafsi>r ini tidak mengistimewakan salah satu dimensi dari makna tafsi>r z}ahir atau batinnya, hal ini karena memang keinginan beliau yang kuat untuk tidak memisahkan antara yang z}ahir dan yang batin.

16Asma> Zubair, Ibn ‘Aji>bah Wa al-Maja>z Fi Tafsi>rihi al-Bahr al-Madi>d Surah Ya>sin Namu>d}ajan., ( Al-Jaza>ir : Jami’ah Abu> Bakar, 2015), h. 10).