• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengertian Dan Ruang Lingkup Tafsi>r Isha>ri

ا هلل ُه هم

E. Pengertian Dan Ruang Lingkup Tafsi>r Isha>ri

1. Pengertian Tafsi>r Isha>ri Secara Bahasa Dan Secara Istilah

Tafsi>r Isha>ri adalah kata majemuk yang terdiri dari 2 kata. Kata isha>ri yang berfungsi sebagai sifat bagi kata tafsi>r. Dengan demikian tafsi>r ishari adalah sebuah penafsiran yang berangkat dari memahami isyarat dari suatu ayat. 21

Isyarat secara etimologi berasal dari kata

َرا ب َش ّإ ح ي ُر ُي ّش َرا َش َأ

, yang berarti memberikan isyarat atau petunjuk. Dan kata isyarat itu memiliki padanan makna atau sinonim dengan kata al-dali>l, yang berarti dalil, sinyal, isyarat, panggilan, petunjuk, nasehat dan saran. 22

19 Muhammad Qa>sim al-Syu>mi, ‘Ulu>m al-Qur’an Wa Mana>hij al-Mufassiri>n, (Beirut : Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2014), h. 232.

20Muhammad Qa>sim Al-Syu>mi, ‘Ulu>m al-Qur’an Wa Mana>hij al-Mufassiri>n, h.

233.

21 Abdul Basit dan Fuad Nawawi, Epistemologi Tafsir Ishari, dalam Jurnal al-Fath,

Vol. 13, No. 1, (Januari-Juni) 2019, h. 69.

22 Louis Ma’luf, Al-Munjid Fi al-Lughah waa’lam (Beirut : Da>r al-Masyriq, 2002),

h. 220.

Tafsi>r isha>ri termasuk kategori tafsi>r s}u>fi> dan sebagaimana kita ketahui bahwa tafsi>r s}u>fi adalah bagian penting dalam mengekspresikan makna yang terkandung dalam Al-Qur’a>n, melalui pemahaman makna z}ahir dan batin. Makna batin adalah makna yang melampaui wilayah tekstual yang merupakan area spiritual. Penafsiran s}u>fi> tidak berarti meninggalkan aspek luar atau aspek bahasa, tetapi pada saat yang sama menyisir aspek batin. 23

Tafsi>r isha>ri menurut istilah adalah mentakwilkan24 Al-Qur’a>n dengan makna yang bukan makna z}a>hirnya, karena adanya isyarat yang tersembunyi yang diketahui oleh para penempuh jalan spiritual, atau hanya diketahui oleh orang yang senantiasa mendekatkan diri kepada Allah dan berakhlak mulia, atau tafsi>r yang didasarkan kepada isyarat-isyarat rahasia dengan cara memadukan makna yang dimaksud dengan makna yang tersurat (z}a>hir).25

Ada pula yang memaknai tafsi>r ishari sebagai sebuah upaya pentakwilan yang berbeda dengan makna z}a>hirnya tentang isyarat-isyarat yang tersembunyi, yang hanya nampak bagi ahli suluk dan ahli tasawuf serta memungkinkan adanya penggabungan antara makna yang tersembunyi tersebut dengan makna yang z}a>hir (tampak).26

Oleh karena itu, kajian tafsir sufistik (tafsi>r isha>ri) dilakukan oleh para ahli isha>ri sangat penting sebagai ilmu untuk menunjang pemahaman dan makna yang tersirat dalam setiap ayat Al-Qur’a>n. Menurut Asfar, untuk memahami isi ayat ayat dalam Al-Qur’a>n, tidak cukup hanya menangkap makna kontekstualnya — harus ada yang lebih dalam pemahaman makna tersiratnya dengan menerapkan pendekatan tasawuf.27

Ima>m al-Ghaza>li> juga menyatakan dukungannya terhadap tafsi>r isha>ri sebagaimana diungkap oleh Martin Wittingham : Ima>m al-Ghaza>li> dalam kitabnya Jawa>hir al-Qur’a>n dan Misykat melegitimasi pendekataan s}u>fi untuk Al-Qur’a>n

23Mohammad Ulil Abshar, Penafsiran Sufistik KH. Shalih Darat Terhadap QS. Al Baqarah : 183, Jurnal Studi Ilmu-Ilmu al- Qur’an dan Hadis, Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta , Vol. 19, No. 2, 2018, h. 182.

24 Tahapan dari takwil adalah setelah tahapan tafsir yang artinya menjelaskan makna

yang sulit dari lafazh zhahir, sementara takwil bersandarkan kepada makna tafsir dari ayat- ayat yang zhahir lalu ditelusuri lebih dalam tentang makna batin ayat dan mempergunakan akal serta mengeluarkan hakeka-hakekat ayat dan menghilangkan kesamar-samarannya.

Lihat Muhammad Qa>sim al-Syu’mi>, Ulu>m al-Qur’a>n Wa Mana>hij Al-Mufassiri>n, (Beirut : Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, 2014), h. 230.

25 Muhammad ‘Ali al-S}abuni, al-Tibya>n fi>Ulu>m al-Qur’a>n, (Makkah: Da>r al- Kutub al-Isla>miyah, 2003), h. 35.

26 Muhammad al-Zarqa>ni>, Mana>hil al-Irfa>n Fi> Ulu>m al-Qur’a>n, (Kairo : Darul Hadits, 2001), h. 67.

27 Syarif, Understanding the Teaching of Religious Moderation from a Sufistic Perspective and Its Implications for Student Performanc, Journal of Social Studies Education Research, 2021:12 (4), h. 322.

dengan menggarisbawahi harus ada saling melengkapi antara interpretasi eksoteris (z}a>hir) dan esoteric (batin).28

Dari definisi diatas, dapat kita fahami bahwa tafsi>r isha>ri merupakan hasil produk tafsir yang menggolongkan dirinya pada aliran tasawuf. Untuk memperoleh tafsiran ini maka diperlukan adanya upaya mengolah spiritual yang konsisten sehingga mencapai pada suatu tingkatan dimana akan terungkap pada dirinya berbagai isyarat suci dibalik tabir berbagai ekpresi ayat Al-Qur’a>n. Hal ini dapat terjadi, karena kaum s}u>fi berpendapat bahwa setiap ayat mempunyai makna yang z}ahir dan makna yang batin. Yang z}ahir adalah yang cepat dan mudah untuk difahami oleh akal pikiran, sementara makna yang batin perlu suatu usaha untuk memahami isyarat-isyarat yang tersembunyi di balik itu, yang hanya dapat diketahui oleh para ahli tasawuf. 29Usaha yang dimaksud adalah memahami ayat secara mendalam yang terungkap dari jerih payah proses penjernihan dan pensucian hati.

Hati bagi para s}u>fi merupakan suatu institusi pemahaman dan dari sanalah segala ilmu yang sifatnya vertical diperoleh. Oleh sebab itu hati harus terus dipelihara kesucian dan kebersihannya dan dibarengi dengan aktifitas dzikir kepada Allah semata, agar hati dapat berfungsi maksimal. 30

Seorang ahli tasawuf yang bernama Sahl ‘Abdullah al-Tustari (w. 283) mengatakan bahwa tidak ada seorang wali pun yang tidak dikarunia Allah pengetahuan tentang isyarat-isyarat terhadap berbagai ayat Al-Qur’a>n.31

Meskipun demikian, para ahli tasawuf tidak pernah menyatakan bahwa tafsi>r isha>ri hasil dari produksi mereka merupakan satu-satunya penafsiran yang dimaksud oleh ayat Al-Qur’a>n yang ditafsirkannya. Mereka menyatakan bahwa

28 Martin Whittingham, Al Ghazali And The Qur’an : One Book Many Meaning, (Rourtledge : London, 2007), h. 58.

29 Abdul Basit dan Fuad Nawawi, Epistemologi Tafsir Ishari, dalam Jurnal al-Fath,

Vol. 13, No. 1, (Januari-Juni) 2019, h. 70.

30 Dalam proses pensucian hati para shufi menjelaskan dengan beberapa tahap, yakni tahap takhalli. Takhalli bermakna membersihkan hati dari sifat-sifat tercela dan dari maksiat lahir dan maksiat bathin. Maksiat lahir adalah segala sifat tercela yang dikerjakan oleh anggota tubuh (panca indera), sedangkan maksiat batin adalah sifat tercela yang dikerjakan oleh hati.Kedua adalah Tahalli yakni setelah bersih dari sifat tercela, kemudian berhias dengan sifat terpuji, membiasakan diri dengan kebiasaan baik melalui latihan yang berkesinambungan sehingg terbentuk kepribadian dan akhlak yang mulia. Ketiga adalah Tajalli yaitu setelah melalui rangkaian latihan yang dilakukan dengan sungguh-sungguh pada point pertama, diharapkan jiwa seseorang terhindari dari nafs al amarah sehingga tidak terjatuh ke dalam perbuatan buruk. Setelah terhindar dari nafs al amarah, penempuh jalan dapat mencapai nafsu muthmainnah yang senantiasa berada dalam jalan yang diridhoi oleh Allah ta’ala. (lihat karya Khoirul Mustaqim, Metode tazkiyyatun nasf melalui ibadah shalat dan implikasinya terhadap pendidikan akhlak (Yogyakarat : UIN Sunan Kalijaga, 2014), h.

34-35.

31 Jala>luddi>n al-Suyut}i>, Al-Itqa>n Fi>Ulu>m al-Qur’a>n, (Kairo : Da>r al-Hadis|, 2006), Jilid 2, h. 185.

makna z}a>hir suatu ayat mesti difahami terlebih dahulu sebelum memahami ayat secara ishari. 32

Ruang Lingkup Tafsi>r Ishari

Para ulama membagi kajian tafsir s}u>fi> menjadi 2 bagian yaitu : Tafsi>r s}u>fi>

naz}ari dan tafsi>r s}u>fi ishari. Tujuan para ulama membuat pembagian demikian agar bisa membedakan antara keduanya. 33

Tafsir s}u>fi> naz}ari adalah tafsir s}u>fi yang dibangun untuk mengusung dan memperkuat teori-teori mistik yang dianut mufassir. Muhammad Husein al-Dh|ahabi>

menyatakan bahwa s}u>fi> naz}ari pada prakteknya adalah penafsiran yang tidak memperhatikan aspek bahasa dan menegasi apa yang dikehendaki oleh syara’.34

Muhammad Husein al-Dh|ahabi menjelaskan karakteristik atau ciri-ciri dalam penafsiran s}u>fi> naz}ari sebagai berikut :

Pertama, dalam penafsiran ayat-ayat Al-Qur’a>n tafsir s}u>fi> naz}ari sangat kuat dipengaruhi oleh disiplin ilmu filsafat. Kedua, di dalam tafsir s}u>fi> naz}ari, hal-hal yang bersifat gaib ditarik ke dalam suatu yang nyata atau tampak, Dengan perkataan lain menganalogikan yang gaib pada yang nyata. Ketiga, terkadang mengabaikan struktur gramatika bahasa arab dan hanya menafsirkan apa yang sejalan dengan keinginan penafsir. 35

Tafsir s}u>fi> naz}ari> dianggap terjadi penyimpangan karena menggunakan makna ayat ke dalam teori tasawuf dan filsafatnya. Al-Dh|ahabi seperti dikut oleh Manna>‘ al-Qat}t}a>n dan lainnya menyebutkan bahwan Ibn ‘Arabi> sebagai contoh representative bagaimana teori wahdah al-wujud atau wujudiyah digunakan dalam menafsirkan ayat.36

Muhammad Husein al-Dhahabi> memberikan contoh penafsiran Ibn ‘Arabi>

yang cendrung menafsirkan beberapa ayat Al-Qur’a>n kepada madzhab yang diyakini sebagai faham wihdatul wujud : “Ibn ‘Arabi> berkata sesungguhnya tidak ada wujud lain selain wujud Allah Yang Satu, seluruh alam semesta adalah merupakan penampakan dan perwakilan bagi-Nya. Maka Allah Swt itu adalah wujud yang hakiki, dan selain Allah merupakan fenomena, dan hayalan-hayalan dimana sesungguhnya mereka tidak disifati dengan wujudnya kecuali sebagai contoh dari perluasan dari makna Allah dan majaz. Teori ini merasuk ke ajaran tasawuf melalui filsafat. Dan masuk pula melalui jalur Syi‘ah Isma>iliyyah bat}iniyah yang mereka berinteraksi dengannya dan mengambil madhhab mereka yaitu faham

32 Muhammad Husein al-Dhahabi>>, Al-Tafsi>r Wa al-Mufassiru>n, (Kairo : Da>r al- Hadis|, 2005), Jilid 2, h. 330.

33 U. Abdurrahman, Metodologi Tafsir Falsafi dan Tafsir Sufi, dalam ‘ Adliya, Vol.

9, No. 1, Edisi : Januari-Juni 2015, h. 252.

34Rifai, Dr. Sulaiman Lebbe and Rifai, Dr. Sulaiman Lebbe, The Sufi influence on the Qur’anic Interpretation, (London : University of London, 2021), h. 8.

35 Muhammad Husein al-Dhahabi>>, Al-Tafsi>r Wa al-Mufassiru>n, (Kairo : Da>r Al Hadis|, 2005), Jilid 3, h. 45.

36Jajang A. Rohmana, Memamahi Makna Batin Kitab Suci : Tafsir Al-Qur’an Al- Adzim Hajai Hasan Mustapa (1852-1930), dalam Al-Qalam Vol. 34 No. 1, Januari-Juni 2017, UIN Sunan Gunung Djati, Bandung, h. 112.

yang menyatakan menyatunya Tuhan ke dalam tubuh para imam mereka. Dan para ahli tasawuf menggambarkan dengan gambaran lain yang bersesuaian dengan madzhab batiniyyah pada hakekatnya, meskipun secara istilah dan lafazh-lafazh berbeda….37

Sementara untuk memberikan contoh penyimpangan faham batiniyah dalam menafsirkan Al-Qur’a>n, yaitu ketika mereka menyimpangkan pengertian ayat secara bahasa dari Firman Allah :

ﭐﱡﭐ ﲖ

ﲗ ﲘ ﲙ ﲚ

“Dan sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang berbuat baik”. 38 Mereka menafsirkan dengan merubah menjadi yaitu menyinari sehingga artinya berubah total yaitu “Sesungguhnya Allah menyinari orang-orang yang berbuat baik”. Padahal makna secara bahasa adalah bahwa Allah bersama dengan orang-orang yang berbuat baik. Mereka dalam hal ini mengabaikan pengertian bahasa yang mereka anggap sebuah penafsiran z}a>hiri yang bertentangan dengan penafsiran batini. Maka jelas ini sebuah penafsiran yang menyimpang dari segi bahasa arab, tetapi karena mereka lebih mengedepankan penafsiran makna batinnya terhadap ayat tersebut, maka makna secara bahasa arab mereka abaikan.39

Adapun pembagian berikutnya dari tafsir para s}u>fi adalah adalah tafsir ishari s}u>fi>> yang didefinisikan dengan : Pentakwilan ayat-ayat Al-Qur’a>n yang berbeda dengan makna lahirnya sesuai dengan petunjuk khusus yang diterima para tokoh sufisme tetapi antara kedua makna tersebut dapat dikompromikan. 40

Adapun tentang tafsir isha>ri s}u>fi ini secara lebih luas akan penulis bahas pada halaman-halaman selanjutnya.

3.Syarat Diterimanya Tafsi>r Ishari

Prof. Dr. Quraisy Shihab menyatakan tafsi>r isha>ri dapat diterima selama maknanya lurus, tidak bertentangan dengan hakekat-hakekat keagamaan, dan juga dengan lafaz> ayat, tidak menyatakan itulah satu-satunya makna untuk ayat yang ditafsirkan, dan terdapat korelasi antara makna isha>ri yang ditarik oleh s}u>fi> dari teks Al-Qur’a>n dengan z}ahir ayat Al-Qur’a>n, ada dukungan dari sumber ajaran agama yang mendukung makna isha>ri tersebut.41

37 Muhammad Husein al-Dhahabi>, Tafsi>r Ibn ‘Arabi> Li al-Qur’a>n, Haqi>qutuhu Wa Khat}aruhu, (Beirut : Da>r al-Musallam, 1970), h.14.

38 Q.S. al Ankabur [29] : 69.

39 Muhammad Husein al-Dhahabi>, Tafsi>r Ibn ‘Arabi> Li al-Qur’a>n, Haqi>qutuhu Wa Khat}aruhu<…..h. 15.

40Badruzaman M. Yunus, Pendekatan Sufistik Dalam Penafsiran Al-Qur’a>n, dalam Syifa al-Qulub, Vol. 2, No. 1 Juni 2017, h. 5. UIN Sunan Gunung Djati, Bandung.

41Wahyudi, Epistemologi Tafsir Sufi Al-Ghaza>li> dan Pergeserannya, dalam Jurnal Theologia, Vol. 29, No. 1, 2018, h. 86. Institut Agama Islam Ma’arif (IAIM) NU Metro Lampung.

Untuk lebih jelasnya bagian berikut menjelaskan beberapa ketentuan atau persyaratan bagi tafsi>r isha>ri yang memenuhi syarat untuk dapat diterima. Para ulama menyatakan ada beberapa syarat agar tafsi>r isha>ri itu diterima :

a. Memperhatikan makna z}ahir dan batin.

Seorang ahli tafsi>r isha>ri tidak diperkenankan mengabaikan makna z}ahir dari ayat. Ia juga tidak boleh mengklaim bahwa penafsirannya adalah merupakan satu-satunya kemungkinan makna dari ayat tersebut.

Selain itu, ia juga harus meyakini bahwa penjelasan makna isha>rinya tersebut tidak boleh bertentangan dengan makna z}ahir. Point ini merupakan persyaratan utama yang harus dipenuhi dalam tafsi>r isha>ri yang diterima. Diantara para ulama tafsir yang berpendapat demikian adalah al-Zarqani, Muhammad Husein al-Dhahabi> dan ‘Abdurrahim al- Ak.42

b. Makna Isha>ri Tidak Boleh Bertentangan Dengan Shari‘at.

Semua penafsiran isha>ri harus dihadapkan dengan pengertiannya secara shari‘at yang tertuang dalam Al-Qur’a>n dan al-Hadits, jika ternyata bersesuaian makna penafsiran isha>ri tersebut dapat diterima dan kalau bertentangan maka tertolak karena shari‘at itulah yang menentukan. Dalam hal ini al-Junaid mengatakan :

َم حذ