BAB VII PENUTUP
C. Kerangka Berpikir
1. Landasan Pemikiran
memperhatikan keyakinan peserta didik dan pendidikan tidak hanya terbatas pada teks yang sudah ada tetapi proses pendidikan harus mampu membangun iklim kritis terhadap wacana keilmuan yang ada.87 Perbedaan penelitian ini adalah fokus pendidikan pluralisme pada substansi kesamaan keyakinan dan pemikiran untuk kebersamaan dalam kehidupan pendidikan yang majemuk, sedangkan pendidikan multikulturalisme fokus pada adanya perbedaan yang kemudian diangkat sebagai potensi untuk membangun kebersamaan dalam dunia pendidikan.
Berdasarkan uraian tersebut dapat dikemukakan bahwa penelitian ini berusaha melengkapi tiga kecenderungan penelitian tersebut dalam rangkaian rumusan penelitian yang sistematis dalam paradigma pendidikan pesantren multikultural progresif Gus Dur mulai dari landasan, konstruksi pemikiran hingga relevansinya dalam kehidupan masyarakat muslim terdidik dan masyarakat umumnya di Indonesia.
empiris secara dinamis, sedangkan ideologi tertutup adalah ideologi yang dibangun oleh golongan tertentu dan untuk kepentingan tertentu.88
Para tokoh pembaharu pemikiran Islam Indonesia yang memiliki orientasi substansial memiliki varian dan kecenderungan yang berbeda. Nurcholish Madjid memiliki orientasi pemikiran keislaman universalistis dan substansialistik mengenai ajaran agama Islam, tetapi pijakannya pada teks-teks al qur’an dan sunnah. Harun Nasution juga salah satu tokoh pembaharu pemikiran keislaman di Indonesia yang menyuarakan perlunya pembaruan pemikiran Islam terutama dalam bidang teologis dan sejarah kehidupan umat Islam tetapi juga memiliki aksentuasi pada teks al qur’an dan sunnah. Demikian juga A. Mukti Ali sebagai pembaharu pemikiran Islam memiliki ketertarikan pada bidang akidah dan dialog antar agama dalam upaya membangun kemajemukan hidup beragama di Indonesia, tetapi ia juga belum menyentuh aspek historis-kultural budaya masyarakat Muslim yang menjadi landasan hidupnya. Mereka memiliki kecenderungan elitis dalam melakukan pembaruan pemikiran Islam. Dari sejumlah pemikiran pembaharu Islam tersebut, Gus Dur memiliki kesamaan untuk menggali dan mengamalkan substansi ajaran Islam, tetapi dalam kerangka kearifan budaya lokal, sehingga banyak berbagai ide-ide dan gagasan yang dilakukan Gus Dur seolah-olah bersifat kebudayaan dan tradisi, tetapi yang dilakukan Gus Dur pada dasarnya merupakan penerjemahan dari substansi ajaran Islam, misalnya pengakuan agama Konghucu mencerminkan sikap perlindungan kemerdekaan beragama (ḥurriyah al-
‘aqîdah) dalam sudut pandang ḥifẓ al-dîn (memelihara agama). Pemikiran Gus Dur ini memiliki relevansi
88 Jimly Asshiddiqie, ‘Ideologi, Pancasila, dan Konstitusi’, Jaringan Informasi Hukum, 2006; Kaelan, Liberalisasi Ideologi Negara Pancasila (Yogyakarta: Paradigma, 2015).
ketika dihadapkan dengan arus gerakan ideologi radikal yang membawa misi ideologi khilafah Islamiyah.89 b. Landasan Sosial Pemikiran
Secara historis, nasionalisme lahir dari adanya visi yang sama dalam kondisi geografis dan kondisi keterjajahan yang sama serta adanya kesamaan bahasa.
Setiap bangsa memiliki komitmen kebangsaannya dan seorang anak bangsa tidak mungkin akan mau dikenal sebagai pengkhianat pada cita-cita para pendahulu pendiri negara dalam memperjuangkan kemerdekaannya, tetapi fakta akhir-akhir ini banyak orang yang berperilaku bertentangan dengan cita-cita pendahulu pendiri bangsa. Bentuk penjajahan fisik sudah lepas, tetapi neo-kolonialisme bermunculan dalam bentuk-bentuk baru, misalnya perilaku mementingkan diri sendiri dan konflik antar anak bangsa.90 Dalam konteks ini, nasionalisme sebagai preferensi idealitas kolektif sebuah bangsa menjadi unsur penting dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang plural. Sebab, pluralitas dalam bidang sosial- budaya, politik, ekonomi dan hukum sering menyumbangkan kerumitan dalam menghadapi dinamika hidup bangsa, baik pluralitas horisontal yang bersifat alamiah ataupun pluralitas vertikal yang lahir dari intervensi manusia.91
Sebagai pluralitas vertikal, globalisasi politik telah mempengaruhi arus gerakan politik nasional.
Liberalisme politik telah mempengaruhi ide-ide demokrasi. Globalisasi telah mempengaruhi bidang
89 Salleh dan Yusuf (2014): h. 273; Tri Yuliana Wijayanti, ‘Konsep Kebebasan Beragama dalam Islam dan Kristen’, Profetika: Jurnal Studi Islam, Vol. 17, No. 1, (2016)<Https://Doi.Org/10.23917/Profetika.V17i01.2097>: h. 20-21.
90 Miftahuddin, ‘Nasionalisme Indonesia: Nasionalisme Pancasila’, Mozaik: Jurnal Ilmu-Ilmu Sosial dan Humaniora, Vol 4 No 1, (2015)<Https://Doi.Org/10.21831/Moz.V4i1.4386>: h. 4; Cornelis Lay, ‘Nasionalisme dan Negara Bangsa’, Jurnal Ilmu Sosial & Politik, Vol 10 No 2, (2006): h. 170- 173.
91 Eko Handoyo et. al, Studi Masyarakat Indonesia, (Yogyakarta: Ombak, 2015): h. 14; Ahmat Nurkolis, ‘Konsep Pendidikan Islam Multikultural dalam Pemikiran Ir. Soekarno’, (Skripsi S-1, PAI IAIN Surakarta, 2017): h. 44-45.
politik yang membawa dampak penyebaran pemikiran dan ide-ide demokrasi dan juga persoalan penegakan hak asasi manusia. Pengaruh ideologi Barat telah mempengaruhi budaya bangsa Indonesia seperti budaya konsumerisme, materialisme, hedonisme, dan sekularisme. Sementara itu, globalisasi dari budaya Timur Tengah membawa ideologi Islam trans-nasional yang kemudian melahirkan gerakan radikal Islam dan infiltrasinya terhadap berbagai kegiatan sosial- keagamaan mulai dari kegiatan keagamaan di Masjid, lembaga pendidikan hingga ke struktur politik.
Berbagai perubahan yang begitu cepat akibat adanya arus informasi dan teknologi telah membawa dampak negatif dan mendangkalkan semangat nasionalisme dan semangat keberagamaan yang membumi. Perubahan yang begitu cepat itulah yang perlu disikapi dan dijawab dengan paradigma pendidikan Islam/pesantren yang diharapkan mampu menawarkan alternatif untuk menangkal dampak negatif globalisasi. Pendidikan pesantren yang memiliki karakter lahir dari budaya asli masyarakat Indonesia memiliki keunggulan dan daya tahan yang teruji oleh sejarah dan berkembang hingga kini dengan konsisten tetap berada dalam kerangka pemahaman keagamaan yang berpijak pada semangat nasionalisme.92 Dalam menjawab era globalisasi tersebut, pesantren sebagai pusat kajian Islam asli Indonesia memiliki peran penting untuk mengokohkan dan menahan laju liberalisme dan radikalisme yang bersumber dari budaya global.
Pesantren yang memiliki sistem belajar 24 jam penuh dalam setiap minggunya dan hubungan emosional antara kiai dan santri yang dekat karena tinggal dalam satu kompleks menjadi faktor pendukung yang efektif
92 Winarno, ‘Perubahan Global & Penguatan Pilar Kebangsaan Melalui Pkn’, Citizenship Jurnal
Pancasila dan Kewarganegaraan, Vol. 1 No. 2,
(2013)<Https://Doi.Org/10.25273/Citizenship.V1i2.1100>: h. 88-89; Nanda Ayu Setiawati,
‘Pendidikan Karakter Sebagai Pilar Pembentukan Karakter Bangsa’, Seminar Nasional Tahunan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Medan, (2017).
untuk membentengi arus radikalisme dan ekstrimisme.93
Sebagai budaya asli Indonesia, pesantren memiliki ciri khas yang mana peran kiai memiliki peran penting sebagaimana juga diakui oleh Martin Van Bruinessen menyatakan bahwa kiai bukan hanya sebagai seorang guru agama, tetapi juga menjadi pembimbing spiritual bagi masyarakat yang memiliki ketataan dan menjadi pemberi nasehat dalam masalah kehidupan pribadi masyarakat, menjadi imam dalam memimpin rutinitas keagamaan serta membacakan doa dalam berbagai kegiatan keagamaan masyarakat, bahkan para kiai di Jawa juga dipercaya memiliki kemampuan penglihatan batin dan ilmu kesaktian tertentu, para kiai bertindak sebagai orang yang dapat melakukan penyembuhan spiritual dan mengusir roh jahat, membuat jimat atau mengajarkan teknik kekebalan tubuh.94
Dalam konteks ini, orientasi pendidikan Islam multikultural mendapatkan kedudukan yang kuat ketika ada peran kiai. Adapun pendidikan Islam multikultural itu pada dasarnya dibangun berdasarkan prinsip ḥablum min al-nâs yang menempatkan manusia pada dua sisi, yakni manusia sebagai khairah ummah tercipta untuk menjalankan fitrah kemanusiaannya untuk membangun kehidupan yang terbaik di muka bumi dalam pluralitas hidupnya, dan manusia juga berkewajiban menjalankan fitrah kemanusiaan yang memiliki dimensi illahiyah untuk menjalankan ajaran Tuhan yang mengatur agar hidupnya bisa mencapai kebahagiaan hakiki bagi diri dan komunitasnya.95 Realitas sosial kehidupan manusia menjadi landasan dalam pembangunan pendidikan multikultural
93 Abdullah; Iva Yulianti Umdatul Izzah, ‘Perubahan Pola Hubungan Kiai dan Santri pada Masyarakat Muslim Tradisional Pedesaan’, Jurnal Sosiologi Islam, Vol. 1 No. 2, (2011): h. 31.
94 Izzah (2011): h. 40.
95 Ahmat: h. 45.
sebagaimana dikemukakan oleh ilmuwan pendidikan multikultural.96
c. Landasan Kultural Pemikiran
Penyampaian dan pengajaran agama Islam di Indonesia tidak lepas dari pengaruh dan gaya budaya seni yang berkembang saat itu. Salah satu media penyebaran Islam di Jawa adalah gamelan sekaten yang diperagakan atau dibunyikan ketika hendak memperingati kelahiran Nabi Muhammad Saw, yaitu peragaan gamelan sekaten yang dilaksanakan selama satu minggu di bangsal pagongan, depan masjid agung Surakarta. Sebelum masyarakat Jawa mengenal dan memeluk agama Islam, mereka sudah memeluk agama hindu dan budha dengan kuat. Keadaan itu menjadi hambatan dalam penyebaran agama Islam pada masyarakat Jawa itu sehingga Sunan Kalijaga mengusulkan untuk melakukan dakwah dan penyebaran agama Islam melalui kesenian gamelan untuk menarik perhatian mereka ke dalam agama Islam.
Akhirnya, gamelan sekaten yang awalnya adalah bagian dari budaya Jawa kemudian memiliki muatan keagamaan Islam yang kuat sebagai sarana dakwah untuk menyebarkan agama Islam. Model penyebaran dan pengajaran agama Islam melalui media kesenian gamelan sekaten terbukti mempunyai dampak yang sangat efektif dalam mengumpulkan orang-orang yang diawali dengan tertarik pada bunyi gamelan sekaten.
Pendekatan pengajaran agama Islam dengan menggunakan media kesenian itulah yang kemudian dikenal bahwa proses Islamisasi masyarakat Jawa melalui pendekatan kultural.97
Gagasan penggunaan gamelan sekaten pada dasarnya menjadi media yang efektif dalam menjawab kendala penyebaran Islam di tanah yang ketika itu
96 Banks (eds) (2010): 13.
97 Joko Daryanto, ‘Gamelan Sekaten dan Penyebaran Islam di Jawa’, Jurnal Pengetahuan, Pemikiran, dan Kajian Tentang 'Bunyi', Vol 14 No 1, (2014): h. 32.
mengalami kendala karena fakor keberagamaan masyarakat Jawa yang masa itu beragama Hindu dan Budha dengan keyakinan kuat, sehingga diperlukan alat bantu dakwah yang bisa menarik perhatian masyarakat Jawa untuk bisa mengikuti dan menghadiri acara-cara penyebaran Islam yang dilakukan oleh para ulama ketika itu. Proses gerakan dakwah seperti itu dikenal dengan gerakan Islamisasi yang dilakukan melalui jalur dakwah kultural.98
Akulturasi Islam dan budaya Jawa juga dapat diamati dalam periode kesultanan Islam di Jawa, baik periode Demak, periode Pajang maupun periode Mataram Islam. Periode Demak telah melakukan akulturasi Islam dan budaya Jawa dalam bentuk-bentuk, seperti arsitektur, seni ukir, kesenian wayang, bentuk pemakaman dan seni sastra. Selain karakternya yang harmonis dan damai, budaya Islam Jawa juga memperhatikan kesetaraan dalam kehidupan hidup antara laki-laki dan perempuan.99 Hal ini berbeda dengan di Sumatera, proses akulturasi agama di wilayah Sumatera relatif lebih formalistik ketimbang cara penyebaran Islam di Jawa, seperti hadrah dan nasyid dan zafin (gambus) sebagai kesenian yang menampilkan simbol-simbol keislaman seperti basmalah, kisah-kisah Islam dan lainnya. Tradisi itu kini mendapat tantangan dengan datangnya budaya global yang membawa misi pendidikan keislaman radikal yang bermuatan intoleransi dan ekslusif.100
d. Landasan Sosial-Pendidikan Pemikiran
Realitas sosial pendidikan menjadi bagunan dasar dalam pembangunan paradigma pendidikan. Jika realitas sosial pendidikan bersifat multikultural, maka
98 Daryanto (2014): h. 36.
99 Donny Khoirul Aziz, ‘Akulturasi Islam dan Budaya Jawa’, Fikrah: Jurnal Ilmu Aqidah dan Studi Keagamaan,Vol. 1, No. 2,(2015): h. 253-254; Tanti Hermawati, ‘Budaya Jawa dan Kesetaraan Gender’, Jurnal Komunikasi Massa, (2007)<https://doi.org/10.1111/j.1523-1739.2010.01600.x>.
100 Muhammad Takari, ‘Komunikasi dalam Seni Pertunjukan Melayu’, Etnomusikologi, Vol 1 No 2, (2005): h. 149-203.
paradigma pendidikan multikultural dapat berkembang dengan baik yang berbasis pada persamaan hak dan kewajiban tanpa ada diskriminasi atas dasar ras, sosial, agama, gender dan golongan. Semuanya memiliki kedudukan yang setara dalam sistem pendidikan dan pengajaran yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan.101
Lembaga pendidikan Islam yang dimaksud itu adalah pondok pesantren yang menjadi sistem pendidikan Islam tertua di Indonesia yang sudah bergerak dan berjalan seiring berjalannya perjuangan bangsa Indonesia dalam menempuh dan mencapai kemerdekaan RI. Hal itu bisa karena pesantren mengajarkan ajaran Islam yang berwawasan keindonesiaan, sistem kesederhanaan hidup dan keikhlasan, dan hubungan yang dekat antara kiai dan santri dalam satu tempat. Pesantren memiliki fungsi yang lebih penting ketika dihadapkan dengan persoalan aktual di masa kini, misalnya sistem pendidikan yang mengedepankan ilmu etika dan pengetahuan, kiai menjadi figur referensi baik prilaku maupun keilmuan, penyelesaian urusan, dan meminta nasihat. Masjid sebagai tempat belajar yang kemudian dilengkapi dengan pondok yang menjadi tempat tinggal santri yang menjadi ciri khas dari lembaga pesantren. Secara historis, bentuk, sistem dan metode pesantren di Indonesia terdapat dua periode: Pertama, pesantren Ampel (salafi) yang menggambarkan tentang kesederhanaan dalam segala aspek. Kedua, pesantren Gontor yang menggambarkan tentang kemodernan dalam sistem, metode dan fisik bangunan serta pembelajarannya, sehingga pesantren mempunyai beberapa elemen penting, yakni kiai, masjid, asrama dan santri.102
101 Banks (eds) (2010): 3.
102 Marwan Saridjo, Sejarah Pondok Pesantren di Indonesia, (T.Tp: Dharma Bhakti, 1982).
Model pesantren salafi di kalangan ahl al-sunnah wa al-jamâ’ah masih tetap memiliki komitmen nasionalisme dan memahami agama yang berlandaskan nilai-nilai kearifan lokal dengan tetap menjaga kemurnian agama Islam dalam perubahan sosial.
Pendidikan pesantren salafi hanya mengajarkan pelajaran ilmu agama Islam saja tanpa memberikan muatan ilmu pengetahuan umum, sehingga pesantren salafi hanya melahirkan lulusan yang menguasai ilmu agama Islam tanpa ilmu pengetahuan umum, misalnya pendidikan pondok pesantren salafi di kota Magelang yang bisa diambil sebagai contoh adalah pesantren An Nur dan pesantren Sirojul Huda yang hanya mengajarkan ilmu-ilmu keagamaan Islam saja, dan pesantren salafi yang menyelenggarakan pendidikan sekolah paket dan pelatihan life skill bagi para santrinya, yaitu pesantren Selamat. Pembekalan ilmu-ilmu umum sebagai pelengkap bagi ilmu agama Islam menjadi upaya untuk membekali santri agar mampu membangun keseimbangan hidup antara kesuksesan duniawi dan ukhrawi.103
Untuk menghadirkan keragaman perspektif dalam kurikulum, ada empat tahapan pendekatan kurikulum multikultural, yakni104 Pertama, tahap pendekatan kontribusi (the contributions approach) adalah pendekatan belajar yang memasukkan materi pelajaran dengan memasukkan materi dan tokoh-tokoh agama/ulama dalam kurikulum.105 Kedua, tahap pendekatan aditif (aditif approach) menambahkan materi pelajaran tanpa mengubah struktur atau karakteristik dasar kurkilumnya.106 Ketiga, tahap pendekatan transformatif (transformative approach) adalah
103 Kelik Stiawan dan M Tohirin, ‘Format Pendidikan Pondok Pesantren Salafi dalam Arus Perubahan Sosial di Kota Magelang’, Cakrawala, , Vol. X, No. 2, (2015): h. 195.
104 Banks (2010); Yaya Suryana dan A Rusdiana, Pendidikan Multikultural: Sebuah Upaya Penguatan Jati Diri Konsep-Konsep-Implementasi, (Bandung: Penerbit Pustaka Setia, 2015), h.285
105 Wahid (2007): h. 128-129; Hanafy (2015): h. 132-133.
106 Wahid (2007): h. 132-133; Hanafy (2015): h. 132-133..
pendekatan pendidikan yang mengajarkan perubahan asumsi kurikulum untuk menumbuhkan kompetensi peserta didik agar bisa membaca dan merumuskan konsep, isu, tema, dan problem dari beberapa sudut pandang dan beberapa pandangan etnis atau budaya.107 Keempat, tahap pendekatan aksi sosial (the social action approach) adalah sistem pendidikan yang mencakup semua elemen dari pendekatan transformasi dengan menambahkan elemen yang memberikan syarat kepada peserta didik untuk melakukan aksi sosial berlandaskan ilmu yang diperoleh.108