BAB VII PENUTUP
E. Sistematika Pembahasan
1. Radikalisme
Secara bahasa, radikalisme bersumber dari bahasa latin yang bermakna radix, yang berarti “akar”. Istilah ini digunakan dalam pemahaman untuk melakukan perubahan besar. Dalam paradigma ilmu sosial, radikalisme adalah paham yang berkomitmen melakukan perubahan terhadap status quo dengan cara menggantinya dengan sesuatu yang baru atau berbeda.27
Dalam bahasa Arab, kekerasan dan radikalisme disebut dengan beberapa istilah, antara lain al-‘unf, al- taṭarruf, al-guluww, dan al-irhāb. Abdullah an-Najjar menjelaskan bahwa al-‘unf adalah sifat yang menggunakan kekuatan secara ilegal (main hakim sendiri) untuk melakukan pemaksaan kehendak atau pendapat. Kata al- taṭrruf memiliki pengertian “ujung atau pinggir” yang berkonotasi makna radikal, ekstrem, dan berlebihan. Al- taṭarruf al-dīnī adalah sikap berlebihan dalam beragama yang berlawanan dengan kata al-wasaṭ (tengah/moderat).
Kata al-guluww bermakna berlebihan atau melampaui batas yang dipakai dalam praktik pengamalan agama yang ekstrem dan melampaui batas kewajaran (Q.S. an-Nisa’ [4]:
171 dan Q.S. al-Maidah [5]: 77). Dalam agama Islam, Nabi Muhammad Saw melarang adanya sikap dan perilaku berlebihan dalam beragama yang disabdakan: “Wahai manusia, hendaknya menjauhi sikap berlebihan (al- guluww) dalam beragama. Sesungguhnya sikap berlebihan dalam beragama telah membinasakan umat sebelum kalian”, (H.R. Ibnu Majah dan an-Nasa’i). Dalam hadis lain, Nabi Muhammad Saw bersabda bahwa “Celakalah orang- orang yang melampaui batas”, (H.R. Muslim). Istilah
27 Dede Rodin, ‘Islam dan Radikalisme: Telaah Atas Ayat-Ayat “Kekerasan” dalam Al-Qur’an’, ADDIN, 2016 <https://doi.org/10.21043/addin.v10i1.1128>., h.34.
terorisme muncul populer pada tahun 1793 sebagai akibat Revolusi Perancis (10 Maret 1793-27 Juli 1794). Dalam Kamus Oxford, teroris dipahami sebagai aksi seseorang dalam melakukan tindak kekerasan yang sistematis dalam mencapai tujuan. Aksinya dinamakan terorisme, yakni penggunaan kekerasan dan kengerian atau ancaman, terutama untuk tujuan politis. Dalam bahasa Arab, istilah terorisme adalah al-irhāb dan pelakunya disebut irhābī.
Kamus al-Mu‘jam al-Wasit menyebutkan bahwa al-irhāb adalah tindakan yang ada pada diri seseorang yang menempuh jalan kekerasan dan menebar kecemasan atau ketakutan dalam mencapai tujuan politik.28
Walaupun radikalisme bisa bermakna positif untuk perubahan ke arah yang lebih baik dan perubahan dengan cara kekerasan yang anarkis yang membawa mafsadat, tetapi fokus penelitian ini membahas radikalisme dalam konteks konotasi negatif yang berbentuk respons terhadap kondisi yang ada dalam bentuk penolakan atau perlawanan terhadap ide, asumsi, atau kelembagaan yang dilakukan dengan cara-cara kekerasan, anarkis, fanatis, eksklusif dan revolutif. Dalam praktiknya, aksi radikalisme pada umumnya tidak hanya disebabkan satu faktor misalnya faktor keimanan atau agama saja, tetapi juga bisa disebabkan oleh faktor-faktor lainnya seperti faktor ekonomi, frustasi dan ketidakadilan.29
Penelitian Afdlal mendeskripsikan bahwa sikap radikal dan ekstrim sebagian pemeluk agama lahir karena adanya pemahaman keagamaan yang dangkal dan fanatik.
Pemahaman keagamaan yang dangkal dan fanatik telah melahirkan rasa superioritas atas pemeluk agama lain dan sikap radikalisme yang menyebabkan aksi kekerasan dan
28 Rodin (2016): h.35-36.
29 Wahyudin Hafid, ‘Geneologi Radikalisme di Indonesia (Melacak Akar Sejarah Gerakan
Radikal)’, Al-Tafaqquh: Journal of Islamic Law, 2020
<https://doi.org/10.33096/altafaqquh.v1i1.37>; Sun C Ummah, ‘Akar Radikalisme Islam di Indonesia’, Humanika, 2012 <https://doi.org/10.21831/hum.v12i1.3657>;Rodin (2016): h.34.
teror atas nama agama. Aksi-aksi teror di berbagai belahan dunia umumnya berlandaskan pada dasar normatif hukum Islam berupa perintah jihad/qital.30 Penelitian Nurjannah mendeskripsikan bahwa agama memiliki peran penting dalam menyumbangkan aksi-aksi kekerasan dan aksi teror terutama dengan adanya doktrin jihad, walaupun faktor agama bukan satu-satunya, tetapi faktor doktrin agama itu terbukti memiliki peran sangat penting dalam mendorong lahirnya aksi-aksi kekerasan dan teror.31 Demikian juga penelitian Imam Mustofa mendeskripsikan bahwa agama telah menjadi faktor pemicu aksi terorisme karena adanya tafsir dan pemahaman keagamaan Islam tentang jihad yang parsial-tendensius, sehingga norma- norma kitab suci itu kemudian dijadikan legitimasi dalam melakukan aksi-aksi radikalisme dan terorisme.32 Aksi-aksi radikalisme dan terorisme itu dikembangkan oleh jaringan Islam trans-nasional yang membawa misi radikalisme dan terorisme sebagaimana gerakan al-qaeda dan ISIS. Al qaeda telah membawa misi jihad internasional untuk melancarkan misi dan aksinya, bahkan dianggap sebagai narasi tunggal dalam aksi jihad.33 Penelitian Sumanto al- Qurtuby mengemukakan bahwa faktor munculnya radikalisme Islam bukan hanya faktor adanya pengaruh al qaeda ataupun faktor wilayah, tetapi juga bisa faktor orang-per-orang dan situasi sosial-lokalistik yang mendorong lahirnya gerakan radikalisme Islam di Indonesia.34
30 Afadlal, ‘Islam dan Radikalisme Di Indonesia’, ISLAMUNA: Jurnal Studi Islam, 2005.
31 Nurjannah, ‘Faktor Pemicu Munculnya Radikalisme Islam Atas Nama Dakwah’, Jurnal Dakwah, 2013.
32 Imam Mustofa, ‘Terorisme: Antara Aksi dan Reaksi: Gerakan Islam Radikal Sebagai Respon terhadap Imperealisme Modern’, Religia, 2017 <https://doi.org/10.28918/religia.v15i1.123>.
33 As’ad Said Ali, Al-Qaeda: Tinjauan Sosial-Politik, Ideologi dan Sepak Terjangnya (Jakarta: LP3ES, 2014); Bill Braniff and Assaf Moghadam, ‘Towards Global Jihadism: Al-Qaeda’s Strategic, Ideological and Structural Adaptations since 9/11’, Perspectives on Terrorism, 2011; John Turner,
‘Strategic Differences: Al Qaeda’s Split with the Islamic State of Iraq and Al-Sham’, Small Wars and Insurgencies, 2015 <https://doi.org/10.1080/09592318.2015.1007563>; Matteo Vergani, ‘Neo- Jihadist Prosumers and Al Qaeda Single Narrative: The Case Study of Giuliano Delnevo’, Studies in Conflict and Terrorism, 2014 <https://doi.org/10.1080/1057610X.2014.913122>.
34 Sumanto Al-Qurtuby, In Search of Socio-Historical Roots of Southeast Asia’s Islamist Terrorism, Journal of Indonesian Islam, 2010 <https://doi.org/10.15642/JIIS.2010.4.2.205-239>.
Gerakan radikalisme itu dapat dipahami dengan beberapa indikator: Pertama, sikap yang tidak toleran terhadap pemikiran atau sikap orang lain. Kedua, sikap fanatik yang hanya mengakui kebenaran miliknya dan menyalahkan pihak lainnya. Ketiga, sikap eksklusif yang menutup dari kebiasaan umumnya. Keempat, sikap revolusioner yang menggunakan kekerasan dalam melakukan perubahan atau mencapai tujuan.35
Dengan demikian, radikalisme yang dimaksud di sini adalah sebuah respons atas kondisi yang dapat bertentuk penolakan ataupun perlawanan terhadap ide, asumsi atau kelembagaan yang dilakukan dengan cara- cara kekerasan, anarkis, fanatis, eksklusif atau revolutif.