• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VII PENUTUP

E. Sistematika Pembahasan

2. Paradigma

Gerakan radikalisme itu dapat dipahami dengan beberapa indikator: Pertama, sikap yang tidak toleran terhadap pemikiran atau sikap orang lain. Kedua, sikap fanatik yang hanya mengakui kebenaran miliknya dan menyalahkan pihak lainnya. Ketiga, sikap eksklusif yang menutup dari kebiasaan umumnya. Keempat, sikap revolusioner yang menggunakan kekerasan dalam melakukan perubahan atau mencapai tujuan.35

Dengan demikian, radikalisme yang dimaksud di sini adalah sebuah respons atas kondisi yang dapat bertentuk penolakan ataupun perlawanan terhadap ide, asumsi atau kelembagaan yang dilakukan dengan cara- cara kekerasan, anarkis, fanatis, eksklusif atau revolutif.

yang menjadi sebuah kepercayaan, perasaan ataupun apa- apa yang terdapat dalam pikiran orang yang berfungsi sebagai penggerak keberlangsungan dan perubahan sosial dan moral. Adapun world view memiliki 5 struktur konsep atau pandangan yang terdiri dari (1) struktur konsep tentang ilmu, (2) struktur konsep tentang alam semesta, (3) struktur konsep tentang manusia, (4) struktur konsep tentang kehidupan, dan 5) struktur konsep tentang nilai moralitas. Paradigma adalah kerangka penafsiran yang digabungkan dengan seperangkat keyakinan dan perasaan tentang dunia dan bagaimana harus dipahami dan dipelajari. Konsep paradigm shifts Thomas Kuhn mengemukakan bahwa para pengkaji ilmu pengetahuan itu tidak mungkin bekerja dalam kondisi “objektivitas”

yang mapan, yang bertindak hanya sebagai penerus alur progresi logika keilmuan yang linier tanpa ada perubahan, tetapi ilmu pengetahuan mengalami revolusi berupa pergeseran dari paradigma lama (normal sains) ke paradigma baru (teori baru).37

Paradigma merupakan contoh praktik ilmiah yang diterima dan diakui komunitas ilmuwan yang mana berdasarkan asumsi dan dasar-dasar teoritiknya dapat memecahkan masalah-masalah yang ada, yang menjadi bagian dari praktik normal sains. Normal sains adalah sebuah pengetahuan riset yang memiliki basis kuat pada satu atau lebih temuan ilmiah yang diakui oleh komunitas ilmuwan sebagai landasan solutif bagi praktik research berikutnya.38 Ketika sebuah paradigma mengalami kendala dalam memecahkan dan menyelesaikan riset ilmiahnya, maka kedudukan paradigma normal sains atau paragma lama itu sedang menghadapi anomali-anomali yang pada akhirnya ketika suatu paradigma itu tidak bisa lagi memecahkan masalah yang muncul, maka timbul

37 Kuhn & Hawkins, 1963; Nurkhalis, 2012: h. 84-85.

38 Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions, (Chicago & London: The University of Chicago Press, 1996), h. 11.

krisis, yang kemudian akan diikuti dengan babak baru lahirnya paradigma baru.39

Dengan demikian, paradigma lama itu dipandang sebagai normal sains yang memiliki legitimasi kebenaran pada masanya,40 tetapi ketika normal sains mulai mengalami keganjilan dalam menjawab masalah-masalah baru, maka pada saat itu, ilmu pengetahuan lalu beranjak ke fase anomali, yakni paradigma lama mulai mengalami keganjilan dan kesulitan dalam menjawab isu-isu aktual sehingga dari akumulasi keganjilan dan kesulitan dalam menjawab masalah-masalah baru itu, lalu muncul adanya krisis, yaitu suatu fase perkembangan ilmu pengetahuan yang mana paradigma lama dengan normal sains-nya sudah tidak bisa menjawab persoalan baru, dan paradigma baru belum juga lahir untuk menjawabnya. Dari krisis sains itu lalu muncul sebuah paradigma baru yang dimaksudkan untuk menjawab persoalan-persoalan baru.41

Paradigma yang dimaksud di sini adalah sebuah pandangan dunia yang menggambarkan sebuah teori ilmu pengetahuan yang bergerak sesuai dengan dinamika perkembangan zaman, sehingga paradigma ilmu itu mengalami revolusi dari “paradigma lama” sebagai

“normal sains” menjadi sebuah anomali, dari anomali kemudian mencapai puncaknya, yakni “krisis” dimana paradigma lama sudah tidak bisa digunakan, sedangkan paradigma baru belum ada, dan setelah terjadi krisis, maka lahirlah “paradigma baru”42 sebagai jawaban atas

39 Kuhn (1996); h. 84-85.

40 Afiq Fikri Almas, ‘Sumbangan Paradigma Thomas S. Kuhn dalam Ilmu dan Pendidikan (Penerapan Metode Problem Based Learning Dan Discovery Learning)’, At-Tarbawi: Jurnal Kajian Kependidikan Islam, Vol. 3 No 2, (2018)<https://doi.org/10.22515/attarbawi.v3i1.1147>: h. 92.

41 Nurkhalis; h. 86-87; Kuhn (1996); 84-85.

42 Bandingkan dengan paradigma pemikiran Ian G Barbour yang membagi relasi agama dan sains dalam empat macam, yakni Pertama, paradigma konflik adalah sebuah paradigma keilmuan yang saling menafikan antara agama dan sains. Kedua, paradigma independensi adalah sebuah paradigma keilmuan yang berpandangan wilayah agama dan sains memiliki jalur dan fungsi masing-masing tidak perlu dipertentangan karena keduanya memang memiliki arah dan tujuan yang berbeda. Ketiga, paradigma dialogis adalah sebuah paradigma keilmuan yang mana relasi antara agama dan sains diterapkan ketika masing-masing dari wilayah agama dan wilayah sains

persoalan-persoalan yang belum pernah terjawab oleh teori ilmu pengetahuan sebelumnya.

Tabel A Taksonomi Shifting Paradigm

Thomas Kuhn Paradigma Lama

Anomali-Krisis Paradigma Baru 3. Pendidikan Islam

Secara historis, pendidikan Islam telah muncul sejak masa Nabi Muhammad Saw yang mendidik istri, keluarga dan sahabat di rumah Arqam bin Arqam yang bertujuan mengajarkan ilmu-ilmu Islam. Tempat itu digunakan Nabi Saw untuk mengajarkan al qur’an, terutama dalam bidang aqidah Islamiyah. Peserta didik yang belajar ilmu Islam adalah sahabat Nabi Muhaamad Saw yang terdiri dari keluarga dan sahabatnya seperti Khadijah, Ali bin Abi Thalib, Zait ibn Kharitsah, Abu Bakar, Usman bin Affan, Zubair bin Awwam, Saad bin Abi Waqas, Abdurrahman bin Auf, Thalha bin Ubaidillah, dan Ubaidillah bin Jahrah.

Dalam istilah lainnya, pendidikan Islam dikenal dengan kuttab yang menjadi tempat dan fungsi mengajarkan ilmu

saling memerlukan untuk kepentingan penyelesaian problem yang tidak bisa dipecahkan oleh masing-masing paradigma tersebut. Keempat, paradigma integrasi adalah sebuah paradigma keilmuan yang mana relasi agama dan sains terjalin dengan sistematis dan erat untuk memecahkan masalah-masalah bidang keilmuan yang menjadi domainnya. Barbour (2000);

Zaprulkhan, “Membangun Relasi Agama dan Sains”, Kalam: Jurnal Studi Agama dan Pemikiran Islam, Vol 7 No 12, 2013; Abdullah (2014); h. 180-183; Waston,Hubungan Sains dan Agama:

Refleksi Filosofis atas Pemikiran Ian G. Barbour”, Profetika: Jurnal Studi Islam, Vol. 15, No. 1, Juni 2014: 76 – 89; Syarif Hidayatullah, “Agama Dan Sains: Sebuah Kajian Tentang Relasi Dan Metodologi”, Jurnal Filsafat, ISSN: 0853-1870 (print); 2528-6811(online) Vol. 29, No. 1 (2019), p. 102- 133, doi: 10.22146/jf.30246; Asiyah, “Epistemologi Keilmuan Baru di Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri: Transformasi dari STAIN/IAIN menjadi UIN”, Madania: Jurnal Kajian Keislaman, Vol. 20, No. 2, Desember 2016.

baca dan tulis al qur’an dan dasar-dasar Islam, ilmu gramatika, aritmatika, menunggang kuda dan berenang.43

Ahmad D. Marimba memberikan definisi bahwa pendidikan Islam adalah bimbingan secara sadar oleh pendidik pada peserta didik untuk mengembangkan pendidikan jasmani dan rohani dalam membentuk kepribadian yang unggul. Sebagaimana deskripsi Marimba, pendidikan Islam memiliki dua unsur, yaitu pendidikan jasmaniah dan rohaniah. Dari segi pendidikan jasmaniah, pendidikan Islam mengajarkan perlunya menjaga kesehatan fisik (hifdz al-nafs) untuk tujuan dapat melaksanakan ibadah, mencari potensi dari ciptaan Allah di alam semesta. Pendidikan Islam memperhatikan kesehatan jasmaniah yang kemudian diatur dengan makanan halal dan baik, sehingga pendidikan Islam melihat bahwa makanan yang halal dan baik dapat mempengaruhi kesehatan mental manusia. Sebaliknya, manusia yang makan makanan haram dan tidak baik dapat menimbulkan efek negatif pada aspek fisik ataupun mental.44

Sementara itu, dari aspek kejiwaan atau ruhaniahnya, pendidikan Islam memberikan pendidikan yang dapat mendidik jiwa menjadi insan yang memiliki keyakinan, pemahaman, dan ruhul jihad dalam memperjuangkan ajaran Islam dalam setiap aktivitas.

Muatan ajaran Islam memiliki aspek luas yang mencakup individu, masyarakat dan negara, sehingga keyakinan, pengetahuan dan perjuangan menjadi satu kesatuan dalam menjalankan misi pendidikan Islam. Dengan demikian, pendidikan Islam bertujuan memberikan sumbangan terhadap pendidikan manusia seutuhnya, baik akal ataupun hati, rohani ataupun jasmani, akhlak ataupun keterampilan.45

43 Muhammad Yahdi, ‘Paradigma Pendidikan Islam’, Islamuna: Jurnal Studi Islam, Vol 5.No. 1 (2016) <https://doi.org/http://dx.doi.org/10.19105/islamuna.v5i1.1822>.

44 Yahdi (2016): h. 55.

45 Yahdi (2016): h. 55.

Mansour Ahmed menjelaskan bahwa pendidikan Islam memuat pelajaran mengenai al qur’an dan sunnah sebagai dasar pertama pendidikan, dasar-dasar keilmuan Islam seperti ilmu tafsir-ḥadiṣ, ilmu akidah, ilmu fikih dan ilmu sejarah Islam, serta pengetahuan dan skill (keterampilan) sesuai perkembangan zaman, ilmu pengetahuan dan iman sebagai satu kesatuan. Demikian juga Omar Muhammad aT-Tauny asy-Syaibani menjelaskan bahwa pendidikan Islam adalah segala upaya yang berusaha melakukan perubahan terhadap perilaku individu dalam kehidupan pribadinya, kelompok dalam komunitas masyarakat, dan kehidupan dalam alam sekitar melalui proses kependidikan untuk mencapai tujuan kehidupan yang sejahtera lahir dan batin.46

Tujuan pendidikan Islam memiliki kesamaan dengan tujuan hidup manusia, yakni berusaha mendidik peserta didik menjadi insan yang dapat beribadah dengan baik kepada Allah Swt dengan selalu membersihkan diri dari ego rohani, pikiran, jasmani dan menjauhi perbuatan jahat dan munkar. Pendidikan Islam menjadi instrumen untuk menjaga dan melestarikan kelanjutan hidup manusia yang hakiki, baik sebagai makhluk individu maupun makhluk sosial. Dalam melestarikan kelanjutan hidup manusia dilakukan dengan transformasi ilmu Islam dari generasi ke generasi berikutnya serta menggali dan mengembangkan potensi manusia untuk mewujudkan kesejahteraan hidupnya, sehingga tujuan pendidikan Islam dapat digambarkan sebagai berikut: Pertama, pendidikan jasmaniah merupakan pendidikan yang ditujukan pada pendidikan tingkah laku manusia yang nampak dari luar, misalnya tata cara berbicara, berperilaku dan lainnya.

Kedua, pendidikan kejiwaan yang mendidik peserta didik dalam melatih cara berpikir, bersikap, berpendirian, dan berargumentasi dalam menghadapi masalah-masalah hidupnya. Ketiga, pendidikan kerohaniaan yang berusaha

46 Yahdi (2016): h. 55.

menanamkan nilai-nilai keimanan dan keilmuan dalam keyakinan dan hati manusia sehingga hal itu menjadi pondasi dalam melakukan sesuatu yang memiliki aspek pertanggungjawaban bukan hanya di dunia tetapi juga di akhirat.47

Pendidikan Islam memiliki ciri khas tersendiri dibandingkan dengan pendidikan umum yang hanya fokus mengajarkan pendidikan jasmani dan kejiwaan rasional. Pendidikan Islam mengajarkan ilmu-ilmu rasional-empiris dan ilmu-ilmu normatif. Pendidikan Islam berusaha mencerdaskan rasionalitas manusia untuk melakukan aktivitas di dunia dengan tujuan ibadah kepada Allah Swt. Demikian juga pendidikan Islam berusaha mencerdaskan spritualitas manusia untuk memperdalam dan memperhalus akhlak serta menumbuhkan sikap sopan santunnya dalam menjalankan fungsi kemanusiaan sebagai bagian dari ibadah kepada kepada Allah Swt.

Dengan demikian, hakikat tujuan pendidikan Islam mencakup, yakni: (a) mengarahkan manusia menjadi khalifah Tuhan di bumi dengan memakmurkan bumi sesuai dengan kehendak Tuhan; (b) mengarahkan manusia menjalankan tugas kekhalifahan di bumi sesuai dengan kehendak Tuhan; (c) mengarahkan manusia menjadi mahkluk yang berakhlak mulia; (d) membina dan mengarahkan potensi akal, jiwa dan jasmaniah manusia agar berilmu, berakhlak dan mempunyai skill untuk menjalankan tugas-tugas pengabdian dan kekhalifahan di muka bumi; dan (e) mengarahkan manusia menjadi pribadi yang bahagia dunia dan akhirat.48

Tujuan pendidikan Islam itu dapat tercapai dengan baik apabila paradigma pendidikannya yang diselenggarakan berjalan efektif melalui strategi pendidikan berikut: (a) pendidikan bermakna (meaningfull)

47 Yahdi (2016).

48 Yahdi (2016); Rohinah, ‘Filsafat Pendidikan Islam; Studi Filosofis atas Tujuan dan Metode Pendidikan Islam’, Jurnal Pendidikan Islam, Vol 2 No (2013)

<https://doi.org/10.14421/jpi.2013.22.309-326>: h. 316-320.

adalah sistem pendidikan yang mengarahkan dan mendidik peserta didik menjadi pribadi yang bisa merasakan muatan kurikulum yang diajarkan berguna dan bermanfaat bagi kehidupannya. Kebermaknaan ini berhubungan dengan kecerdasan intelektual untuk mengetahui sesuatu dan menumbuhkan rasa ingin tahu secara terus menerus, dan pengembangan potensi diri berupa kematangan dalam memahami, menganalisis, mensintesis, menerapkan dan mengevaluasi, serta kematangan dalam membangun relasi sosial yang dapat membangun interaksi positif; (b) pendidikan integralistik mencakup spiritual, emosional, intelektual dan fisik peserta didik, yang berlangsung secara berkesinambungan, pendidikan spiritual bersamaan dengan perubahan positif emosi dan intelektual, sehingga kematangan spiritual dapat menentukan kematangan emosi. Kematangan intelektual dikembangkan bersamaan dengan kematangan spiritual. Kematangan intelektual dapat mengembangkan berbagai ilmu pengetahuan rasional dan empiris yang inovatif dan progresif yang bersamaan dengan kematangan spiritual; dan (c) pendidikan berbasis nilai (velue basic) yang memfokuskan pada nilai-nilai dan pertimbangan dimensi etis yang menjadi pendorong perubahan moralitas peserta didik atau manusia.49

Berdasarkan uraian tersebut, pendidikan Islam yang dimaksud di sini adalah usaha sadar dalam mendidik manusia agar memiliki kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual untuk menjadi insan kamil, yakni manusia paripurna yang dibangun berdasarkan wacana keilmuan (kurikulum) pendidikan agama Islam yang berwawasan keilmuan agama Islam multikultural yang dibangun dari aspek pendidikan yang penuh makna, pendidikan integralistik dan pendidikan

49 Yahdi (2016); Miftahur Rohman and Hairudin Hairudin, ‘Konsep Tujuan Pendidikan Islam Perspektif Nilai-Nilai Sosial-Kultural’, Al-Tadzkiyyah: Jurnal Pendidikan Islam, Vol. 9 No 1, (2018)<https://doi.org/10.24042/atjpi.v9i1.2603>: h. 21.

berbasis nilai. Bagian dari pendidikan Islam adalah pesantren yang memiliki ciri khas tersendiri.

Dalam dokumen Siti Mas'ulah - Repository IAIN Bengkulu (Halaman 45-53)