BAB VII PENUTUP
E. Sistematika Pembahasan
5. Pendidikan Multikultural
didirikannya pusat pelatihan bisnis, pusat pelatihan pertanian, pusat pelatihan peternakan dan lainnya.66
Berdasarkan tipologi pesantren tersebut, undang- undang republik Indonesia nomor 18 tahun 2019 tentang pesantren mengakomodir ketiga tipologi tersebut sebagai lembaga pendidikan Islam yang memiliki tujuan untuk mengajarkan ilmu agama untuk melahirkan ahli ilmu agama yang beriman, bertakwa, berakhlak mulia, berilmu, mandiri, memiliki pemahaman agama dan keberagamaan moderat, cinta tanah air, dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat, sehingga fungsi pesantren meliputi pendidikan, dakwah dan pemberdayaan masyarakat.
Sesuai dengan pasal 5 UU tersebut, sistem pendidikan pesantren meliputi: Pertama, pesantren melaksanakan pendidikan dalam bentuk pengkajian Kitab Kuning. Kedua, pesantren melaksanakan pendidikan dalam bentuk Dirasah Islamiyah dengan pola pendidikan muallimin.
Ketiga, pesantren melaksanakan pendidikan dalam bentuk lainnya yang terintegrasi dengan pendidikan umum.
Adapun unsur sistem pendidikan pesantren meliputi kiai, santri yang bermukim di pesantren, pondok atau asrama, masjid atau mushala, dan kajian kitab kuning atau Dirasah Islamiyah dengan pola pendidikan muallimin.
Berdasarkan uraian tersebut, pendidikan pesantren yang dimaksud di sini adalah sistem pendidikan khusus yang lahir dari budaya asli Indonesia yang memiliki karakter tersendiri yang mampu menjadi pertahanan dalam mengajarkan ilmu agama Islam yang berwawasan multikultural yang menjadi kebutuhan masyarakat Indonesia terutama di bidang keilmuan akidah, ilmu fikih, ilmu al qur’an ḥadiṡ, dan bahkan sejarah kebudayaan Islam.
yang diterapkan dalam berbagai kebijakan kebudayaan yang berusaha menerima pluralitas kehidupan masyarakat dalam segala seginya. Sesuai dengan definisi Longer Oxford Directionary, “multiculturalisme” adalah deviasi kata dari multikultural yang dikutip surat kabar di Kanada, Montreal Times yang mendeskripsikan masyarakat Montreal sebagai masyarakat multikultural dan multilingual. Pluralitas dan keanekaragaman (diversity) terkadang disejajarkan dengan multikultur (budaya yang beragam). Istilah multikultur atau multikultural pada awalnya merujuk pada istilah multikulturalism, yang sinonim dengan konsep pluralism. Istilah masyarakat multikultural pertama kali dikenalkan di Kanada sekitar tahun 1950-an, Amerika Serikat (AS) menggunakan sebutan melting post society untuk menyebut masyarakatnya yang majemuk, India menggunakan term composite society, dan Indonesia memperkenalkan slogan Bhinneka Tunggal Ika yang menggambarkan keragaman suku, agama, bahasa, golongan, etnis dan ras di Indonesia.
Sesuai dengan deskripsi H.A.R. Tilaar, multikulturalisme memiliki dua ciri; kebutuhan terhadap pengakuan (the need of recognition) dan legitimasi keragaman budaya atau pluralitas budaya. Secara garis besar, multikulturalisme terbagi menjadi multikultural yang mengandaikan adanya interkulturalitas dan multikultural yang mengandaikan keragaman sebagai serpihan yang terkungkung dalam identitas partikularitas kelompok masing-masing.67
Pendidikan sebagai usaha sadar untuk mencerdaskan kehidupan masyarakat yang beriman, bertaqwa dan berilmu jika dihubungkan dengan multikultural bermakna “usaha untuk menanamkan dan
67 Lasijan, ‘Multikulturalisme dalam Pendidikan Islam’, Jurnal Jurnal TAPIs, Vol 10 No. 2 (2014):
h.127–29; Tadjoer Ridjal Baidoeri, ‘Ragam Reaksi Akulturatif Masuknya Ide-Ide Baru dalam Dunia Pesantren’, dalam Lokakarya Nasional Pengasuh Pondok Pesantren Se-Jawa Timur (Jombang:
FAI Univ Darul ’Ulum Jombang dan Puslitbang & Diklat Departemen Agama RI, 2009), h. 09–14;
Akhmad Satori dan Wiwi Widiastuti, ‘Multicultural Education Model in Traditional Pesantren in Tasikmalaya to Prevent the Threat of Radicalism’, Ilmu-Ilmu Sosial Dan Humaniora, Vol. 20 No 1, 2018: h. 22-23; Dahlan (2013).
mengakui nilai-nilai keragaman (terutama keragaman etnis, agama dan budaya) yang menjadi latarbelakang peserta didik dengan perlakuan yang adil dan setara dalam proses pendidikan untuk melahirkan peserta didik dan masyarakat yang mampu mengakui keragaman, berpikiran terbuka dan toleran terhadap adanya perbedaan, sehingga pendidikan berfungsi memberdayakan masyarakat agar kehidupannya memiliki relasi harmonis dan dinamis antar golongan ras, agama, etnis, suku, bahasa, dan budaya”.68
Pendidikan multikultural (multicultural education) yang dimaksud adalah respon terhadap perkembangan keragaman populasi sekolah, sebagaimana tuntutan persamaan hak bagi setiap kelompok. Secara luas, pendidikan multikultural itu meliputi seluruh siswa tanpa membedakan kelompok-kelompoknya seperti gender, etnik, ras, budaya, strata sosial dan agama. Jadi, pendidikan multikultural yang membumikan ide persamaan pendidikan menyebutkan bahwa substansi pendidikan multikultural adalah pendidikan untuk kebebasan (as education for freedom) sekaligus sebagai penyebarluasan gerakan inklusif dalam rangka mempererat hubungan antar sesama (as inclusive and cementing movement). Pendidikan multikultural merupakan proses pendidikan yang mengajarkan sikap "peduli" dan mau mengerti (difference), atau "politics of recognition"
politik pengakuan atas orang-orang dari kelompok minoritas, respon atas perubahan demografi dan kultur, serta memperhatikan berbagai latarbelakang peserta didik, sehingga wacana keilmuan pendidikan multikultural adalah wacana yang lintas batas, karena terkait dengan masalah keadilan sosial, demokrasi dan hak asasi manusia.
Musa Asy’ari menyatakan bahwa pendidikan multikultural adalah proses penanaman cara hidup
68 Lasijan, ‘Multikulturalisme: h.127–29; Baidoeri, ‘Ragam Reaksi Akulturatif Masuknya Ide-Ide Baru dalam Dunia Pesantren’: h. 09–14; Widiastuti, ‘Multicultural Education Model in Traditional Pesantren: h. 22-23; Dahlan (2013).
menghormati, tulus, dan toleran terhadap keanekaragaman budaya yang hidup di tengah-tengah masyarakat plural.69
Pendidikan multikultural merupakan konsep yang luas mengenai beragam perbedaan dan dimensi-dimensi penting yang progresif dalam kehidupan keagamaan dan masyarakat. Para pendidik dapat menggunakan dimensi- dimensi progresif itu sebagai petunjuk dalam melakukan reformasi pendidikan, sehingga hal itu dapat menghasilkan paradigma pendidikan multikutlural, yakni (1) content integration adalah upaya untuk memperhatikan dan mengintegrasikan unsur sosial-budaya, agama, dan politik dalam wacana pendidikan, (2) knowledge construction process adalah proses konstruksi pengetahuan yang berkaitan dengan upaya membantu peserta didik untuk memahami, menyelidiki, dan menentukan kerangka referensi dan perspektif bagi suatu disiplin ilmu, (3) prejudice reduction adalah upaya reduksi prasangka yang dilakukan untuk membantu peserta didik menghilangkan sikap-sikap negatif dalam relasi antar peserta didik menjadi relasi positif di antar beragam latar belakang peserta didik/komunitas dalam dunia pendidikan, (4) equity pedagogy adalah upaya pembelajaran yang bertujuan menganalisis kemampuan peserta didik/komunitas pelajar, sehingga dapat terwujud sistem pembelajaran yang mampu menfasilitasi pencapaian prestasi peserta didik/komunitas pelajar dari beragam ras, budaya, gender, grup kelas sosial; dan (5) empowering school culture and social structure adalah upaya membangun budaya sekolah dan struktur sosial/ogranisasi yang dapat mempromosikan kesetaraan gender, ras, kelas sosial, beragama, bermasyarakat, dan berbangsa.70
69 Lasijan, (2014): h. 130-131.
70 James A. Banks & Cherry A. McGEE Banks (eds), Multicultural Education Issues and Perspectives, (Hoboken, NJ: John Wiley & Sons, Inc, 2010), h. 20-22.
Tabel B
Pendidikan Multikultural-Progresif
Pendidikan Multikultural-
Progresif
Pendidikan Multikultural-Progresif Gus Dur
Content integration Memperhatikan dan menelusuri landasan ideologis, sosial, kultural, dan sosial-pendidikan Gus Dur
Knowledge
construction process Membangun pemahaman qur’an ḥadiṡ multikultural, fikih multikultural, akidah multikultural, SKI multikultural
Prejudice reduction Mengkritisi dan mereduksi prasangka dan pemahaman qur’an ḥadiṡ radikal, fikih radikal, akidah radikal, dan SKI radikal
Equity pedagogy Mempertahankan budaya pendidikan pesantren sebagai benteng pendidikan Islam multikultural
Empowering School Culture and Social Structure
Mewujudkan komunitas pelajar dan masyarakat yang inklusif, akomodatif dan relativis di Indonesia
Berdasarkan uraian tersebut, pendidikan multikultural yang dimaksud adalah sistem pendidikan yang mengajarkan wawasan keilmuan pada peserta didik yang mengedepankan tuntutan persamaan hak bagi setiap kelompok, perlakuan yang sama tanpa membedakan kelompoknya seperti gender, etnik, ras, budaya, strata sosial dan agama, serta kerjsama yang tulus dan ikhlas, sehingga prinsip pendidikan multikultural pada dasarnya juga menjadi bagian dari spirit yang sudah diajarkan di dunia pesantren, yakni prinsip persamaan, prinsip kebebasan, prinsip kepedulian, prinsip resiprositi, prinsip
persaudaraan insaniyah dan prinsip keterbukaan terhadap perbedaan serta prinsip kerjasama yang tulus dan ikhlas.