• Tidak ada hasil yang ditemukan

Menanggapi Kritik

Dalam dokumen SUARA KARYA 1971-1974 (Halaman 140-157)

BAB IV ORDE BARU

D. Menanggapi Kritik

rakyat akan turut berpartisipasi dan berkontribusi dalam pelaksanaan pembangunan yang sesuai dengan kepentingan rakyat itu sendiri.264

“Akhirnya ingin kita tegaskan di sini bahwa jangalah hendaknya kita mempunyai ilusi yang bukan-bukan, karena kemantapan Pimpinan Nasional tidak boleh diragukan. Jalan masih panjang bagi kita untuk membawa kesejahteraan, kemakmuran dan keadilan bagi rakyat.

Kemantapan dalam Pimpinan Nasional dan kemantapan dalam kehidupan politik adalah prasyarat bagi berhasilnya pembangunan untuk membina hari esok yang lebih cerah dan berguna bagi masyarakat kita. marilah kita buka tahun baru ini dengan menghabskan isyu2 yang jahat dan kejam dan mengkonsentrasikan pikiran kita pada penyempurnaan Pelita Kedua.”265

Kritik pertama yang menjadi sorotan Suara Karya adalah mengenai pembangunan TMII. Protes terhadap proyek ini datang dari kalangan mahasiswa. Dalam tajuk rencana tanggal 30 Desember 1971, Suara Karya menyimpulkan ada tiga tuntutan yang disuarakan mahasiswa. Poin pertama adalah pembangunan TMII yang tidak sesuai dengan prioritas pembangunan pemerintah. Kedua, cara pemerintah pusat untuk meminta bantuan dana kepada pemerintah daerah akan berakibat berkurangnya amunisi pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah daerah. Sedangkan poin ketiga berisi tentang akan adanya penyelewangan terhadap dana sumbangan yang dilakukan oleh pemerintah pusat kepada para pengusaha. Menurut mahasiswa, para pengusaha ini memungkinkan adanya tindakan manipulasi, terutama pada sistem fasilitas.266

Dalam tajuk rencana ini, Suara Karya juga mencantumkan poin- poin penjelasan yang dijawab oleh pemerintah. Media ini mengutip perkataan dari Ketua dan Wakil Ketua Project Officer TMII, Ali Sadikin dan Ali Moertopo. Penjelasan kedua tokoh ini dirangkum Suara Karya menjadi enam kesimpulan. Pertama, pemerintah tidak menjadikan proyek TMII sebagai pembangunan prioritas. Maka dari itu, pemerintah tidak menjadikan anggaran negara sebagai sumber dana proyek itu.

Kedua, pemerintah daerah (Pemda) tidak dipaksa untuk ikut berpartisipasi dalam pembangunan TMII. Hal ini diperkuat Suara Karya dengan pernyataan Gubernur Nusa Tenggara Timur yang tidak ikut serta dalam pembangunan tersebut. Ketiga, pemda juga tidak dipaksa untuk menyumbangkan dana daerah terhadap pembangunan TMII. Namun

266 Sekarang Sudah Djelas, Tajuk Rencana, Suara Karya edisi 30 Desember 1971.

apabila mereka bersedia, maka pemerintah pusat siap menerima sumbangan. Keempat, investor tidak terikat dengan keputusan mengenai pembentukan fasilitas. Investor hanya ditawarkan untuk menyumbangkan dana terhadap pembangunan TMII. Kelima, pembangunan tidak ditargetkan selesai dalam jangka waktu tertentu.

Selesainya pembangunan TMII tergantung dari persediaan dana yang telah dikumpulkan. Poin terakhir, investor swasta diperbolehkan menerapkan kebijakan yang sekiranya sesuai dengan tujuan pembangunan.267

Namun, pernyataan ini tetap tidak membuat mahasiswa puas.

Mahasiswa terus menerus menganggap bahwa proyek yang digagas Tien Soeharto tidak berguna. Dijelaskan dalam bab sebelumnya, Soeharto menuduh bahwa kritikus TMII bertujuan untuk menggulingkan pemerintahan yang sah. Ia mengancam akan menggunakan kekuatan militer apabila protes terus digencarkan kepada istrinya. 268

Pidato ini lantas mendapat sorotan dari Suara Karya. Media ini menganggap bahwa celoteh Soeharto diibaratkan cara seorang ayah dalam mengomeli anaknya. Sebagai presiden, apa yang diucapkan Soeharto adalah untuk membendung gelombang kritik demi tujuan pembangunan. Suara Karya menyerukan agar semua pihak yang kontra terhadap pembangunan TMII harus mampu menahan diri.269

“Achirnja suasana berkembang begitu rupa, sehingga Presiden merasa bahwa demi kepentingan umum wibawanja perlu ditegakkan dengan keras, bahkan dirasakan orang teramat keras. Ketika Presiden

267 Sekarang Sudah Djelas, Tajuk Rencana, Suara Karya edisi 30 Desember 1971.

268 Akhmad Zaini Abar, 1966-1974: Kisah Pers Indonesia, 185.

269 Seruan Ali Sadikin, Tajuk Rencana, Suara Karya edisi 13 Januari 1972.

menundjukkan sikap ini, kita pertjaja banyak kalangan merasa tersinggung. Tetapi kita pertjaja sepenuhnja bahwa dalam mengemukakan semua itu, Presiden membedakan mereka jang mempunjai iktikad baik dari mereka jang mempunjai iktikad buruk.

Generalisasi tidak pernah masuk dalam proses berfikir orang jang biasa menundjukkan kebidjaksanaan seperti beliau.”270

Tak hanya Soeharto, Suara Karya juga menjawab berbagai kritikan terhadap Golkar. Tuduhan ini disuarakan oleh Harian Abadi lewat tajuk rencananya dengan judul Golkar Berdebat Kusir? Dalam tulisannya, Abadi mengatakan bahwa permainan politik massa mengambang yang dimainkan Golkar adalah cara politik yang mematikan iklim demokrasi di masyarakat. 271

Dalam menanggapi kritikan massa mengambang itu, Suara Karya beberapa kali menjelaskan mengenai esensi kebijakan tersebut lewat rubrik Tajuk Rencana. Tuduhan yang dijawab Suara Karya adalah gagasan massa mengambang sama dengan prinsip negatif yang dipakai oleh negara dengan paham liberal. Media ini tak menyangkal bahwa kebijakan massa mengambang memanglah dipakai oleh negara liberal seperti Amerika Serikat. Namun, Suara Karya menyebutkan bahwa masih ada negara liberal yang menerapkan sistem partai massa, seperti Jerman Barat dan Belanda. Sistem partai massa inilah yang diterapkan di Indonesia dan diterapkan oleh Golkar.272

270 Kehendak Baik Sadja Tidak Tjukup, Tajuk Rencana, Suara Karya edisi 8 Januari 1972.

271Debat Kusirnya “ABADI”, Tajuk Rencana, Suara Karya edisi 11 April 1972.

272 Sekali Lagi Floating Mass, Tajuk Rencana, Suara Karya edisi 27 Maret 1972.

Kemudian, Suara Karya juga menjawab tuduhan bahwa gagasan massa mengambang tidak sesuai dengan pasal 27 dan 28 UUD 1945.

Dalam pasal 27 tertulis bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan. Sedangkan pasal 28 berbunyi bahwa kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan, tulisan, dan sebagainya, ditetapkan dengan Undang-Undang. Suara Karya menjelaskan bahwa Golkar tidak setuju dengan kepengurusan organisasi-organisasi politik yang berada di tingkat II seperti wilayah pedesaan. Mereka menganggap bahwa peniadaan organisasi-organisasi partai politik di wilayah pedesaan tidak bertentangan dengan dua pasal tersebut.273

Suara Karya menegaskan bahwa gagasan massa mengambang diterapkan untuk mencegah ketegangan-ketegangan konflik ideologi yang terjadi di masa pemerintahan Soekarno. Menurutnya, jumlah partai yang besar mampu memberikan doktrin yang akan menghancurkan stabilitas politik di wilayah pedesaan. Bahkan, perbedaan politik juga bisa menyebabkan adanya perebutan jabatan yang dilakukan oleh pemimpin partai di wilayah pemerintahan pusat.

“Boleh sadja “Abadi” berbitjara tentang hak2 azasi dari rakjat desa jang banjak itu untuk berserikat dan berkumpul, bahkan untuk memperoleh kepemimpinan dari luar desa sekalipun. Tetapi jang samasekali tak dapat dimengerti adalah kalau eksistensi hak2 asasi itu selalu dihubungkan dengan, dan seolah2 tergantung kepada kehadiran organisasi2 politik di desa2. Padahal fakta selama 20 tahun lebih membuktikan bahwa kehadiran partai2 didesa hanja menundjukkan

273 Hak Berserikat dan Floating Mass, Tajuk Rencana, Suara Karya edisi 6 April 1972.

inkompetensi dan penjalahgunaan tingkat kesadaran rakjar desa jang masih sederhana.”274

Kritik lain yang disuarakan Abadi yakni tentang hubungan Golkar dengan ABRI. Lewat tulisan di Tajuk Rencana, Abadi menuliskan bahwa Golkar adalah badan penyalur aspirasi strategi dan politik yang dikehendaki oleh ABRI. Media ini juga berpendapat bahwa Golkar adalah suatu organisasi politik yang dibina dan dipimpin oleh ABRI, mirip dengan sistem yang diterapkan oleh Adolf Hitler di Jerman dan Franco di Spanyol.

Mendapat tuduhan itu, Suara Karya menuding bahwa tuduhan Abadi sangat naif dan tidak berdasarkan argumen yang jelas. Bahkan, tindakan Abadi seolah sama dengan yang propaganda yang dilakukan oleh PKI atau pun Darul Islam (DI). Apabila Suara Karya mengikuti cara Abadi dalam menyampaikan tuduhan, maka Suara Karya juga menganggap bahwa Abadi adalah koran yang menjadi corong dari partai PKI atau pun DI. Walaupun Suara Karya mengakui bahwa tuduhan seperti ini akan ditolak juga oleh Abadi karena sama-sama tidak menggunakan argumen yang logis.

“Begitu pula halnja dengan program dan strategi Golkar, adanja suatu kesamaan dengan kehendak ABRI tidak dengan sendirinja berarti bahwa Golkar adalah badan penjalur dan pelaksana dari keinginan ABRI. Dan djika kesamaan itu ada, hal itu memang sudah semestinja, karena ABRI sendiri merupakan salah satu komponen dari keluarga besar Golongan Karya. Dalam konperensi persnja baru2 ini, Sekdjen Golkar Sapardjo telah menerangkan bahwa hubungan antara Golkar

274 Debat Kusirnja “ABADI”¸Tajuk Rencana, Suara Karya edisi 11 April 1972.

dengan ABRI “bukan semata-mata sebagai partner tetapi lebih dari itu, sebab Golongan Karya terdiri dari komponen2 ABRI, Pegawai Negeri, dan komponen non-ABRI, non-pegawai negeri.” Maka adalah logis djika persamaan itu ada karena setiap sikap dan pendirian jang diambil oleh Golkar adalah merupakan suatu interaksi diantara komponen2nja, dimana ABRI termasuk didalamnja.”275

Kritik yang selanjunya disorot Suara Karya adalah isu tentang investor asing yang disebut cukong. Istilah cukong sendiri berasal dari bahasa cina yang berarti seseorang dengan pemilik modal tinggi. Dalam tajuk rencananya, Suara Karya menganggap istilah cukong ditujukan untuk seorang Warga Negara Indonesia (WNI) keturunan Cina yang kebetulan mempunyai modal yang masuk ke dalam kategori modal domestik. Dalam hal ini, Suara Karya mengakui bahwa modal domestik dari kalangan tersebut juga menjadi potensi yang perlu dimanfaatkan untuk pembangunan pemerintah. Menurut media ini, tak masuk akal apabila pemerintah pusat hanya mengandalkan modal asing lewat UU PMA tanpa memikirkan adanya peluang pembangunan lewat modal domestik yang sudah diatur dalam UU PMDN No. 6 Tahun 1968.

“Kini munculnya kembali soal percukongan ini menjadi masalah, bisa saja karena dalam proses pelaksanaan ketentuan2 yang diterapkan UU bersangkutan terjadi praktek2 yang dirasakan kurang adil dipandang dari segi pembinaan golongan ekonomi lemah, atau memang UU itu sendiri belum mencakup ketentuan2 yang secara konkrit memungkinkan pembinaan tersebut. Dan bila memang demikian keadaannya, agaknya sudah waktunya pula dipikirkan untuk mengadakan penyempurnaan2 dalam pelaksanaan atau UU itu sendiri,

275 Inilah Posisi Golkar, Tajuk Rencana, Suara Karya edisi 24 Maret 1972.

hingga kecuali pemberian kelonggaran2 itu dirasakan cukup adil, juga golongan ekonomi lemah merasa mendapat kesempatan yang wajar.”276

Timbulnya isu ini dianggap Suara Karya sebagai sebuah pintu ancaman baru terhadap stabilitas politik. Media ini menyarankan agar pemerintah segera bersikap dengan isu yang berkembang di tengah masyarakat tersebut. Walaupun sikap berdiam diri dan menunggu apa yang terjadi selanjutnya masih menjadi tindakan yang wajar. Namun Suara Karya menganggap bahwa isu ini harus menjadi perhatian agar tidak menjalar kepada isu horizontal yang menimbulkan perpecahan di masyarakat.

“Dalam hubungan ini peninjauan kembali peraturan2 pelaksanaan penanaman modal yang sedang dilakukan pemerintah seyogyanya harus dapat menjamin berkurangnya ketidak selarasan, umpamanya dalam soal perkreditan. Selain itu, perbaikan dan penertiban aparatur negara yang sedang dilakukan, disamping bertujuan memperbaiki struktur, prosedur dan personalia, juga harus memungkinkan terlaksananya pengawasan intern yang memperkecil kemungkinan terjadinya penyelewangan2, karena pada akhirnya kontrol yang lemahlah yang lebih banyak menimbulkan kesempatan yang menjadikan seseorang, pencuri. Efektivitas dari pengawasan intern ini, disatu pihak harus dijamin dengan sanksi2 yang cukup berat, dan dilain pihak dengan kepastian hukum bagi mereka yang memegang teguh ketentuan2 yang ada.”277

276 Issue Percukongan, Tajuk Rencana, Suara Karya edisi 15 November 1972.

277 Cegah Emosi Rasialisme, Tajuk Rencana, Suara Karya edisi 23 November 1972.

Kritik selanjutnya terhadap pemerintahan ditujukan kepada isu korupsi. Suara Karya dalam Tajuk Rencananya menjelaskan, isu korupsi diawali dengan kedatangan Ketua IGGI/Menteri Kerja Sama Pembangunan Belanda, JP. Pronk berkunjung ke Indonesia. Dalam kunjungan itu, ia mengatakan bahwa penggunaan bantuan IGGI yang diberikan kepada pemerintah Indonesia telah sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Namun di sisi lain, muncul sebuah pernyataan Pronk dalam berita di Singapura bahwa Pronk menuduh 30% bantuan IGGI telah disalahgunakan Indonesia.

Berita ini kemudian ditanggapi oleh beberapa pihak di Indonesia, termasuk Pronk sendiri. Pronk mengatakan bahwa ia sama sekali tidak mengatakan apa pun lewat keterangan pers. Kemudian Menteri Negara Penertiban Aparatur Negara Indonesia, J.B Sumarlin, mengatakan apabila korupsi telah menjamur, maka pembangunan di Indonesia tak ada gunanya. Kemudian muncul juga pernyataan Direktur Lembaga Pendidikan dan Pembinaan Management (PPM), Dr. Kadarman yang menanggapi pernyataan Sumarlin. Dalam kutipannya di Kompas, ia mengatakan bahwa korupsi di Indonesia lebih merajalela dibandingkan masa-masa sebelumnya. Kadarman mengatakan bahwa sebanyak 30%

anggaran dari pendapatan nasional telah dikorupsi oleh para pejabat.

Pernyataan Kadarman kemudian ditanggapi kembali oleh Jaksa Agung yang juga menjabat sebagai Ketua Tim Pemberantasan Korupsi (TPK), Ali Said. Menurutnya, volume korupsi tahun ini relatif mengecil dibandingkan sebelumnya. Ia melihat dari jumlah uang yang beredar dibandingkan dengan uang yang dikorupsi. Selain itu, Ali juga

menyatakan bahwa kasus korupsi di Indonesia hingga Juni 1973, telah ditangani oleh TPK dengan jumlahnya yang mencapai 362 kasus.278

Dari penjelasan di atas, Suara Karya pun turut menanggapi isu korupsi yang ada di Indonesia. Dalam penjelesannya, media ini mengemukakan bahwa korupsi memang terbukti ada dan menjadi hal yang biasa terjadi di negara-negara berkembang seperti Indonesia. Untuk memberantas korupsi, Suara Karya menganjutkan bahwa pemerintah harus memenahi sistem pemerintahan dan menertibkan aparatur negara.

Tak hanya itu, para pengkritik korupsi juga perlu menjabarkan data secara khusus dan bisa dipertanggungjawabkan. Dari data itu, pemberantasan korupsi akan mampu diberantas oleh pemerintah dan tidak membingungkan masyarakat.279

Berbagai kritik di atas kemudian berpuncak pada diskusi panel yang diselenggarakan Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia (UI) di Student Center Universitas Indonesia pada 24 Oktober 1973. Diskusi ini ditujukan untuk memperingati Sumpah Pemuda sekaligus mengundang berbagai tokoh lintas generasi. Para hadirin tersebut yakni Menteri Luar Negeri Indonesia Adam Malik, Mantan Walikota DKI Jakarta Sudiro, Tokoh Pers sekaligus Pendiri Harian Merdeka BM Diah, Tokoh PSI Soebadio Sastrosatomo, Mantan Presiden Pemerintah Darurat Republik Indonesia Sjafruddin Prawiranegara, Tokoh PNI Ali Sastroamidjojo, Mantan Kepala Staf Angkatan Perang TB Simatupang, dan Dosen Fakultas Ekonomi UI Dorodjatun Kuntoro-Djakti.

278 Isyu2 tentang Korupsi, Tajuk Rencana, Suara Karya edisi 19 Desember 1973.

279 Isyu2 tentang Korupsi, Tajuk Rencana, Suara Karya edisi 19 Desember 1973.

Usai diskusi, para peserta kemudian menutup acaranya dengan kegiatan ziarah ke Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Timur. Di sana, mereka membacakan ungkapan ketidakpuasan dan tuntutan pada pemerintah yang dikenal dengan nama Petisi 24 Oktober 1973. Petisi itu berisi beberapa poin yang di antaranya: meninjau kembali strategi pembangunan dan menyusun satu strategi yang di dalamnya terdapat keseimbangan di bidang sosial, politik, dan ekonomi yang anti- kemiskinan, kebodohan, dan ketidakadilan; segera bebaskan rakyat dari cekaman ketidakpastian dan pemerkosaan hukum, merajalelanya korupsi dan penyelewengan kekuasaan, kenaikan harga, dan pengangguran.280

Dalam menyoroti petisi itu, Suara Karya menjelaskan bahwa masalah yang tercantum sudah berulangkali diucapkan oleh Presiden Soeharto. Menurut media ini, masalah yang tertulis dalam petisi sudah dilaksanakan oleh pemerintah lewat Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). GBHN sendiri menetapkan bahwa pembangunan juga memerlukan aspek keadlian dan perataan demi mewujudkan konsep pembangunan ideal. Selain itu, Suara Karya juga menyarankan bahwa partisipasi mahasiswa juga diperlukan dalam memperlancar konsep pembangunan. Dalam kata lain, partisipasi mampu memberikan umpan balik terhadap penerapan konsep, juga mampu memperbaiki masalah- masalah yang terjadi dalam pelaksanaan.

“Betapapun perlunya kita setiap kali sama2 mengingatkan kembali pokok2 masalah yang tercantum dalam Petisi, agaknya lebih perlu lagi sama2 menginsyafi, bahwa kita sama2 bertanggungjawab memecahkan masalah dengan cara2 dengan cara2 pelaksanaan yang

280 M.F. Mukthi, Petisi 24 Oktober, historia.id/politik/articles/petisi-24- oktober-D8Joo, (Diakses pada 12 April 2019 pukul 18.08 WIB).

terbaik. Menekankan kembali apa2 yang telah digariskan dalam GBHN dengan perincian yang terkait dengan kenyataan2 yang belum memuaskan seperti dinyatakan Petisi, adalah tanggunghawab setiap warga negara termasuk generasi muda. Tetapi adalah tanggungjawab bersama –jadi juga tanggungjawab generasi muda– untuk secara kreatif menemukan jalan2 pelaksanaannya, baik secara makro maupun mikro.”281

Kritik mahasiswa mencapai puncaknya pada Peristiwa Malari 1974. Seperti dijelaskan bab sebelumnya, Malari 1974 adalah proses mahasiswa terhadap kedatangan Perdana Menteri Jepang Kakei Tanaka ke Indonesia pada 15-16 Januari 1974. Kedatangan Tanaka sendiri untuk menanamkan investasi dari dana Pemerintah Jepang yang mendominasi lewat organisasi Asian Development Bank (ADB) kepada pemerintah Indonesia. Suara Karya sendiri sudah membahas Tanaka sejak kemenangannya menjadi Perdana Menteri pada 1972. Menurut media ini, pemimpin muda seperti Tanaka akan lebih berani dalam mencari prospek-prospek baru terhadap peluang kerja sama dengan pemerintah Indonesia. Dari pemerintahan Tanaka yang muda, gesit, dan dinamis, Suara Karya mengharapkan bahwa akan ada sebuah gagasan baru dan serta dalam pembangunan untuk Indonesia, juga untuk negara-negara lain yang ada di Asia Tenggara.282

Setahun kemudian, Suara Karya kembali menuliskan tajuk rencana tentang peluang kerja sama dengan pemerintah Jepang. Pada 1973, Jepang memang sudah membuka gerbang kerja sama dengan

281 Petisi 24 Oktober dan Partisipasi, Tajuk Rencana, Suara Karya edisi 30 Oktober 1973.

282 Kemenangan Tanaka, Tajuk Rencana, Suara Karya edisi 6 Juli 1972.

negara-negara yang ada di Asia Tenggara. Suara Karya menyoroti peristiwa demonstrasi yang terjadi di Thailand. Masyarakat Thailand melakukan protes dengan memboikot barang-barang buatan Jepang. Ini disebabkan karena kemajuan besar-besaran yang dilakukan oleh Jepang mendapat sorotan dari berbagai negara di dunia. Negara ini menganggap perlunya pembatasan terhadap kebutuhan barang-barang impor dari perusahaan Jepang.

Dalam peristiwa itu, Suara Karya menganggap bahwa kegiatan bisnis yang dilakukan perusahaan Jepang adalah sesuatu yang wajar untuk dilakukan. Sebab, bisnis adalah kegiatan moral yang biasa terjadi dalam kerja sama antar negara. Selama tidak menyimpang dari aturan yang disepakati, bisnis tetaplah harus berjalan demi kemajuan pembangunan.

“Hal tersebut tentulah bukan karena kecurangan Jepang, tapi selain karena posisi obyektif kita waktu itu, juga karena belum seimbangnya kemampuan bisnis, hingga persoalan kita selanjutnya adalah bagimana meningkatkan kemampuan bisnis ini. Umpamanya kerjasama exploitasi hasil2 laut, yang karena posisi kita sewaktu persetujuan kerjasama ini dimulai, agaknya memang merupakan pilihan yang paling mungkin diambil. Tapi pengalaman hingga sekarang menunjukkan, bahwa perlu diadakan penyempurnaan2 yang bukan saja dapat menjamin kelanjutan persediaan kekayaan laut itu sendiri, tapi juga sekaligus memberi kesempatan untuk menanggulangi korban2 yang memang tidak terelakkan, seperti terdesaknya nelayan2 kita sendiri. Demikian pula di bidang2 lain.” 283

283Sorotan Terhadap Jepang, Tajuk Rencana, Suara Karya edisi 19 April 1973.

Sehari sebelum kedatangan Tanaka, Suara Karya turut menuliskan apresiasinya lewat Tajuk Rencana. Menurutnya, kedatangan Tanaka nanti akan membahas tentang pertukaran pikiran antara situasi Indonesia dengan Jepang, baik itu di masalah ekonomi dan perdagangan maupun masalah politik dan keamanan yang menyangkut kepentingan bersama. Media ini berharap bahwa kedatangan Tanaka nantinya akan menjadikan suatu hubungan antar negara yang serasi, tentunya dengan konsep hidup saling membutuhkan antar negara-negara di dunia.284

Namun, demonstrasi tetap tak terelakkan. Pada peristiwa Malari itu, para demonstran pun melancarkan protesnya di seluruh wilayah Jakarta. Huru-hara pun terjadi. 807 mobil dan motor buatan Jepang harus dibakar massa, sebelas orang meninggal dunia, 300 orang luka-luka, 114 bangunan rusak, juga 160 kg emas raib dari toko-toko perhiasan.285 Menanggapi peristiwa ini, Suara Karya menyatakan prihatin atas apa yang terjadi. Media ini menganggap bahwa peristiwa kerusakan yang dilakukan para demonstran tak bisa ditolerir. Mereka mencela sekeras- kerasnya terhadap perusakan dan tindakan anarkis yang hakikatnya adalah mengganggu ketentraman dan keamanan masyarakat.286

“Sebagai mahasiswa, yang seyogyanya telah terlatih didalam berpikir secara analitis dan tidak berdasarkan emosi, seharusnya telah dapat memperhitungkan apa yang mungkin akan timbul dan terjadi dari tindakannya. Seharusnya disadari dan diperhitungkan akibat-akibat

284 Membina Pola Hubungan yang Serasi, Tajuk Rencana, Suara Karya edisi 14 Januari 1974.

285 Husein Abdulsalam, Malari 1974: Protes Mahasiswa yang Ditunggangi Para Jenderal, https://tirto.id/malari-1974-protes-mahasiswa-yang-ditunggangi-para- jenderal-cDe9, (Diakses pada 3 Februari 2019 pukul 17.09 WIB).

286 Suatu Malapetaka Nasional, Tajuk Rencana, Suara Karya edisi 16 Januari 1974.

yang mungkin secara ekstrim akan terjadi dari setiap tindakan. Dan setiap kemungkinan yang sampai betapa jatuhnya dan betapa ekstrimnya haruslah diperhitungkan.”287

Akibat peristiwa Malari 1974 ini, pemerintah Soeharto mengambil tindakan cepat. Mereka menertibkan pelaksanaan hak-hak dalam berdemokrasi, pers, hingga melakukan penertiban terhadap kehidupan di dalam universitas maupun sekolah dari berbagai kegiatan politik. Mereka juga menindak tegas terhadap orang-orang yang bertindak sebagai provokator dalam kerusuhan Malari.288 Seperti dijelaskan dalam bab sebelumnya, pemerintah menertibkan beberapa media massa seperti Indonesia Raya, Nusantara, Harian Kami, Mahasiswa Indonesia, The Jakarta Times dan Pedoman. Selain itu, 775 aktivis juga turut ditangkap. Beberapa di antaranya yakni Pemimpin Gerakan Mahasiswa Hariman Siregar, Tokoh PSI Soebadio Sastrosatomo, Aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) Adnan Buyung Nasution dan J.C. Princen, dan akademisi Dorodjatun Kuntjoro-Jakti.289

Tak hanya itu, pemerintah juga mengambil beberapa langkah dalam pembenahan struktur politik. Soeharto mencopot Soemitro selaku Panglima Kopkamtib dan menggantinya dengan Laksamana Soedomo.

Kemudian, Soeharto juga membubarkan lembaga aspri yang diisi oleh Ali Moertopo dan Soedjono Humardani. Menurut Suara Karya, dengan

287Pertanyaan kepada Hati Nurani Bangsa, Tajuk Rencana, Suara Karya edisi 17 Januari 1974.

288 Menegakkan Demokrasi dengan Tanggung Jawab dan Disiplin, Tajuk Rencana, Suara Karya edisi 18 Januari 1974.

289 Husein Abdulsalam, Malari 1974: Protes Mahasiswa yang Ditunggangi Para Jenderal, https://tirto.id/malari-1974-protes-mahasiswa-yang-ditunggangi-para- jenderal-cDe9, (Diakses pada 3 Februari 2019 pukul 17.09 WIB).

Dalam dokumen SUARA KARYA 1971-1974 (Halaman 140-157)