• Tidak ada hasil yang ditemukan

Menyuarakan Pembangunan

Dalam dokumen SUARA KARYA 1971-1974 (Halaman 113-131)

BAB IV ORDE BARU

B. Menyuarakan Pembangunan

perbaikan serta peningkatan kesadaran mental-spirituil. Dan disinilah letak perbedaannja dengan pandangan marxistis, jang meredusir bentuk2 mental-spirituil (sosial dan politik) sebagai projeksi belaka dari relasi2 ekonomi.”220

Dalam hal ini, Suara Karya memaknai bahwa unsur-unsur non- materi juga merupakan hal yang penting. Bahkan, media ini berpendapat kemungkinan perombakan mengenai mental masyarakat juga perlu diubah. Karena pada hakikatnya, apabila mental masyarakat masih saklek, pembangunan secara ideal tak akan pernah terwujud.

“Djelaslah bahwa untuk melaksanakan pembangunan dan modernisasi dibutuhkan adanja partisipasi rakjat, dan partisipasi hanja diberikan dengan sepenuhnja djika ada kesadaran dan penghajatan nilai2 jang tjukup dinamis. Perombakan sistim nilai2 bukanlah perhitungan matematis, tetapi proses rohani jang dialektis dan membutuhkan waktu jang lama. Proses perombakan nilai dapat dipertjepat apabila Pemerintah mengarahkan wewenang serta kekuasaannja dalam bentuk keputusan, tindakan, lagi pula memanfaatkan lembaga2 jang ada dalam bentuk perundang2an dan lain2. Tudjuan undang2 tidak hanja terdjadinja perbuatan2 jang taat pada undang2, tetapi djuga manusia2 jang taat, sebagai sumber dari perbuatan jang baik. Dengan demikian undang2 sekaligus mempunjai aspek pedagogis.”221

Dari unsur-unsur pembangunan di atas, kebijakan sosial juga menjadi perhatian dari Suara Karya. Unsur kebijakan sosial yang turut

220 Pembangunan jang Menjeluruh, Tajuk Rencana, Suara Karya edisi 22 Agustus 1971.

221 Pembangunan jang Menjeluruh, Tajuk Rencana, Suara Karya edisi 22 Agustus 1971.

disoroti harian ini adalah masalah pertumbuhan penduduk. Demi memperbaiki masalah itu, pada 6 September hingga 4 Oktober 1971, Pemerintahan Orde Baru akan melaksanakan sensus penduduk. Sensus penduduk, menurut Suara Karya, bertujuan untuk mendapatkan data kependudukan yang menjadi landasan untuk pembangunan, terutama di bidang kesejahteraan sosial.

“Selama ini masalah penduduk dengan segala seginja, merupakan salah satu faktor utama penghambat pembangunan. Salah satu tjontoh, peningkatan produksi beras, umpamanja, jang tidak didasarkan pada djumlah penduduk dan peningkatannja jang rill (karena belum adanja sensus), dapat dikatakan selalu mengalami perhitungan jang kurang tepat. Demikian pula fasilitas2 pendidikan, dan lain2.

Salah satu aspek sangat penting dari hasil sensus ini nanti adalah masalah man-power (ketenaga-kerdjaan). Banjak sinjalemen mengatakan, bahwa sekarang ini terdapat pengangguran para sardjana.

Tapi dilain pihak kita merasa kekurangan tenaga2 ahli dan berpendidikan. Suatu paradox djustru pada saat kita sedang melaksanakan pembangunan.

Untuk itu perlu adanja man-power planning jang menjeluruh. Dan ini hanja mungkin dilakukan dengan adanja keterangan2 jang lengkap dan terperintji mengenai kependudukan jang akan diperoleh melalui sensus.”222

Selain masalah sensus penduduk, Suara Karya turut berkomentar soal masalah transmigrasi. Transmigrasi sendiri merupakan sebuah program yang bertujuan untuk mengendalikan persebaran penduduk

222 Sensus Penduduk 1971, Tajuk Rencana, Suara Karya edisi 6 September 1971.

yang terlalu banyak berpusat di Pulau Jawa. Masalah persebaran penduduk yang tidak rata, menurut Suara Karya, sudah muncul sejak zaman kolonial Belanda. Pemerintahan Hindia-Belanda kemudian menerapkan kebijakan transmigrasi kepada penduduk yang berada di Pulau Jawa dengan cara mempekerjakan mereka di luar Pulau Jawa, demi kepentingan penjajah juga tentunya.

Pada zaman kemerdekaan, transmigrasi tetap menjadi masalah utama pemerintahan Orde Lama. Suara Karya menyebut, transmigrasi saat itu masih belum memberikan hasil yang signifikan. Mereka mengganggap ada beberapa aspek yang kurang diperhatikan, seperti biaya, mental-sosiologis, hingga sarana pendukung transmigrasi.

Masa pemerintahan Orde Baru, Soeharto melantik Prof. Dr.

Subroto untuk memimpin Departemen Transmigrasi dan Koperasi.

Dalam pelantikannya, Subroto mengatakan bahwa transmigrasi memerlukan niatan suka rela untuk pindah ke luar Pulau Jawa. Faktor kedekatan dengan daerah asal juga berperan penting dalam program transmigrasi tersebut. Dari pernyataan itu, Suara Karya turut angkat bicara lewat tulisannya di Tajuk Rencana.

“Tentang unsur daja tarik, kiranja perlu mendapat perhatian pelbagai aspek jang menjangkut pembangunan sarana-sarana jang diperlukan, antara lain djenis2 projek; apakah dalam bentuk centra ekonomis jang berwudjud pabrik dll, ataukah sarana untuk membuka hutan dan lapangan baru. Dalam hal ini aspek menumbuhkan semangat pionir kiranja tak boleh diabaikan.

Tentang unsur hubungan dengan daerah asal, hal ini perlu mendapat pemikiran dan pengolahan lebih landjut. Memang benar bahwa unsur tersebut selama ini tjukup banjak mempengaruhi usaha2 transmigrasi.

Tapi selain dari bertudjuan mengurangi kepadatan penduduk Djawa,

transmigrasi djuga mempunjai aspek lain jang tak kurang penting, jaitu pembinaan bangsa sebagai kesatuan.”223

Dari tulisan di atas, bisa disimpulkan bahwa Suara Karya juga menyoroti masalah transmigrasi sebagai masalah yang serius. Oleh karenanya, media ini tetap optimis kepada pemerintahan selaku pelaksana kebijakan untuk bekerja secara maksimal.

Selain transmigrasi, kebijakan pemerintah untuk mengatasi masalah kependudukan di Indonesia adalah program Keluarga Berencana (KB). Meledaknya jumlah penduduk dan meningkatnya permintaan lapangan pekerjaan menjadi alasan untuk pelaksanaan program ini. Bahkan pemerintah Orde Baru memprediksi, masalah ini juga bisa bermuara ke revolusi sosial yang nantinya bisa terjadi di Indonesia.

Suara Karya sendiri memprediksi, program KB belum tentu bisa menyelesaikan masalah ledakan jumlah penduduk. Mereka mengatakan, apabila KB benar-benar dilaksanakan, maka hasilnya baru bisa menekan jumlah penduduk dari yang awalnya berjumlah 250 menjadi 238 juta orang. Mereka juga mengatakan bahwa angkatan kerja yang harus diserap adalah masyarakat yang lahir pada masa-masa saat itu. “Projek keluarga berentjana masih berada pada tahap lunturnja.”224

Suara Karya menganggap bahwa KB bukanlah satu-satunya solusi untuk menanggulangi masalah kependudukan. Mereka menganalisa bahwa masih ada unsur-unsur yang harus juga diperhatikan

223 Masalah Transmigrasi, Tajuk Rencana, Suara Karya edisi 21 September 1971.

224Mentjegah Revolusi Sosial, Tajuk Rencana, Suara Karya edisi 13 April 1972.

pemerintahan Orde Baru. Menurutnya, mencegah masalah itu diperlukan adanya pemerataan ekonomi di masyarakat.

“Untuk berbitjara dalam bahasa jang sering dipakai, sementara itu perlu diingat bahwa memang supaja bisa dibagi merata, kue nasional harus ada dulu. Perekonomian sudah harus bisa memberikan hasil, supaja hasi itu bisa dibagi. Maka kalau diwaktu-waktu jang lalu Pemerintah kelihatannja tidak memperhatikan keharusan membagi-bagi pendapatan nasional itu, soalnja adalah karena kita masih para taraf membuat kue itu supaja ada dulu. Ditjiptakanlah iklim jang menjenangkan akumulasi modal, supaja ada penghasilan nasional jang bisa dibagi.

Tetapi bahkan sementara itu, motif supaja hasil pembangunan nasional jang kita namakan kue itu bisa dinikmati oleh seluruh lapisan rakjat tidak pernah ditinggalkan oleh Pemerintah. Presiden djuga telah mengungkapkan bahwa motif itulah antara lain jang didukung ketika Pemerintah menetapkan untuk hanja menerima kredit2 djangka pandjang dengan sjarat2 ringan. Disamping itu, berbagai kebidjaksanaan Pemerintah jang lebih chusus dalam bidang perdagangan, industri, dan moneter, bahkan djuga pertanian, seperti bimbingan dan penjuluhan dalam koperasi, projek BIMAS, asuransi kredit Indonesia, dllsb, semuanja tidak sadja terarah kepada perataan penikmatan hasil pembangunan, tetapi djuga perataan partisipasi dalam pembangunan.”225

Walaupun demikian, Suara Karya mengakui bahwa Pemerintah Orde Baru bukan berarti pemerintahan yang sempurna. Pemerintah sudah melaksanakan tugas pembangunan dengan sebaik-baiknya.

225Mentjegah Revolusi Sosial, Tajuk Rencana, Suara Karya edisi 13 April 1972.

Mereka menyarankan, masyarakat hanya tinggal menunggu apa yang nantinya dijalankan pemerintahan sebagai langkah selanjutnya dalam melakukan pembangunan ke arah yang lebih baik. Sebab, pembangunan manusia yang dilancarkan pemeritah memang belum bisa langsung dilaksanakan begitu saja. Pembangunan manusia memerlukan proses- proses tertentu yang juga sesuai dengan keadaan yang dialami masyarakat Indonesia.226

Masalah sosial-ekonomi lain yang dibahas Suara Karya adalah koperasi. Koperasi sendiri memiliki peran penting dalam perekonomian Indonesia. Dalam UUD 1945 pasal 33 ayat 1 menyebutkan, Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Kemudian dipertegas lagi dalam penjelasan Tajuk Rencana Suara Karya, bahwa bangunan perusahaan yang sesuai dengan itu adalah koperasi. Harian ini menyebutkan, pelaksanaan koperasi di masa Orde Lama masih menggunakan sistem secara komando yang menyingkirkan pembinaan pengertian dan kesadaran untuk para anggota koperasi itu sendiri. Menurutnya, koperasi zaman itu hanya dimanjakan dengan fasilitas-fasilitas istimewa yang keuntungannya hanya diperuntukkan untuk para anggotanya saja. Tak hanya itu, kebijakan koperasi juga sekadar kancah pertentangan politik yang cenderung bisa menghancurkan kepercayaan masyarakat. 227

Dari masalah di atas, pemerintah Orde Baru berusaha untuk menarik koperasi agar turut berperan penting dalam pelaksanaan pembangunan nasional. Tahun 1972, Pemerintah mendirikan Lembaga Jaminan Kredit Koperasi yang telah menyediakan dana sebesar Rp840

226 Perentjanaan Sosial, Tajuk Rencana, Suara Karya edisi 18 Agustus 1972.

227 Pembinaan Koperasi, Tajuk Rencana, Suara Karya edisi 15 Mei 1972.

juta. Dari kebijakan ini, Suara Karya mengharapkan bahwa pemerintah bisa mencapai sasaran jangka panjang dalam pelaksanaan ekonomi.

“Mengingat tingkat perkembangan sosial ekonomis masjarakat chususnja dan perekonomian pada umumnja, sudah barang tentu tjara2 mengembangkan perkoperasian disegala sektor kegiatan ekonomi masjarakat seperti dimasa lalu tidak pada tempatnja lagi dilaksanakan, apalagi setjara besar2an dan sekaligus. Seharusnjalah sekarang ini dipilih djenis2 koperasi jang sesuai dengan kegiatan ekonomi dan lingkungan masjarakat tertentu. Dilingkungan pegawai negeri dan buruh misalnja, akan sukar diharapkan koperasi konsumsi jang menjediakan barang2 jang kini banjak dan beraneka ragam dipasar dengan harga jang stabil. Mungkin koperasi simpan pindjam, terutama dikaitkan pembangunan perumahan bagi anggotanja, akan lebih menarik bagi kedua lingkungan tersebut. Sedangkan bagi kaum tani jang lemah kedudukannja terhadap pasar, kiranja koperasi pemasaran dan pengolahan hasillah jang kini lebih mungkin untuk tepat berkembang.”228

Wacana pembangunan lain yang dibahas oleh Suara Karya adalah proyek miniatur Indonesia yang dikenal dengan Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Seperti dibahas sebelumnya, TMII merupakan sebuah ide yang digagas oleh Tien Soeharto, istri Presiden Soeharto.

Menurut Suara Karya, pembangunan TMII sarat dengan nilai kebudayaan yang menjadi harapan nantinya di masa mendatang.

Indonesia sendiri merupakan negara dengan hasil perpaduan budaya- budaya daerah yang disatukan ke dalam satu negara. Kebudayaan daerah, lanjut Suara Karya, harus dilestarikan. Sebab kebudayaan daerah

228 Pembinaan Koperasi, Tajuk Rencana, Suara Karya edisi 15 Mei 1972.

merupakan sebuah ciri khas yang melekat dengan kehidupan masyarakat Indonesia.229

Selain dengan sarat budaya dan ciri khas Indonesia, proyek TMII juga dianggap Suara Karya sebagai proyek yang menunjang dalam segi ekonomi. TMII bisa digunakan sebagai unit industri pariwisata yang akan melibatkan prospek ekonomi. Walaupun proyek ini memakan dana yang besar, Suara Karya menganggap bahwa dana itu tak akan sia-sia karena nantinya akan kembali lagi kepada masyarakat.230

Dalam Tajuk Rencana lain, Suara Karya turut membahas tentang peran pengusaha-pengusaha lokal yang berpartisipasi dalam pembangunan pemerintahan Orde Baru. Suara Karya berpandangan, peran pengusaha memanglah bertujuan untuk menumpuk kekayaan secara individu. Namun di sisi lain, media ini menganggap bahwa pengusaha lokal menjadi sebuah gerbang baru dalam menciptakan era pembangunan. Pengusaha nasional, lanjutnya, menjadi sesuatu yang dibutuhkan dalam kebijakan pembangunan Orde Baru. Dari pengusaha- pengusaha ini, mereka bisa memberikan pengaruh langsung kepada masyarakat lain untuk segera terlibat dalam proses kemajuan dalam negeri. 231

Tak hanya pada pengusaha, Suara Karya juga memberikan apresiasinya pada Pertamina. Pertamina sendiri merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bertanggung jawab terhadap pengelolaan

229 J.A. Dungga, Projek Miniatur “Indonesia Indah”, Tajuk Rencana, Suara Karya edisi 15 November 1971.

230 Projek Miniatur “Indonesia Indah”, Tajuk Rencana, Suara Karya edisi 16 November 1971.

231 Tanda Penghargaan untuk Pengusaha2 Swasta, Tajuk Rencana, Suara Karya edisi 2 September 1972.

sumber daya minyak di Indonesia. Pada Januari 1973, Pemerintah menerbitkan sebuah Undang-Undang No. 8 Tahun 1971 tentang Perusahaan Tambang Minyak dan Gas Bumi Negara. UU itu mengatur tentang neraca dan perhitungan laba rugi perusahaan yang telah disahkan oleh Dewan Komisaris Pemerintah, termasuk Pertamina sendiri.

Pertamina menjadi salah satu badan usaha yang menunjukkan prestasi gemilang dalam pelaksanaan pembangunan. Terbukti dari hasil ekspor pada tahun 1972, Pertamina berhasil memperoleh U$1.000juta dari total neraca ekspor yang keseluruhan pendapatan mencapai U$1.77,5 juta.

Dari perannya itu, Suara Karya mengemukakan bahwa Pertamina memerlukan sebuah pertanggungjawaban kepada masyarakat demi terciptanya stabilitas pembangunan. Dari UU itu, tambah Suara Karya, masyarakat bisa optimis tentang kinerja Pertamina dalam pelaksanaan pembangunan di Indonesia.232

Pelaksanaan pembangunan era Soeharto tak hanya melibatkan unsur dalam negeri. Pemerintahan Orde Baru juga memanfaatkan investor-investor yang berasal dari luar negeri. Kebijakan itu sendiri tertuang dalam UU Penanaman Modal Asing yang disahkan sejak tahun 1967 lalu. UU inilah yang menjadi landasan pemerintah untuk menggaet investor asing dalam rangka melaksanakan pembangunan.233 Dalam hal ini, Suara Karya berpandangan bahwa modal asing bukan menjadi persoalan kepada negara-negara berkembang seperti Indonesia. Media ini berkaca dari pengalaman-pengalaman di luar negeri bahwa modal asing menjadi unsur penting dalam pelaksanaan pembangunan.

232 Pertanggungan Jawab Pertamina, Tajuk Rencana, Suara Karya edisi 24 Januari 1973.

233Perlu Investment Board Tunggal, Tajuk Rencana, Suara Karya edisi 8 September 1971.

Memang meningkatnya kecenderungan sekarang ini untuk menggunakan modal asing bukanlah terbatas pada negara2 sedang berkembang seperti Indonesia, tapi negara2 yang menurut prinsip ideologinya semula dengan keras menentang modal asing seperti Uni Soviet dan RRC umpanya, kinipun membuka pintunya. Walaupun belum ada pemastian secara konkrit, tapi kabarnya Soviet Uni mulai menjajagi kemungkinan membuka Siberia untuk modal Amerika Serikat. Demikian pula RRC mulai mengadakan penjagagan yang sama untuk mengekploitir potensi perminyakan buminya. Dengan demikian prinsip2 politik dan ideologi yang betapapun ketatnya terpaksa mengalah terhadap kenyataan2 yang dihadapi, bila hal itu sudah menyangkut masalah bagaimana memanfaatkan sebanyak mungkin kekayaan alaminya demi untuk dapat memberikan taraf kehidupan yang lebih baik dan maju kepada rakyatnya.”234

Kecenderungan Suara Karya dalam mendukung kebijakan PMA dibuktikan dengan pandangannya lewat Tajuk Rencana yang berisi langkah-langkah pemerintah dalam menggaet investor asing. Dalam beberapa edisi, Suara Karya berkali-kali menulis tentang metode menggaet investor luar negeri, seperti kedatangan petinggi negara ke Indonesia, kunjungan Presiden Soeharto ke luar negeri, kerja sama pemerintahan Indonesia dengan berbagai organisasi.

Pada Agustus-September 1971 misalnya, Suara Karya menulis Tajuk Rencana yang berisi tentang kunjungan kenegaraan Pemerintah Belanda ke Indonesia. Mereka menulis empat edisi tentang kedatangan negara tersebut. Dari keempat tulisannya, Suara Karya sepakat bahwa

234 Penanaman Modal Asing, Tajuk Rencana, Suara Karya edisi 1 September 1972.

kerja sama dengan Belanda membutuhkan kepercayaan lebih, terutama dalam hal tentang sejarah. Sebab sebelum Indonesia merdeka, Belanda pernah menjajah pemerintahan Indonesia. Kedua negara harus menyingkirkan stigma masa lalu dan berani berpandangan ke depan agar bisa kerja sama lebih lanjut.235

Kemudian, Suara Karya juga menuliskan kerja sama pihak Indonesia dengan Amerika Serikat. Kerja sama ini diawali dengan adanya penemuan ladang minyak di Aceh dengan persediaan yang diduga lebih banyak dari ladang minyak Minas. Penemuan ini membuat pihak Amerika Serikat untuk memberikan bantuan dana kepada Indonesia sebesar U$45,7 juta. Suara Karya menganggap bahwa kerja sama ini tak perlu ditanggapi secara panik. Sebab dengan adanya bantuan dana, maka sumber kekayaan alam yang ada di Indonesia akan bisa diolah secara efisien. 236 Esoknya, Suara Karya menuliskan sebuah tajuk yang berisi tentang kedatangan Menteri Keuangan Amerika Serikat saat itu, John Conally. Kedatangan yang memakan waktu tiga hari ini dianggap Suara Karya sebagai kesempatan pemerintah untuk menjalankan misinya dalam pelaksanaan pembangunan. Pemerintah bisa belajar dari negara maju seperti Amerika Serikat untuk menjalankan kebijakan pembangunan ke arah yang lebih baik.

“Dalam rangka kerdjasama jang saling menguntungkan ini, tentu pula akan dapat dibitjarakan persoalan2 tradisionil, antara lain problem hubungan dengan antara negara2 sedang berkembang dengan negara2

235 Edisi kerja sama pemerintah Belanda dengan Indonesia tertuang dalam lima judul Tajuk Rencana Suara Karya dengan judul Selamat Datang edisi 25 Agustus 1971, Tamu Agung dari Nederland edisi 29 Agustus 1971, Pembitjaraan Schmelzer- Adam Malik edisi 30 Agustus 1971, dan Selamat Djalan edisi 4 September 1971.

236 Memang Tak Perlu Panik, Tajuk Rencana, Suara Karya edisi 4 November 1971.

madju jang selama ini masih selalu berada dalam keadaan pintjang.

Bahkan malah memperbesar gap antara negara2 industri dan negara2 sedang berkembang.”237

Kerja sama ekonomi Indonesia dengan negara lain juga melibatkan beberapa negara dan organisasi yang tergabung dalam Inter- Governmental Group on Indonesia (IGGI). Organisasi yang terbentuk pada tahun 1967 ini memiliki anggota yang terdiri dari Australia, Belgia, Jerman, Itali, Jepang, Belanda, Inggris, Amerika, Austria, Kanada, Selandia Baru, Norwegia, Swiss, Bank Dunia, International Monetary Fund (IMF), Bank Pembangunan Asia (ADB), United Nations Development Programs (UNDP), serta Organitation for Economic Co- operation and Development (OECD). Berdirinya IGGI diperuntukkan untuk memberikan bantuan pembangunan kepada Indonesia.238 Pada tahun 1967, IGGI memberikan dana U$200 juta, 1968 berjumlah U$320 juta, 1969 mencapai U$500 juta, 1970 sebanyak U$600 juta, 1971 berjumlah U$640 juta, dan pada 1972 bantuannya mencapai U$670 juta.239

Suara Karya menganggap bahwa bantuan dana dari IGGI merupakan komponen yang menentukan dalam perkembangan pembangunan Indonesia. Semua bantuan ini, tambahnya, merupakan bagian dari proses penggerak pembangunan. Bantuan ini memberikan

237 Kedatangan Menkeu AS, Tajuk Rencana, Suara Karya edisi 5 November 1971.

238 M. Faisal, IGGI dan Asal-Usul Utang Luar Negeri Indonesia, https://tirto.id/iggi-dan-asal-usul-utang-luar-negeri-indonesia-cEW3, (Diakses pada 1 April 2019 pukul 23.56 WIB).

239 Kepertjajaan Tambah Besar, Tajuk Rencana, Suara Karya edisi 16 Desember 1971.

proyek-proyek yang sudah selesai maupun bantuan yang masih terus berjalan.240 Dengan demikian, Suara Karya turut mengapresiasi langkah pemerintah dalam mencari bantuan dana untuk pelaksanaan pembangunan.

Sorotan Suara Karya dalam proses kebijakan pembangunan tak hanya dalam bentuk apresiasi. Media ini juga memberikan saran dan masukkan kepada pemerintah untuk melaksanakan cita-cita pembangunan yang lebih ideal. Menjelang akhir pelaksanaan Pelita I pada 1973, Suara Karya menganggap bahwa pembangunan yang dilakukan pemerintahan Soeharto masih sebatas di wilayah perkotaan.

Pembangunan belum mencakup ke bagian-bagian pedesaan. Suara Karya pun menilai bahwa gejala desentralisasi pembangunan ini yang menjadi penyebab banyaknya urbanisasi yang dilakukan penduduk dari desa ke kota karena pelaksanaan pembangunan yang tidak seimbang.241

Suara Karya juga menyorot masalah tentang peran industri kecil yang ada di dalam negeri. Menurutnya, peran industri kecil, terutama yang sifatnya industri rumahan, memiliki peran yang penting.

Sayangnya, industri kecil di masa itu belum terlihat menonjol. Pemeritah sendiri memiliki solusi terhadap masalah tersebut, yakni pembentukan Panitia Pembiayaan Tekstil Kecil dan Industri Tenun Tangan. Kebijakan ini diharapkan mampu untuk memperbaiki usaha yang dialami oleh pihak-pihak industri kecil untuk meningkatkan perusahaannya dengan baik dengan cara memberikan pinjaman. Dari kebijakan itu, Suara Karya menilai bahwa solusi kredit bukanlah satu-satunya masalah yang

240 Sidang IGGI jang Akan Datang, Tajuk Rencana, Suara Karya edisi 8 Desember 1971.

241 Renungan 17 Agustus, Tajuk Rencana, Suara Karya edisi 16 Agustus 1973.

dihadapi oleh pengusaha kecil tersebut. Mereka mengatakan bahwa masih ada unsur yang lebih penting, yakni pemasaran dan mutu barang.

“Mengembangkan industri kecil melalui pembinaan pemasaran dan mutu ini agaknya akan lebih mempunya hari depan dengan menggunakan lembaga koperasi. Berbeda dengan pengertian koperasi yang menjadi kurang begitu menarik selama ini, koperasi2 produksi semacam itu, disamping dapat menjadi wadah pembinaan dari segi permodalan, juga harus mampu membina dari segi management pada umumnya, terutama pemasaran dan peningkatan serta standarisasi mutu. Agaknya hal ini dapat dimulai dengan menerapkan prinsip semacam apa yang dilakukan dengan BUUD untuk mengembangkan Koperasi Unit Desa, dengan membimbing pengusaha2 industri kecil ini sehingga mereka menyadari bahwa adanya unit2 koperasi seperti ini memang diperlukan demi perkembangan industri mereka sendiri.”242

Topik selanjutnya yang dibahas Suara Karya adalah masalah inflasi yang terjadi di Indonesia. Berkaca dari masa lalu, Indonesia mengalami gejolak inflasi yang cukup besar. Pada 1972, inflasi mencapai 25%. Kemudian Suara Karya memprediksi bahwa pada 1973, inflasi nantinya akan mencapai 20%. Media ini berpandangan, faktor terjadinya inflasi adalah karena sifat ekonomi Indonesia yang cenderung terbuka dengan internasional. Apabila situasi dunia tengah mengalami inflasi, maka kondisi ekonomi Indonesia juga akan terpengaruh. Selain itu, timbulnya inflasi juga disebabkan keadaan negara sendiri, terutama masalah produksi dan distibusi bahan makanan. Dari masalah di atas,

242 Pengembangan Industri Kecil, Tajuk Rencana, Suara Karya edisi 30 Agustus 1973.

Suara Karya mencoba menyalurkan pandangannya kepada pemerintah untuk menghadapi inflasi ke depannya.

“Bahwa pembangunan dalam suatu jangka waktu tertentu membawa pengaruh inflatoir, memang sudah tidak menjadi persoalan. Yang menjadi masalah adalah, sampai seberapa jauh tenggang waktu antara peningkatan arus barang selalu bisa diperkecil sehingga pada akhirnya ia jatuh pada suatu titik yang sama, yang akan menandai tercapainya stabilisasi.

Masalah lain yang timbul adalah, bagaimana mengatur agar golongan masyarakat berpendapatan tetap yang biasanya banyak dirugikan karena terjadinya inflasi, dapat ditolong. Memang dengan menaikkan gaji pegawai negeri dan upah golongan berpendapatan tetap secara periodeik misalnya, mereka ini banyak sedikitnya tertolong. Akan tetapi bila diingat bahwa kenaikan gaji dan upah ini biasanya pula selalu diikuti dengan kenaikan harga2 yang terjadi dalam pelbagai sektor kehidupan ekonomi lainnya, maka dalam ukuran daya beli, kenaikan gaji dan upah itu lambat laun semakin berkurang.”243

Dari berbagai solusi di atas, Suara Karya memberikan saran kepada pemerintah untuk mengatasi masalah-masalah ekonomi yang terjadi selama pelaksanaan Repelita I. Sebab tahun 1973 menjadi tahun terakhir periode Repelita I. Pada 1974 nanti, barulah pemerintah memasuki periode kedua dalam pelaksanaan pembangunan yang dikenal dengan Repelita II. Suara Karya sendiri menganalisa poin-poin yang terjadi dalam pelaksanaan Repelita II dan membaginya ke dalam lima poin. Pertama, Repelita II merupakan kelanjutan dan peningkatan dari

243 Menghadapi Kenaikan2 Harga, Tajuk Rencana, Suara Karya edisi 23 Oktober 1973.

Dalam dokumen SUARA KARYA 1971-1974 (Halaman 113-131)